Share

CEO Baru

Sejak pagi Zarea sibuk berkutat dengan dokumen-dokumen yang bertumpuk di atas meja. Karena sudah memasuki akhir bulan, seperti biasa pekerjaannya sama sekali tidak bisa diajak bercanda. Di tengah kesibukannya yang tidak ada celah istirahat, Zarea harus menghentikannya lantaran mendengar suara ketukan pintu ruangannya. Lia, sekretaris CEO memanggil untuk meeting.

"Bu Zarea, sudah ditunggu Pak Baskoro di ruang meeting."

Zarea menutup laptopnya dan bergegas menuju ruang meeting dengan berjalan cepat. Makhlum saja, dia perempuan penganut 'time is money'. Sedetik saja waktunya terbuang sia-sia, dia bisa kehilangan peluang emas.

Di ruangan meeting itu sudah penuh dengan jajaran-jajaran tinggi Retro yang duduk melingkari sebuah meja besar.

Pandangan pertama Zarea tertuju pada sosok laki-laki berusia dua puluh lima tahunan yang duduk di sebelah Pak Baskoro dengan memakai setelan jas abu-abu tua. Dia yakin laki-laki itulah yang akan menggantikan Pak Baskoro menjadi CEO Retro.

Wajahnya memang tampan, tapi terlihat angkuh. Sangat berbanding terbalik dengan Pak Baskoro yang selalu terlihat ramah.

"Perkenalkan, di sebelah saya adalah anak semata wayang saya, Edward Stevan. Dia baru saja menyelesaikan S2 di Melbourne dan akan menggantikan saya memimpin Retro mulai hari ini. Saya harap Edward bisa bekerja sama dengan kalian."

Begitulah cuplikan meeting yang disampaikan Pak Baskoro sebagai CEO Retro.

Seperti dugaan Zarea, laki-laki yang memakai setelan abu-abu tua itu adalah anak Pak Baskoro yang akan menjadi CEO baru di Retro. Dia berharap CEO barunya tidak menyebalkan.

Setelah meeting itu selesai, atensi Pak Baskoro tiba-tiba tertuju pada Zarea. Pria paruh baya itu menatapnya dengan ramah.

"Zarea," panggil Pak Baskoro ketika akan beranjak dari kursi.

"Iya, Pak?"

"Setelah ini kamu ke ruangan saya!"

"Baik, Pak," jawab Zarea dengan senyum ramahnya. 

Setelah Pak Baskoro dan putarnya berlalu dari ruang meeting, Tania tiba-tiba membisikkan sesuatu padanya. "Tuh, kan... apa gue bilang, anaknya Pak Baskoro pasti ganteng banget. Mana lulusan luar negeri lagi."

Dahi Zarea seketika berkerut. "Terus kalau ganteng emangnya kenapa?" 

"Ya nggak apa-apa sih. Kan jadi ada bahan buat cuci mata tiap hari."

"Ketahuan Rangga tahu rasa lo!" Zarea seraya bersiap untuk meninggalkan ruangan.

"Yang penting dia nggak tahu."

Capek mendengar celotehan Tania, Zarea memutar matanya dan beranjak dari kursi. "Bentar lagi juga tahu."

"Pokoknya kalau Rangga sampai tahu, berarti lo yang ngadu!"

Enggan menanggapi ocehan Tania lagi, Zarea bergegas keluar dari ruangan itu.

***

Di ruangan Baskoro, Zarea melihat ayah dan anak yang tengah berbincang dengan tegang. Namun, kehadirannya langsung memecah antusias Pak Baskoro . 

"Zarea. Karyawan andalan Retro. Silakan duduk!" Dengan ramahnya Baskoro mempersilakan Zarea untuk duduk bersebelahan dengan Edward.

Zarea sebenarnya sudah malas melihat wajah suram Edward. Namun, demi profesionalitas kerjanya, dia tersenyum ramah pada laki-laki itu meskipun dalam hati sebenarnya tak berhenti mengumpat.

"Ada perlu apa Pak Baskoro memanggil saya?" tanya Zarea dengan wajah yang dibuat seramah mungkin. 

Dia pikir dengan lengsernya Pak Baskoro sebagai CEO membuatnya terbebas dari pekerjaan di luar job desk. Tapi, ternyata pikirannya salah besar.

"Tidak ada apa-apa, Zarea... hanya saja saya ingin kamu lebih mengenal putra saya. Kamu sudah tahu, Edward menggantikan saya mulai hari ini. Saya harap kalian cepat mengakrabkan diri karena kamu yang paling tahu seluk beluk perusahaan mulai dari vendor sampai customer. Saya yakin Edward akan kesulitan menghandle semua masalah perusahaan tanpa kamu."

Harapan Zarea benar-benar meleset 180 derajat. Bukannya meringankan pekerjaannya, lengsernya Pak Baskoro justru menambah beban karena harus mengawal Edward mulai di nol. Sekali lagi, Zarea adalah karyawan teladan. Apa pun perintah atasan selalu 'siap laksanakan'. Dia pun tersenyum manis dan menganggukkan kepala. 

"Baik, Pak Baskoro. Saya akan berusaha sebaik mungkin membantu Pak Edward."

Edward sangat terlihat tidak tertarik dengan perbincangan antara Zarea dan ayahnya. Dia bersikap tak acuh dengan pandangan menatap arah jendela.

"Bagaimana kamu, Edward? Sudah siap dengan tugas-tugas perusahaan? Kamu harus banyak belajar dari Zarea. Meskipun dalam segi pendidikan kamu lebih unggul tapi secara pengalaman Zarea lebih matang," ucap Baskoro dengan sedikit nada meremehkan.

"Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Pa."

Baskoro justru terkekeh mendengar jawaban Edward. "Papa percaya kamu, Edward... hanya saja Papa yakin kamu akan kesulitan mengimbangi kerja Zarea yang cekatan."

Zarea tersenyum canggung ketika Baskoro mengadu kemampuannya dengan Edward. Itu sangat berlebihan. Ditambah lagi mengatakannya di depan putranya sendiri.

Sedangkan Edward menarik sebelah ujung bibirnya."Papa lihat saja hasilnya nanti."

Baskoro tetap percaya pada Edward. Tapi, Atensinya tetap tak pernah lepas dari Zarea. "Oh iya, bagaimana menurut kamu, Zarea? Apakah Edward tampan?"

Pertanyaan macam apa itu? Zarea bingung harus menjawab apa. Tiba-tiba saja Baskoro mengubah arah pembicaraan.

"Tentu saja yang namanya laki-laki pasti tampan, Pak."

Baskoro sudah bisa menebak jawaban Zarea. Gadis itu selalu mencari aman. "Bagaimana tawaran untuk menjadi menantu saya? Bisa kamu pertimbangkan?"

Zarea dan Edward sama-sama terbatuk mendengar ucapan Baskoro. Semakin canggunglah Zarea di depan bos barunya itu. Tapi, lagi-lagi Zarea hanya tertawa menutupi rasa canggungnya.

"Ah, Pak Baskoro jangan begitu. Pak Edward pasti punya selera yang lebih tinggi dari saya."

"Level kamu sudah terlalu tinggi, Zarea... Laki-laki bodoh yang tidak bisa melihat itu. Kamu cantik, bertalenta, pekerja keras dan yang paling penting dewasa."

Zarea semakin bingung dengan pujian yang dilontarkan Pak Baskoro. "Maaf, Pak Baskoro. Saya rasa Bapak berlebihan memuji saya."

"No no no no! itu bukan pujian, Zarea... Tapi, memang faktanya seperti itu. Kalau saja kamu menolak tawaran saya untuk menjadi general manager waktu itu, Retro belum tentu berkembang sepesat ini. Bahkan sekarang, tanpa saya harus bekerja keras semua sudah beres di tanganmu."

Bibir Zarea tersenyum manis. "Retro besar bukan hanya karena saya, Pak Baskoro... tapi, kerja sama teman-teman semua divisi yang turut andil besar. Dan yang paling berpengaruh adalah kepemimpinan Pak Baskoro."

Pak Baskoro justru tertawa nyaring. "Kamu selalu konsisten dengan jawabanmu, Zarea." 

Edward semakin tidak nyaman mendengar pembicaraan antara ayahnya dan Zarea. Pikirannya sudah menganalisa kalau Zarea tipe karyawan penjilat yang bekerja mengandalkan keramahannya hingga membuat orang lain bersimpati.

Pembicaraan mereka akhirnya terpotong oleh dering ponsel Pak Baskoro. "Sebentar, Zarea. Saya angkat telepon dari istri saya dulu."

“Hallo.. ada apa, Ma?

“Oh, iya, Papa segera pulang.”

Setelah Baskoro menutup telepon, atensinya kembali pada Zarea. “Maaf Zarea, saya tidak bisa berbincang-bincang lama denganmu. Istri saya meminta saya yang mengantar check-up hari ini.”

Dalam hati Zarea bernapas lega akhirnya basa-basinya dengan Pak Baskoro selesai. “Iya Pak Baskoro. Bisa kita lanjutkan lain waktu. Kebetulan saya juga ingin melanjutkan pekerjaan saya.”

“Oh iya, maafkan saya sudah menyita waktumu. Pasti pekerjaanmu sudah menumpuk ya. Saya selalu betah kalau ngobrol denganmu, makanya saya ingin sekali punya menantu sepertimu.”

“Uhuk uhuk.” Marvel tersedak mendengar ucapan dari Bramantio.

Zarea tidak bereaksi apa-apa. Dia hanya tersenyum ramah menjawabnya. Memang kata-kata itu sudah menjadi makanannya sehari-hari. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak."

“Iya, selamat bekerja Zarea.”

Setelah Zarea meninggalkan ruangan itu, Edward yang dari tadi dam mulai mengeluarkan suara. “Jangan-jangan Papa sendiri yang ingin menjadikan perempuan itu istri Papa?” tanyanya dengan nada dingin.

Pak Baskoro menggeleng-gelengkan kepalanya. "Edward... Edward.... Lihat saja kalau kamu sudah mengenalnya, jangankan ketus, jauh-jauh dari dia saja pasti tidak bisa."

Edward masih tak habis pikir dengan ucapan ayahnya. “Apa yang membuat Papa seyakin itu dengan perempuan penjilat sepertinya?"

Baskoro terkekeh dengan pertanyaan Edward. “Zarea itu gadis yang luar biasa. Bahkan, pacar-pacarmu dari luar negeri itu tidak ada yang bisa mengalahkan kehebatannya.” Pujian tentang Zarea semakin tinggi karena Baskoro sudah benar-benar percaya pada gadis itu.

“Terserah Papa aja.” Edward terpaksa mengalah dengan ayahnya meskipun tetap belum bisa mempercayai Zarea.

To be continue....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status