"Astaghfirullah, apa ini, Zid? Kok banyak banget?" cecar Bu Wati, menyongsong putranya yang sedang menjinjing dua plastik besar. "Kerjaan Non Najwa nih, Bu. Katanya malu beli seperempat, jadi dibelinya segini banyak," jelas pemuda yang memiliki tahi lalat kecil di atas bibirnya. "Dia gak bisa disuruh, Bu. Gak pernah disuruh belanja sendiri."Bu Wati terlihat cemas. Mau protes pada anak gadis yang sudah masuk ke dalam mobil itu juga rasanya tak mungkin. Segan lebih tepatnya. Mau dikembalikan ke penjualnya, mereka juga gak tahu yang mana lapaknya. "Pasti ini mahal, Zid. Kalau harus mengganti uangnya sekarang tidak akan cukup. Duh, gimana, ya?""Biar aku aja yang bilang sama Bu Isma nanti, Bu, agar gajiku dipotong saja sebagian per bulan seperti biasa," ujar Zidan, tersenyum tipis. "Tapi, Nak, kamu juga butuh uang untuk menabung. Ibu tidak mau kalau semua hasil keringatmu habis tak bersisa.""Aku kerja kan, buat Ibu dan adik-adik juga. Jika memang habis, insya Allah aku ikhlas, Bu. Ua
"Enak banget, nih. Pasti belum pernah merasakan masakan seperti ini," ujar Bu Tejo. "Yakin gak mau lagi?" "Untukmu saja, saya sudah kenyang," balas Bu Isma. Dia sudah mencicipi sedikit untuk memastikan apa yang di pikirannya. Benar saja, rasanya sama persis. "Oh iya, tadi acara ngaji di rumah Bu Wati masak apa?" tanya Bu Wati. Mulutnya terus saja mengunyah. "Soto.""Oh, tumben banget dia pakai masak segala. Pasti gak enak tuh, secara dia gak pernah masak yang enak," cibir perempuan yang baru datang shopping itu. Belum sempat ganti baju, dia sudah sibuk makan."Kamu berani komentar, padahal tidak mencicipi. Kayaknya kamu benci banget sama Bu Wati. Memangnya ada masalah apa sama dia?"Bu Isma muali tidak suka dengan sikap Bu Tejo yang terus berkata buruk. Seharian bersama, ia merasa kalau ibu dari karyawannya itu orang baik dan ramah. Rasanya kurang yakin kalau mereka pernah punya masalah. Apalagi kalau Bu Wati yang mulai. "Loh, saya bicara fakta. Kami gak ada maslah kok. Dia memang
"Ada apa ini? Kenapa Zidan sampai didorong begini, Bu Eka?" bentak perempuan itu, membantu Zidan berdiri. Pelayan restoran lainnya mulai berbisik-bisik, tapi tak ada yang berani mendekat. Semuanya pura-pura sibukSang kepala koki tersenyum kikuk, ingin menyembunyikan wajahnya ke bawah panci saja kalau bisa. Tak menyangka kalau anak Bos yang setahunya kuliah hari ini, sekarang malah sedang berdiri di depannya.Sejak awal, dia memang tak suka melihat Zidan, pemuda yang berasal dari kampung itu. Menurutnya terlalu cari muka dan sok polos. Saat Bos pamit mau ada urusan sebentar, kesempatannya meluapkan emosi yang terkurung. Dia tak bisa melampiaskannya selama ini karena pemuda itu selalu datang bersama Bu Isma maupun Najwa. "Saya gak sengaja mendorongnya, Neng. Lagian dia memang pemalas, kerjaannya menggosip saja kayak perempuan," fitnah perempuan yang sudah memiliki anak empat itu. Wajahnya pucat pasi, takut melihat anak Bos yang satu ini, terkenal akan mulutnya yang pedas. Demi menyela
"Mama ih, aku masih muda. Buat apa cepat-cepat nikah? Aku mau fokus belajar dulu, kerja, baru deh nikah. Aku belum mau kalau ada yang ngekang dengan berbagai tanggung jawab," balas Najwa dengan bibir mengerucut. Wajahnya sudah memerah, dengan terburu-buru menenguk minuman. Air conditioner yang terpasang di ruangan itu tidak mampu menghilangkan rasa gerah yang menjalar. "Hmm, pernikahan itu tidak mengekang kok, Najwa. Memang manusia itu tidak boleh terlalu bebas. Kita harus tunduk pada aturan-aturan agama maupun norma-norma. Semuanya demi kebaikan kita sebagai manusia," balas Bu Isma, tersenyum melihat putrinya yang terlihat salah tingkah. "Kalau Mama perhatikan, kamu sepertinya lagi suka sama seseorang. Mama gak tahu pasti, ya, tapi cuman sekedar menebak saja. Mama gak akan larang kamu kalau mau nikah muda, asal jangan dengan mudah pacar-pacaran saja. Mama juga berdosa nantinya. Jadi, cerita dong sama Mama, kamu lagi jatuh cinta sama siapa, ya?" lanjut perempuan paruh baya itu, men
"Dia gak ada di dalam, tadi sore saya lihat keluar naik mobil," ujar salah satu tetangga. Bu Wati menghela napas lega karena pemilik rumah sedang keluar. Setidaknya dia selamat. Ngeri membayangkan kalau nyawa yang belum lepas dari badan harus dilalap api yang panas. Warga bergotong-royong memadamkan api dengan peralatan seadanya. Sebagian memakai ember dan ada juga memakai selang yang diambil dari gudang perabotan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), lalu dialirkan dari kran kamar mandi tetangga. "Allohu Akbar. Ya Allah, selamatkan kami semua," seru ibu-ibu, mulai cemas karena usaha mereka tak banyak membantu. Angin pun mendadak bertiup kencang sehingga api semakin berkobar. Beberapa benda yang mudah terbakar tertiup angin dan warga langsung memadamkannya.Namun, tak berlangsung lama, angin mulai bersahabat. Usaha warga berhasil memadamkan bagian luar agar tidak merembet ke mana-mana. Namun suara benda terbakar dan terjatuh di dalam rumah terus saja membuat semua orang bergi
"Kenapa, Bu? Kok istighfar?" tanya Sheila bingung dan sedikit kecewa. Bukan itu reaksi yang dia harap. Seharusnya calon mertua langsung menganggukkan kepala dan memeluknya. Perempuan di hadapan gadis itu menggeleng lemah. Memijit pelipis yang mendadak berdenyut nyeri memikirkan Zidan yang masih terlalu muda untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga. "Aku dan Zidan itu sangat dekat saat sekolah, Bu. Mulai dari SD sampai akhirnya aku pindah waktu SMA. Aku yakin, kami pasangan yang cocok," imbuh gadis itu dengan senyuman lebar. "Nak Sheila kan, baru saja tamat sekolah, Zidan juga. Menikah tak sesederhana yang kamu pikirkan, Nak. Kalau memang jodoh, tidak akan kemana. Untuk saat ini, jangan mikirin untuk pacaran atau nikah dulu, tapi pikirkan bagaimana agar kalian bisa bangkit dari masalah ini, ya, Nak," balas Bu Wati dengan hati-hati. Jika dulu suaminya sempat berpikir kalau Zidan akan sulit mendapatkan istri di masa depan karena mahalnya biaya seserahan di kampung mereka
"Ih, aku kok, gemetar begini? Tidak, tidak mungkin aku menjatuhkan harga diri di hadapan Zidan. Kalau dia ternyata gak suka padaku, mau ditaroh dimana muka ini? Ya Tuhan, ini memalukan," rutuk Najwa, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menghembuskan napas dengan kasar, lalu berjalan mondar-mandir. "Lebih baik kutunggu saja sampai dia mengungkapkan perasaannya. Tapi kalau keduluan sama Sheila, bagaimana? Argh!"Najwa membentangkan tangan, mendongakkan kepala menatap langit nan indah. Ribuan bintang nun jauh di sana bagaikan sedang menertawakan sikap konyolnya. "Ada apa, Non? Kata Bi Ina saya dipanggil Non Najwa, ya?" tanya Zidan, tergopoh menghampiri. "Non nan non. Jangan panggil aku 'non' lagi kalau sedang di luar kerjaan! Panggil saja Najwa. Kamu juga jangan memakai kata saya kalau bicara denganku. Aku ini masih muda, nanti dikira orang pula kalau kamu sedang jalan sama tantemu," cetus gadis yang mengenakan blazer warna coklat yang dipadukan dengan rok plisket warna senada.
"Astaghfirullah, Zidan. Aku kecewa sama kamu. Kukira kamu lelaki yang berbeda, tidak diperbudak hawa nafsu seperti pemuda kebanyakan yang hobi pacaran. Di depan banyak orang kamu terlihat seperti lelaki tanpa cela, tapi di belakang tak lebih dari buaya. Bisa-bisanya kamu mau melecehkan seorang gadis di rumah ini," ujar Najwa emosi. Semua penghuni rumah masih sibuk menenangkan Sheila yang sedang meraung-raung. Kondisi Sheila benar-benar meyakinkan sebagai korban. Rambut dan pakaiannya acak-acakan. Rencana yang sudah disusun matang layaknya sebuah serangan tindakan asusila.Bu Tejo yang sudah mulai pulih dan mengerti keadaan begitu marah. Ia memukuli Zidan dengan sekuat tenaga. Sumpah serapah pun bertebaran dari mulutnya. "Saya membawamu dari kampung agar kamu dan keluargamu tidak dihina orang lain, Zid. Namun, saya telah salah duga. Kamulah yang telah menghinakan dirimu sendiri. Saya tak menyangka kalau anak dengan tampang sepolos kamu bisa melakukan hal serendah ini pada putri sah