Meski tidak punya rasa, bukan permainan seperti ini yang dirancang. -Izzan Madava***Aroma bumbu dan rempah-rempah menyeruak di dalam dapur, membuat siapa saja merasa lapar. Ketiga penghuni lama di rumah megah ini memang sering membagi tugas namun terkadang mereka mengerjakan tugas itu secara bersamaan. Mawar bukan seorang perempuan yang buta akan memasak, namun ia terkadang hanya memanfaatkan bahan yang ada lalu mengolahnya tanpa resep. Kali ini ia belajar masakan berat seperti pepes ikan, sayur lodeh dan beberapa masakan lainnya. "Gimana Mbok Yun, enak?" Mawar bertanya ketika Mbok Yun mencicipi sayur lodeh yang dibuatnya atas instruksi Yuhasanah. Wajah yang sudah mulai kendor itu sedikit mengernyitkan alis tanda yang membuat Mawar berdegup takut jika ia mengacaukan masakan. "So delicious!" Dengan logat khas sunda yang berpadu dengan bahasa asing. "Tuan Izzan pasti suka!" Uli langsung menimpali. Menarik senyum Mawar tahu harapan ini bisa saja hancur, tapi ia menikmati hal itu.
Plak!Satu tamparan ia layangkan pada seorang laki-laki yang telah menghancurkan perasaannya, menghancurkan kepercayaan yang sudah ia bangun dalam hubungan ini.“Dasar bajingan! Gak tau malu!” Ia terus memukul-mukul dada cowok itu.Lelaki itu terduduk, ia bersimpuh di kaki gadis yang telah ia sakiti.“A-ku minta maaf Mawar, aku khilaf.” Gadis yang tadi menampar si lelaki itu, enggan di sentuh bahkan di kaki sekalipun.Laki-laki itu tak tinggal diam, ia meraih kembali kaki si gadis dan memeluknya untuk mendapatkan pengampunan.Gadis bernama Mawar itu berusaha menahan tangis dalam dirinya, tapi tetap saja air mata berhasil membobol pertahanan yang ia bangun.“Aku gak pernah masalah, kamu gak kabarin aku gara-gara game. Sama sekali gak keberatan ....” Lagi, ia memukul lelaki yang
“Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan nyawa pasien.” Pria setengah baya dengan jas putihnya menunduk, mengabarkan berita duka pada keluarga pasien.Langsung saja seorang wanita yang telah menjaga putrinya sejak bayi itu jatuh pingsan, tangisan pun menggema di lorong gelap.“Nggak! Vilia cuma pingsan, Dokter!” Lelaki yang mengenakan jas pun menyangkal perkataan sang dokter, ia mendekatkan wajahnya pada dokter seakan mengancam karena sudah mengabarkan kebohongan.“Anda dengar ya, Vilia itu perempuan kuat, dia tidak mungkin pergi secepat ini!” Mata lelaki itu berkilat marah, ia pun langsung mendorong bahu dokter lalu menerobos masuk ke dalam ruangan.Sejenak ia terpaku, ketika wajah sang kekasih begitu pucat. Meski tau apa yang dikatakan dokter adalah kebenaran, tapi hatinya begitu mendamba keajaiban yang membuat calon istrinya itu bangun meski hanya beberapa detik. Ia i
“Mawar Anindita, permisi.” Kembali suara itu terdengar oleh Mawar yang masih menutupi wajah dengan selimut. Melihat pergerakan dari tangan yang semakin mengeratkan tarikan, lelaki itu mengerti bahwa orang yang terbaring itu ketakutan. “Saya bukan orang jahat,” ucapnya berhasil membuat gadis yang berbaring itu menurunkan selimutnya. Mata cokelat dengan bulu mata yang lentik menyapa pandangan laki-laki yang tadi terus menyebutkan nama. Tidak bisa dihindarkan, tatapan itu menghanyutkan mata si gadis yang terpesona dengan mata si laki-laki. Semakin ia tatap, mata si laki-laki ternyata begitu menakutkan. Ia pun memilih mengalihkannya dengan cepat. “Kamu, siapa?” tanyanya tak melihat ke arah laki-laki itu. Lelaki itu menunjukkan senyum liciknya tanpa sepengetahuan Mawar. Ia mengulurkan tangan, membuat Mawar menoleh. “Perkenalkan, Izzan Madava. Owner sekaligus CEO Perusahaan Buana Dama.” Mawar langsung menyipitkan mata mendengar nama perusahaan. Meski ragu, perlahan tangan gadis itu m
“Dengan siapa?” Lelaki paruh baya dengan syal kusam melekat di leher, menjadi ciri bahwa lelaki itu tidak sehat. Sudah Mawar tebak, jika ayahnya akan mempertanyakan izinnya menikah. “Mawar, Ayah tahu kalo Danesh menghamili perempuan lain dan sudah menikah. Jadi, siapa lelaki yang begitu cepat menaklukkan hati kamu?” Kembali Wira—ayah dari Mawar itu memperjelas pertanyaan yang belum terjawab. Mawar menghela napasnya, ia sebenarnya ingin berbohong tapi tidak punya bahan untuk kebohongannya. Lagipula, ia butuh wali untuk menikah, bukan? “Loh, kok gak dijawab-jawab? Nah, ini nih. Sudah, tidak apa-apa. Kamu bisa mendapatkan yang lebih dari Danesh,” ucapnya menyangka bahwa izin yang ia pinta ini hanya untuk memperlihatkan pada Danesh bawa ia juga bahagia. Nyatanya, bukan itu. Mawar mengambil tangan Wira yang begitu kasar, sebuah tangan yang telah bekerja keras untuk memberi kelu
Satu jangkauan lagi ... Ceklek. Suara langkah kaki mendekat, sedangkan dua insan yang hampir saling menempelkan bibir itu masih terpaku dan belum saling menjauh. “Oalah, kalo misalnya gak tahan mending langsung ke hotel saja daripada di kamar mandi. Ganggu, ya.” Dengan santainya, seorang wanita dengan lipstik merah darah itu berbicara lebih tepatnya berkomentar. “Ekhem ... Ekhem.” Izzan langsung mendorong tubuh Mawar, ia pun berdehem. Mawar juga langsung merapikan rambut dan lipstik yang tercoreng pada pipinya. Wanita yang sedang mencuci tangan di sebelah mereka pun, terkekeh pelan. Izzan masih menghadap tembok tak mau melihat ke arah suara yang sudah membuat pikirannya waras kembali. “Ya, sebenarnya lanjut saja tidak apa-apa. Lumayan tontonan gratis. Haha ... Haha ...,” ucapnya kemudian tertawa di akhir kalimatnya, membuat Izzan dongkol dan Mawar menelan
Lelaki dengan jas abunya tengah berdiri di hadapan para stafnya. Seharusnya memang pekerjaan mereka selesai, namun lelaki yang berstatus sebagai owner sekaligus CEO memilih membuat lembur para staf sampai pukul 12 malam, dengan embel-embel bonus yang langsung dibayar tunai keesokan harinya. Meski lelah, tapi para staf itu memilih mengambil bonus yang dijanjikan, sebab Izzan Madava selalu memberikan bonus dengan nilai yang tinggi. “Baik, terima kasih atas penjelasannya. Pendapat saya, tidak ada salahnya menaikkan harga tapi ingat harus diimbangi dengan kualitas yang terbaik juga. Jadi, saya harap Anda meninjaunya kembali,” ucapnya pada salah satu manajer. “Baik, Tuan.” Manajer itu menganggukkan kepalanya. “Oke, lanjut.” Ia kembali duduk, bertepatan dengan berdirinya seorang wanita yang akan memberikan laporannya tentang perusahaan. Drtt ... Drtt ... Handphone di meja membua
Lelaki yang masih menggunakan jas abunya itu membantu mendorong brankar yang dibawa para suster. Ia masih menepuk-nepuk pipi perempuan yang terbaring lemah.“Mohon, tunggu di luar saja.” Perawat rumah sakit itu menghentikan si lelaki yang ingin masuk, ke dalam ruang pemeriksaan.Tiba-tiba, Izzan memegang kepalanya yang terasa sakit. Ia menjangkau tembok kemudian duduk di kursi tunggu.Gemetar pun dirasakan Izzan, semua itu terjadi karena traumanya kembali.Ya, dua traumanya terjadi dalam waktu yang berdekatan. Pertama, api yang hampir membakarnya ketika kecil, akibat kelalaian pengasuhnya. Kedua, menunggu kecemasan hilang di rumah sakit.Mungkin, itu juga yang membuat si lelaki bersikap manis seakan melupakan balas dendamnya. Merasa sesuatu yang berbeda, Izzan langsung pergi dari depan ruang UGD.Membasuh wajah, seketika ia m