“Satya, nggak sopan kamu, Nak!” Hadi Wijaya menatap anaknya sedikit tidak suka karena menyemburkan minuman di hadapan ayahnya sendiri.
“Emm ... maaf, Ayah. Nggak sengaja,” sahutnya dengan kepala tertunduk. Merasa bersalah atas tindakannya tadi.
“Lain kali jangan diulangi.”
“Iya, Ayah. Maaf ....”
“Lagian kenapa sih? Kalian kok kayak orang kaget gitu Ayah tanyakan tentang anak? Kalian nggak menunda kan?” Hadi Wijaya menatap keduanya penuh selidik.
Keduanya saling melempar pandang sesaat. Lalu Ayumi menatap ayah mertuanya dan menggeleng.
“Nggak kok, Ayah. Terserah Allah saja mau kasihnya cepat atau nanti,” jawab Ayumi berusaha tenang dengan senyuman. Sedikit kikuk karena mendadak suasana menegang.
“Betul apa kata Ayumi, Ayah. Kita sebagai manusia kan hanya bisa berusaha. Untuk hasil akhirnya tetap Allah yang menentukan kan?”
Mendengar setiap kalima
“Sayang, kamu ke mana aja sih? Kok telepon aku baru dijawab?”Suara Clara dari seberang sana terdengar merajuk karena teleponnya tidak kunjung dijawab oleh Satya.“Maaf, Sayang. Kan tadi aku sudah kasih tahu sama kamu kalau aku dan Ayumi itu malam ini nginep di rumah Ayah. Jadi, ya … aku nggak bisa bebas hubungin kamu kalau ada Ayah. Takutnya nanti kita ketahuan. Aku nggak mau disuruh pisah lagi sama kamu.” Satya menjelaskan alasannya dia tidak kunjung menjawab telepon juga pesan dari Clara.Terdengar helaan napas panjang dan sedikit kasar dari seberang telepon.“Kapan sih kita bisa bebas pacarana lagi kayak dulu, Sayang? Aku capek begini terus.”Kali ini Satya yang mengembuskan napas panjang seraya mengusap wajahnya sedikit kasar.“Sabar dulu, Sayang. Aku juga lagi berusaha biar semua harta yang Ayah berikan untuk Ayumi bisa jatuh ke tanganku.” Satya memelankan cara bicaranya sambil menoleh ke arah sang Istri yang tengah berbaring memunggunginya di atas tempat tidur. Khawatir jika Ay
Tak ingin berdebat lagi, meski kesal, Ayumi pun menuruti apa yang diinginkan suaminya. Dia sendiri tak ingin peduli jika suaminya itu bohong padanya. Karena dia tahu jika Satya sebenarnya pergi berlibur dengan Clara. Bukan karena urusan bisnis.Makanya saat Satya memberitahunya, dia biasa saja. Justru malah kesal dibuatnya. Diam-diam dia menyadap aplikasi chat suaminya. Dan bodohnya, Satya tidak menyadari itu.Benar. Saat sampai di pertigaan jalan besar itu, Ayumi diturunkan di sana. Tanpa peduli bagaimana nanti istrinya sampai di apartemen, Satya langsung melajukan mobilnya ke arah bandara.“Astaghfirullah … sabarkan Ya Allah … lapangkan hatiku …,” gumam Ayumi menatap mobil suaminya yang semakin menjauh.Dia pun lantas mengeluarkan ponselnya dan memesan ojek online. Selang beberapa menit, ojek online pesanannya pun datang.“Mbak Ayumi?” tanyanya memastikan.“Iya, Mas betul. Mas Tono, ya.&rd
Setibanya di rumah sakit, Sita pun langsung mengentikan mobilnya tepat di depan pintu ruang IGD dan memanggil suster.“Sus, teman saya pingsan di mobil. Tolong, tolong!” pintanya dengan panik sampai tubuhnya gemetar. Sungguh, dia takut terjadi sesuatu pada Ayumi.“Baik, baik.”Suster pun bergegas membawa brankar dan memindahkan tubuh lemas Ayumi di atas brankar dan mendorongnya memasuki ruang IGD untuk segera dilakukan Tindakan.Saat Sita ingin ikut masuk, dia dicegah dan diarahkan untuk mendaftarkan Ayumi terlebih dahulu di bagian pendaftaran.“Maaf, Mbak. Mbak lebih baik daftarkan pasien dulu, ya. Biar kami lakukan penanganan pada pasien,” ujar suster yang menahan langkah Sita di ambang pintu masuk ruang IGD.“Oh, iya, Sus. Tapi tolong tangani sahabat saya, ya, Sus,” pinta sungguh-sungguh.“Iya, Mbak. Itu sudah menjadi tugas kami. Silakan!” telapak tangan suster tersebut me
Perempuan yang wajahnya tidak asing bagi Satya itu tersenyum dengan manis. Bahkan dia mengulurkan tangannya yang terlihat mulus meski bulu di tangannya sedikit panjang. Tidak mulus seperti perempuan pada umumnya. Namun, bagi Satya itu uniknya.“Ay,” panggilnya pelan dengan tatapan yang tak lepas dari perempuan yang baru saja menabraknya hingga tersungkur itu.“Sekali lagi saya minta maaf, ya, Mas.” Ucapan perempuan itu dan tepukan di bahu Satya membuat laki-laki berusia dua puluh delapan tahun itu mengerjapkan kedua matanya. Lamunannya pun tersadar.Dia mendadak seperti orang linglung. Setelah perempuan itu berlalu, dia baru sadar jika perempuan tadi sedikit mirip dengan sang Istri, Ayumi.“Sayang, kenapa kamu lihatin cewek tadi gitu banget sih? Udah mulai genit kamu, ya? Mana panggil-panggil nama Ayumi? Kamu sudah mulai cinta sama dia?”Satya pun mulai panik saat mendengar serentetan kalimat tanya yang dilontarkan oleh bibir tipis Clara.“Hei, tenang dulu,” katanya dengan lembut. Dia
Setelah beberapa kali berperang dengan hatinya, Sita pun akhirnya memberanikan diri untuk menjawab telepon dari Hadi Wijaya. Dia harus tahu bagaimana kondisi Ayumi yang sebagai anak mantunya sekarang. Ayumi tidak punya keluarga selain anak-anak dan pengurus di panti ashuan, dirinya, juga keluarga dari pihak suami.“Halo, assalamu’alaikum,” sapa Sita dengan suara yang sedikit gemetar.[“Wa’alaikumsalam. Ay, kok suara kamu ….”] Hadi Wijaya mulai bingung karena suara Ayumi yang biasanya terdengar lembut berubah menjadi sedikit grusukan dan sedikit cempreng.“Maaf, Pak Hadi. Ini Sita, temannya Ayumi,” jawabnya semakin cemas. Beberapa kali dia menoleh ke arah Ayumi. Berharap sahabatnya itu membuka mata dan bisa bicara sendiri dengan ayah mertuanya. Namun nyatanya, Ayumi masih tetap memejamkan kedua matanya. Padahal sudah satu jam lebih Ayumi tertidur.[“Oh, Sita. Kok ponsel Ayumi sama kamu? Di mana d
Satya tak langsung menjawab telepon dari ayahnya sampai panggilan pertama berakhir dengan sendirinya.“Siapa, Sayang? Kok nggak dijawab teleponnya?” tanya Clara dengan kening berkerut.Satya menangkat wajah dan menatap kekasihnya. “Ayah yang telepon,” jawabnya pelan.“Kok bisa tahu nomor baru kamu, Sayang?” perempuan berambut panjang yang selalu tergerai indah itu melebarkan kedua matanya.Satya mengangkat bahu. “Nggak tahu. Atau paling Ayah cari tahu lewat asistennya,” jawabnya lalu mendesah panjang. Mendadak cemas.“Jangan-jangan dia tahu kalau kita ke sini? Bagaimana ini, Sayang?” rengeknya yang juga ikut cemas. Niatnya ingin liburan malah jadi begini.Laki-laki itu mengusap wajahnya dengan kasar. Dia juga tidak tahu apa yang mesti dilakukan sekarang.“Sudah, kamu tenang saja. Soal Ayah biar jadi ursan aku.” Satya berusaha menenangkan Clara. Dia genggam telapak
Laki-laki yang masih memakai celana boxer itu mengerjap dan menoleh ke arah pintu yang diketuk dari luar. Dia tahu siapa pelakuknya.“Sayang, kamu udah bangun kan? Sarapan dulu yuk! Setelah itu nanti kita langsung ke pantai lagi.” Suara Clara terdengar begitu merdu. Andai saja semua berjalan sesuai dengan apa yang dia rencakan, pasti tidak akan seribet ini.“Iya, Sayang. Sebentar, ya,” sahutnya setengah berteriak. “Duh … gimana coba aku jelasinnya sama Clara?” Satya kembali memijat pelipisnya sesaat sebelum akhirnya turun dari tempat tidur dan membuka pintu untuk kekasihnya.Satya pun melebarkan kedua matanya saat Clara tiba-tiba mencium pipinya saat pintu terbuka lebar.“Ih, kok kamu belum mandi sih? Baru bangun, ya?”Perempuan berambut panjang itu menatap Satya kesal saat menyadari tubuh kekasihnya masih bau khas orang baru bangun tidur. Padahal dirinya sudah tampil sempurna dengan setelan ce
Usai berbicara dengan sang Ayah, Satya pun kembali pada Clara dan menanyakan hal tadi dan menjelaskan jika yang menelepon itu ayahnya.Perempuan dengan rambut bergelombang itu tampak melebarkan kedua matanya. Menatap Satya seolah tak percaya jika dia tadi baru saja berbicara dengan ayahnya.“Aduh … gimana dong, Sayang? Aku salah, ya. Aku minta maaf, ya,” sahut Clara dengan wajah sedihnya.Dia memang tidak tahu jika Hadi Wijaya itu ayah dari Satya. Sehingga dia mengatakan jika dia istrinya Satya dengan seenaknya. Karena mengira jika Hadi Wijaya itu adalah bawahan dari Satya.“Sudah terlanjur dan Ayah marah banget. Ditambah Ayumi sakit dan dirawat di rumah sakit. Aku disuruh pulang sekarang. Pusing …” beberapa kali Satya menepuk keningnya pelan.“Hah? Sakit apa dia?”“Dugaan sementara typus.’“Ish, bikin repot saja sih,” sahutnya dengan kesal karena kabar sakitnya