“Kenapa tidak kau bilang dari tadi! Sampai-sampai rela aku mengemis pada si Titian yang menjengkelkan itu biar bisa sembunyi di kos kos-annya. Asem kali kau, bah!” maki Alva menahan geram dan kecewa.“Aku sudah bilang sama Tian! Apa dia tidak bilang sama kamu?” Andre berusaha tetap sabar.“Tidak! Dasar betina! Pasti dia sengaja tidak memberi tahu aku, agar aku berlama-lama tinggal di kos-annya. Udahlah! Lampu hijau bentar lagi, ini! Aku matikan hapeku! Satu lagi, jangan sok akrab pula kau nelpon-nelpon aku terus! Kita sudah tak ada hubungan kekeluargaan, aku bukan siapa-siapamu lagi, paham! Kau urus saja papa kau yang hebat itu!” ketus Alva.“Tunggu, Al! Jika kau masih mengaku sebagai manusia yang punya hati nurani, tolong kau selamatkan Bu Elma! Anggap saja itu sebagai penebus kesalahanmu karena sempat menculiknya! Ngerti kau!”“Pers*tan denganmu Andre! Tak usah kau atur-atur hidupku, bangs*t!”“Ini masalah nyawa, Al! hallo! Hallo! Alva!”“Aku tak peduli!”Alva menutup telponnya
Satu menit kemudian, sebuah pesan masuk dari Riris. Lokasi di mana anak-anak Elma saat ini berada. Sebuah restoran cepat saji di jalan Jamin Ginting. Waw, lokasinya tidak terlalu jauh dari posisi Alva saat ini.Sebuah pesan gambar masuk lagi dari nomor Riris. Segera Alva mengunduhnya. Foto seorang gadis kecil tiga tahunan dan seorang anak laki-laki belum genap satu tahun. Cantik dan tampan.[Jangan salah sasaran. Saat ini mereka bersama neneknya di restoran cepat saji itu. Neneknya ada di pihak kita. Abang kode saja dia. Maka dia akan pura-pura masuk ke toilet untuk memberi orang-orang Abang bekerja. Bawa mereka ke terminal Bus di Simpang Kuala! Aku menunggu di sana. Bus Jurusan Kaban Jahe. Good Luck!]Demikian pesan berikutnya dari Riris. Alva tersenyum tipis.Pria itu langsung menscroll daftar kontak. Setelah menemukan nomor atas nama Yogi, telunjuknya langsung menekan symbol telepon. Tak menunggu lama, panggilannya langsung diangkat.“Gi, segera meluncur ke restoran cepat saji *
“Om, jangan culik kita, ya, Om! Kita mau pulang! Mau sama nenek aja, Om!” Kembali suara Vita memelas. Itu membuyarkan semua kekacauan di dalam benak Alva.“Diam dulu! Jangan berisik, ok! Biar Om mikir, dulu! Tuh, suruh adek kamu diam!” perintah Alva berusaha tetap lembut agar tak menakuti kedua bocah itu.Ponsel pria itu tiba-tiba berdering. Pria itu melirik ke arah layar. Nomor Riris tak henti memanggil.“Ya,” sahut Alva dengan enggan. Ada benci yang mulai tumbuh di sanubarinya.“Mana anak-anak itu, Bang? Kok belum sampai di terminal! Ini udah malam banget!! Sebentar lagi Bus terakhir malam ini akan berangkat! Aku harus nunggu besok pagi lagi, kalau ini aku telat, Bang!” cerocos Riris sangat tidak sabar.“Dalam perjalanan! Sabar!” jawab Alva singkat. Dia langsung menon-aktifkan ponselnya. Pria itu kini fokus kepada Vita dan Tampan.“Kita ketemu mama kalian, yuk!” bujuknya dengan suara lembut.“Ketemu mama?” ulang Vita tak percaya.“Hem, liat tuh! Itu rumah sakit, kan? Mama kalian ad
“Vita …! Ini kamu, Sayang? Dan itu adek Tampan?” Arfan sontak berdiri, lalu berjalan menyongsong sang keponakan. Tubuh mungil Vita tenggelam di dalam pelukannya.“Iya, Paman. Ini Vita. Itu adek Tampan. Paman di sini? Bibik juga?” Wajah cantik Vita terlihat semringah menoleh ke arah Rosa.Sudah sangat lama dia merindukan keluarga dari pihak ibunya. Setiap dia utarakan keingiannya, sang nenek tak pernah meluluskan. Kali ini, tanpa dia duga-duga mereka bisa bertemu juga. Meskipun wajah sang Bibik tak pernah sedap untuk dia pandang, namun tertutupi dengan limpahan kasih sayang dan perhatian dari sang paman.“Vita mau salim sama Bibik dulu, Paman!” pintanya seraya meloloskan diri dari pelukan Arfan.“Iya, Sayang!” Arfan melepas pelukan, lalu menyambut Tampan yang berada di dalam gendongan Alva. Sementara Vita menyalam dan mencium punggung tangan Rosa.“Bibik! Bibik juga mau ketemu Mama Vita, kan? Mama Vita di dalam, kan? Dokter obatin Mama Vita, kan, Bik?” tanyanya memastikan kalimat yan
“Maaf, Pak! Tolong tunggu di luar saja! Pasien sedang sangat gawat! Jangan ganggu konsentrasi Dokter, ya! Apalagi ini bawa anak-anak segala!” Seorang perawat langsung menghadang saat Alva membuka pintu ruangan. Wajahnya terlihat sangat masam. “Dokter sedang berjuang, keluarga dimohon bantu doa, bukan malah mengganggu!” omelnya.“Bocah-bocah ini adalah anak Bu Elma! Mereka ingin bertemu ibunya dalam keadaan hidup untuk yang terakhir kalinya, harap Suster paham!” tegas Alva menerobos masuk.“Tapi, Pak! Dokter bisa marah dan mengganggu konsentrasi mereka, tolong ….”“Biarkan saja Suster!”Seorang Dokter yang paling sepuh berteriak. Sang perawat mengalah.“Mama …!” Vita melepaskan tangannya dari pegangan Alva, lalu berlari ke arah ranjang pasien.“Ma … ma … mama … mama ….” Tampan ikut melorotkan tubuhnya dari gendongan Alva lalu berlari menyusul kakaknya.“Tuh, kan, mereka pada ngurusuhi!” perawat langsung mengejar hendak menghalangi kedua bocah itu mendekati Elma.“Biarkan saja, Suster!
“Berhenti!” teriak Alva tiba-tiba.Bu Risda, Rosa dan Binsar menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah Alva. Alva berjalan menyusul mereka. Sementara Arfan dan Andre hanya bisa terpana. Belum juga sempat mereka menanyakan di mana tadi Alva menemukan anak-anak Elma. Suasana begitu tegang sedari tadi. Tak ada waktu buat berbincang.“Apa hakmu menghentikan kami, hah!” Binsar yang menyahut pertama kali. Risda terlihat tegang. Rosa mencibir merendahkan Alva.“Maaf, aku baru saja membawa anak-anak dari ruangan Bu Elma. Bu Elma hampir kehilangan nyawanya. Karena sentuhan jemari putri Anda, dan belaian tangan mungil jagoan Anda di pipinya, istri Anda menolak ajakan malaikat maut yang hendak membawanya. Oh, iya satu lagi. Istri anda tidak mau mati mungkin juga karena putra Anda merengek minta nenen di dadannya!” tutur Alva tanpa sara sungkan sedikit pun.“Jaga mulutmu! Sopan kalau bicara!” Binsar meletakkan Tampan dengan kasar lalu mengejar Alva dengan tangan yang sudah mengepal. Secepatnya
“Baik, tapi kita tunggu Elma dipindahkan ke ruang perawatan dulu, ya! Baru kita pulang. Biar Binsar yang berjaga di sini!” Arfan terkecoh juga. Lelah, letih, jiwa dan raga karena semua peristiwa menyangkut Elma hari ini membuatnya memutuskan itu. Tidak ada salahnya dia istirahat beberapa jam di rumah Elma. Besok pagi-pagi sekali akan kembali ke sini, begitu pikirnya.Tak ada yang melihat senyum samar penuh kelegaan di sudut bibir Binsar.“Maaf, keluarga Bu Elma!” Seorang perawat membuka pintu ruangan.“Ya, Suster!” Binsar gegas menghampiri.“Pasien akan kita pindahkan ke ruangan rawat, ya! Maaf, apakah administrasinya tadi sudah diurus, soalnya malam-malam begini bagian administrasi sudah tutup. Kami hanya memastikan saja kepada keluarga?”“Sudah Suster, saya yang mengurusnya tadi! Semua sudah beres. Saya meminta ruang rawat VIP buat Bu Elma.” Andre menengahi.“Iya, Pak, benar. Saya sudah mengeceknya. Saya hanya memastikan kepada keluarga saja. Kami akan memindahkan pasien ke sana! K
“Duduk di sini, Om akan pesankan susu buat kalian!” titah Alva meletakkan Tampan di sebuah kursi. Terpaksa dia menggunakan meja paling sudut, karena semua meja sudah terisi penuh di warung kopi yang tak pernah sepi itu. Pada umumnya pengunjung di warung itu adalah para keluarga pasien yang rawat inap. Itu sebabnya warung itu buka selama dua puluh empat jam.“Om, belikan buat mama juga, ya! Kita bawa masuk ke kamar mama nanti! Boleh, ya, Om! Mama kurus banget tadi, kasian Mama. Vita akan suruh Mama minum susu, biar gendut kayak adek, iya, kan, Om?” celoteh Vita dengan wajah serius. Mata jernihnya tampak penuh permohonan.“Mama belum boleh minum susu dari luar! Semua makanan dan minumannya masih di bawah pengawasan Dokter! Nanti, kalau sudah keluar dari rumah sakit, baru kita belikan mama kalian susu satu gallon, ok?” Alva menjentik lembut hidung gadis kecil itu. Vita menatapnya bingung.“Memangnya boleh beli susu satu gallon, Om?” tanyanya dengan kening berkerut.“Boleh, Om yang