Share

Bab 08

Sontak Dewa melompat ke arahku. "Eh, jangan. Jangan. Ya udah aku beliin, tapi tunggu aku mandi dulu." Dia langsung beranjak ke kamar mandi.

Seketika aku tertawa puas. Pokoknya akan terus kukerjai dia selama masih memperlakukanku tidak baik.

Setelah cukup lama menunggu, Dewa keluar dari kamar mandi. Melihatnya datang, seketika aku bernapas lega karena segera mendapat bala bantuan.

"Nyusahin aja, sih, kamu." Dewa menggerutu sambil menyisir rambutnya.

Aku hanya diam. Dalam hati juga merasa kasihan harus menyuruhnya seperti itu. Tapi, kalau bukan dia siapa lagi yang menolongku?

"Pasti kamu sengaja ngerjain aku, kan?" lanjutnya lagi. Kali ini dia mengambil tas, lalu memasukkan ponsel ke dalamnya.

"Ya, daripada aku laporin Mami kalo kamu di sini sama Nindi? Pilih mana?" 

Dewa sontak menghadap ke arahku. "Dasar, perempuan licik." Dia langsung keluar begitu saja.

"Cepetan! Jangan lama-lama!" Aku berteriak dari dalam. Entah dia mendengar atau tidak karena bersamaan dengan pintu yang tertutup keras.

Selama menunggu Dewa, aku tak berani duduk karena khawatir akan tembus. Selama itu pula aku hanya berdiri. Berkali-kali kulihat jam, tapi Dewa tak kunjung datang.

"Beli di mana dia? Perasaan tadi kulihat di seberang jalan ada Adamart, tapi kenapa dia lama sekali?" omelku sendiri.

Kemudian, kuambil ponsel. Segera kukirim pesan W******p. Namun, setelah menunggu cukup lama pesanku tak kunjung dibaca. Pikiranku seketika teringat Nindi. Apa jangan-jangan dia bertemu dengan wanita itu terlebih dahulu? Kalau sampai benar dugaanku, awas saja.

Karena tak sabar menunggu, segera kuhubungi Dewa. Tapi, dia tak menjawab panggilanku. Aku makin mengomel tidak jelas. Sebenarnya dia ke mana? Apa jangan-jangan dia tersesat dan tak tahu arah jalan pulang? Ah, kenapa tiba-tiba aku jadi ingat lagu itu? 

"Dewa. Kamu di mana? Dengan siapa? Dan berbuat apa?" Ah, kenapa malah jadi ingat lagu itu juga? Kemudian, kutimang-timang ponsel yang berada di tanganku.

Seketika ponselku bergetar. Mataku sigap mengarah pada benda tersebut. Masuk sebuah pesan balasan dari Dewa. Hatiku perlahan tenang. Ternyata dia dalam keadaan baik-baik alias tidak tersesat.

Udah, kamu tenang aja di sana. Jangan ganggu aku dulu.

Membaca pesan itu, aku jadi kesal. Bagaimana bisa dia memintaku tenang sementara keadaanku darurat? Dasar lelaki, tak pernah tahu rasanya ketika wanita mendapat PMS. Menyebalkan.

Cepet pulang. Aku mau pake pembalutnya. 

Balasku. Tak lama pesanku berubah centang berwarna biru. Tampak di sana Dewa sedang mengetik.

TRING! Pesan balasan dari dia pun kembali masuk.

Malas. Aku mau pacaran sama Nindi dulu. Siapa suruh kamu kerjain aku buat beliin pembalut?

Kutarik napas dalam-dalam. Kuatur napas sebaik mungkin. Sabar Furi, sabar. Otakku terus berpikir bagaimana caranya agar Dewa segera kembali membawa pembalut untukku. Seketika aku menjentikkan jari, lalu segera mengiriminya pesan.

Please. Kamu balik dulu anterin pembalutku, habis itu kamu ke sana lagi, deh.

Dewa segera membaca pesanku. Pesan balasan dari dia pun masuk lagi.

Iya, deh. Tunggu bentar. Dasar perempuan ngeselin.

Aku seketika tersenyum puas. Ternyata usahaku tidak sia-sia. Dewa akhirnya menuruti permintaanku. Namun, tak akan kubiarkan dia pergi lagi dengan wanita tak tahu malu itu. Ha-ha.

Tak berselang lama pintu terbuka. Dewa telah datang. Dia langsung melempar plastik berisi pembalut tepat di wajahku. Sepertinya Dewa sangat kesal padaku.

"Makasih, ya," ucapku halus.

"Makasih, makasih. Dasar perempuan ngeselin. Kenapa, sih, kamu ganggu terus rencanaku sama Nindi? Tau gak, gara-gara WA kamu tadi Nindi jadi marah sama aku. Apalagi dia liat pembalut di tasku. Arrrggghhh!" Dewa seketika mengacak rambutnya dengan sangat kasar.

Aku berpura-pura memasang wajah iba. Kemudian, kuhampiri Dewa. "Duh, maafin aku, ya. Lain kali gak aku ulangi lagi, kok." Tapi, dalam hatiku ingin tertawa lepas.

"Dah, sana. Gak usah banyak bacot. Cepetan ganti baju." Dia mendorong badanku menjauhinya.

Aku segera beranjak ke kamar mandi. Setelah itu, aku kembali menghampiri Dewa. Dia tampak fokus memainkan ponsel. Tak berselang lama, terdengar suara ketukan pintu. Gegas aku menuju sumber suara.

"Maaf, Mbak, saya cuma mau menginformasikan kalau dari pihak resort nanti malam akan menyediakan dinner istimewa buat Mbak dan suami." Seorang wanita mengenakan baju seperti kebaya khas Bali.

"Oh, iya, Mbak. Makasih, ya, infonya."

Setelah itu, karyawan resort berlalu. Aku pun segera menutup pintu kembali. Kulihat Dewa memperhatikan ke arahku.

"Siapa tadi? Ada apa?" Dewa menaikkan sedikit kepalanya.

"Oh, itu tadi mbaknya ngasih tau kalau nanti malam ada dinner istimewa buat kita."

Sontak wajah Dewa berubah semringah. Tangannya pun seketika menepuk tempat tidur. "Ah, kesempatan."

Melihatnya seperti itu, aku hanya menggeleng. Kutahu dia sedang menyusun rencana bersama Nindi. Namun, tak akan kubiarkan dua manusia tak tahu diri itu berbahagia di atas penderitaanku. Akan kukawal terus pergerakan mereka.

"Sayang, ntar malam bisa gak kita dinner bareng? Kebetulan dari ressort nyediain dinner." Suara Dewa sedang berbicara di telepon. Siapa lagi kalau bukan Nindi yang dia hubungi.

"Tenang, Sayang. Furi itu gak masalah. Dia sudah setuju dengan permainanku. Kita bersenang-senang dan nikmati liburan ini saja, Sayangku." Kembali Dewa bersuara.

Mendengar ucapannya, hatiku terasa nyeri. Lagi-lagi Dewa sengaja mengumbar kemesraan dengan wanita tak tahu malu itu. Namun, aku berusaha sekuat mungkin bersikap biasa.

***

Acara makan malam pun berlangsung. Ketika sedang menunggu berbagai hidangan berdatangan, tiba-tiba Nindi menghampiri kami. Dewa langsung menyambut wanita itu dengan kecupan. Astaga, benar-benar memalukan.

Di sela-sela kami menikmati makan malam, Dewa dan Nindi tak henti bermesraan. Mereka tampak romantis tanpa sedikit pun menjaga perasaanku. Meski begitu, aku tetap berusaha tenang. Padahal di dalam sini telah berapi-api karena terbakar api cemburu.

Sambil melihat Dewa dan Nindi yang semakin tak beradab itu, aku terus memikirkan cara untuk memberi pelajaran untuk mereka. Kebetulan acara makan kami dilakukan di saung yang berada di tepi sawah. Nuansa remang-remang makin menambah keromantisan. Seketika ide cemerlang melintas di pikiran.

"Dewa, kalian apa gak pengen mengabadikan momen ini? Kalau mau, sini, biar aku yang fotoin kalian. Tuh, di pinggir sawah sana bagus pemandangannya," saranku pada mereka.

Sontak Dewa dan Nindi menatapku. "Iya, Yang. Itu ide bagus." Mereka kembali saling berpandangan. Nindi terlihat sangat semringah.

Kemudian, Nindi menyerahkan ponselnya padaku. Dewa pun segera menggandeng kekasihnya itu menuju tempat yang kumaksud.

"Fotonya yang bagus, ya. Awas kalau hasilnya jelek." Dewa memberiku penekanan.

Seketika kuacungkan jari jempol padanya. "Tenang aja. Satu, dua, tiga." 

CEKREK!

Aku telah mengambil foto mereka. Setelah itu, mereka memintaku mengulangi lagi dengan berbagai pose. Kemudian, aku segera mengambil ponsel dan berpura-pura seolah ada telepon masuk.

"Maaf, bentar dulu. Aku liat telepon dari siapa ini."

"Eh, dari Mami," lanjutku lagi. Sejenak kulihat ke arah Dewa, raut wajahnya tampak kebingungan.

"Iya, Mi. Bentar dulu." Aku berpura-pura seperti sedang berbicara dengan Mami.

Perlahan aku berjalan mendekati Dewa. "Mami mau bicara sama kamu katanya." 

Ketika hendak memberikan ponsel pada Dewa, dengan sengaja kusenggol lengan Nindi hingga membuatnya kehilangan keseimbangan.

"Eh, tolong! Tolong!" Dia berteriak kebingungan.

 Namun, tak ada yang menolongnya karena Dewa sedang sibuk dengan ponselku.

Alhasil wanita tak tahu malu itu terjatuh di sawah. Dalam hati aku sangat puas, rencanaku berjalan mulus.

 "Ya ampun, Mbak Cantik. Kok, bisa sampe nyemplung di sawah?" Aku pura-pura histeris. Saatnya berdrama!

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status