"Hei, dari tadi kau terus melamun sambil tersenyum. Ada apa?"Yuan dengan dress selutut juga pita rambut di atas kepala tersenyum malu, wajahnya memerah. Ia menyembunyikan sesuatu sembari menatap sungai kecil di hadapannya. Kakinya berselonjor, memamerkan sepatu putih yang khas dengan kulitnya yang bersih.Dari semua orang yang berada di desa Bunga, ia adalah satu-satunya yang terlahir dari keluarga berada, sawah dan ladang hampir semua milik keluarganya, tapi beruntung untuk memilih teman, orang tua Yuan tak pernah mengatur dan mengekang terlalu jauh.Yuan, dari namanya saja sudah banyak yang tahu ia memiliki keturunan campuran cina, dari nenek moyangnya. Yang memiliki harta kekayaan lebih banyak dari warga asli pribumi. "Ah kamu ngga asik. Sekarang main rahasia-rahasia ya sama aku," seloroh Arumi mengambil tempat di sisi Yuan. Arumi gadis desa yang terkenal dengan kecantikan aslinya, juga tutur kata lembut, periang, dan lentera di keluarga kecilnya. Ia selalu bisa membuat siapa pu
"Hem, sebaiknya kita mengobrol di dalam."Yuan setuju dan tak keberatan masuk, pintu tetap dibiarkan terbuka. Sebenarnya sedari tadi ia terus menyisir sekeliling mencari keberadaan salah satu putri Budi.Pasti anak itu sudah dewasa, tapi di mana dia sekarang? Yuan tersenyum tipis ketika Budi menyuguhkan segelas air putih, ia ternyata masih ingat jika Yuan tak terlalu menyukai minuman manis."Kau masih terlihat cantik, Yuan.""Aku sudah menua. Memiliki tiga anak yang sudah dewasa pastinya sangat tidak mungkin jika aku masih terlihat muda dan cantik," ujar Yuan panjang lebar.Suasana mendadak canggung, semua larut dalam masa lalu. Dulu dia menolak Yuan yang sempurna demi Arumi. Kecantikan Arumi dan sikap cerianya membius Budi, membuatnya menutup mata dari Yuan si cantik dari keluarga kaya, yang juga memiliki hati yang baik.Tapi saat dia menikah, sikap Yuan menjadi jahat. Jika mengingat itu, membuat Budi merasa bersalah pada Yuan."Bagaimana kabar putriku?""Maaf, Budi. Dia bukan lagi p
Monica terlihat fokus membaca contoh laporan yang dibuat Nathan, suaminya begitu telaten mengajari karena ingin memanfaatkan waktu saat tak ada kesibukan."Perhatikan laporan yang ingin kau tulis, sumbernya, dan juga cara penulisannya. Dalam membuat laporan juga dibutuhkan reset nyata, bukan karangan semata!"Monica mengangguk antusias. Takdir baik berpihak padanya. Dari pelacur menjadi asisten di perusahaan besar tanpa mengenyam pendidikan. Tanpa ijazah, tanpa pengalaman kerja, yang dibutuhkan hanya nekat dan tidak tahu diri. Eh.Baru saja Nathan ingin menjelaskan lebih lanjut, ponselnya berdering. Nama secret tertera di layar, membuat Monica sedikit bisa melihat dengan sudut matanya yang lincah. Rupanya Nathan bukan pria setia, mengapa ada nomor dengan nama seperti itu?Nathan berusaha abai, tapi telepon itu terasa mengganggu, membuat Monica mau tak mau angkat suara. Ia muak mendengar suara ponsel yang berulang, membuat kepalanya pening."Angkat! Siapa tahu penting," tutur Monica.
William mendorong Maira hingga tersungkur jatuh, mengabaikan tangisan wanita itu yang sedari tadi memohon maaf pada William sepanjang koridor rumah sakit. William menatap penuh luka, tak habis pikir dengan kebohongan besar yang Maira ciptakan selama bertahun-tahun. Maira menangis dan meraih kedua kaki suaminya, respons pria itu hanya diam membisu, membuang pandang ke arah lain. Awalnya ia mengira jika benar surat pemeriksaan yang ia dapat adalah salah, tapi setelah mengecek ulang hari ini bersama Maira, ia malah dibuat semakin kecewa. "Mengapa kau membohongiku?" tanya William miris. "Maafkan aku, William. Aku janji akan kembali melakukan tugasku sebagai istrimu. Kita memulai lembaran baru, dan aku akan bersedia mengandung anakmu." William menepis dan tak acuh, kekecewaannya sudah mencapai batas, rasanya sangat sulit di percaya, ia merasa benar-benar dikhianati. Mustahil ada wanita yang tak melakukan hubungan badan selama bertahun-tahun, itu artinya selama ini istrinya masih melak
"Nyonya baik-baik saja. Kondisinya semakin stabil, tapi entah apa yang membuat perkembangannya melambat sampai membuatnya belum sadarkan diri, Tuan."Dokter itu mendekati Nathan setelah melakukan pemeriksaan pada Arini. Wanita itu khawatir kebohongannya akan tercium karena dokter sialan ini. Nathan menatap Arini yang masih memejamkan mata."Tangan dan kakinya juga sudah menghangat, sirkulasi darah lancar, kornea matanya juga sudah sehat. Harusnya nyonya sudah sadar.""Lalu, kenapa sampai sekarang dia belum sadar sama sekali? Responnya hari ini hanya kejang-kejang secara mendadak, sebelumnya dia hanya diam."Dokter itu juga bingung."Mungkin kita perlu menunggu beberapa Minggu bahkan bulan agar benar-benar pulih. Saya juga tidak sepenuhnya benar, bisa saja nyonya juga sedang berusaha untuk siuman. Perkembangannya semakin baik juga karena semangat yang timbul di dalam diri, perbanyak doa dan mintalah mukjizat Tuhan untuk kesembuhan nyonya.""Terima kasih, Dok."Setelah berbincang singka
"Kau senang karena diperebutkan, hah?!" Monica melipat kedua tangan di dada, emosinya tak stabil dengan wajah marah yang terlihat jelas. Beruntung tadi ada yang berani memisahkan dan menarik Maira, sementara Nathan juga buru-buru memeluk dan menggendong Monica kembali ke ruangan. Rapat juga langsung dibatalkan begitu saja, Nathan tak ingin kliennya merasa terganggu, lagi pula ia tak terlalu merasa ini penting, menenangkan Monica jauh lebih penting saat ini. Ia duduk tanpa kata di hadapan istrinya. Sudah siap menerima umpatan bahkan tamparan yang akan dilayangkan istri sah, biasanya juga seperti itu 'kan?"Sudah berapa lama kalian menjalin hubungan menjijikkan ini?" "Monica, sudahlah! Tak perlu membahas ini. Lagi pula kita hanya istri di atas kertas 'kan?"Ucapan Nathan membuat Monica berang."Monica memang hanya istri di atas kertas, tapi jika kau memang mencintai Arini, harusnya kau berpikir seribu kali sebelum berzina di sini."Monica menatap tajam ke arah Natjan, pria itu seper
"Pergi sana, sialan!"Pintu ditutup kasar dari dalam, Nathan yang terusir hanya bisa menatap sedih. Bisa-bisanya ia berani mengecup bibir Monica. Jika Arini pasti akan luluh, tapi ini Monica, si keras kepala dan tak bisa diatur. Sekali pun ia adalah suaminya, tapi tak membuat Monica bisa diatur sesuai keinginannya."Beraninya dia merayuku. Lelaki kotor itu berpikir dangkal, apa dia pikir semua perempuan akan luluh padanya? Aneh!"Monica terus saja mengumpat, kemudian mengganti bajunya. Perut yang lapar minta diisi. Tapi ia abaikan sebentar dan bersiap kembali ke apartemennya, sudah berapa hari ini Irish terkurung di sana tanpa makan dan minum, khawatir apartemennya akan berbau busuk jika Irish benar-benar mati konyol di sana.Ia yakin Nathan pasti sibuk di kamar Arini, entah apa rencana perempuan bodoh itu nanti Monica tak peduli. Kakinya melangkah masuk, tiba-tiba ia dikejutkan dengan jendela depan rumah yang sudah pecah, rumahnya berdebu."Siapa yang sudah berani mengacau di sini?"
"Apa ini?"Sepagi ini Monica sudah memberikan surat pernyataan pengunduran diri. Rasanya ia jijik melihat wajah Nathan. Jika hanya karena perselingkuhannya dengan Maira tidak masalah, tapi ini karena ucapannya yang sudah keterlaluan. Rasanya jika terus berpapasan dengan Nathan, hanya membuatnya semakin memupuk benci. Ia tahu misinya untuk membantu Arini, tapi ia rasa cukup, dan Monica harus pergi."Apa alasanmu?"Monica tak menjawab dan langsung keluar dari ruangannya. Ia pergi tanpa membawa banyak barang, hanya ponsel, uang, dan juga kartu kredit yang penting dibawa ke mana-mana.Sepanjang jalan Monica hanya menangis. Ia hanya mantan pelacur, tapi tak berarti dirinya dianggap kotor terus menerus saat dirinya sudah berusaha memperbaiki diri."Diar! Apa yang kau lakukan? Anak sialan! Pembunuh, tidak berguna. Buang mimpimu dan pergi ke ladang! Jangan menyusahkanku dan hanya menumpang makan di sini."Suara makian Budi terus saja terngiang di kepala. Membuatnya semakin mempercepat laju k
Beberapa hari di rumah sakit membuat Monica jenuh, Nathan langsung mengambil keputusan untuk membawa Monica pulang sebelum istrinya itu berubah pikiran. Di rumah Monica bersikap layaknya orang asing, tak ingin berbicara, dan langsung masuk ke dalam kamar, mungkin saja ia lelah, pikirnya. Sementara Nathan seperti biasa melepas rindunya dengan mengunjungi kamar Arini. "Sayang, bagaimana kabarmu hari ini? Oh iya, aku punya kabar gembira, besok dokter akan kembali untuk mengecek perkembanganmu, ku harap semua berjalan lancar dan kau segera pulih." Arini hanya mendengarkan dan mulutnya yang sering terkatup rapat. Entah, setelah berpikir panjang, ia memilih menyerah dengan suaminya, membuang cibta Nathan yang sepertinya bercabang. Arini sudah lelah, ucapan Monica ada benarnya, ia yang terlalu bodoh karena mempertahankan Nathan. Jelas pria itu belum bisa menentukan pilihan, antara dia, Monica, atau Maira. Sebaiknya ia pergi, ada Monica yang akan membantunya pergi dari sini untuk mencar
Matanya terjaga, ruangan serba putih lagi dan bau khas rumah sakit yang membosankan, mengapa ia selalu berakhir di tempat seperti ini. Monica membuang napas berat, perban di kepala sedikit mengganggu. Ia teringat kembali mimpinya, mungkin jika ia ikut masuk bersama Arumi, dirinya pasti berakhir di dalam peti mati, entah. Derap kaki terdengar mendekat, ekor matanya menangkap keberadaan Nathan. Refleks ia berbaring membelakangi. Mengapa dunia sesempit ini, terus saja mempertemukan dirinya dengan orang yang sebenarnya tak ingin ia temui. "Maaf." Satu kata tak membuat Monica bergeming, bahkan sekedar berbicara saja ia malas. Lelah rasanya jika akan berakhir dengan perdebatan. Nathan masih senantiasa berdiri, sedikit menjaga jarak sebelum Monica melemparinya dengan semua benda yang ada di atas nakas. "Mungkin maafku tak penting. Tapi, keberadaanmu penting bagiku, Monica. Kau sejauh ini sedikit membuatku sadar akan satu hal," lanjutnya kemudian. Monica sengaja tak menghubris, toh
"Diar!" Monica terjaga, sekelilingnya hanya hutan luas, banyak kupu-kupu beterbangan dengan riang, sekawanan burung juga terbang bahkan salah satunya hinggap di kepala Monica, dan membuat wanita itu terjaga. "Diar, sini!" Monica menyapu sekeliling, tak ada siapa pun. Seingatnya ia berada di jalanan dan mengalami kecelakaan, tapi sekarang malah menatap bingung juga keheranan. "Di mana ini?" lirihnya hampir tak terdengar. Sepasang kaki melangkah, sementara suara yang memanggil dirinya tadi berusaha ia abaikan. Dari mana ia tahu nama itu. "Jangan takut, Diar! Ibu di sini." Mendengar itu Monica jadi tertarik, ia menoleh dan mencari sumber suara, tapi suara itu mendadak berhenti. "Apa aku sudah mati?" "Belum, anakku. Kau hanya tersedat, kemari, Sayang!" "Di mana kau?" "Ikutilah burung itu!" Monica menoleh ke arah kawanan burung, meski ragu tak membuatnya urung untuk tak mengekori. Monica terus melewati banyak pohon besar, rumput dan ranting berduri sepanjang jalan ia lewati.
"Apa ini?"Sepagi ini Monica sudah memberikan surat pernyataan pengunduran diri. Rasanya ia jijik melihat wajah Nathan. Jika hanya karena perselingkuhannya dengan Maira tidak masalah, tapi ini karena ucapannya yang sudah keterlaluan. Rasanya jika terus berpapasan dengan Nathan, hanya membuatnya semakin memupuk benci. Ia tahu misinya untuk membantu Arini, tapi ia rasa cukup, dan Monica harus pergi."Apa alasanmu?"Monica tak menjawab dan langsung keluar dari ruangannya. Ia pergi tanpa membawa banyak barang, hanya ponsel, uang, dan juga kartu kredit yang penting dibawa ke mana-mana.Sepanjang jalan Monica hanya menangis. Ia hanya mantan pelacur, tapi tak berarti dirinya dianggap kotor terus menerus saat dirinya sudah berusaha memperbaiki diri."Diar! Apa yang kau lakukan? Anak sialan! Pembunuh, tidak berguna. Buang mimpimu dan pergi ke ladang! Jangan menyusahkanku dan hanya menumpang makan di sini."Suara makian Budi terus saja terngiang di kepala. Membuatnya semakin mempercepat laju k
"Pergi sana, sialan!"Pintu ditutup kasar dari dalam, Nathan yang terusir hanya bisa menatap sedih. Bisa-bisanya ia berani mengecup bibir Monica. Jika Arini pasti akan luluh, tapi ini Monica, si keras kepala dan tak bisa diatur. Sekali pun ia adalah suaminya, tapi tak membuat Monica bisa diatur sesuai keinginannya."Beraninya dia merayuku. Lelaki kotor itu berpikir dangkal, apa dia pikir semua perempuan akan luluh padanya? Aneh!"Monica terus saja mengumpat, kemudian mengganti bajunya. Perut yang lapar minta diisi. Tapi ia abaikan sebentar dan bersiap kembali ke apartemennya, sudah berapa hari ini Irish terkurung di sana tanpa makan dan minum, khawatir apartemennya akan berbau busuk jika Irish benar-benar mati konyol di sana.Ia yakin Nathan pasti sibuk di kamar Arini, entah apa rencana perempuan bodoh itu nanti Monica tak peduli. Kakinya melangkah masuk, tiba-tiba ia dikejutkan dengan jendela depan rumah yang sudah pecah, rumahnya berdebu."Siapa yang sudah berani mengacau di sini?"
"Kau senang karena diperebutkan, hah?!" Monica melipat kedua tangan di dada, emosinya tak stabil dengan wajah marah yang terlihat jelas. Beruntung tadi ada yang berani memisahkan dan menarik Maira, sementara Nathan juga buru-buru memeluk dan menggendong Monica kembali ke ruangan. Rapat juga langsung dibatalkan begitu saja, Nathan tak ingin kliennya merasa terganggu, lagi pula ia tak terlalu merasa ini penting, menenangkan Monica jauh lebih penting saat ini. Ia duduk tanpa kata di hadapan istrinya. Sudah siap menerima umpatan bahkan tamparan yang akan dilayangkan istri sah, biasanya juga seperti itu 'kan?"Sudah berapa lama kalian menjalin hubungan menjijikkan ini?" "Monica, sudahlah! Tak perlu membahas ini. Lagi pula kita hanya istri di atas kertas 'kan?"Ucapan Nathan membuat Monica berang."Monica memang hanya istri di atas kertas, tapi jika kau memang mencintai Arini, harusnya kau berpikir seribu kali sebelum berzina di sini."Monica menatap tajam ke arah Natjan, pria itu seper
"Nyonya baik-baik saja. Kondisinya semakin stabil, tapi entah apa yang membuat perkembangannya melambat sampai membuatnya belum sadarkan diri, Tuan."Dokter itu mendekati Nathan setelah melakukan pemeriksaan pada Arini. Wanita itu khawatir kebohongannya akan tercium karena dokter sialan ini. Nathan menatap Arini yang masih memejamkan mata."Tangan dan kakinya juga sudah menghangat, sirkulasi darah lancar, kornea matanya juga sudah sehat. Harusnya nyonya sudah sadar.""Lalu, kenapa sampai sekarang dia belum sadar sama sekali? Responnya hari ini hanya kejang-kejang secara mendadak, sebelumnya dia hanya diam."Dokter itu juga bingung."Mungkin kita perlu menunggu beberapa Minggu bahkan bulan agar benar-benar pulih. Saya juga tidak sepenuhnya benar, bisa saja nyonya juga sedang berusaha untuk siuman. Perkembangannya semakin baik juga karena semangat yang timbul di dalam diri, perbanyak doa dan mintalah mukjizat Tuhan untuk kesembuhan nyonya.""Terima kasih, Dok."Setelah berbincang singka
William mendorong Maira hingga tersungkur jatuh, mengabaikan tangisan wanita itu yang sedari tadi memohon maaf pada William sepanjang koridor rumah sakit. William menatap penuh luka, tak habis pikir dengan kebohongan besar yang Maira ciptakan selama bertahun-tahun. Maira menangis dan meraih kedua kaki suaminya, respons pria itu hanya diam membisu, membuang pandang ke arah lain. Awalnya ia mengira jika benar surat pemeriksaan yang ia dapat adalah salah, tapi setelah mengecek ulang hari ini bersama Maira, ia malah dibuat semakin kecewa. "Mengapa kau membohongiku?" tanya William miris. "Maafkan aku, William. Aku janji akan kembali melakukan tugasku sebagai istrimu. Kita memulai lembaran baru, dan aku akan bersedia mengandung anakmu." William menepis dan tak acuh, kekecewaannya sudah mencapai batas, rasanya sangat sulit di percaya, ia merasa benar-benar dikhianati. Mustahil ada wanita yang tak melakukan hubungan badan selama bertahun-tahun, itu artinya selama ini istrinya masih melak
Monica terlihat fokus membaca contoh laporan yang dibuat Nathan, suaminya begitu telaten mengajari karena ingin memanfaatkan waktu saat tak ada kesibukan."Perhatikan laporan yang ingin kau tulis, sumbernya, dan juga cara penulisannya. Dalam membuat laporan juga dibutuhkan reset nyata, bukan karangan semata!"Monica mengangguk antusias. Takdir baik berpihak padanya. Dari pelacur menjadi asisten di perusahaan besar tanpa mengenyam pendidikan. Tanpa ijazah, tanpa pengalaman kerja, yang dibutuhkan hanya nekat dan tidak tahu diri. Eh.Baru saja Nathan ingin menjelaskan lebih lanjut, ponselnya berdering. Nama secret tertera di layar, membuat Monica sedikit bisa melihat dengan sudut matanya yang lincah. Rupanya Nathan bukan pria setia, mengapa ada nomor dengan nama seperti itu?Nathan berusaha abai, tapi telepon itu terasa mengganggu, membuat Monica mau tak mau angkat suara. Ia muak mendengar suara ponsel yang berulang, membuat kepalanya pening."Angkat! Siapa tahu penting," tutur Monica.