-Kinerja dan pretasi bukan diraih dengan kerja keras dan ambisi. Melainkan dari rasa cinta dan memiliki profesi dengan sepenuh hati.- Audrey
Siapa yang tidak seperti sceleton in the closet ketika netranya dihunus tajam oleh atasan yang pernah menegurnya terang-terangan. Apa lagi aku pernah ditegur karena membicarakan pribadinya bersama Anjar, teman satu kubikelku. Kentara sekali jika Pak Asmen memiliki sisi menarik yang layak diperbincangkan namun sayangnya aku lupa kondisi.
Pak Asmen itu menarik dilihat dari mana saja. Tuhan begitu baik dengan menganugerahinya raga yang sempurna, wajah yang terukir indah bila disandingkan dengan sang surya, dan karir secemerlang bintang bertaburan kala musim semi. Ia seperti memiliki topik kehidupan yang tidak ada habisnya untuk dikupas termasuk saat ia diam sekalipun.
Konon kata orang, atasan yang masih muda, tampan, dambaan staf perempuan, memiliki sifat sok jual mahal yang teramat. Belum lagi sikap dinginnya yang menambah rasa penasaran makhluk hawa super kepo sepertiku.
"Lo habis ada masalah sama Pak Asmen Drey?" Tanya Mas Fajar saat kami menyiapkan hal hal yang perlu dibawa ke lokasi proyek.
Aku mengangguk dengan wajah muram. "I made little mistake."
"Apa?"
Aku menghentikan aktivitas memasukkan dokumen ke ransel lalu menatap Mas Fajar. "Talking about him quietly and then.... caught."
Mas Fajar melotot tidak percaya. "Untung lo masih selamat. Lain kali jangan diulangi. Paham?"
Aku mengangguk seraya menerima helm dan masker standar keamanan. Itu adalah barang-barang wajib yang harus dipakai siapapun ketika berkunjung ke lokasi proyek.
Thank you very much for Mas Fajar who has been so kind in guiding me so far.
"Kita makan siang bentar yuk? Pak Asmen biasanya baru telfon setengah jam lagi."
"Oh.. Kita dibarengin mas?" Tanyaku saat kami berjalan ke kantin kantor.
"Iya. Pak Asmen itu sebenarnya enak banget orangnya. Cuma ketutup sama diem dan angkuhnya aja."
Mendengar ucapan Mas Fajar kentara sekali jika ia begitu mengenal Pak Asmen luar dalam. Mungkin mereka sering terlibat proyek kerjasama seperti ini.
Baiknya lagi, dia sebagai seorang atasan bersedia memberi tumpangan gratis untuk bawahan seperti kami, once in the blue moon. Plus tidak membuat kami menunggu lama di lobby.
Satu hal baik tentangnya yang jarang dibicarakan rekan-rekan kantor adalah sisi baiknya pada bawahan. Beruntung kemarin dia hanya menegur kesalahanku saat membicarakannya, bukan langsung menciwir bajuku ke ruang HRD.
Semenit kemudian mobil sedan hitam mengkilat Pak Asmen berhenti di depan kami dengan plat cantik 710 KIY.
'Wow.... Young, smart, and moneyable.'
He is really the blue-eyed man.
Wajar jika ia digilai beberapa staf perempuan kantor karena mulai dari wajah, penampilan, bahkan isi dompetnya cukup prestisius. Siapa yang tidak menyukai laki-laki tampan dan mapan seperti dirinya. Apapun bisa diwujudkan olehnya, asal bukan meminta jet pribadi.
Aku beralih menikmati interior mobil Pak Asmen yang didominasi warna abu-abu. Hampir tujuh puluh persen interiornya telah dimodifikasi.
Dia memiliki gaji yang lumayan besar, wajar jika mobilnya begitu terawat. Wangi, bersih, sejuk, dan empuk. Jika sudah begini aku pasti betah berlama-lama di dalam mobilnya.
Dari tempatku duduk, siluet wajahnya tetap saja....... tampan. Astaga!!
Aku duduk di bangku belakang sedang Mas Fajar duduk disamping Pak Asmen. Karena mereka sudah lama bekerja sama, Mas Fajar menanggapi obrolan itu dengan enteng tapi sopan. Sedang aku hanya menjadi pendengar setia.
Toh obrolan yang mereka bahas hanya seputar dunia pekerjaan, pekerjaan, dan pekerjaan. Jiwa muda pekerja keras yang menempel dalam jati dirinya terpancar dari gaya bicara dan segala yang menempel padanya.
Setelah satu jam perjalanan, kami sampai di lokasi proyek. Pak Asmen keluar mobil seraya memakai topi hitam Givenchy.
Yang kutahu harga topi itu tidaklah murah. Topi hitam yang kontras dengan warna kuning kulit wajahnya. Lalu ia menenteng ransel dan drafting tube dari bagasi.
'What the hell this boss. He is so...sexy.'
Dengan terampil tangan Pak Asmen membuka kertas kalkir yang dikeluarkan dari drafting tube lalu berdiskusi dengan Mas Fajar.
Tunggu!
'Apa dia seorang arsitek?'
Bagaimana bisa sebagai bawahan, aku tidak mengetahui job desk Pak Asmen?
Tidak berapa lama, wakil customer datang lalu Pak Asmen menjabat tangannya dengan senyum ramah.
Satu kata, tampan! Kalau mau senyum.
Ia mulai menjelaskan bestek dan runtutannya. Kemudian giliranku menjelaskan laporan purchasing dengan terbata-bata karena ini pertama kalinya berhadapan dengan customer. Untung Mas Fajar berbelas kasih menolong saat ada pertanyaan yang tidak bisa kujawab.
Setelah selesai, kami bertiga duduk di kursi kayu panjang yang ada di gubuk darurat. Dengan Pak Asmen melepas topi mahal dan mengibas-ngibaskannya ke wajah.
Aku yang tadi sempat membeli dua botol air mineral di kantin kantor pun berinisiatif menawarkan satu botol untuknya.
"Minum pak?" Aku menyodorkannya.
Pak Asmen menggeleng. "Tidak. Terimakasih."
Tiba-tiba perwakilan customer memintaku menilik kembali laporan keuangan. Kami berdiskusi selama setengah jam di bawah pancaran terik matahari.
Setelah berpanas ria hingga keringat terasa mengucur di punggung, dengan langkah cepat aku keluar lokasi proyek untuk membeli air mineral yang baru.
Sekembalinya ke gubuk darurat, Pak Asmen dan Mas Fajar tidak berada ditempat. Air mineral yang kutinggalkan tadi pun masih utuh di tempat.
This is the real start of my stupidity.
Saat Pak Asmen menangkap keberadaanku ada kilat amarah dimatanya. Mata elang itu seakan siap mengulitiku saat ini juga.
'Ya Tuhan, apa yang harus gue lakuin?'
-Menyimpan perasaan itu indah. Karena penuh misteri dan menduga. Sekali dia tersampaikan tidak ada lagi menyimpan.- Tere Liye Siapa yang tidak ciut nyali saat dihadapkan pada tatapan elang nan tajam atasan diikuti komplain customer yang bertubi-tubi? Apalagi aku masih really early new bird di perusahaan ini. Kami adalah team work. Sudah seharusnya aku selalu ada untuk timku apapun acaranya. Entah sedang senang atau sedang susah sekalipun. Berat sama dipikul, ringan sama di jinjing. Namun, ketidakhadiranku beberapa menit yang lalu karena membeli air mineral tanpa seijin Pak Asmen sebagai team leader adalah kesalahan fatal. Ya! Kesalahan fatal! Aku belum mengenal karakter asli Pak Asmen lalu berani memutuskan langkah sepele sendirian tanpa persetujuan. Penilaian awal dirinya yang kusangka atasan baik tapi tertutup oleh sifat dingin dan tegas, kini berubah drastis bak kompeni Belanda tanpa ampun saat menghukum cambuk para tawanan pribumi. Tatapan tajamnya yang semakin tajam saat
-Tidak ada yang lebih sempurna dari besarnya hati untuk memaafkan. Dan tidak ada yang lebih buruk dari membiarkan rasa bersalah itu terus mencengkeram hati.- Audrey Tidak ada istilah 'revisi' itu menyenangkan kecuali sudah mencintai profesi ini sepenuh hati. Bahkan aku tidak mengeluh sama sekali walau harus merunut kesalahan penulisan dan penghitungan material karena data bestek dari Pak Asmen salah. Padahal yang harus kurevisi bukanlah satu atau dua lembar melainkan berlembar-lembar, bagai mencari jarum yang terselip di baju. I get a real kick out of something. Pelajaran berharaga yang bisa kupetik karena kejadian customer Pradana House Group yang marah-marah adalah pentingnya bestek ketika akan mengerjakan proyek pembangunan. Tidak hanya surveyor lapangan, tapi aku juga membutuhkannya untuk mengerjakan laporan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan yang ada di gambar. Bestek adalah kunci pokok atau tolak ukur menentukan scope of work dan rencana anggaran biaya proyek. Dengan ad
-Keputusan sikap yang kuambil hari ini adalah takdir yang akan menentukan jalan hidupku di masa akan datang.- Audrey Gaji pertamaku telah terkirim empat hari yang lalu. Masih tersimpan rapi di dalam ATM dan kugunakan seefektif mungkin untuk keperluan sehari-hari. "Seneng nih gaji pertama cair." Celetuk Anjar. "Banget!" "Baru kali ini ya lo pegang duit segitu banyaknya Drey?" Aku mengangguk dengan wajah berbinar. "Ini masih trainee ya? Apa lagi kalau udah tetap kayak mas Fajar, lo pasti lompat kegirangan sampe nembus plafon." Mas Fajar pura-pura membetulkan kerah kemejanya. "Siapa dulu. Fajar Anggara Syahputra." "Kalau Mas Fajar sih jangan ditanya lagi. Udah jago." Kuberi jari jempol. "Asal nggak ada yang nangis di lift terus lupa lantai tempat kerja." Beberapa hari yang lalu sepulang meninjau lokasi proyek Pradana House bersama Mas Fajar dan Pak Asmen, aku sempat menangis di lobby mendengar ucapan Mas Fajar. Tentang sikap Pak Asmen yang dingin dan bisa saja dengan mudah memb
-Perempuan pintar adalah perempuan yang tahu bagaimana mencintai laki laki. Tapi perempuan yang pernah terluka tahu siapa laki laki yang pantas dicintai.- Audrey Long weekend is coming. Bagi seorang pekerja dan pelajar, mendapat libur panjang seperti mendapat keberuntungan. Targer menghabiskan waktu di luar kos adalah hal mengasyikkan apalagi menghabiskan uang. Mall, tujuan utamaku. Hidup di kota besar, hiburan yang tersaji hanyalah pusat perbelanjaan modern yang menawarkan beragam jenis kebutuhan. Pakaian, makanan, alat rumah tangga, hingga hobi seperti menonton film. Tanpa banyak persiapan aku langsung menggeret Amelia, sahabat terbaikku di kos, untuk menemaniku ke salon dan berbelanja baju kerja keluaran terbaru. Using my first salary. "Ini bagus nggak Mel?" Aku memilih setelan kerja berwarna biru matang di salah satu gerai yang menjual pakaian formal. "Ck...old style. Lo persis aunty aunty tahu nggak." Aku menonyor kepala Amelia. "Pilihin kalau gitu." Aku kembali menyu
-Apa yang menurutku baik, belum tentu menjadi yang terbaik. Membiarkan ia terlepas adalah jalan terbaik.- Audrey "Debaran?" "Atasan lo kan ganteng Drey." Aku menggeleng. "Dia bos killer." "Gue aja kesengsem loh Drey." Andai Amelia tahu bagaimana sadisnya Pak Asmen pada bawahan, pasti ia akan menarik ucapannya kembali untuk mengaguminya. Aku juga heran mengapa rekan-rekan kerja di kantor begitu mengidolakan dirinya? Apakah mereka tidak pernah mendapat teguran atau lirikan sadis darinya? "Lo udah ada cowok masih aja ngelirik yang lain." "Habis dia keren sih. Tipe idaman banget loh." Memilih mengabaikan ucapan Amelia, kami berdua kembali berjalan menuju halaman mall sambil menunggu datangnya taksi online. Lalu duduk di kursi yang berada di bawah pohon ketapang rimbun. Pohon ini mengingatkanku pada bestek karya arsitek idolaku, Paralio. "A picture speaks a thousand words." Gumamku sambil menengadahkan kepala. "Ngomong apaan?" Aku menggeleng dengan menatap rimbunnya pohon ini. "
-Menghindar itu lebih baik dari pada pura-pura tidak melihat.- Audrey Pagi cerah, aku melenggang masuk lantai ground kantor menggunakan setelan kerja terbaru. Rasa percaya diri ini bertambah ketika penampilanku tidak jauh berbeda dengan staf perempuan lain yang lebih senior. Setidaknya, jika ingin memiliki banyak teman, bukankah harus satu frekuensi dengan yang lain? Bahkan demi menjaga penampilanku di awal bulan ini agar tetap terjaga, hari ini aku memilih memesan taksi online. Aku masih muda, seksi, single, dan apa salahnya jika mendapat perhatian dan pujian dari lawan jenis. "Pagi semua." Sapa Pak Rudy ramah. Beliau berjalan bersisian dengan Pak Asmen, sang anak emas. Mereka bak anak kembar beda indukan. Yang satu sudah paruh baya dengan perut membuncit. Yang satu masih muda dengan tubuh seksi. "Pagi pak." Jawab kami serentak seperti memberi hormat pada pak guru. It's been five months, aku jarang melihat Pak Asmen sejak proyek perumahan Pradana Group berakhir. Aku lebih ba
-Cinta itu butuh debaran dan getaran, walau hanya dengan melihat bayangannya saja.- Audrey Menikmati waktu luang dengan menonton film di bioskop, sendirian. Benar benar luang setelah seminggu yang lalu aku sempat sedih hingga terpuruk. Bahkan Amelia tidak tahu bagaimana lagi caranya membujukku agar bangkit. Itu semua karena..... Kontrakku tidak diperpanjang. Biasanya di jam segini aku sibuk-sibuknya mengerjakan laporan keuangan dan melakukan kroscek dengan bagian sipil. Namun tidak dengan hari ini atau esok. Aku sangat mencintai pekerjaan sebagai accounting payable di Antara Karya. Setiap hari aku berusaha memperbaiki kinerja agar tidak mendapat teguran dari atasan. Tapi, nyatanya usahaku dipandang sebelah mata. Bahkan rekaman kejadian pemecatan secara halus itu pun, masih membekas kuat di otakku. Aku urung masuk ke ruangan Bu Fatma karena beliau sedang berbicara serius dengan Pak Asmen. Untuk pertama kalinya selama enam bulan bekerja, aku menemukan pria itu disana. Tepat dihar
-Hanya karena dia menunjukkan kemarahannya padaku, bukan berarti aku harus membalasnya dengan cara yang sama.- Audrey Lunch is my favorite part of the work day. Aku, Anjar, dan beberapa staf divisi keuangan yang lain menuju aula untuk menyambut manajer SHE yang baru. Bisik-bisik tentang sosoknya sudah beredar luas ketika aku off job selama seminggu. Bayanganku dia adalah pria berumur lima puluh tahun, gendut, beruban, keriput, dan angkuh. Karena begitulah biasanya tampang para direksi disini. Aula kantor Antara Karya tidak bisa dikatakan sederhana, karena interiornya dihias dengan well-balanced furniture. Membuat siapapun yang berada di aula merasa takjub dan nyaman. Furnitur ergonomis, pencahayaan strategis, dan tempat duduk nyaman. Meja meeting memanjang, boss chair berkelas untuk para manajer. Sedang para staff duduk i sliding seat. Fasilitas yang jauh berbeda. Old habits always die hard. Sudah rahasia umum jika kantor Antara Karya sangat menjunjung tinggi batas antara