Share

B4. Target Sasaran

"Sial!" umpat Sarah.

Gadis dengan perawakan tinggi kurang lebih 160 cm. Rambut sebahu, berwajah jutek itu terlihat kesal saat mengingat kejadian malam itu.

"Kau kenapa mengumpat seperti itu," timpal Jehan.

"Jika dia tidak ditolong oleh pemuda itu. Pasti aku sudah memberi dia pelajaran," sahut Sarah.

"Tenang saja. Itu dia baru saja masuk gerbang sekolah," tunjuk Freya pada dua gadis yang berjalan bersamaan masuk gerbang sekolah.

Sarah menatap sengit pada salah satu gadis itu. Bagaimana tidak? Sudah hampir satu minggu dia mulai membangkang. Kedua tangan Sarah mengepal erat.

"Lihat saja, Del. Hari ini aku pastikan kau tidak akan nyaman berada di sekolahan."

"Apa yang akan kau lakukan pada dia?" tunjuk Freya mengangkat tangannya ke depan.

"Kau lihat saja nanti!" Sarah membalikkan tubuhnya.

"Auw!" pekik Freya saat tubuh Sarah menabraknya. "Kenapa dia?"

Jehan menahan tangan Freya saat gadis itu hendak mengejar Sarah. Jehan menggelengkan kepalanya.

"Jangan sekarang, nanti kau akan kena imbasnya. Kau lihat sendiri suasana hatinya sedang tidak baik," ujar Jehan.

Freya dan Jehan kembali memperhatikan dua sosok gadis yang sedang berjalan beriringan.

Saat Kayana hendak menapakkan kakinya pada anak tangga pertama. Seorang pemuda memanggilnya dan itu membuat Kayana mengurungkan niatnya untuk menaiki anak tangga.

"Del, aku akan ke sana dulu. Apa kau ingin ikut?" ajak Kayana.

"Tidak. Aku akan langsung ke kelas saja," jawab Adelia lesu.

Kayana menganggukkan kepalanya. Saat Kayana melangkah mendekati Hendy. Tanpa sepengetahuan Kayana, Adelia justru memutar balikkan langkahnya. Gadis itu memutuskan untuk pergi ke toilet.

Adelia menatap dirinya sendiri pada cermin yang ada di depannya. Entah apa yang dilihat Adel pada bayangan dirinya yang terpantul pada kaca itu. Lantas dia mulai menggelengkan kepalanya.

"Ti-tidak!" Adel menutup kedua telinganya. Seolah-olah dia baru saja mendengarkan sesuatu yang membuat telinganya terganggu.

Adel jongkok sambil terus menutupi kedua telinganya. Dia terlihat putus asa, tertekan, dan khawatir yang berlebihan. Dia duduk dengan menekuk kedua kakinya dan menundukkan kepalanya di antara lututnya. Stres dan Frustrasi. Keadaan Adelia benar-benar memprihatinkan.

Sementara itu Kayana sudah menyelesaikan urusannya dengan Hendy. Dia pun bergegas menaiki anak tangga menuju kelasnya. Namun, setelah sampai di dalam kelas Kayana tidak menemukan Adelia.

Kayana mendengkus dan berkacak pinggang. "Di mana dia?" ucapnya lirih. "Bukanlah dia tadi bilang akan ke kelas, tapi——jangan-jangan." Kayana berlari kembali menuruni anak tangga.

Saat menuruni anak tangga, Kayana memang tidak begitu memperhatikan keadaan sekitar. Hingga dia tak sengaja menabrak seseorang tepat di anak tangga terakhir.

"Adelia!" pekik Kayana. Gadis itu langsung memegang kedua bahu Adelia. "Kau dari mana? Kau tidak apa-apa kan?" Kayana terlihat khawatir dan memperhatikan wajah Adelia.

"Aku tidak apa-apa, kok," sahut Adelia dengan nada lemas dan tidak semangat.

"Kau habis dari mana? Katanya kau akan  langsung ke kelas, tapi———"

"Aku ... aku dari toilet," sela Adelia tidak ingin memperpanjang alasan.

"Toilet?" Kayana mencerna kata-kata Adelia dan mengerutkan alisnya. "Apa kau baru menangis?" imbuh Kayana.

"Ti-tidak," balas Adelia. Gadis itu langsung melewati Kayana begitu saja. Dia bergerak menaiki anak tangga.

Adelia menaiki anak tangga tanpa menoleh lagi ke belakang atau memanggil nama Kayana.

Kayana membalikkan badannya dan menatap punggung sahabatnya. "Aku merasa ada yang aneh dengan Adelia," ujar Kayana lirih.

Kayana merasa heran pada perubahan sahabatnya itu. Adelia yang dulu dikenal sebagai sosok gadis yang ceria dan murah senyum. Kini sosok itu tidak lagi tampak pada diri Adelia.

Justru dari situ Kayana berpendapat jika Adelia sedang ada masalah keluarga. Ya, tentunya tebakan Kayana salah. Kayana memang belum tahu pastinya apa yang sedang menimpa Adelia.

Kayana bergegas berlari menaiki satu demi satu anak tangga untuk menyusul Adelia dan dia pun langsung merangkul sahabatnya itu dengan penuh kehangatan. Senyum terukir di bibir Adelia, tapi senyuman itu terkesan sangat terpaksa.

***

Ting Tuing!

Bel berbunyi dua kali menandakan jika pelajaran di jam terakhir telah usai. Semua anak-anak berhamburan keluar dari dalam kelas.

Kayana terlihat santai memasukan bukunya ke dalam tas. Namun, berbeda dengan Adelia. Gadis itu tampak diam mematung dengan tatapan kosong.

"Del ...." Kayana menepuk bahu Adelia. "Aku dan Hendy akan mampir ke kafe sebelah untuk membahas soal-soal matematika. Apa kau ingin bergabung?"

Adelia tidak menangkap fokus ucapan Kayana. "Apa? Kau bicara apa tadi?"

"Aku dan Hendy akan ke kafe sebelah. Apa kau mau ikut?" ucap Kayana mengulang kembali kalimat tersebut.

Saat Adelia hendak merespons, Bu Ratna memanggil Adelia. Guru muda itu menyuruh Adelia untuk ikut ke kantor guru.

"Kalian berdua pergilah dulu ke kafe. Nanti aku akan langsung menyusul kalian ke kafe. Aku harus ke ruang guru terlebih dahulu."

"Baiklah. Kau pasti akan menyusul kami, kan?"

"Tentu saja," sahut Adelia.

Kayana dan Adelia berpisah di depan ruang kelas. Kayana pergi menghampiri Hendy, sedangkan Adelia berjalan di belakang Bu Ratna.

"Bagaimana dengan Adelia?" tanya Hendy.

"Nanti dia akan menyusul kita ke kafe."

Di ruang guru, Adelia duduk disebuah kursi sambil menunggu Bu Ratna. Saat menunggu wali kelas itu, dalam benak Adelia muncul berbagai macam pertanyaan.

Ada apa Bu Ratna membawaku ke ruang guru? Apa ini soal——

"Adel ...," panggil Bu Ratna yang duduk di depan Adel.

Adelia mengangkat kepalanya dan menatap wali kelasnya itu. Netra hitam Adel beralih pada dua lembar kertas yang ada di atas meja.

"Akhir-akhir ini nilaimu merosot drastis," lanjut Bu Ratna.

Adel terdiam sangat lama. Dia menatap lembaran kertas dengan banyak coretan bolpoin berwarna merah di sana.

"Apa kau sedang ada masalah? Tidak seperti biasanya kau seperti ini. Ibu sering melihatmu melamun juga. Ada apa? Ceritakan pada ibu jika memang kau ada masalah. Baik di rumah atau di sekolahan." Bu Ratna menatap Adel dengan tatapan penasaran.

"Ti-tidak ada, Bu," elak Adel.

"Kau yakin tidak ada apa-apa? Ibu menangkap sesuatu, kau seperti sedang tertekan."

Adel menggelengkan kepalanya. Gadis itu terus mengelak dan menutupinya.

"Adel——"

"Aku tidak apa-apa. Tolong, jangan memaksaku," potong Adel. Berdiri dan segera keluar dari ruang guru.

Bu Ratna sempat terkejut dengan sikap Adelia. Sebelumnya Adel memang tidak pernah membantah. Hal itu menjadi pusat perhatian para guru yang ada di dalam ruangan.

Adel berlari dan masuk ke dalam toilet. Dia masuk ke dalam salah satu bilik yang ada di toilet dan duduk di kloset.

Adelia tersentak kaget saat sebuah suara memanggil namanya dengan membentuk sebuah irama. Adelia mulai terlihat cemas dan takut. Lantas dia menutup mulutnya sendiri dengan tangannya.

"Adel ... oh Adel ...."

Suara itu semakin mendekat dan begitu jelas di telinga Adelia.

"Adel ... apakah kau di dalam?"

Adelia mengenali suara tersebut. Suara Sarah yang begitu pelan dan halus, akan tetapi terdengar mengerikan di telinga Adel.

"Keluarlah Adel ... atau aku yang akan mengeluarkan mu secara paksa dari bilik ini."

"Kau yakin dia masuk ke dalam toilet?"

"Aku begitu yakin dia masuk ke dalam toilet setelah keluar dari ruang guru dan berlari."

"Adeel ...!"

Terdengar sebuah gebrakan tangan saat membuka pintu bilik toilet satu demi satu. Adelia semakin ketakutan. Dia mengangkat kedua kakinya ke atas dan menutup telinganya.

Apa yang akan terjadi pada Adel?

"AAA!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status