Bersama Liora, Rusdi dan satpam yang mengaksikan Arisha keluar malam mereka di kumpulkan di ruangan tempat biasa siswa bermasalah. Kiara dengan mulut terbuka ingin sekali menjelaskan semuanya, ia harus mengatakan pada Henry bahwa yang di lihatnya hanyalah sebuah kesalah pahaman dan ia bersama Daffa tidak berbuat apa apa sedangkan ustad Daffa hanya terdiam. Percuma berkata banyak mereka juga sudah terciduk dan bukti sudah menunjukan mereka tengah berduaan akan sulit untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah hanya pasrah yang dapat di lakukan pria muda itu. "Ab ...!" "Jangan berkata apa pun, Abi sudah terlanjur kecewa pada mu!" ujar Henry menghentikan ucapan Kiara yang belum selesai. "Pria beragama, seorang ustad, panutan bagi santri tapi ternyata kelakuanya seperti ini mengoda wanita yang sudah memiliki istri tengah malam seperti ini?, Apakah kurang kamu menyaksikan pernikahaan kami?, Apa perlu aku mengadakan resepsi pernikahaan besar besar di pesantren ini agar kamu tau Arisha
Kiara hanya memandangi wajah suaminya yang sudah terlelap. Ia membuka jendela kamar dan menyaksikan udara malam. Angin berhembus kencang sepertinya rintikan hujan akan jatuh. Air mata Kiara menetes begitu saja ketika bayangan adik adik asuh melintas di pikiranya. Sangat tidak mungkin jika ia mencoba kabur kembali yang ada akan memperpanjang masalah dan sudah dapat di duganya setelah kejadian ini pasti penjagaan pesantren akan lebih di tingkatkan. "Arisha bisa tidak ya mengurus mereka?" gumam Kiara. Hingga jam menunjukan pukul 3 subuh, Kiara belum dapat memejamkan matanya, hari sudah hampir menuju subuh. Apakah ia benar benar akan meninggalkan adik adiknya tampa berpamitan dahulu?. Pikiranya makin berkecamuk. Arisha juga pasti tidak akan mengetahui hal ini jika ia tidak kesana tapi, apalah dayanya yang sudah tidak dapat berbuat apa apa. Sama seperti Kiara, Daffa juga belum dapat memejamkan matanya. Ustad muda itu juga tidak melaksanakan solat tahajud seperti malam malam sebelumnya k
Ziko mendekatkan bibirnya dengan bibir ranum milik Kiara. Kiara merasakan sentuhan itu dengan jelas. Ia terpaksa harus membuka matanya dan melihat tingkah Ziko. bibirnya sudah tidak dapat berkutik karena sudah di bungkam oleh bibir pria yang ada di hadapanya. Kiara berusaha untuk terus mendorong tubuh kekar Ziko, jangankan tergeser, bergerak saja tidak sepertinya pria ini sudah di kuasai hawa nafsunya dan ia menjadi pelampiasan gairah lelaki muda ini. Merasa mendapat pemberontakan dan tidak mendapat balasan apa pun dari lumatan yang di berikan Ziko pada bibir Kiara. Kini ia mengigit bibir Kiara tampa belas kasihan. Kiara sudah menjerit kesakitan namun, Ziko terus melanjutkan aksinya. Apa yang akan terjadi setelah ini?, ketakutan semakin merangsang Kiara yang sebelumnya tidak pernah melakukan hal seperti ini. Sebisa mungkin Kiara melangkahkan kakinya kebelakang tetapi, langkahnya sudah berada di akhir, ia sudah terbentrok dinding, sudah tidak ada celah baginya untuk menghindar dari
"Ayok Umi kita harus bawa Arisha kerumah sakit!" panik Ziko setelah selesai solat. "Tidak ada rumah sakit di sekitar sini Nak!" jawab Zinida menyingkirkan tangan Ziko yang hendak membopong tubuh Arisha. "Kalau begitu kita bawa ke keklinik terdekat saja tidak mungkin tidak ada klinik!" kekeh Ziko. "Ziko, Arisha tidak papa, ia hanya kelelahan saja sebaiknya kamu angkat istri kamu lagi kedalam kamar dan istrirahatkan dia nanti biar Umi yang buatkan sarapan untuknya sekalian nanti Umi bawakan vitamin untuk istri kamu, kamu tidak perlu panik berlebihan!" sikap tenang Zinida membuat Henry merasa binggung. Menyangkut kesehatan putrinya, Zinida biasanya orang yang paling khawatir, kini ia terlihat sangat tenang seperti tidak terjadi apa apa pada anak mereka. "Ngk Umi, Ziko harus mastiin keadaaan Arisha baik baik saja!" "Ziko, Umi lebih tau yang terbaik untuk anak Umi, Arisha hanya butuh istirahat, dia hanya kelelahan karena olahraga tadi malam!" Zinida mulai memberikan isarat. Liora, R
Hari masih sangat pagi. Daffa tidak memiliki kegiatan apa pun kecuali berkeliling di sekitar pesantren sesekali telinganya harus mendengar cemohan para santri yang menceritainya. Ia ingin sekali menegur anak anak itu karena mengumpat orang lain bukanlah suatu perilaku terpuji namun, ia khawatir jika ia menghampiri para santri itu mereka menganggap ia sedang membela dirinya dan menutupi kesalahanya. Cukup lama Daffa berkeliling namun, tak juga di temukanya ustad Henry. Kemana pria itu?. Di perjalanan Daffa sempat saling berpapasan dengan mertua Arisha namun, dua orang itu membuang arah pandangan wajah mereka kearah lain saat Daffa melemparkan senyuman. Ustad muda itu tidak terlalu mengambil hati. Ia mengerti perasaan mereka sekarang. Orang tua mana yang tidak akan marah ketika mengetahui menantunya tengah berduaan bersama pria lain. Daffa benar benar tidak memiliki teman saat ini. Biasanya saat berkeliling seperti ini akan banyak santri yang menyapa kini yang menegurnya dapat di hitu
Selepas isya Daffa baru kembali ke pesantren dengan tubuh dan wajahnya yang di lumuri keringat. Henry yang sedang berada di depan gerbang pesantren menatap heran pada pria itu. Ia segera mengahampiri Satpam yang membukan gerbang untuk Daffa. "Dari mana kamu Daffa?" tanya Henry memperhatikan penampilan ustad muda kesayangannya dari atas hingga bawah dengan seksama. Hal yang sama juga di lakukan oleh satpam penjaga pesantren. "Saya baru saja pulang dari pasa Ustad!" jawab Daffa tertunduk malu. "Ada keperluan apa kamu ke pasar?" tanya Henry mulai mengintogasi. "Untuk mengisi kegiatan saya selama di non aktifkan dari pesantren saya bekerja di pasar Pak Ustad sebagai kuli panggul untuk tambahan uang bulanan si Mbok!" jujur Daffa. "Sebenarnya saya salut sama kamu. Kamu anak yang pekerja keras dan berbakti sama orang tua kamu tapi, saya juga sudah kecewa sama kamu. Bagaimana bisa kamu terciduk bersama putri saya tengah berduaan!" ujar Henry memegang pundak kanan pria itu. Kiara dan Zik
Sama seperti sebelumya Daffa pagi pagi sekali sudah berangkat ke pasar. Sebelum Roni bangun ia sudah lebuh dulu meninggalkan kamarnya. Ia beranggapan semakin ia subuh keluar semakin banyak pula rezeki yang dapat di kumpulkanya. Benar saja sesampainya di pasar, banyak pedagang yang membutuhkan tenaganya mereka meminta Daffa membantunya menganggkat barang barang mereka turun dari mobil. Upah yang di prolehnya juga lebuh besar dari pada yang di dapatnya dari pembeli. Satu pedagang saja ada yang memberikanya tiga puluh ribu. Tak sengaja mata Daffa melihat seorang gadis yang tengah membuka warungnya. Wanita yang di lihatnya itu mirip sekali dengan anak gadis ustad Henry. Lelaki itu menepis semua pikiranya itu dari kepalanya dan kembali melanjutkan pekerjaan. Secara logika saja tidak mungkin Arisha berdagang di pasar sedangkan ia memiliki suami yang harus di urusnya. Ngapain ia capek capek bekerja di pasar sedangkan abinya termasuk orang terpandang dan terkaya di kampungnya, suaminya ju
Waktu memasuki zuhur Arisha memutuskan untuk salat sejenak di mushola yang tak jauh dari pasar. Selesai dengan kegiatan wudhu Arisha masuk kedalam ruangan sholat. Saat akan memakai mukenanya Arisha mendengar dengan jelas suara orang yang melantunkan azan yang begitu merdu di telinganya. Senyum terbit begitu mendengar lantunan azan itu terdengar sangat merdu dan syahdu di telinga. Tak dapat menahan gejolaknya, Arisha mengintipnya dari balik tirai yang menjadi pembatas antara perempuan dan leleki dan benar saja pria idamanya itu yang telah melantunkan azan. "Merdu banget suaranya. Ya Allah boleh ngk hamba mu yang satu ini jadi milik hamba. Hamba sangat mencintainya ya Allah tapi, hamba juga tidak ingin mengubah kodrat hamba sebagai wanita!" lirihnya. "Mbak tirainya bisa di tutup?" ujar wanita yang sepertinya usianya tidak terpaut jauh dari Arisha yang duduk di sebelahnya. "Bo.. boleh Mbak!" gugup Arisha merasa malu. Selesai solat Arisha sengaja berlama lama melipat mukenanya aga