Share

Perjalanan Pulang

"Yang pertama Candra, anaknya Pak Hilman, orangnya santun, S2 jurusan perguruan. Kalau yang kedua Damar, anaknya temen mancing Bapak, orangnya juga gampang bergaul, murah senyum dan taat juga agamanya. Kalau yang terakhir--" Terdapat jeda cukup panjang. Ibu memeriksa dengan saksama catatan yang ada di tangan, sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Kalau yang ini nggak, deh. Kayaknya kamu juga nggak bakalan suka. Katanya orangnya selengean, pernah masuk bui, langganan diuber polisi karena sering balapan liar, rambutnya gondrong dan brewokan, pokoknya beran--"

"Siapa tadi, Bu?" Interupsiku, memotong penjelasan Ibu, saat mendengar tentang tiga kandidat yang akhir-akhir ini datang melamar.

"Yang mana?" Ibu mengulang pertanyaan. "Candra atau Damar?"

Kini giliran aku yang menggeleng, karena dua nama yang dimaksud bukan orang yang membuatku penasaran.

"Yang terakhir, yang katanya slengean, rambut gondong dan brewokan. Siapa namanya?" ulangku meng-copy semua penjelasan ibu tentang kandidat terakhir. "Dia yang datang terakhir, kan?" Aku menambahkan.

"Nduk, kamu yakin?" Ibu mengulurkan tangan, lalu meremas pundakku.

"Suci udah janji sama diri sendiri, Bu. Kalau dalam kurun waktu setahun dia nggak datang, Suci bakal nerima siapa pun yang datang melamar."

"Tapi ibu nggak yakin Fariz--"

"Oh, jadi namanya Fariz."

Ibu menghela napas gusar, sebelum mengangguk pelan. "Ya, dia anaknya H. Jamal. Dulu beliau sekeluarga tinggal di daerah kita sebelum hijrah ke Jakarta, karena bisnis sawitnya sukses besar di Palembang."

"Bukannya anak Pak Jamal perempuan? Cuma itu yang pernah Suci denger. Sempet mau masuk ke pesantren sini juga, kan? Kalau nggak salah Bapak pernah cerita kita cuma selisih setahun."

Entah cuma perasaanku saja, atau tatapan Ibu memang berubah redup.

"Ya, namanya Farah, dia udah nikah dan punya anak sekarang. Dulu banget, kalian sering main bareng di kebun belakang."

Aku tersenyum getir. Lalu mengeluarkan ponsel yang tergeletak di sisi lain ranjang, membuka galeri dan menunjukkan pada Ibu potret keluarga yang kutemukan di sosial media setelah menyelam berkian lama untuk mencari petunjuk akan keberadaannya.

"Orangnya ini, kan? Keluarga H. Jamal dan Hj. Nurul. Farah, Mas Fariz, juga menantunya Mas Ali!"

Bola mata Ibu melebar.

"Nduk, dari mana kamu tahu?" Hati-hati pertanyaan itu terlontar.

"Dunia itu sempit, Buk. Keliatannya aja lebar. Serapat apa pun nyembunyiin bangkai, suatu saat pasti bakal kecium juga." Suaraku melemah, berubah parau. Entah sejak bayangan wajah Ibu bahkan sudah memburam oleh air mata yang menggenang.

"Suci ...." Ibu seolah tak bisa melanjutkan, dia tergugu sembari menarikku dalam dekapan erat.

"Sebenarnya dari lima tahun lalu Ibu dan Bapak udah tahu, kan? Tega banget kalian nyembunyiin fakta sebesar itu dan biarin anak kalian nunggu dalam ketidakpastian."

"Nduk. Saat itu Ibu sama Bapak cuma mau yang terbaik buat kamu. Lagian waktu itu kondisimu masih belum cukup untuk mengetahui kebenaran. Kita cuma takut kamu--"

"Nggak kuat iman," potongku cepat. "Kembali tenggelam, terus cari pelarian dengan menanggalkan akidah dan norma-norma agama yang tujuh tahun terakhir kalian cekokkan dengan iming-iming calon imam idaman."

"Astagfirullah, Nduk." Ibu merapatkan pelukan, sesekali mengelus kepalaku yang terlapisi jilbab instan.

"Nggak apa-apa. Ibu sama Bapak nggak salah. Suci yang salah karena menggantungkan harapan sebesar gunung pada manusia, bukannya pada Tuhan. Suci tahu, hijrah karena seseorang itu salah. Jadi, inilah konsekuensinya." Kulerai pelukan Ibu, lalu menyeka air mata dan tersenyum kecil ke arahnya. "Kasih tahu Bapak, suruh hubungi keluarga H. Jamal, bilang kalau Suci nerima lamaran Mas Fariz."

.

.

.

"Ci, hei, lu masih idup, kan?" Lambaian tangan yang berayun di hadapan sontak menarikku dari lamunan. "Eh, lu nangis, ya?" Mas Fariz menangkup wajahku, lalu menyeka cairan hangat yang entah sejak kapan lolos dari pelupuk mata.

Refleks aku menarik diri, lalu menggeleng pelan, sembari menurunkan kedua tangan besarnya. "Nggak apa-apa, Mas. Saya cuma agak sedih karena sebentar lagi bakal ninggalin Bapak, Ibu, juga tempat di mana saya dilahirkan," terangku tak sepenuhnya bohong.

"Oh, kirain. Tadinya mau gue cium biar sadar, tapi takutnya kena tampol." Dia menegakkan tubuhnya. Berdiri menjulang di hadapan yang membuatku harus mendongak tinggi saat menatapnya. Hal itu kulakukan bukan tanpa alasan, mengingat perbedaan tinggi kami yang bisa dibilang cukup jauh membentang. Bayangkan saja, dengan tinggi 162 sentimeter aku harus bersanding dengan Mas Fariz yang memiliki tinggi nyaris 190-an. Tinggi tubuh yang jelas sangat jarang bagi orang Indonesia kebanyakan. Tak heran memang, kebetulan H. Jamal dan Hj. Nurul juga memiliki tinggi di atas rata-rata. Apalagi mereka memiliki darah Pakistan.

Aku hanya tersenyum tipis untuk menanggapi.

"Oh, iya untuk sementara nanti kita tinggal sama Bokap-Nyokap gue, ya! Katanya sebelum gue bener-bener sadar mereka nggak ngizinin kita cuma tinggal berdua di salah satu rumah mereka yang lainnya. Agak ngeselin emang, beda sama Si Farah dan Si Ali yang udah dapet jatah rumah sebagai kado pernikahan."

Saat ini kami memang sedang packing untuk pindah ke kediaman keluarga Mas Fariz yang ada di Jakarta setelah kurang lebih dua hari tinggal di salah satu kontrakan milik Bapak, di daerah kami, Lumajang Jawa Timur.

Dengan kesepakatan bersama, akad dan resepsi memang diadakan di sini. Tak banyak kerabat dan keluarga Mas Fariz dari Jakarta maupun Palembang yang datang. Farah dan ... dia juga bahkan berhalangan hadir karena satu dan lain hal. Jujur, aku mensyukurinya. Jadi, di hari yang kata orang spesial tak ada alasan yang merusak mental.

Akhirnya, untuk pertama kalinya aku meninggalkan tempat di mana aku lahir dan dibesarkan, lalu tinggal di Pusat kota dengan status menikah.

"Iya, nggak apa-apa, Mas."

"Cakep. Sekarang mending pamitan dulu sama Ibu dan Bapak. Kangen-kangenan. Soalnya kita masih belum tahu kapan balik ke Lumanjang."

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Saat hendak beranjak dari ranjang tiba-tiba tubuhku limbung dan kembali terjatuh di sisi pembaringan.

"Kenapa?" Dengan panik Mas Fariz memeriksa keadaanku.

"Nggak apa-apa, kayaknya cuma efek belum sarapan."

"Kirain. Jangan bikin Mak-Bapak lu salah paham. Orang dua hari ini kita nggak ngapa-ngapain. Entar gue yang disalahin."

Aku terkekeh pelan, lalu kembali bangkit dibantunya perlahan.

***

Setelah menempuh 11 jam 15 menit perjalanan menggunakan Travel Bus. Akhirnya kami sampai di Jantung Kota Metropolitan. Kepadatan, panas, dan polusi udara menyambut kala Bus sampai di tempat pemberhentian terakhir.

Jdug!

"Aw."

Aku menoleh ke belakang saat melihat Mas Fariz mengaduh kesakitan sembari memegang kepalanya yang sekali lagi terbentur pintu keluar Bus.

"Bang, udah gue bilang pintunya kudu dilebarin. Kekecilan. Udah dua kali pala gue kepentok, nih," protesnya sembari melongokkan kepala ke dalam.

"Bukan pintunya yang kekecilan. Tapi, badan lo yang kegedean, Jamal," sahut sang sopir dengan santai.

"Jamal nama bapak gue, ya. Nggak usah sok akrab. Kita nggak kenal."

"Dih, dasar bocah prik. Dah, ah. Minggir sana! Jangan lupa digandeng adeknya. Entar ilang!"

"Ini bini gue, Setan!"

"Mas!" Kutarik tangan Mas Fariz sebelum sempat dia melompat kembali ke dalam, dan menghadang sopir Bus yang sejak tadi memang seolah sengaja menyulut emosinya. Sepanjang perjalanan pria paruh baya itu bahkan tak henti melontarkan berbagai pertanyaan yang menurutku tak etis. Mulai dari size sepatu, celana, sampai dalaman.

Mas Fariz menoleh padaku sejenak. Lalu menghela napas panjang.

"Lu selamet karena ada bini gue sekarang, Bang. Kalau enggak dah abis tuh muka gue hajar."

"Sialan. Gue kira mantan binaragawan, ternyata Kang Jagal!" gumam sang sopir dengan wajah pias.

"Apa lu bilang?"

"Nggak jadi." Bus itu pun tancap gas, masuk ke terminal. Meninggalkan kami dengan asap mengepul pekat yang tepat mengenai wajah Mas Fariz.

"Kampret ... inilah alasan gue benci naik kendaraan umum. Membago--" Ucapan Mas Fariz tiba-tiba terhenti. Dia mengusap tengkuk salah tingkah, padahal aku hanya menatap datar, sembari mencengkeram pergelangan tangannya.

"Canda, Ci. Lu nggak salah milih travel, kok. Gue yang salah. Iya, gue. Harusnya gue lempar aja tuh sopir sialan di jalan Tol Salatiga."

.

.

.

Bersambung.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Ticha Sagita
assalamualaikum baru mulai baca semoga ceritanya nyaman sampe ahir
goodnovel comment avatar
dianrahmat
wkwkwkwk ...... smg asik terus sampe bab akhir ......
goodnovel comment avatar
Agus Seputarindo
mantap nih, Faris koplak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status