“Aku... beneran masih suka sama kamu, Ra..” Alvin menarik napasnya, “Aku tau kamu nggak bisa terima aku lagi, aku cuma mau kamu tau kalo perasaan aku masih sama.”
Suasana sore di salah satu taman di kota hujan itu menjadi saksi bagaimana Alvin mengungkapkan perasaannya dengan ikhlas dan tak menuntut balas.
3 bulan sudah berlalu sejak usahanya untuk membuat Rania kembali bersamanya namun selama waktu itu juga ia sama sekali tak mendapat balasan.
Dan Alvin mencoba menyerah untuk itu.
Bukan, bukan karena ia pengecut, namun pria itu hanya berusaha untuk mengikhlaskan Rania jika memang tak ditakdirkan bersama.
Sikap Rania yang terkadang berubah dingin setelah ramah padanya membuat Alvin ragu jika wanita itu memang masih mencintainya dan akan kembali padanya. Alvin mencoba untuk menekan perasaannya meski rasa kecewa mulai menyapanya.
“Terus?”
“Aku... mau coba ikhlasin kamu.” Alvin menunduk den
“Jadi kapan mau diresmiin?”“Tiga tahun lagi, Yah.”Alvin yang mendengar sontak melotot terkejut. “Lho kok gitu, Ra? Nggak bisa gitu dong!” Pria itu menyahut tak terima.Rania terkekeh, “Ya biar pas umurnya, kamu jadi 33 aku 32.”“Nggak sekalian aja nunggu 40 tahun.” Cibir Alvin.Ryan yang mendengarnya pun mendengus tak suka. “Apa sih lu, Bang. Suka-suka kakak gue lah, udah untung diterima lagi!”Semua yang awalnya tertawa dan tersenyum pun memilih terdiam, termasuk Alvin yang raut wajahnya berubah tak terbaca.“Mending diem kalo emang buka mulut cuma buat bi
Hari yang ditunggu pun tiba. Setelah memutuskan untuk mengurusnya dengan sabar dan menetapkan tanggal pernikahannya bertepatan dengan tanggal kelahiran sang mempelai wanita, Alvin akhirnya bisa bernapas lega dan tersenyum bahagia.Senyum lebar tak pernah lepas dari bibir pria itu yang tengah berdiri di depan kaca rias itu. Tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu melekat pas di tubuhnya. Sekali lagi Alvin tertawa untuk hal yang hanya dimengerti olehnya.“Bibir lo bisa robek kalo kebanyakan senyum, Bang.”Cibiran itu membuat Alvin menoleh menatap pintu masuk. Seorang pria yang usianya jauh dibawah dirinya melangkah mendekat padanya.“Gue ikhlas kakak gue nikah sama lo. Jaga dia baik-baik, sekali gue denger lo buat kakak gue nangis, saat itu juga gue buat lo ke IGD, Bang.”Alvin tertawa mendengar ancaman tersebut. “Pukulan lo sama sekali nggak sakit buat gue.”“Sialan lo, Bang!” Ryan menyentak Al
Langit berwarna kemerahan dengan awan yang bergerak secara perlahan, dedaunan pun terjatuh dari dahannya karena hembusan angin yang kencang.Dua orang berbeda jenis kelamin itu duduk dengan tenang di salah satu kursi taman yang ada.Salah seorang mengenakan pakaian putih abu-abu khas seorang pelajar menengah atas sementara salah seorang lagi mengenakan seragam putih birunya.“Kenapa bisa?” Tanya Alvin. Matanya menatap lurus ke depan tanpa memperhatikan seorang gadis kecil yang duduk di sampingnya.“Karena aku gak sepinter kamu, Al.” Jawab gadis itu.Sebenarnya dia cukup ragu, terlihat dari jari jemarinya yang saling bertautan di atas rok biru yang dikenakannya. Dia takut laki-laki yang sudah ia anggap sahabat itu marah padanya.“Terus mau masuk mana?” Kini matanya melihat tepat di mata si gadis, wajah seriusnya menantikan j
Seseorang yang menurunkan egonya untuk peduli selalu jauh lebih menarik dibandingkan seseorang yangberusaha terlihat sempurna._Peduli_Riuh suara hujan benar-benar terdengar jelas ditelingaku. Aku menatap tetesan air hujan yang turun dari balik dinding kaca cafe tempatku menunggu seseorang untuk datang. Semua orang di luar terlihat kalang kabut ketika hujan langsung turun dengan derasnya.Beberapa pengendara motor memilih turun demi memasang jas hujan di tubuhnya, namun sebagian lagi memilih untuk mempercepat laju kendaraannya dan menerjang hujan.Aku tersenyum ketika melihat seorang Bapak diseberang jalan sana memaki pengendara mobil yang lewat. Meski tidak jelas apa yang dia bicarakan, namun ekspresinya tertangkap dengan jelas bahwa Bap
I Love You.Are you listening? Only you._Always_Aku menatap rumah di depanku dengan heran, tidak biasanya rumah yang kutempati terlihat sesepi ini. Kemana semua orang? Kurasa ada cukup banyak orang yang tinggal didalamnya, tapi kenapa mereka semua tidak memberi kabar apapun kepadaku? Lalu apa gunanya ponsel canggih yang mereka miliki?“Pak.. yang lain kemana?” Tanyaku pada Pak Harto, selaku satpam yang bekerja di rumah. Dia yang membukakan gerbang untukku tadi.“Ibu sama Bapak pergi, Ra. Mereka bilang mau ke Bogor, Eyang sakit.” Jelas pria berusia setengah abad itu.Ahh.. pantas saja tidak ada mobil di garasi. Eyang
Not friends, not enemies.Just strangers with his smile._The Strangers_Aku menatap laju mobil Alvin yang semakin menjauh. Tadi pagi, laki-laki itu datang ke rumah dan mengatakan bahwa dia sendiri yang akan mengantarku ke kampus.Jujur saja, aku senang mendengarnya tapi ternyata saat di jalan, dia mengeluh karena belum menemukan orang yang tepat untuk menjadi supirku. Aku tersenyum bodoh mendengarnya, kukira memang inisiatif dia untuk menjemputku.“Hei.. ngeliatin siapa?”Aku menoleh menatap laki-laki yang berada di sampingku. Tertegun sejenak melihat kehadirannya di sini. Sudah hampir 3 tahun aku berada di kampus ini, tapi aku
It’s fine, you don’t have to say sorry.It’s enough just having you by myside.You don’t need to say it._Take You Home_Aku menatap gerbang kampusku yang sudah mulai sepi. Duduk sendirian di sebuah halte tanpa kegiatan berarti membuatku terlihat bodoh.Matahari pun sudah mulai tenggelam untuk berganti tempat dengan sang rembulan. Hari sudah kian sore tapi belum ada tanda-tanda Alvin akan datang menjemputku seperti yang dia katakan satu setengah jam yang lalu.Aku menghela nafas, semakin hari bersamanya semakin besar pula aku menyadari kebodohanku. Mengapa aku harus selalu menunggu jika bersama Alvin? Tidakkah laki-laki itu juga berpikir bahwa hubungan kami terlihat seperti dipaksakan?Padahal kenyataannya, sama sekali tidak ada paksaan diantara kami.Alvin, pria dengan sejuta pesona dan segudang misteri. Mengapa aku haru
Aku mencintaimu dan kau mencintaiku, itu yang kutahu.Namun kenyataan memang tak selalu berpihak.Aku... meragu._Ragu_Matahari sudah mulai naik ke peraduannya ketika aku baru saja menyelesaikan urusanku di kamar mandi. Hari ini tidaklah terlalu sibuk untukku jadi aku bisa sedikit lebih siang untuk pergi ke kampus.Lagipula tadi pagi sekali, Alvin memberiku kabar jika dirinya tidak bisa mengantar dan menjemputku seperti kemarin. Laki-laki itu bilang jika dia memiliki urusan penting yang harus segera ditanganinya.Aku menuruni anak tangga menuju ruang makan rumahku. Kamarku memang berada di lantai dua rumah ini sementara kamar Ibu dan Ayah berada di lanta