Share

Berita Menyebar

“Kamu sama sekali nggak takut sama aku?” tanya Justin bingung.

“Nggak. Kamu idola aku sejak dulu,” jawab Karina polos sambil tersenyum.

“Astaga… kamu agak terganggu,” gumam Justin.

“Apa?”

“Eh… Nggak. Lupain aja. Kita harus ngobrol di tempat yang aman. Kita punya masalah besar sekarang,” jawab Justin.

“Oke,” jawab Karina dengan riang gembira.

Justin diam-diam menghela nafas lalu mengemudikan mobilnya dengan cepat kembali ke apartemen rahasianya yang sampai saat ini, sepanjang pengetahuan Justin, belum diketahui awak media. Justin memarkirkan mobilnya di basement khusus untuk penthouse termewah di apartemen itu.

“Ayo turun,” ujar Justin.

“Oke, sayang,” jawab Karina. Ia tak sengaja mengatakan itu karena biasa membayangkan Justin menjadi pacarnya ketika ia sedang kesepian.

Justin sedikit terkejut tetapi ia membiarkan saja wanita aneh itu berbuat apa saja, selama ia tidak kabur. Sekarang, Justin tidak bisa membiarkannya berkeliaran, ia bisa saja memperparah kabar skandal ini ke media.

Mereka berdua turun dari mobil dan Karina mengekor di belakang Justin, masuk ke dalam elevator khusus yang menuju langsung ke penthouse. Justin berdiri tegak sambil menekan tombol elevator sementara Karina berdiri di sebelahnya, menatap wajah Justin sambil tersenyum. Justin melirik ke arah Karina.

“Kamu ngapain?” tanya Justin.

“Lihatin wajah kamu, ganteng banget kalau dari dekat,” jawab Karina sambil tersenyum lebar.

“Kamu masih mabok, ya?” tanya Justin sambil mengerutkan kening.

“Enggak, aku sadar sesadar-sadarnya,” jawab Karina.

Justin mendengus pelan lalu mengalihkan tatapannya ke depan. Dalam hati ia mengumpat. Mimpi apa semalam hingga ia bisa bertemu dengan perempuan seaneh ini? Justin memilih untuk berpura-pura tidak melihat ke arah Karina, tetapi bayangan wanita itu terpantul di pintu elevator. Wanita itu cukup tinggi dengan tubuh proporsional, kulit mulus putih susu, dan rambut hitam panjang nyaris menyentuh pinggang. Wajahnya mungil dengan hidung mancung, mata bulat, dan bibir penuh. Dia menarik, tetapi menurut Justin mungkin sedikit terganggu mentalnya. Sepatu hak tingginya membuat kaki Karina yang jenjang terlihat indah di balik balutan rok pendeknya. Karina masih mengenakan jaket Justin karena pakaian atasannya yang terkoyak.

Diam-diam Justin teringat bagaimana semalam tangannya berdiam di antara hangatnya dada Karina. Justin menelan ludah mengingatnya. Entah kenapa ia bisa melakukan itu. Awalnya Justin hanya ingin memeriksa apakah wanita yang di sebelahnya itu benar-benar manusia atau bukan dengan merasakan detak jantungnya, tetapi nyaman, lembut, dan hangatnya membuat tangan Justin tetap di sana sampai pagi. Ia tidak ingat jelas, tetapi mungkin saja tangannya telah melakukan sesuatu yang lain selain diam di antara gundukan lembut itu.

Tiba-tiba pintu lift berdenting dan bergeser terbuka. Justin menghela nafas lega karena pandangan Karina teralihkan ke dalam penthose miliknya. Mata bulat wanita itu berbinar-binar melihat semua kemewahan yang ada di dalamnya.

“Masuk,” ujar Justin dingin.

Ia tidak ingin punya urusan apa pun dengan wanita asing ini, jadi ia akan bersikap sedingin mungkin dan menjaga jarak. Justin berpikir akan memberikan wanita ini sejumlah uang tutup mulut atau sesuatu seperti itu agar karir Justin tidak hancur.

Begitu melangkahkan kaki masuk, handphone Justin berdering. Ia tahu siapa yang menelepon. Justin mengambil handphone-nya dari saku dan melihat nama Norman Williams tertera di layar. Norman adalah manager sekaligus tangan kanan kepercayaan Justin.

“Yap, Norman…” ujar Justin begitu menekan tombol hijau.

“Justin, lo di mana? Ini kacau! Lo ngapain semalem?” tanya Norman.

“Gue juga nggak tahu, Norman. Semuanya kacau. Elo ke apartemen baru gue deh. Jangan pake mobil elo yang biasa,” ujar Justin.

“Oke, sepuluh menit lagi gue nyampe. Jangan pergi kemana-mana. Oh ya, cewek yang ada di foto itu ada di mana?” tanya Norman.

“Dia ada sama gue, tenang aja,” jawab Justin.

“Oke kalian tunggu. Jangan kemana-mana. Jangan buka pintu kalau bukan gue,” ujar Norman.

Justin mengiyakan lalu memutus sambungan telepon. Jarak penthouse baru Justin dengan rumah Norman sangat dekat. Dengan mobil, Norman akan segera sampai. Justin tidak bisa berpikir jernih sekarang, ia membutuhkan bantuan Norman.

Justin kemudian melihat ke arah Karina yang masih berdiri, melihat-lihat penthouse milik Justin.

“Duduk aja,” ujar Justin pada Karina sambil menunjuk sofa besar empuk berwarna hitam legam yang ada di hadapan mereka.

“Oke, oppa,” jawab Karina.

“Bisa nggak panggil aku Justin aja?” tanya Justin. Panggilan oppa terlalu berlebihan untuk Justin.

“Ya udah deh, aku panggil Justin aja ya,” jawab Karina sambil tersenyum manja. Justin bergidik. Ternyata sama saja jijiknya jika keluar dari mulut Karina.

“Ah sudahlah!” seru Justin.

Ia kemudian menyalakan TV sebab penasaran apakah berita tentang mereka sudah menyebar. Benar saja begitu televisi menyala, foto Justin berpelukan di semak-semak bersama Karina terpampang jelas. Karina terkejut, ia menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangan. Justin mengira akhirnya Karina memiliki reaksi yang normal. Semua orang akan tertekan dan malu dalam situasi seperti ini. Namun, kalimat yang keluar dari mulut Karina berikutnya membuat Justin melebarkan matanya, seolah ia tak percaya telah mendengarnya.

“Astaga, rambutku sengembang itu yah kalo lagi rebahan?”

Justin tidak mampu berkata-kata lagi, wanita ini tidak mungkin normal.

“Kamu malah nguatirin rambut kamu kelihatan jelek, gitu?” tanya Justin memastikan kalau ia tidak salah dengar.

“Tapi nggak jelek-jelek banget, kan? Ya ampun masuk TV lagi…” ujar Karina.

Justin hanya bisa menepuk keningnya dengan sebelah tangan. Bencana macam apa lagi yang mampir ke kehidupannya sekarang? Hidupnya sudah penuh dengan masalah dan bencana, Justin tidak punya tempat lagi untuk bencana bernama Karina.

Tepat setelahnya bel pintu apartemen berbunyi dan melalui monitor yang tertempel di dinding, Justin bisa melihat siapa yang datang. Norman sudah berada di depan elevator, menunggu untuk dibukakan.

“Masuk, Norman,” ujar Justin sambil menekan tombol agar elevator terbuka dan membawa Norman ke penthouse-nya.

Sesaat kemudian, elevator pun berdenting dan seorang pria masuk ke dalam ruangan. Ia tinggi, tampan, berkulit kecoklatan, dengan rambut hitam bergelombang.

“Lo bikin masalah apa lagi sih, Justin? Ini kacau balau. Liat nih hape sampe gue matiin gara-gara semua media neleponin gue,” ujar Norman kesal. Ia kemudian melihat ke arah Karina.

“Elo kayak gak bisa cari hotel yang aman aja, Tin!” seru Norman pada Justin.

“Ini bukan kayak yang ada dalam pikiran lo, Bro. Gue ga kenal sama dia, dia mabok terus jatoh ke semak-semak itu,” ujar Justin membela diri.

“Terus, elo ngapain di semak-semak juga?” tanya Norman.

Justin terdiam. Ia tidak mungkin menjelaskan yang sebenarnya terjadi pada Norman. Semuanya itu adalah rahasia yang harus Justin jaga selama-lamanya.

“Pokoknya gue sama dia nggak ngelakuin apa-apa, Norman. Ini semua kebetulan,” ujar Justin akhirnya.

“Shit, Justin! Kontrak lo bisa diputus semua kalo kayak gini,” umpat Norman.

“Elo pasti bisa cari jalan keluarnya, kan?” tanya Justin.

“Halo, guys… Aku masih ada di sini loh,” ujar Karina tiba-tiba, merasa diabaikan.

Kedua pria itu menoleh ke arah Karina bersamaan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
karena bahasanya non baku, aku lebih nyaman setting Indo tapi Justin keturunan Korehe. gpp kan author? ehehee
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status