Share

Bab 7

"Hei, kamu kenapa, Sayang, kok nangis?" tanya Mas Kenzie saat ia baru keluar dari kamar. Mas Kenzie langsung ikut duduk di sampingku.

"Mas, aku ... aku ..." Tenggorokan rasanya tercekat, aku tak mampu mengatakan ini pada Mas Kenzie.

Melihat wajah Mas Kenzie, ada rasa bersalah dalam hati. Mas Kenzie begitu bahagia dan antusias menyambut hadirnya calon bayi kami. Seandainya benar janin bayi dalam rahimku tak ada, bagaimana perasaan Mas Kenzie? Pasti sama hancurnya denganku, atau mungkin ia akan marah padaku.

"Kamu kenapa? Apa ada masalah, cerita sama aku?" ujar Mas Kenzie sambil memeluk dan membelai punggungku lembut. Pelukan dan belaian dari Mas Kenzie perlahan membuat hatiku sedikit tenang.

"Ada apa? Ayo cerita, kalau ada masalah jangan di pendam sendiri," ujar Mas Kenzie lembut. Aku melerai pelukan dari Mas Kenzie dan menatap wajah Mas Kenzie dengan tatapan nanar.

"Mas, aku takut ...."

"Takut? Takut kenapa, Sayang?"

Pelan-pelan, aku menceritakan pada Mas Kenzie tentang hilangnya Emak Asih secara tiba-tiba dan misterius dan kini sedang di cari oleh para pasien Emak Asih. Aku juga bercerita pada Mas Kenzie tentang hilangnya bayi dalam kandungan salah satu pasien Emak Asih seperti yang diceritakan oleh Dewi barusan.

Selama aku bercerita, Mas Kenzie hanya diam seolah sedang serius menyimak cerita dariku. Setelah aku selesai bercerita, Mas Kenzie justru tersenyum dan menggenggam tanganku lembut. Aku pikir Mas Kenzie akan marah dan kecewa, tapi ternyata tidak.

"Sayang, apapun yang bakal terjadi nanti, kamu gak perlu takut. Kita berdoa saja, semoga bayi dalam kandungan kamu baik-baik aja. Walaupun seandainya ada kemungkinan buruk seperti salah satu pasien Emak Asih itu, aku akan tetap selalu disisimu. Kamu jangan takut," ujar Mas Kenzie lembut. Tangan Mas Kenzie membelai pipiku dan menghapus air mata yang sedari tadi mengalir dari kelopak mataku.

"Kamu gak marah, Mas?"

"Kenapa aku harus marah? Aku suamimu, kita sudah hidup berumah tangga selama bertahun-tahun. Kamu jangan banyak berpikir, kita berpikir positif saja. Mungkin sekarang Emak Asih lagi pulang kampung."

"Tapi, Mas, aku bukan hanya takut janin ini hilang. Tapi aku juga malu, Mas, bagaimana tanggapan orang-orang kalau seandainya mereka tahu bayiku hilang. Belum lagi kalau Ibu sama bapak, Ayah, dan Kak Keyla tahu. Aku harus jawab apa, Mas?

Apalagi kita sudah bikin acara syukuran 4 bulanan besar-besaran di rumah Ibu waktu itu, otomatis semua orang tahu kehamilan aku ini. Aku malu, Mas, aku malu ..." ujarku menggebu-gebu. Aku tak bisa lagi menahan perasaan hati yang begitu kacau. Aku menangis histeris, menumpahkan semua kesedihanku di depan Mas Kenzie.

"Sayang, dengar aku! Kamu gak perlu takut, aku ada disini. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Apapun yang terjadi nanti, kita hadapi sama-sama, oke!" Mas Kenzie kembali memeluk tubuhku erat, menenangkan aku yang kini diliputi rasa kecewa, takut dan juga sedih.

Setelah puas menumpahkan tangisku, aku digiring masuk ke dalam kamar oleh Mas Kenzie. Mas Kenzie tak henti-hentinya menasihati dan menyemangati aku. Disaat seperti ini, untungnya aku memiliki suami yang begitu perhatian dan peduli dengan perasaanku. Mungkin jika pria lain, pasti akan kecewa ataupun marah.

Mas Kenzie tertidur pulas setelah bersusah-payah menenangkan aku. Sepertinya Mas Kenzie sangat kelelahan, apalagi setelah pulang dari toko Mas Kenzie belum sempat beristirahat. Aku merasa iba pada Mas Kenzie, bagiku, Mas Kenzie sosok suami yang sempurna. Disaat seperti ini pun, ia tak menunjukkan kekecewaannya padaku. Aku yakin, dalam hati Mas Kenzie pasti ada rasa kecewa karena harapannya memiliki anak kini diambang keraguan.

Malam ini, aku sama sekali tak bisa tidur, sulit bagiku untuk memejamkan mata. Aku terbayang-bayang dengan kemungkinan buruk yang akan terjadi nanti. Aku juga takut dengan tatapan orang-orang nanti seandainya bayiku benar-benar tak ada dalam rahimku. Entah pukul berapa, akhirnya aku tertidur karena terlalu lelah menangis semalaman.

________

"Sayang, aku pergi ke toko dulu ya?" kata Mas Kenzie setelah membangunkan aku dari tidur lelap. Pagi ini, Mas Kenzie sudah terlihat rapi dan wangi seperti biasanya saat ia akan berangkat ke toko.

"Aku ikut, Mas," kataku sambil berusaha bangun. Tapi aku urungkan, karena tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Saat ini, aku memang masih berbaring di ranjang tempat tidur.

"Kamu di rumah aja, biar aku aja yang ke toko. Aku cuma sebentar kok, aku mau siapkan pesanan para pelanggan, gak enak kalau di cancel," ujar Mas Kenzie.

"Iya, Mas."

"Kamu gak papa kan, Sayang, aku tinggal sendirian di rumah? Tadi aku juga sudah belikan sarapan untuk kamu."

"Iya, Mas. Aku gak papa kok, aku mau tidur lagi aja. Aku masih ngantuk, Mas," kataku.

"Ya sudah, aku pergi dulu ya, Sayang. Kamu istirahat, nanti jangan lupa makan," kata mas Kenzie lembut.

"Iya, Mas, kamu juga hati-hati di jalan."

"Iya, Sayang."

Sebelum pergi, Mas Kenzie mencium keningku dan mengingatkan aku untuk tak terlalu banyak berpikir. Aku bersyukur memiliki suami yang begitu mengerti dan menyayangiku. Mungkin jika suami lain, ia akan marah dan mendiamkan aku setelah mengetahui akan ada kenyataan pahit tentang kandunganku.

Memang belum seratus persen benar, dengan apa yang di ceritakan oleh Dewi semalam. Tapi, tetap saja hatiku merasa cemas dan was-was. Aku kembali memejamkan mataku karena masih sangat mengantuk. Rasa lelah karena terlalu banyak berpikir membuat tubuhku lemah dan butuh banyak beristirahat.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 10.00 pagi saat aku membuka mata, aku bergegas untuk mandi dan membersihkan diri. Mungkin guyuran air dingin bisa membuat tubuhku kembali segar. Dan benar saja, setelah mandi tubuhku kembali segar. Pikiranku pun sedikit agak tenang, tak segelisah tadi malam.

Aku berjalan menuju dapur untuk makan, karena perutku terasa perih karena rasa lapar yang tak bisa lagi untuk ditahan. Sepiring nasi urap, beserta lauk ayam goreng sudah tersaji di meja maka. Biasanya, Mas Kenzie memang suka membeli nasi urap ini di dekat rumahku.

Sebenarnya, nasi urap ini adalah makanan favoritku. Biasanya aku selalu lahap menikmati nasi urap ini, tapi tidak untuk sekarang. Nasi urap ini terasa hambar di lidahku, sama seperti hatiku yang terasa hambar tanpa kehadiran seorang anak. Tapi, aku harus menghabiskan makanan ini untuk mengisi tenagaku. Karena aku harus kuat, untuk menghadapi kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi setelah ini.

_______

Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 siang, tapi belum ada tanda-tanda kepulangan Mas Kenzie. Padahal, Mas Kenzie bilang, ia tak akan lama di toko dan segera pulang. Mungkin toko masih ramai, sehingga Mas Kenzie belum bisa pulang. Biarlah, aku juga masih ingin sendiri merenungi nasibku yang entah bagaimana nantinya.

Saat sedang asyik melamun, ponselku yang sedang di isi daya dalam kamarku berdering. Aku segera mengambil ponsel milikku, mungkin saja Mas Kenzie yang menelpon. Ternyata bukan, justru nama Dewi yang terpampang di layar ponsel memanggil.

Dengan perasaan tak menentu, akhirnya aku mengangkat telepon dari Dewi.

"Assalamualaikum ..." ucapku.

["Mbak Naya ..."] Bukannya menjawab ucapan salam dariku, justru Dewi malah memanggil namaku lirih. Terdengar isakan kecil di sebrang telepon. Mendengar isakan Dewi, perasaanku jadi tak enak.

"Kamu kenapa, Dew?"

["Mbak Naya, ternyata benar, Emak Asih itu penipu, Mbak. Aku baru pulang dari dokter kandungan. Setelah diperiksa dan di USG ternyata kandungan aku kosong, Mbak. Gak ada janin bayi dalam rahimku. Aku juga udah datangi rumah Emak Asih lagi, tapi masih kosong. Orang sana bilang, Emak Asih hanya mengontrak di rumah itu. Huhuhu ..."] ujar Dewi sambil menangis. Sudah kuduga, hal buruk yang aku pikirkan kini terjadi juga.

Aku yang sedang berdiri menerima telepon dari Dewi seketika terduduk lesu. Entah bagaimana nasibku nanti setelah ini. Harapanku untuk memiliki seorang anak, kini pupus sudah. Lagi-lagi aku harus menerima kenyataan pahit.

"Terus, kita harus gimana, Dew?" tanyaku dengan suara bergetar menahan tangis.

["Aku juga gak tau, Mbak. Perutku masih membesar seperti orang hamil sembilan bulan. Aku benar-benar takut dan juga malu, Mbak, gimana kalau orang-orang tahu gak ada janin dalam perutku?"] ujar Dewi terisak.

"Sama, Dew. Aku juga bingung. Kamu yang sabar ya, Dew. Aku juga merasakan apa yang kamu rasakan saat ini. Kita sama-sama jadi korban penipuan Emak Asih," kataku lemah.

["Iya, Mbak. Mbak Naya juga yang sabar,"] ujar Dewi lemah. Tak ada lagi suara isakan Dewi.

"Iya, Dew. Sekarang, kita cari tahu tempat untuk mengembalikan perut kita seperti semula. Nanti kalau aku nemu, aku infokan ke kamu."

["Iya, Mbak. Makasih ya, Mbak. Aku senang punya teman curhat seperti Mbak Naya,"] ujar Dewi.

"Iya, Dew. Aku juga."

["Oh ya, Mbak. Foto pria yang di profil Mbak Naya itu, apa suami Mbak Naya? Sepertinya aku pernah lihat,"] ujar Dewi.

"Iya, Dew. Itu suami aku, namanya Mas Kenzie. Kamu lihat dimana, Dew?" Aku memang jarang menggunakan foto Mas Kenzie sebagai foto profil. Biasanya, aku selalu menggunakan foto diriku sendiri sebagai foto profil WA.

["Sepertinya dia teman suami aku deh, Mbak. Nanti aku tanya suamiku, ya udah, Mbak, aku tutup dulu telponnya ya?"]

Setelah telepon dari Dewi aku tutup, aku kembali melamun memikirkan bagaimana nasibku selanjutnya. Rasanya sangat sulit bagiku menerima kenyataan pahit ini. Air mataku akhirnya keluar dari kelopak mata, setelah berusaha aku tahan sedari tadi. Saat ini, Tuhan begitu mudah melancarkan rejekiku dan Mas Kenzie. Tapi, kenapa Tuhan begitu sulit mempercayakan seorang anak pada kami? Apa ini adalah karma dari Tuhan atas perbuatan burukku dan Mas Kenzie di masa lalu?

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status