“Kata orang, titik terbesar sebuah rasa cinta adalah merelakan. Jika kamu benar-benar mencintaiku, kenapa kamu tak merelakanku pergi menjalani hidupku sendiri, Mas? Hmmm, kamu tadi sudah janji akan mengabulkan apapun permintaanku ‘kan, Mas?” Dia bertanya lagi dan menatapku. Kali ini lebih lekat, bahkan aku yang tak sanggup membalas pendar manik hitam itu dan memilih membuang pandang.“Mas?” Suaranya kembali terdengar, meminta jawaban. Aku mengangguk ragu. Semoga saja dia tak meminta yang bukan-bukan. “Katakanlah … asal jangan kamu meminta Mas untuk melepasmu kembali, hmm?” Aku sudah menahan napas. Rasanya seperti hendak mendengar pengumuman hasil siding skripsi. Dia menggeleng. Lantas mengangkat wajah dan menatapku dengan pandangan yang entah.“Alasan kamu kembali demi anak-anak ‘kan, Mas?” “Hmmm.” “Aku mau kita tidur di kamar yang terpisah sampai aku benar-benar yakin jika kamu telah berubah.” Hening. Aku menggaruk tengkuk. Permintaannya begitu berat kurasa bagiku yang sudah s
“Hanum ….” Aku tengah mengusap seprai yang kosong seperti hatiku, ketika derit pintu terdengar. Sontak aku mengerjap ketika melihat sosok yang kurindukan datang dan berjalan masuk ke dalam kamar. “Apakah Hanumku sudah berubah pikiran? Apakah dia mau tidur bersamaku malam sekarang?” batinku meracau. Sementara netraku memperhatikannya yang berjalan dan membuka lemari pakaian. “Num!” Aku menatapnya yang ternyata mengambil selimut. Dia menoleh. “Ya, Mas.” “Kamu ambil apa?” Dia hanya mengangkat tangannya dan menunjukkan satu buah selimut yang dia ambil. “Kamu tidur di mana?” Dia yang sudah hendak melangkah, menoleh dan tersenyum. “Di kamar sebelah, Mas. Bareng anak-anak.” Aku beranjak dan menahannya. “Boleh Mas peluk kamu, Num?” Wajah sudah memanas, tetapi kukesampingkan rasa gengsi. Aku benar-benar merindukan dia. Sepasang mata bening itu menatapku sekilas. Namun sebuah anggukan membuatku merasa lega.“Sebentar saja, ya ….” Langsung saja kurengkuh tubuhnya. Harum yang mengu
"Hanum, kemeja Mas untuk acara besok nanti sudah kamu setrikain ‘kan?” Aku bertanya pada Hanum---istriku. Saat itu dia tengah sibuk membereskan mainan si kembar Mahendra dan Daffa yang baru berusia satu setengah tahun. Kulempar tas kerja sembarang. Capek sekali rasanya hari ini di kantor. Banyak masalah berdatangan. Serta tuntutan bos yang memintaku untuk menaklukan salah satu customer baru yang mulai menunjukkan taringnya di dunia industri. Maklum, aku baru saja diangkat jadi manager. Jadi seolah perusahaan memintaku totalitas dan balas dari remunerasi yang merea berikan.“Sudah, Mas! Aku sudah simpan di dalam lemari! Hmmm … tapi, Mas! Kamu emang sendirian datang di acara ulang tahun perusahaannya? Rasanya aku lihat di undangannya boleh bawa pasangan?!” tanyanya. Ah, sial! Aku lupa tidak menyembunyikan surat undangan dari perusahaan waktu itu dan yang kukhawatirkan terjadi, Hanum menanyakan hal itu. “Oh, itu … itu mesti bayar lagi, Han! Jadi sebetulnya undangannya buat satu orang
Sial, tak mungkin jika itu mantan istriku. Di rumah saja penampilannya kusut semrawut gak karuan. Lagi pula, Hanum kan yatim piatu. Gak mungkin, gak mungkin kalau itu Hanum. Namun, kenapa wajah mereka sama?Perempuan itu pun melangkah dengan penuh percaya diri. Aku menatapnya sampai tak berkedip, terlebih ketika dia melirik dan melempar senyum kepada seluruh hadirin yang memenuhi ballroom hotel. Senyum itu, kerlingan mata dan lesung pipinya pun persis Hanum. Hanya saja, wajah perempuan yang berada di atas podium sana, tampak sekali mulus dan terawat. Namun, kalau dimake up, bisa saja ‘kan Hanum pun jadi seperti itu. Aku masih ingat, waktu awal nikah dulu, Hanum pun cantik. Hanya saja, aku memang belum cinta. Ya gitu, pernikahan karena dijodohkan, kadang seperti ini. Mungkin hanya ada di dalam drama yang berakhir dengan bucin dan indah. Namun dalam kehidupan nyata gak seindah itu.Dia pun mulai memberikan sambutan. “Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan pada jajaran tim yang
Aku lekas memakai pakaian dan mengambil gawai. Semoga saja Hanum pulang ke rumah Ibuku. Biasanya kalau dia ngambek pulang ke sana. Ya, walau sama adikku gak pernah akur, tetapi hubungan Hanum cukup baik dengan Ibu. Semoga saja ada di sana, kalau tak ada, ke mana aku harus mencarinya? Aku memijat nomor Ibu. Panggilan pun terhubung. Beberapa detik menunggu, hingga akhirnya tak ada jawaban kudapatkan. Kucoba lagi, tapi masih sama. Akhirnya kusudahi saja, biar besok pagi aku mampir ke rumah Ibu sebelum berangkat kerja. Kurebahkan tubuh, baru saja hendak terpejam. Layar ponsel menyala, getarnya terdengar. Lekas kuraih lagi. Rupanya Meli yang mengirimiku pesan.[Night! Makasih dah anter pulang! Nice dream.] Lengkung bibirku tertarik begitu saja. Rasanya lagi nostalgia. Dulu, waktu Meli sering main sama Risna. Diam-diam kami pacaran. Meli sering sekali mengirimiku pesan seperti ini. Ah, rindu itu kembali beterbangan. Rindu masa-masa belia yang indah. Bahkan hanya saling pandang saja teras
Sontak aku tertegun. Kutelan saliva. Bingung harus menjawab dia seperti apa. “Aku masih sendiri sampai hari ini loh, Mas. Apa kamu tahu kenapa? Karena di sini masih dipenuhi oleh semua tentang kamu. Tentang kita dan janji masa lalu.” Meli berucap lirih dan terdengar sedih, membuat aku merasa semakin bersalah padanya. “Maaf ya, Mel ….” Hanya itu kata yang kulontarkan. Lalu kami terjebak dalam keheningan. Mobil melaju dalam diam. Hanya lantunan lagu janji suci yang mengalun membawa kami bernostalgia pada masa-masa belia. Di mana ada janji yang terpaksa kuingkari dan tak kutunaikan. Janji akan membawanya ke pelaminan. Kecanggungan itu berangsur sirna ketika mobil sudah terparkir di area parkiran perusahaan. Aku dan Meli turun. Dia menenteng pukis yang sudah tak panas lagi dan berjalan menjejeri langkahku. Pukisnya gak panas, tapi hatiku yang menghangat tiap kali dekat dengannya. “Mas, kita sarapan di lobi atau kantin?” tanyanya. “Di lobi saja, Mel. Buatin kopi, ya?” Aku menoleh pad
“Ramdan, kenapa di rumah gak ada orang? Ibu dari tadi manggil-manggil Hanum tapi gak ada yang jawab. Ponselnya gak aktif juga. Apa Hanum pergi ke luar sama kamu?” telisik Ibu seraya melongokkan kepala ke belakangku. Aku menelan saliva. Rupanya Hanum tak pergi ke rumah Ibu. Lalu, aku harus jawab apa sekarang? Ibu kan sayang banget sama cucu-cucunya. Kalau dia tahu Hanum pergi bawa Mahe dan Daffa entah ke mana, habislah aku. “Ibu sudah lama, ayo masuk dulu, Bu!” Aku belum bisa jawab pertanyaan Ibu. Lekas kubuka gerbang dan mengajak Ibu masuk. “Kok sepi banget, Dan? Pada ke mana cucu-cucu Ibu?” tanyanya. “Bu, minum dulu saja, ya! Bentar aku masukin mobil dulu.” Aku mengambilkan air mineral dari dalam lemari es untuk Ibu.“Hanum sama cucu-cucu Ibu pada ke mana, Dan? Kok tumben rumahnya sepi kayak gini?” tanyanya lagi. Aku melengos saja. Gegas kutinggalkan Ibu dan memarkirkan mobil ke garasi. Mesin mobil sudah mati, posisi pun sudah pas. Namun aku bingung mau turun. Harus jawab apa s
Gedoran pada daun pintu membuat kesadaranku yang lenyap, tiba-tiba kembali datang. Aku membuka mata, tetapi alangkah kaget kuar biasa. “M--Meli?!” Aku terlonjak ketika mendapati tubuh tanpa sehelai benang pun meringkuk di sampingku. “Astaghfirulloh, Mas Ramdan!” Meli sama-sama memekik kaget. Gedoran pada daun pintu membuat aku yang panik lekas masuk ke dalam. Lebih panik lagi ketika ternyata pakaianku pun hanya menyisakkan celana dalam. Kudengar Meli membuka pintu. “Mbak, tolong, ya! Di sini bukan tempat kumpul kebo! Para tetangga bilang, ada lelaki yang nginep di sini?!” Kudengar suara seseorang dengan suara penuh tekanan. Aku lekas mengenakan pakaian, sedangkan Meli terdengar tengah menyangkal. Namun, sial, rupanya seorang lelaki menerobos ke dalam. “Ini Pak, lelakinya ada di sini!” Beruntung aku sudah mengenakan celana panjang, Hanya saja memang masih telanjang d*da. Si*l sekali aku hari ini. Sudah dibuat lelah dalam pencarian Hanum, kenapa juga malah ketiban s*al lagi di si