Share

BAB 13

Senin pagi yang muram, pikir Senja saat menengadahkan kepala untuk melihat langit dipagi hari. Seperti suasana hatinya saat ini. Suram, buram dan kelam.

Dua hari yang lalu adalah hari yang panjang baginya dan hari berikutnya tidak tahu akan bagaimana juga tidak tahu harus melakukan apa. Sama sekali tidak ada rencana. Sepertinya kepintaran yang dimilikinya tidak ada artinya.

“Non, kepalanya nggak pegal?” tanya seseorang pada Senja yang sejak tadi memerhatikannya dari jauh.

Senja tersentak kaget. Ia juga tidak tahu siapa orang yang sedang menyapanya ini. “Maaf, Pak. Bapak ini—”

“Oh, Bapak tukang kebun dirumah ini, Non.”

Senja tersenyum sopan, “Saya Senja, Pak. Orang baru suruhan Eyang Chandra,” ucap Senja memperkenalkan diri.

“Oh, si orang baru, toh. Bapak juga udah dibilangin pas hari jum’at kemarin. Tapi kita belum ada jumpa ya, Non, karena Bapak ndak tinggal dirumah ini. Bapak itu kerja dari hari senin sampai hari jum’at aja,” jelasnya panjang lebar tanpa diminta.

Senja mengangguk mengerti. “Maaf, kalau boleh tahu nama Bapak—”

“Oh iya lupa, nama Bapak itu Rusdiyanto Karimunah bisa dipanggil Rusdi, Rudi, Yanto, Anto, Karimun, tapi biasanya di panggil Dedek,” jelas Pak Dedek. “Oh, Nona penasaran ‘kan kenapa Bapak dipanggil Dedek?”

Senja menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan ingin menjawab bahwa ia tidak penasaran sama sekali tetapi diurungkannya.

“Bapak itu anak paling bontot dari 15 bersaudara, Non. Karena saudara Bapak itu banyak, kakak sama abangnya Bapak itu kalau manggil dek-dek, maksudnya adek gitu, Non. Jadinya panggilan Bapak sampai sekarang itu Dedek,” Pak Dedek mengoceh panjang lebar. “Tapi kalau nona mau panggil Bapak Rusdi, Rudi, Yanto, An—”

“Jing!” seru Trisma dari kejauhan memanggil seekor rusa yang berlari melewati Senja dan Pak Dedek.

“Waduh, si Jing lepas?” tanya Pak Dedek pada Trisma yang membungkuk dan kelelahan mengambil napas.

“Dirumah ini ada rusa?” tanya Senja heran darimana rusa itu berasal.

Pak Dedek melihat Senja dan menjawab, “Oh, Nona belum keliling rumah ini?”

“Pak Oh…tang…kap…si…Jing,” kata Trisma dengan putus-putus.

“Oh, si Jang sama Jeng, Nak Tri?”

“Mereka…di…kandang, yang keluar…cuma Jing,” jawab Trisma.

Pak Dedek mengangguk dan langsung berlari kencang mengejar rusa yang bernama Jing.

Setelah napas Trisma teratur, ia melihat Senja yang masih berdiri dengan wajah keheranan.

“Jing, Jang, Jeng?” kata Senja seperti mengucap mantra. “Dirumah ini ada rusa?” Senja mengulang pertanyaannya tadi yang belum terjawab.

“Iya, Mbak,” jawab Trisma. “Kembar tiga.”

“Kembar tiga?” Senja semakin heran mendengar jawaban Trisma. “Bagaimana bisa? Bukankah semua muka rusa sama?”

Trisma menggeleng, “Nggak, Mbak. Muka rusa itu beda-beda.”

Senja masih mengernyit heran. “Kandang rusanya dimana, Ris?” tanyanya.

“Di ujung sana, Mbak.” Trisma menunjuk kearah ujung belakang rumah yang memiliki jalan setapak rahasia karena tertutupi tanaman Lee Kuan Yew. “Mbak mau kesana?”

Senja menggeleng, “Nanti aja, Ris. Mbak mau kedalam dulu, ya.”

Trisma mengangguk. “Mbak udah sarapan?”

“Belum, makan bareng yuk, Mbok Asih masak apa?”

“Nak Tri!” panggil Pak Dedek. “Yang keluar bukan Jing tapi si Jeng,” katanya setelah berhasil menangkap rusanya dan memasukkannya ke dalam kandang.

Senja dan Trisma menoleh kearah Pak Dedek.

“Itu si Jing, Pak!” ucap Trisma tidak percaya. “Aku yakin seribu persen.”

“Oh, ndak!” bantah Pak Dedek “Bapak yakin seribu dua persen itu si Jeng.”

“Pak Oh nggak percaya?” tantang Trisma. “Ayo kita buktikan sekarang! Kita lihat pantatnya.” Trisma ingin melangkah menuju kandang rusa.

“Oh, Bapak udah lihat pantatnya, Nak Tri,” ujar Pak Dedek yang membuat langkah Trisma berhenti.

“Ada tompel putihnya?” tanya Trisma.

Pak Dedek mengangguk yang membuat Trisma tersenyum malu karena kesalahannya.

Trisma cengengesan kemudian berkata, “Tompelnya terlalu kecil, Pak, jadinya nggak kelihatan.”

“Oh ya udah toh, Bapak cuma mau kasih tahu aja, biar kamu ndak salah lagi,” ucap Pak Dedek. “Bapak kesana dulu ya, mau bersihin kolam ikan.”

“Iya, Pak.” ucap Senja dan Trisma bersamaan.

“Monggo,” ucap pak Dedek pada dua gadis itu.

“Kenapa kamu panggil Pak Dedek dengan sebutan Pak Oh, Ris?” tanya Senja yang dari tadi diam mengamati pertengkaran kecil Pak Dedek dan Trisma.

Trisma tertawa kecil. “Di rumah ini memang panggilannya Pak Oh, Mbak,” jawab Trisma. “Dari tadi Mbak nggak ada hitung berapa kali Pak Oh ngucapin kata ‘Oh’?” tanya Trisma menekankan kata ‘Oh’.

Senja menggelengkan kepalanya. “Apa perlu di hitung?”

Trisma terkekeh. “Perlu untuk dokumentasi, Mbak,” candanya.

“Kamu ini ada-ada aja,” balas Senja dengan tertawa.

“Non Senja,” panggil seseorang dari kejauhan.

Senja menoleh dan mendapati Mbok Minah tergesa-gesa memanggilnya.

“Itu Mbok Minah panggil, Mbak,” ujar Trisma.

Mbok Minah berjalan cepat mendekati Senja dan Trisma.

“Pelan-pelan aja, Mbok! Mbak Senjanya nggak akan terbang kok,” canda Trisma.

“Ada apa, Mbok?” tanya Senja saat Mbok Minah sudah berada dihadapannya.

“Gawat Non! Gawat!” pekik tertahan Mbok Minah.

Senja sudah mewanti-wanti, ada apa lagi ini? batinnya.

“Gawat kenapa, Mbok?” tanya Trsima penasaran.

“Tuan Dipta….” jawab Mbok Minah. “Mau menghancurkan sepeda motor Non Senja.”

*~*~*~*~*

Mentariz

Terima kasih sudah menyempatkan membaca cerita saya :) Cerita ini akan di update setiap hari senin sampai jum'at pukul delapan malam. Semoga kalian menyukai cerita ini :)

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status