Setelah mendapat persetujuan dari Kinara, Dinda kembali mempersilahkan karyawannya itu untuk kembali bekerja.
Dinda tidak ingin, jika karyawannya yang lain akan merasa curiga, kalau dia dan Kinara mengobrol dengan cukup lama.
Sepeninggalnya Kinara, Dinda pun segera meraih gagang telepon kantor, jari tangannya menekan beberapa buah nomor yang hendak dia hubungi.
"Iya, Bu, ada keperluan apa?" sahut seseorang dari balik telepon.
"Dzikri, tolong datang ke ruangan saya secepatnya. Kalau semuanya sudah selesai, bawa apa yang saya minta kemarin."
"Baik, Bu!"
Tidak lama kemudian, sambungan telepon terputus. Dinda kembali meletakkan gagang telepon pada tempatnya.
Apa yang sudah Dinda katakan, kalau dia dan Dzikri akan bersikap profesional ketika berada di kantor, berbanding terbalik ketika berada di luar.
***
Tok ... tok ....
Dinda yang tengah berkutat dengan laptop yang ada di depannya, mendengar ada seseorang yang mengetuk pintu dari luar.
"Masuk!" sahut Dinda tanpa sekalipun melepaskan pandangan dari layar laptop.
Detik berikutnya, pintu ruangan Dinda terbuka, memperlihatkan Dzikri yang tampak rapih dengan setelan jas kantor serta kacamata yang bertengger di wajahnya.
"Bu, data-datanya sebagian sudah selesai. Saya letakan di meja," ucap Dzikri seraya berjalan ke arah meja yang berada di depan sofa.
"Dzikri, aku harus berbicara denganmu."
"Mengenai apa, Bu?"
"Panggil aku Dinda dulu! Kali ini, aku akan berbicara padamu sebagai seorang teman, bukan sebagai seorang atasan dan bawahan," balas Dinda dengan cepat, bersamaan dengan itu, dia bangkit dari kursi, menghampiri Dzikri yang masih mematung di dekat sofa.
"Ada apa?"
Dinda menghela napas panjang, dia langsung mendaratkan bobot tubuhnya di sofa.
"Apa yang kamu dapatkan kali ini?"
Dzikri ikut terduduk di samping Dinda, sebelum akhirnya membuka sebuah berkas yang tertutup map berwarna biru dan segera menyerahkan pada Dinda.
"Tidak banyak yang aku dapat, hanya beberapa fakta yang sudah kamu ketahui."
Dinda meraih berkas yang Dzikri sodorkan, kemudian mulai membacanya dengan cukup teliti.
Dzikri yang tahu, kalau Dinda tidak suka diganggu ketika sedang serius membaca atau mengerjakan sesuatu, sehingga Dzikri memilih untuk terdiam seraya mengamati gadis itu dengan cukup lekat.
"Jadi, benar kalau Nadin itu berasal dari panti asuhan," ucap Dinda tanpa melepaskan pandangan dari kertas yang ada di hadapannya.
"Iya, dia dari panti asuhan, sebelum akhirnya diadopsi oleh salah satu keluarga," jelas Dzikri, karena tidak mau di anggap tidak becus bekerja oleh Dinda.
"Menarik juga. Tetapi, kenapa kedua orang tua angkatnya bisa meninggal?"
Dzikri mengatupkan bibir, raut wajahnya memperlihatkan ekspresi kebingungan.
"Mungkin ... sakit," jawab Dzikri dengan nada bicara yang nyaris tidak terdengar.
"Cari tahu lagi!" titah Dinda membuat Dzikri langsung menghela napas panjang, sehingga langsung menarik perhatian Dinda.
"Kenapa, kamu tidak suka di perintah olehku?!" sungut Dinda seraya menatap Dzikri dengan tajam.
Dzikri yang tidak terima telah di tuduh seperti itu oleh Dinda, langsung melebarkan mata sembari mengibas-ngibaskan tangannya di udara.
"Bukan seperti itu, Dinda. Kamu suka sekali membuatku tersudut!" protes Dzikri dengan wajah yang sedikit mengeras.
Anehnya lagi, itu terasa sedikit lucu bagi Dinda, sehingga membuat wanita itu langsung tergelak.
Dzikri yang semakin tidak terima dengan perbuatan Dinda, hanya mampu memutar bola mata dengan cepat, kemudian satu tangannya secara spontan menutup mulut Dinda, hingga membuatnya meronta-ronta.
"Apa yang kamu lakukan, Dzikri?" sungut Dinda dengan wajah yang sedikit memerah. "Kamu sudah berani bersikap seperti itu pada atasanmu?"
Dzikri tidak terlalu menghiraukan ucapan Dinda, pria yang usianya sebaya dengan June--Kakak kandung Dinda itu malah menyandarkan tubuhnya di sofa.
"Bukannya kamu bilang, kalau kamu ingin kita mengobrol sebagai teman, bukan sebagai atasan dan bawahan?"
"Ya-ya, aku akui hal tersebut."
"Sudah, sekarang ada hal lain yang ingin aku katakan padamu."
"Apa?" respon Dinda dengan cepat.
Dzikri mengambil alih berkas yang ada di tangan Dinda, dibukanya lembaran yang menampilkan data diri Arkan.
"Kamu tahu 'kan, kalau calon suamimu itu adalah anak dari salah satu orang yang hendak bekerja sama dengan perusahaan Papiku?"
Dinda mengangguk sebagai respon, dia tidak ingin menyela dan membiarkan Dzikri melanjutkan penjelasannya.
"Aku sudah menceritakan semua yang aku dapatkan ini pada Papiku, termasuk mengenai perselingkuhan Arkan dan Nadin yang aku temui dari akun F******k tersebut."
"A-apa kamu menceritakan semuanya pada Om Burhan?"
Tanpa ragu, Dzikri mengangguk. Meskipun dia tahu, kalau Dinda mungkin akan murka, karena dia telah membocorkan hal tersebut pada Papinya.
Buktinya, beberapa detik kemudian Dinda langsung menarik napas panjang, hendak memarahi Dzikri. Tetapi, dengan sigap, Dzikri mengangkat tangan, memberikan isyarat pada Dinda untuk diam.
"Kamu tahu juga, 'kan, kalau Papiku sudah menganggapmu seperti anaknya dan dia sangat murka, Dinda."
"Murka?" tanya Dinda seraya membulatkan mata.
"Ya dan kabar baiknya, Papiku berniat membatalkan kerja sama tersebut. Tetapi, kamu tenang saja, pihak Ayah Arkan tidak akan tahu, kalau alasan pembatalan kerjasama ini adalah gara-gara masalah pribadi."
"Bukannya itu sangat kejam?"
Secara otomatis, pertanyaan tersebut meluncur dari mulut Dinda, hingga membuat Dzikri menggeleng.
"Tidak ada yang kejam bagi seorang pria yang berselingkuh," ucap Dzikri dengan satu sudut bibir terangkat ke atas. "Kalau perusahaan Ayahnya Arkan mengalami krisis, dia pasti akan datang padamu dan kamu tahu apa yang harus kamu lakukan saat itu, 'kan?"
"Mengungkapkan perselingkuhan Arkan dan Nadin," jawab Dinda tanpa ragu.
Sontak, Dzikri langsung menjentikkan jari, sehingga membuat Dinda langsung tersenyum.
"Betul sekali. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Kali ini, Arkan akan benar-benar kehilangan segalanya, termasuk kepercayaan dari Ayahnya itu."
Drrt ... drrt ....
Perhatian Dinda dan Dzikri sedikit teralihkan, ketika mendengar suara getar gawai yang berasal dari meja kerja Dinda.
Gegas Dinda menghampiri gawai miliknya, tetapi seketika saja mataku membulat, kala melihat sebuah nama terpampang jelas di layar.
"Bang June!" seru Dinda.
"Ha-halo, ada apa, Bang?" tanya Dinda dengan sedikit terbata-bata, sesekali dia menggigit bibir, menunggu jawaban dari June."Kamu ada di mana?"Sontak, Dinda membeliak, secara spontan dia langsung menyandarkan tubuhnya pada meja kerja."Tentu saja aku ada di kantor, memangnya kenapa?""Aku akan ke sana sekarang!""Apa?!" teriak Dinda dengan cukup keras, hingga membuat Dzikri terlonjak. Dalam hati, Dzikri terus berucap syukur, karena dia tidak memiliki riwayat sakit jantung maupun darah tinggi. Kalau hal itu sampai terjadi, bisa-bisa riwayatnya benar-benar tamat gara-gara Dinda yang tidak bisa mengontrol diri."Lah, bukannya Abang ada lagi di luar kota, lantas kenapa tiba-tiba ingin bertemu denganku?" tanya Dinda yang dipenuhi oleh beribu kebingungan.Mendengar hal tersebut, Dzikri yang tengah meminum sebotol air mineral, hampir saja tersendak. Untung saja, Dinda tidak menyadari hal itu, kalau saja Dinda alias macan betina--panggilan akrab yang selalu Dzikri lontarkan pada wanita i
"Jadi, apa yang mau Abang bicarakan?"Dinda langsung membuka percakapan, ketika dirinya dan June sudah berada di sebuah kafe yang sangat sepi.Sesekali Dinda mengedarkan pandangan ke sekeliling, berharap ada tamu yang masuk ke kafe, sehingga suasana yang terasa diantara dirinya dan June tidak terlalu mencekam.Namun, seketika saja kedua bola mata Dinda membulat, kala dia melihat ada tulisan tutup yang terpampang di pintu masuk."Bang, kafenya lagi tutup, kenapa kita masuk ke sini. Ayo, kita cari kafe yang lain!"Di saat Dinda berdiri, hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba saja June menarik tangan Dinda, hingga adiknya itu kembali terduduk di kursi."Sengaja gue sewa kafe ini, biar bisa ngobrol empat mata sama lu."Deg!Dinda menelan ludah, keringat dingin terasa membanjiri tubuhnya. Sesekali dia menggigit bibir, kala merasakan sorot tajam June mengarah langsung padanya."Memangnya apa yang mau Abang bicarakan?"June menghela napas panjang, kemudian merogoh sesuatu dari saku jaketnya. "
Waktu yang berjalan terasa jauh lebih singkat dari biasanya, hawa di sekitar ruangan terasa begitu menyesakkan dada. Sesekali Dinda mengetukkan jari telunjuknya pada meja kafe, berusaha mengusir jenuh dan ketegangan yang terus menghantui diri. Tidak ada obrolan yang terjadi diantara ketiganya, semua orang terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing.Namun, tanpa Dinda sadari, bahwa sedari tadi June sesekali melirik ke arahnya dengan tajam."Sebentar lagi Eyang datang, kamu harus bersiap menjelaskan semuanya, Dinda," ucap June memecah keheningan.Dinda menghela napas panjang, kembali mengangguk pelan."Iya, Bang.""Tidak usah panik, aku yakin kalau Pak Bramantyo tidak akan memarahimu." Dzikri berusaha menenangkan Dinda. Dia tahu kalau gadis itu tengah dilanda rasa ketakutan."Iya, aku tahu, Dzikri.""Kamu tahu, tetapi wajahmu sama sekali tidak memperlihatkan hal tersebut," celetuk Dzikri membuat Dinda langsung menoleh, menatapnya tajam."Diam!" geram Dinda seraya menggertakka
Sementara itu, tidak jauh dari kafe, Dzikri berlari mengejar June yang langkahnya begitu lebar, menghampiri mobil SUV hitam miliknya yang berada di tempat parkir.Ketika June hendak masuk ke mobil, Dzikri langsung menghalangi pergerakan June, hingga pria itu langsung melayangkan sorot mata tajam pada Dzikri."Jangan halangi jalan gue, Zik!""June, jangan main hakim sendiri! Bisa-bisa lu pecahin kepala orang. Gue tahu, lu lagi emosi, tapi gak gini juga, June."Dzikri berusaha mencegah June untuk pergi, tetapi pria itu malah berdecak, kemudian menoleh ke arah Dzikri seraya tersenyum sinis."Kenapa, hah?!" Tiba-tiba June mendorong tubuh Dzikri, hingga mundur beberapa langkah. "Dari awal lu selalu halangi gue, Zik. Kenapa? Apa jangan-jangan lu ada di pihak, Arkan?" tuduh June dengan tatapan setajam elang."Jangan lawak, June. Sejak kapan gue ada di pihak dia. Lu jangan nuduh gue sembarang."Meskipun begitu, June yang sudah dikuasai oleh emosi, tidak menghiraukan ucapan Dzikri dan langsung
Kebetulan sekali, di tempat yang berbeda, tepatnya di sebuah restoran. Secara terang-terangan Arkan bertemu dengan wanita selingkuhan di depan umum.Sebenarnya ini bukan kali pertama, bagi Nadin dan Arkan bertemu setelah mereka menjalin hubungan terlarang, hanya saja Nadin selalu khawatir, kalau aksi mereka berdua akan dipergoki oleh seseorang yang mereka kenal."Sayang, kenapa kamu malah ngajak aku ketemu di restoran dekat kantor, sih! Kamu cari mati banget," gerutu Nadin dengan bibir yang sedikit mengkerut.Nadin merasa kesal sekaligus marah, karena telah di jadikan selingkuhan oleh Arkan, sehingga tidak bisa bebas bertemu dan bermanja-manja pada pria idamannya tersebut secara bebas.Padahal kalau menurut Nadin, jika Arkan memilih untuk berpisah dengan Dinda, tidak ada yang perlu pria itu takutkan, karena dia juga bukan pria yang terlahir dari keluarga miskin ."Terus kamu mau kita bertemu di mana? Di kosan atau hotel gitu?" tanya Arkan dengan sewot, membuat bibir Nadin semakin meng
Nadin masih tampak gelagapan, mulutnya terbuka sedikit demi sedikit, seperti hendak mengatakan sesuatu.Akan tetapi, bak pahlawan berkuda putih di siang bolong. Arkan langsung menyelamatkan sang selingkuhan tepat di depan Dinda."Mungkin Nadin tidak bertemu dengan dia, makanya gak sempat diajak pergi gitu."Mendengar hal tersebut, Kinara hanya mengangkat sebelah alisnya seraya mengedikkan bahu."Ya, itu memang benar, kalau Nadin dan aku tidak berpapasan. Lalu, bagaimana denganmu, Nia?"Kinara balik bertanya pada Nia yang berdiri tepat di sampingnya. Di mana wanita itu pun turut mengedikkan bahu."Kami sempat berpapasan, tetapi Nadin tidak mengucapkan sepatah katapun."Nia dan Kinara masih asik menjatuhkan Nadin tepat di hadapan Dinda, membuat Nadin dan Arkan begitu kalang-kabut. Hingga mereka semua tidak sadar, kalau sedari tadi satu sudut bibir Dinda tersungging.Dalam hati, Dinda terus bertepuk tangan, memberikan semangat pada Nia dan Kinara untuk terus memojokkan Nadin dan Arkan. D
Waktu istirahat sudah berakhir, semua karyawan kembali bekerja dengan seperti biasanya. Nia dan Kinara pun sudah pamit pada Dinda untuk kembali ke kantor, hingga di restoran hanya tinggal Dinda dan Arkan saja."Sayang, kayaknya uang yang kemarin kurang, deh," ucap Arkan secara tiba-tiba, membuat Dinda bergegas menoleh ke arahnya dengan satu alis terangkat. "Emm, kalau boleh aku bisa gak minta uang tambahan lagi."Dinda menghela napas panjang, ketika mendengar permintaan Arkan yang Dinda pun tahu sekarang, kalau uangnya tersebut di gunakan bukan untuk persiapan pernikahan.Melainkan untuk membiayai selingkuhan Arkan yang tidak lain adalah Nadin dan untuk kali ini, Dinda tidak akan tertipu olehnya lagi."Memangnya buat apa lagi, Sayang?" tanya Dinda seraya menatap Arkan dengan intens."Ya, untuk biaya pernikahan!" dalih Arkan. Anehnya lagi, pria itu malah memalingkan wajah, seolah-olah takut saling beradu pandang dengan Dinda.Mungkin Arkan takut, kalau kebohongan akan terbongkar melal
Di sela-sela rasa sakitnya, Arkan berusaha meraih gawainya yang ada di saku celana, kemudian menghubungi seseorang yang terlintas dalam benaknya."Hamzah, lu ada di mana?" tanya Arkan dengan suara tersengal-sengal."Gue ada di bengkel, lu kenapa, Arkan?"Arkan terbatuk-batuk, dia merebahkan tubuhnya di rerumputan yang ada di samping jalan.Sedari tadi, tidak ada satupun orang yang lewat ke hadapan Arkan, sehingga dia tidak bisa meminta pertolongan pada siapapun."Cepet lu ke jalan merpati, gue ada di sana!"Bip!Tanpa menunggu jawaban dari Hamzah, Arkan langsung mematikan sambungan telepon dan kembali merebahkan tubuh di rerumputan.Sesekali Arkan menarik napas panjang, kala dadanya terasa begitu sesak, akibat di pukuli ketiga orang tersebut.***Hamzah--tidak lain adalah orang yang paling dekat dengan Arkan, bergegas memasukkan gawai ke saku jaket, kala mendapat telepon dari Arkan.Entah kenapa, Hamzah merasa ada yang tidak beres dengan Arkan, kala mendengar nada bicara Arkan yang se