Aku tidak boleh memb*nuhnya.
Aku tidak boleh memb*nuhnya.
Kata-kata itu kurapal bagai jampi. Berharap seluruh hasrat menggebu di dalam dadaku sedikit menguap.
Aku tidak boleh memb*nuh mereka. Bukan karena aku tidak mau, tapi aku tidak ingin Andra mempunyai ibu seorang pembunuh. Setidaknya, tidak secara langsung.
Namun, bagaimana mungkin ada orang yang sangat tidak tau diri seperti mereka?
“Mbak, bolehkan aku tinggal sama Mbak dan Mas Abrar di sini?” suara rajukkan itu menghentikan langkahku.
Pagi-pagi sekali mereka tiba-tiba muncul di pintu rumahku. Seakan ingin mengikrarkan jika semalam mereka sudah melakukan penyatuan dengan halal. Bahkan rambut mereka berdua masih lembab sehabis keramas. Sama sekali tidak berniat menyembunyikan kenyataan itu.
Aku hampir saja membanting pintu di depan wajah mereka saat menemukan keduanya di depan pintu. Berkali-kali gadis itu mengibaskan rambut panjangnya, berharap noda keunguan di leher
“Oya, Mas, apa pesta pernikahanmu kemarin menggunakan uang tabungan Andra?”Pria itu membeku di pintu dengan koper yang sudah kurapikan. Untuk sejenak ia tampak menimbang, meski aku tau apa yang akan dikatakannya.“Aku hanya meminjam sedikit, akan segera kuganti,” katanya, terdengar ketus.“Biaya bulan madu mewahmu ini juga?”“Akan segera aku ganti, Mia!” tukas pria itu kesal.Aku tersenyum sinis.“Papa!” Suara Andra muncul dari balik pintu kamar bercat biru dengan gambar donal bebek kesukaannya. Ia berdiri di ambang pintu, tubuh kecilnya berbalut kemeja sewarna langit pagi, dan matanya jelas masih mengantuk. Jihan mendampingi di belakang tubuh mungil itu. Semalam aku memang meminta Jihan tetap tinggal di kamar Andra, selama kamarnya belum dirapikan.“Halo, Sayang!” Pria itu berlutut, memeluk Andra. “Gimana kaki Andra? Masih sakit?” tanya
Dahulu kala, ada seorang gadis lugu yang sangat miskin. Ia hidup hanya untuk mencari makan. Namun, saat melihat orang-orang seuisanya memadu kasih, ia menjadi sangat iri. Kini kepalanya terbelah. Satu sisi memikirkan suapan nasi, sisi yang lain mendamba pangeran berkuda putih yang akan menyelamatkannya dari seluruh kemiskinan itu, dan mengelilinginya dengan rasa cinta yang tulus.Bagai mimpi Cinderella.Dan, aku salah satu dari gadis bodoh yang memimpikan hal itu.Terlebih ketika tiba-tiba saja Tuhan memunculkan sosok Xei di dalam kehidupanku yang menyedihkan.Ia seorang pangeran. Putra terakhir dari tiga bersaudara keluarga Miles, yang juga menjadi penerus utama bisnis keluarganya yang cukup besar. Bagai mimpi yang menjadi nyata. Xei yang secara tiba-tiba hadir membuatku terbuai seketika. Sejenak aku mulai bermimpi bagaimana indahnya menjadi nyonya pengusaha kaya yang tak perlu sibuk-sibuk memikirkan makan esok hari.Namun, tentu saj
“Mbak yang tadi itu siapa?”Baru saja aku menutup pintu mobil di sampingku, Nara sudah melontarkan pertanyaannya.“Bukan siapa-siapa,” jawabku singkat. Nara tampak tidak puas, tapi tidak bertanya lagi. Mungkin dia sudah menyadari betapa raut wajahku bukan raut wajah yang bisa diajak bicara.Sejenak ia melihat ke belakang, ke tempat pria itu berdiri setelah mengantar kami sampai ke depan showroom mobilnya.Akhirnya, setelah berhasil mengabaikan desak pertanyaan Xei, kami bisa pergi. Rencana mencari mobil hari ini langsung kuurungkan, toh masih ada esok hari.Namun, ketika keesokan harinya sebuah mobil diantar bergitu saja ke rumahku, aku tau lagi-lagi aku terjebak di sebuah pusaran yang sama.***Pagi itu aku terbangun dalam keheningan yang tak lagi asing. Langit-langit kamar yang kelam, fajar yang masih terlalu dini untuk mengundang kokok ayam, bahkan detik suara jarum jam masih begitu me
Sehari sebelum kepulangan mereka berbulan madu, Ibu mertuaku datang ke rumah. Ia membawa sekotak donat kesukaan Andra, dan beberapa plastik buah. Keriangan Andra saat menyambut nenek dan tantenya terlihat begitu normal, sampai aku sempat berpikir bahwa mungkin semuanya akan baik-baik saja.Mungkin akhirnya aku bisa melalui hari-hari selanjutnya dengan damai, dengan dukungan mereka semua.“Ibu dengar Nuri nanti mau tinggal di sini sama kalian?” Ibu membuka percakapan saat kami berada di dapur.Jihan menjemur pakaian di luar, Andra dan adik iparku berada di kamarnya. Bocah itu sibuk menunjukkan hasil karyanya dengan riang kepada sang tante yang jarang ia temui karena gadis itu sibuk kuliah dan berpacaran kurasa.“Iya,” jawabku singkat.“Kamu nggak apa-apa?”Pertanyaan itu membuat dadaku sedikit luruh, apakah akhirnya Ibu menyadari bagaimana perasaanku saat ini?Seketika aku merasa mataku mulai memanas
“Kalau begitu, pinjam saja uang amplopnya Nuri kemarin.” Aku sudah berusaha keras untuk mempertahankan suaraku agar tetap datar, tapi ternyata tidak bisa.“Duh, gimana sih kamu, itu kan uang buat dia, buat perisapan lahiran dia juga. Kasihan lah. Masa uangnya mau dipinjam buat pernikahan Syila?”Jadi jika untukku tidak kasihan? Apa dia lupa Andra masih harus melalui berbagai terapi untuk kakinya?Aku meletakkan gelas di westafel, mencucinya dalam diam.“Mia nggak punya simpanan lagi. Sudah habis. Apalagi sekarang dipakai buat bulan madu juga sama Mas Abrar. Kalau Ibu mau silakan ibu minta sama mereka, bukan sama Mia.”“Kamu kenapa sih? Kok jadi berubah pelit begini?!” Ibu membentakku kesal. “Ini buat adik iparmu juga loh, buat Syila! Bukan buat Ibu sendiri! Masa Ibu mau pinjam uang aja nggak dikasih? Nanti kalau sudah ada uangnya lagi Ibu juga ganti kok! Kayaknya kamu takut banget uangnya nggak
Beberapa hari sebelumnya.“Mobil siapa ini, Pak?” tanyaku kepada pria berseragam yang mengantarkan mobil itu ke rumah.“Benar dengan ibu Miranda Ardiana?” pria berseragam putih itu balik bertanya. Ia menunjukkan berkas di tangannya, memperlihatkan namaku.Aku mengangguk, tapi keningku semakin berkerut.“Iya, betul saya.”“Saya ditugaskan mengirim mobil ini ke rumah Ibu,” jawabnya tersenyum sopan.“Tapi saya nggak beli mobil,” tukasku cepat. Jelas ada kesalahan di sini.“Eh?” Pria itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia melirik salah satu rekannya yang lain, bertanya saling melempar pandang. “Tapi ini alamat ibu dan nama ibu, kan?” tanyanya lagi.“Iya, Pak, tapi saya nggak beli. Saya nggak pernah bayar.”“Ehhh?” Kedua wajah itu semakin syok.Tak lama sebuah mobil lain datang, dan Rosa keluar
“Dah, Maa!!!” Andra melambaikan tangan di samping Jihan dan Silvia. Aku membalas lambaian tangannya dengan sebuah senyuman lebar, sebelum membawa mobil itu pergi menjauh. Kucoba menyalakan radio, berharap musik yang mengalun bisa membaurkan seluruh benang kusut dalam kepalaku.Tadi, ketika kami di perjalanan menuju sekolahnya, Andra tampak sedikit murung di kursi penumpang di sampingku.Padahal biasanya ia memiliki begitu banyak cerita tentang rencana bermainnya hari ini, meski kemarin sepulang sekolah ia sudah menceritakannya.“Andra kenapa, Nak? Ada yang sakit?” tanyaku, mencoba menarik perhatiannya.Kepala bocah kecil itu tertunduk di sampingku. “Mama… kenapa… Tante Nuri nginap di rumah kita?” tanya Andra setelah diam beberapa saat.Tanganku mencengkram erat kemudi, sedang kepalaku sibuk mencari celah jawaban yang tepat tanpa menyakiti hati kecilnya.“Tante Nuri lagi sakit, makanya n
Karma itu nyata.Kau akan menuai apa yang kau tanam.Mungkin tidak secara langsung, mungkin tidak pada saat itu juga, tapi jelas karma tidak pernah salah sasaran.Lalu apakah ini karma Syila?Kenapa? Untuk apa? bisakah aku menemukan benang merah agar aku merasa tenang dan mengabaikan musibah yang terjadi kepadanya?Hidup akan selalu berada di antara pilihan-pilihan. Dari hal yang spele, seperti ketika kau harus memilih antara makan malam sisa makanan siang tadi yang dipanaskan, atau memilih menenggelamkan diri dalam lelap, dalam keadaan lapar, sampai menentukan pilihan untuk hal yang lebih kompleks, seperti apakah kau harus mengatakan tentang perselingkuhan calon suami adik iparmu, atau tetap bungkam.Sejujurnya, kini semua jawabanku menjadi lebih subjetif. Jika aku mengetahui hal ini sejak dulu, aku takkan mungkin berdiri dengan setenang itu saat melihat Aldo bersama gadis lain di sebelahnya begitu saja. Sebuah tamparan? Sebuah pukulan? Ata