Wanita yang hadir di hadapan Wulan saat ini tak mengada-ada. Wanita yang selama ini diakui sebagai kerabat jauh oleh suaminya ternyata sosok yang menjadi kakak madunya. Wulan tak menyangka jika ternyata sosok wanita yang hadir dalam kehidupannya hari ini akan menjadi pengubah jalan hidupnya sejak saat ini.
Wulan menggugam perlahan. Wanita ini bukanlah kerabat suaminya. Dia merupakan wanita yang lebih dulu hadir dan dihalalkan lelaki yang menjadi imam kehidupannya saat ini. Bahkan sampai saat ini, ikatan mereka masih ada dan terjalin dengan kuatnya. Tak terputus. Hanum Khoirunnisa, wanita yang berstatus sebagai istri pertama seorang Damar Prawira. Dan itu artinya Wulan hanyalah seorang wanita kedua. Wanita yang akan dicap sebagai perusak dan pengganggu rumah tangga wanita lainnya. Laki-laki yang selama ini dibanggakan Wulan ternyata seorang pembohong dan pendusta. Dua tahun mengabdi sebagai istri seorang Damar Prawira bukanlah waktu yang singkat bagi Wulan. Hidupnya dibaktikan untuk lelaki itu dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Tak pernah terbayangkan jika akhirnya cintanya akan berbalas seperti ini. Wulan terhenyak. Memejamkan mata sembari berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin dari sekitarnya. Ternyata dirinya tak lebih sebagai duri yang menancap tiba-tiba dalam kebahagiaan keluarga mereka. Adilkah semua ini untuk dirinya yang sesungguhnya tak tahu apa-apa? "Bu Wulan tak tahu jika Mas Damar mempunyai keluarga yang ditinggalkannya di Bandung sana?" Kembali Hanum bersuara setelah hening yang tercipta di antara mereka. "Atau Bu Wulan tahu, tapi sengaja pura-pura tidak tahu? Memilih abai hanya karena ingin menjadikan Mas Damar sebagai pendamping hidup Ibu yang masih sendiri di usia yang seharusnya sudah berkeluarga?"Kalimat bernada sinis itu dilontarkan Hanum dengan senyum kecut di bibirnya. Jelas sekali wanita ini berusaha menyudutkan Wulan yang masih syok dengan semua yang baru disadarinya. Pertanyaan Hanum itu membuat Wulan kembali berusaha menegakkan kepalanya. Menatap tajam ke arah Hanum dengan napas yang memburu. Wulan merasa berhak untuk membela diri. Bukankah dirinya tak tahu apa-apa? Dirinya tak pernah tahu jika Damar telah berdusta atas statusnya. Ingin marah, Wulan ingin menyampaikan pembelaannya. Bukan tuduhan keji seperti ini yang harus didapatkannya."Ibu harus tahu kenyataan yang sesungguhnya. Saya tak ingin disalahkan atau disudutkan dengan cara seperti ini. Ibu tak pantas menuduh saya jika sesungguhnya Ibu tak tahu apa-apa."Tegas kalimat itu Wulan ucapkan. Bukan ingin meminta empati Hanum. Tidak. Wulan hanya ingin wanita yang duduk di hadapannya ini tak menyalahkan dirinya begitu saja. "Dan satu lagi, Ibu tak perlu mengaitkan usia dan status saya dalam masalah ini. Apalagi mempertanyakan mengapa saya lambat untuk mengikat diri dalam sebuah ikatan pernikahan suci!""Ingin membela diri?" balas Hanum masih dengan nada sinisnya. "Jelas. Saya harus melakukannya. Karena ada harga diri yang sedang saya perjuangkan!" tukas Wulan tak kalah tegasnya. "Wanita seperti Anda masih bicara tentang harga diri? Ayolah Bu, jangan membuat saya ingin tertawa mendengarnya!"Senyum bermakna ejekan terlihat dari bibir Hanum. Dan Wulan semakin merasa yakin jika harus membela dirinya. Tak ingin menjadi bulan-bulanan ejekan seperti ini. “Saya berkenalan dengan Mas Damar dalam waktu singkat. Memang tak lama. Hanya dalam hitungan bulan saja. Tidak butuh waktu bertahun-tahun untuk membuat saya menerima sosoknya sebagai teman dekat kala itu."Wulan memejamkan matanya. Berusaha menghalau aliran bulir bening yang ingin lolos dari ujung kedua netranya. Menghela napas dalam-dalam untuk memastikan suplai oksigen di paru-parunya masih tersedia dengan cukup. Dirinya tak boleh menangis. Wulan tak ingin Hanum merasa di atas angin jika melihat tangisannya. "Ajakan beliau untuk menikah bagi saya cukup untuk menunjukkan keseriusannya. Jangan pernah berpikir jika saya merupakan tipe wanita perebut suami orang! Saya tak akan sehina itu, Bu. Saya punya keluarga. Punya harga diri sebagai wanita yang pantas mempertahankan kehormatan keluarga saya."Wulan menjeda kalimatnya. Berusaha menahan himpitan sesak di dadanya. "Tapi kenyataannya Ibu sudah merebut suami saya bukan? Itu kenyataan, tak akan dapat terelakkan," sambar Hanum dengan cepat. Wulan menguatkan diri. Menekan sesak yang membuncah di dadanya. Marah, kecewa, kesal, berbaur dalam satu gumpalan rasa. "Saya punya harga diri yang tak akan saya rendahkan hanya untuk merusak rumah tangga wanita lain. Saya punya keluarga yang tak akan saya permalukan dengan menjadi perebut suami orang. Dan saya, masih punya rasa malu untuk menjadi wanita kedua dalam pernikahan wanita lain tentunya," ucap Wulan berusaha kembali tegas. Dirinya masih waras. Masih punya nurani untuk tak menyakiti wanita lain. Bukan menentang poligami, tapi Wulan memang tak ingin terlibat di dalam hal rumit itu. Apalagi sampai menjadi pemain utama dalam kisah yang dibenci seluruh wanita di dunia ini. Namun apa hendak dikata, tanpa disadari Wulan sudah terlibat dalam poligami yang tak diinginkannya itu saat ini. Tanpa sengaja, tanpa diduga. Bahkan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ternyata dirinya hanyalah istri kedua. Wanita kedua yang hadir dalam kehidupan Damar Prawira. Hanum terdiam. Wanita yang duduk di hadapan Wulan itu ikut mengembuskan napasnya. Panjang dan dalam rentang waktu yang lama. Membuang karbondioksida yang mungkin menumpuk di paru-parunya. Berusaha mencerna setiap kata dalam susunan kalimat yang disampaikan Wulan tadi. "Saya mencoba memahami perasaan Bu Wulan saat ini. Rasa marah dan kecewa yang Ibu alami saat ini saya pikir tak seberapa jika dibandingkan dengan kecewa dan marahnya saya saat mengetahui jika suami yang saya cintai diam-diam telah menduakan cinta saya. Mengkhianati kepercayaan saya. Membuat perahu rumah tangga yang sedang kami naiki oleng seketika. Bahkan karam di tengah lautan yang bergelombang." Akhirnya Hanum mengubah nada suaranya. Bulir bening itu lolos sempurna. Hanum tak lagi mampu mencegahnya. Dirinya berjuang dengan kenyataan jika lelaki yang bergelar suaminya itu telah menjadikan wanita lain sebagai pengisi hatinya. "Maaf jika Ibu harus berada di posisi ini. Sebagai wanita saya paham apa rasanya. Tapi harus Ibu percaya, tak ada niatan saya untuk merusak rumah tangga wanita lain. Merebut suami wanita lain. Menjadi wanitakedua dalam sebuah ikatan pernikahan wanita lain. Demi Allah saya bersumpah, itu bukan saya."Kembali Wulan mempertegas kedudukannya. Harapannya hanya satu. Hanum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Wanita yang berstatus istri pertama suaminya ini tak dapat menyalahkan dirinya begitu saja atas apa yang terjadi di antara mereka. "Maaf. Hanya itu yang dapat saya katakan. Dan satu hal yang menggelitik saya, Bu. Ibu tahu semua ini darimana? Dari Mas Damar?" tanya Wulan dengan rasa penasaran.Wulan menghela napasnya. Ada rasa tak tega di hatinya saat melihat air mata dari sosok yang berjenis kelamin yang sama dengannya ini. Sejatinya mereka berada pada posisi yang sama. Terluka karena telah didustai oleh lelaki yang sama. Tanpa mereka tahu jika telah dibohongi selama ini. Apalagi Wulan yang artinya sudah terikat pernikahan dengan landasan dusta dari lelaki pujaan hatinya itu. Melihat detail informasi yang disampaikan Hanum, Wulan yakin wanita ini bukan baru kemarin menemukan kenyataan pahit ini. Jelas informasi yang dikantongi Hanum sangat jelas dan rinci.Hanum jelas sudah mempersiapkan diri untuk berhadapan secara langsung dengannya hari ini. Mempersiapkan mental dan juga emosi untuk bertatap muka langsung dengan dirinya, wanita yang berstatus sebagai adik madu seorang Hanum Khoirunnisa. Wulan menggumam perlahan dalam kecemasan hatinya. Wanita kedua. Suka atau tidak, status itu melekat dengan dirinya sejak saat
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Wulandari Purnama binti Ahmad Wiryawan dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai.”"Bagaimana saksi?" tanya laki-laki dengan jas berwarna hitam dan peci warna yang sama sembari menolehkan kepalanya pada dua orang saksi yang duduk di dekat meja yang sama."Sah."Kompak kedua laki-laki itu berkata yang disambut lafaz hamdalah dari setiap bibir orang-orang yang memenuhi ruangan itu. Raut wajah bahagia tergambar dari setiap orang yang hadir menyaksikan momen sakral dalam kehidupan putri bungsu keluarga Wiryawan itu. Wulan menyapu wajahnya dengan kedua telapak tangan. Hal yang sama dilakukan juga oleh Damar Prawira, laki-laki yang baru menghalalkannya itu. Laki-laki pujaan hati yang menjadikan dirinya sebagai pasangan tulang rusuk. Nama mereka tertulis di Lauhul Mahfuz sejak akad tadi terucapkan, lancar tanpa pengulangan. Lega, bahagia. Perasaan itu yang bercampur aduk dalam hat
"Pengantin perempuan silahkan untuk menciumi tangan suaminya."Sontak saja lamunan Wulan menjadi buyar seketika. Mungkin sudah sejak tadi Kak Ana, sang MC memberikan arahan itu kepadanya. Mengingat perjuangannya untuk bersanding dengan lelaki pujaannya ini membuat Wulan lupa akan keadaannya sekarang.Bukan hal yang mudah untuk mendapatkan restu dari kedua orang tuanya. Butuh kegigihan menunjukkan niat baik sang calon imam untuk menghalalkannya. Wulan tak berjuang sendiri. Damar pun berusaha sekuat tenaga menunjukkan keseriusannya. Dengan rasa gugup dan malu, Wulan memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Berhadapan dengan lelaki yang telah mengambil alih tanggung jawab atas dirinya dari sang ayah. Ketika akad itu terucap, banyak hal yang berubah atas dirinya. Perlahan Wulan mengangkat tangan kanannya. Meraih tangan kanan lelaki yang sudah bergelar suaminya yang sudah terulur lebih dulu. Menciumi dengan takzim tangan yang akan
Wulan duduk di tepi tempat tidur. Mengarahkan pandangannya ke sekeliling kamar yang tampak mewah dengan berbagai dekorasi selayak kamar pengantin umumnya. Hiasan bunga imitasi mendominasi ornamen kamarnya. Ditambah satu vas mawar merah segar dengan aroma khasnya. Harum menguar memenuhi indera penciumannya. Ada beberapa tangkai melati segar yang diselipkan di bagian atas tempat tidur. Harumnya berpadu menciptakan sebuah sensasi. Harusnya malam ini merupakan malam kebahagiaannya. Harusnya malam ini dirinya tak sendiri di kamar indah ini. Harusnya malam ini dirinya memadu kasih dengan sang pujangga hati yang didambakannya selama ini. Angan Wulan membayang kelebat kisah tadi sore."Mas, apa Wulan ikut saja?" Tiba-tiba Wulan menawarkan ide yang menurutnya terbaik untuk mereka. Terlalu sesak rasanya dada jika harus berpisah hingga beberapa hari ke depan nantinya.Bagaimana tidak, baru tadi pagi akad itu diucapkan. Ti
"Mas mau salat Asar, setelah itu bersiap pergi. Mau salat sama-sama?" tanya Damar sembari melangkah meraih sarung yang ada di ujung tempat tidur mereka."Mas duluan saja, Wulan nanti mau mandi dulu. Badan gerah dan kotor rasanya jika tak dibersihkan dulu."Damar tersenyum dan mulai mengenakan sarungnya. Sementara Wulan meraih gawai yang sejak pagi tadi tak tersentuh jemarinya sama sekali. Banyak pesan yang masuk melalui aplikasi berlogo hijau. Semuanya berisi ucapan yang senada, selamat atas pernikahannya. Juga doa agar pernikahannya sakinah, mawaddah warahmah. Senyum bahagia kembali tersungging di bibir Wulan. Sebahagia ini rasanya menikah? Mungkin usianya saat ini tergolong masih wajar saja belum menikah. Baru dua puluh tujuh tahun. Belum pantas dijuluki perawan tua. Sedangkan Damar akan berusia tiga puluh enam tahun, enam bulan lagi. Nyaris menyandang gelar sebagai bujang lapuk tentunya menurut istilah orang di
Ketukan pintu kamar membuyarkan lamunan Wulan. Mengusap matanya yang sempat mengembun, Wulan lantas melangkahkan kaki menuju pintu dan menarik gagangnya."Ibu?" ucap Wulan saat melihat sosok yang ada di hadapannya saat pintu terbuka. "Ibu hanya ingin melihat keadaanmu, Lan. Sejak Magrib tadi kamu masuk kamar tapi tak keluar-keluar lagi setelah itu. Kamu sakit?" tanya Bu Yayuk sembari menatap wajah putrinya.Wulan menggelengkan kepalanya. Tak berbohong. Memang dirinya tak sakit. Hanya saja hatinya merasa kosong saat ini. Ada sesuatu di lubuk hatinya yang dirinya sendiri tak tahu apa namanya. Entahlah, tak nyaman pokoknya."Lantas mengapa mengurung diri di kamar? Damar juga kan tak ada di kamar."Bu Yayuk memang tahu jika menantunya itu pergi. Laki-laki itu sendiri yang berpamitan pada Bu Yayuk dan suaminya saat hendak berangkat tadi. Bahkan laki-laki itu sempat berpesan, menitipkan istrinya pada kedua mertuanya.
Inikah rasanya nikmat menikah? Merindui dan dirindukan sebagai pasangan halal tentunya. Wulan menyandarkan tubuhnya pada kepala tempat tidur saat sudah lelah menghubungi Damar tanpa hasil. Ingatannya membayang saat laki-laki itu meminta kesediaannya sebagai pendamping hidup hingga menua."Dek, Mas ingin menjadikan Adek sebagai pasangan hidup. Mas merasa Adek merupakan sosok wanita yang selama ini Mas cari," ujar Damar sembari menatap mata Wulan yang terkejut dengan ucapannya.Wulan memang sungguh terkejut. Baru dua bulan lebih mereka saling mengenal dan Damar langsung mengutarakan keseriusannya.Suasana di sekeliling mereka memang cukup ramai. Apalagi saat malam Minggu seperti ini. Rumah makan Aroma Laut yang dipilih Damar sebagai tempat makan malam mereka berada di tepi pantai Pasir Padi. Pantai yang menjadi ikon kota yang menjadi ibu kota provinsi Serumpun Sebalai ini. Suasana malam Minggu akan dipenuhi para muda-m
[Maaf, Mas semalam diajak teman kumpul-kumpul sebelum besok mulai bergelut dengan rapat. Kembali ke kamar sudah larut. Pas mau telepon Adek, HP Mas habis dayanya. Mas rindu dan cinta Adek]Pesan yang diakhiri dengan emotikon hati itu masuk ke aplikasi pesan berlogo hijau saat Wulan menghidupkan gawai miliknya. Gawai yang baru diaktifkan kembali sejak semalam. Karena kesal tak dapat berbicara dengan suaminya itu, Wulan memutuskan menonaktifkan gawainya. Kesal, sedih, marah. Semua perasaan itu bercampur aduk dalam hati Wulan. Bahkan air mata sempat membasahi pipinya tadi malam.Apakah dirinya tak penting bagi Damar? Apakah akad yang baru terucap tak bermakna sama sekali bagi lelaki itu? Tak seharusnya lelaki itu mengabaikannya di saat malam pertama yang seharusnya menjadi milik mereka. Harusnya lelaki itu mengingat dirinya. Apakah tak ada sosoknya di dalam ingatan lelaki itu? Pesan itu dikirimkan pukul dua dini h