Aku mencoba menata diriku lagi, di hadapan indekos Jakarta yang kecil. Mungkin untuk sementara, akan lebih baik kalau aku menghindari apartemenku dahulu. Gerry sudah pasti akan menghubungi Daniel, mencariku. Aku tidak mau ceroboh. Cukup sekali, dan aku hanya berharap tentang hal-hal baik yang bakal terjadi kepada hidupku. Bukan pelecehan.Seorang perempuan pemilik bangunan bertingkat delapan pintu ini datang menyambutku. Senyumnya yang ramah mirip seperti senyuman Mama yang sering kuterima sewaktu aku masih kecil. Bahkan, rambut sebahunya yang dibiarkan tergurai, ditabrak sekelompok angin. Beliau berjalan ke arahku, dan setelah dekat, aku bisa menilai sifat lembutnya. Serta begitu keibuan. Mengundangku buat ikut tersenyum, meski kaku, sembari mengusap lamban tengkukku.“Ada yang bisa saya bantu, Nak?”Bingung. Aku menggigit bibirku. Tidak tahu bagaimana caraku harus memulai pembicaraan kami. Aku tidak memiliki dompet yang menyimpan seluruh identitasku, pun ponselku yang sampai saat in
Aku masih tidak percaya kalau kebaikan yang beliau miliki tidak hanya berhenti pada satu hal manis yang dia beri kepadaku. Selain tidak mengizinkan aku untuk membayar uang sewa, aku juga selalu diajak untuk menemaninya makan bersama. Tiga kali dalam sehari. Beliau bilang bahwa sudah hampir delapan tahun kehidupannya hampa dan sunyi. Suaminya telah meninggal, tepat dua hari setelah mendengar kabar akan Grace ㅡanak merekaㅡ yang tak lagi bernapas, dan mengharuskannya untuk menjalani kesehariannya sendiri, mau tidak mau. Sebab, menurutnya, begitulah jalan hidup yang memang Sang Maha Pencipta peruntukkan untuknya, dan beliau mencoba menerima itu dengan keikhlasan, menjalani takdir miliknya.Sudah tiga hari sejak terik panas matahari Selasa pagi menyaksikanku kabur seorang diri dari hotel keparat itu. Banyak waktu yang seharusnya berharga terbuang di antara ketakutanku yang nyatanya masih menyala meskipun telah berada di tempat ini; tempat yang aman untukku. Aku sudah memutuskan untuk pergi
Bola mataku membelalak, lebar, dan napasku seketika terengah, seperti akan mati dalam beberapa detik dari sekarang. Aku langsung membanting pintu, menendang sekuat tenaga dengan kakiku kendati itu cukup terlambat ketika Gerry juga spontan memajukan badannya, menahan agar pintu tetap terbuka, dan mengizinkan tangannya untuk lolos, mencengkeram bahuku sambil mencoba merampas sapu yang berada di tangan kiriku.Aku berteriak, menjerit kencang hingga suaraku serak. Berharap ada seseorang datang. Setidaknya, melaporkan ini ke security, dan kembali ke sini dengan bantuan. Aku sungguh tidak mau semua itu terulang. Aku sudah bersumpah untuk tidak bakal menyentuhkan tubuhku di tempat kotor itu lagi. Aku hanya ingin hidup normal bak perempuan lain seusiaku. Bekerja, dan bertahan dengan cara yang benar. Bukan begini, dan dikekang.Gerry melempariku tatapan paling tajamnya ketika aku nyaris sukses merapatkan pintu, merasakan sakit akan kuku-kukuku yang bak lepas. Dengkulku gemetar, dan sebagian ra
“Jadi, kau bukan seorang pendusta, Manis. Tolong maafkan aku sepenuh hati. Aku terlalu tidak percaya kepadamu, dan Daniel, pasti akan sangat marah mendengar kabar ini.” Gerry duduk menyilangkan kakinya di sofa dengan sebatang rokok yang terapit di sela jemarinya. Asap pekat terbentang di atas wajahku. Sedangkan, aku masih di sini, terbaring di lantai dengan celanaku yang masih tergeletak di samping kakiku. Bajuku sobek, dan bibirku bengkak, berdarah. Aku teramat malu untuk bangun dan mendapati diriku sendiri, walau, sesungguhnya aku memang tidak sanggup buat berdiri. Seolah benar kalau ini adalah hari kematianku. Hari di mana aku meninggalkan semuanya, dan pergi ke dunia yang lebih tenang.Hanya setengah jam. Namun, aku merasakan badanku benar-benar hancur. Aku masih terengah, dan kemaluanku berdenyut, pedih. Suara Gerry yang mendesah terus terngiang di kepalaku, bahkan ekspresinya, seluruh perbuatannya yang tidak akan pernah bisa kumaafkan seumur hidupku. Tidak akan rela.“Berikan nom
Aku menatap dalam wajah itu di cermin. Sebuah pantulan yang kelam ㅡlayu seperti mawar hitam di musim kemarau. Alis cokelat yang dipulas, lipstik merah, serta leher telanjang dengan tali dari gaun yang dikenakan. Sepasang netraku seakan tak ingin berpaling dari diriku sendiri yang melamun menyedihkan, menemukan tubuhku yang sedang kembali akan diperjualkan, dan bahkan tidak tahu kepada siapa aku bakal dipertemukan. Aku ingin mencoba bersikap tidak peduli lagi, karena meskipun aku menolak, semua akan tetap sama. Gerry tidak akan berubah pikiran untuk membebaskanku, atau pun mengotori tangannya untuk membunuhku. Namun, satu pernyataannya beberapa jam lalu hanya masih terus mengisi hampir seluruh benakku, bahwa, aku juga akan bercumbu dengan perempuan. “Jika kau terus menerus secantik ini, bagaimana bisa aku melepaskanmu?”Sepenggal senyumnya muncul dari belakang badanku. Gerry mengusap rambutku, dan beralih ikut memandangku di cermin. Aku mengejap. Jakarta terasa panas malam ini, kontras
“Kenapa aku harus hidup seperti ini?” Aku berbaring di sofa dengan Gerry yang berada di samping betisku, mengoleskan obat merah dan melilitkan kain perban di telapak kakiku. Aku tidak sadar kalau aku telah menginjak pecahan beling dari kekacauan yang disebabkan oleh lelaki berengsek itu, dan baru sekarang merasakan sakitnya yang menyatu di dalam tubuhku. Seolah memberiku jawab jika alasan sebenarnya aku dilahirkan adalah untuk menanggung segala jenis kepedihan ini sendirian. Luka sobek yang besar, darah segar yang mengalir, dan air mataku yang kembali kering. Pada kenyataannya, Tuhan memang belum mengizinkanku untuk mati ㅡtidak dengan cara konyol iniㅡ dan aku tidak akan pernah bisa keluar dari tempat ini. Sama sekali.Secara cepat, Gerry meletakkan obat itu di meja, dan aku mulai menertawakan diriku sendiri lagi hari ini. Ditampar oleh lelaki yang membayarku, namun, aku tidak pernah menerima uangnya, mencoba untuk bunuh diri, dan pada akhirnya justru terlempar kembali ke tempat ini, be
Badanku benar-benar seperti remuk. Hancur menjadi serpihan-serpihan paling kecil. Aku terbangun di sofa dengan kepala yang masih pening ketika mampu kusaksikan apel itu sama sekali belum berpindah dari meja, dan membuatku tersadar kalau semalam aku mungkin pingsan setelah Gerry pergi dari ruangan ini, karena aku ingat kalau kali terakhir aku dapat merasakan punggungku yang kembali menabrak alas sofa saat aku menekankan kakiku ke lantai, mencoba berdiri dan berjalan ke ranjang. Serta pandanganku yang seketika hanya berubah menjadi hitam. Bertemu satu kegelapan yang panjang.Aku tidak percaya kalau aku masih menjadi orang yang sama pagi ini; perempuan malang dalam kenahasan itu lagi, dengan tiada kemujuran yang mau menghampiri. Mataku sayu, dan kantungnya kelihatan amat besar. Satu tanda mujur bahwa penderitaan sedang menggantung tepat di kedua pundakku. Terlebih tubuhku yang kini sudah jelas kurus, dan tampak ringkih kala kutatap lekat cermin di hadapanku ㅡmengasihani diriku sendiri.K
“Aku menyadap ponsel Gerry. Jadi, aku tahu kapan dia akan pergi, dan apa rencanaku.” Pandangannya meloncat ke kakiku di mana sekarang aku sedang berbaring di ranjang dengan Daniel yang mengganti perbanku. Di separuh perjalanan, kami sempat mampir ke sebuah apotek kecil meskipun aku hanya menunggunya di dalam mobil, dan membiarkan dia kemudian kembali datang bersama sekantong obat-obatan di sela jemari kirinya.Sebenarnya sudah cukup banyak yang dia jelaskan kepadaku soal hutang-piutang yang dia miliki setelah kami sukses memarkirkan mobil, dan masuk ke rumah asing ini. Namun, aku cuma terus diam sampai berikutnya dia mengatakan kalau telah terjadi sebuah masalah besar di dalam bisnis haram yang Gerry jalankan. Daniel bilang beberapa orang kurir narkoba miliknya ditangkap polisi, dan sebagian sudah memberikan kesaksikan bahwa mereka tidak lebih dari sekadar pengantar barang itu.“Aku sudah memastikan jika pagi ini tidak akan ada orang di sana, selain pelacur-pelacur yang betah untuk me