"Ara, mulai hari ini Evelin akan tinggal bersama kita. Sekarang dia saudari kamu," ucap Papa saat pertama kalinya dia membawa Evelin ke rumah.Saat itu umur dia masih enam tahun, lebih muda dua tahun dariku. Aku menyayanginya seperti adikku sendiri. Semua yang Mama dan Papaku belikan untukku, mereka juga membelikannya untuknya. Orang tuaku sangat menyayanginya, tanpa pernah membeda-bedakan kami berdua. Aku sungguh ingin tahu, apa yang menyebabkan dia dan Mamanya berbuat seperti itu pada keluarga kami?Sedangkan Mas Ridho, dia menikahiku atas permintaan Papa. Jika dari awal dia mencintai Evelin, seharusnya dia bisa menikahi Evelin waktu itu. Kenapa harus menikahiku lebih dulu kalau hanya untuk menyingkirkanku? Jika hanya untuk menguasai harta Papa saja, seharusnya mereka tidak perlu mencoba menyingkirkanku dan Mama. Ada apa ini sebenarnya? Aku harus tahu motif mereka sebenarnya."Anna," Mama menggoncang kan lenganku, menyadarkanku dari lamunan.Aku baru saja mengantar Mama kembali ke
Aku mengelus pundak Mama, sambil menahan sesak di dada. Tidak, aku harus kuat. Mama tidak akan bisa menyimpan rahasia. Dia tidak pernah bisa berbohong di depan Papa.Bukan aku tidak mempercayai papa kandungku sendiri, tapi perubahan sikapnya benar-benar membuatku bimbang. Aku tidak boleh ketahuan sekarang, setidaknya sampai aku berhasil memecahkan teka teki rumit yang ada dalam keluargaku."Dia pasti masih pasti masih hidup, Anna. Aku yakin dia tidak akan meninggalkanku secepat ini," ucap Mama lagi, belum bisa menghentikan tangisnya.Aku berjongkok di depannya, menggenggam tangannya erat."Dengarkan saya, Nyonya," ucapku sambil menatap serius padanya.Dia menatapku dengan air mata yang masih menggenang."Jika Nyonya yakin dia masih hidup, maka percayalah padanya. Bagaimanapun, Non Ara pasti ingin Nyonya kuat. Dia akan sangat sedih melihat Nyonya seperti ini," ucapku meyakinkannya.Mama seketika mengusap air matanya."Iya, aku harus kuat. Aku tidak boleh lemah menghadapi orang yang men
POV Ridho"Menerima permintaan Om Hermawan untuk menikahi Ara? Apa kau sudah gila Evelin?" tanyaku pada wanita yang sudah menjalin hubungan denganku selama dua tahun itu."Kau harus menerimanya, Ridho," jawab Evelin sambil memegang lenganku. "Dengan begitu kau bisa mengambil kepercayaan Om Hermawan sepenuhnya."Aku terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Mungkin aku memang bukan pria yang baik, tapi aku juga tidak mungkin mempermainkan sebuah pernikahan."Dengarkan aku, Sayang," Evelin memegang pipiku, menatapku dengan serius."Om Hermawan akan menyerahkan sebagian saham padamu jika kau menikahi Ara," ucapnya. "Sedangkan sebagian lagi cepat atau lambat akan kudapatkan. Kita hanya butuh menyingkirkan kecoa saja."Aku menatap Evelin."Aku tidak mau menyentuh wanita itu," ucapku.Evelin tersenyum lalu mengecup pipiku."Tenang saja, malam pernikahan kalian bisa dipastikan malam terakhir kita melihat Ara," ucapnya sambil memeluk pinggangku.Aku membalas pelukannya, wanita yang benar-benar kuc
POV Ara"Apa yang harus Ara lakukan, Om? Kalau begini, Mama akan benar-benar dalam bahaya," ucapku pada Om Adam.Om Adam tampak berpikir sejenak, lalu menatapku."Apa mereka tidak curiga padamu? Bagaimana dengan suaramu?" tanyanya."Aku jarang sekali berbicara dengan mereka, dan selalu menyamarkan suaraku dengan masker," jawabku.Om Adam tampak mengangguk, lalu menatapku."Dengar Ara, ada kemungkinan mereka merencanakan membunuhmu untuk menguasai harta milik keluargamu," ucapnya kemudian."Lalu aku harus bagaimana, Om? Apa aku harus memberi tahu Mama?""Jangan," sahut Om Adam. "Untuk sementara kita harus mencari barang bukti terlebih dahulu."Om Adam bangkit, lalu mengambil sesuatu di laci lemari yang ada di samping ruang tamu. Dia mengambil beberapa buah kamera kecil dan memberikannya padaku."Cari bukti tentang apa yang telah mereka lakukan. Bukti yang cukup kuat untuk menjebloskan mereka ke dalam penjara."Aku menelan saliva, lalu mengangguk."Masalah tentang kematian Wati, serahka
Ketika langkah Tante Merly semakin mendekat, pelan-pelan aku mengambil gawaiku yang sejak awal sudah kumode hening. Aku secepat kilat menekan sebuah nomor.Gawai Evelin seketika berdering. Tante Merly menghentikan langkahnya."Siapa, Lin?" tanyanya pada putrinya."No-mer tak dikenal, Ma," suara Evelin terdengar gemetar.Mereka memang belum tahu nomerku. Satu-satunya yang tahu dalam keluarga ini hanya Mama. Setelah ini aku juga akan menggantinya. Langkah Tante Merly seketika menjauh, menuju ke arah puterinya."Biar kuangkat," ucap Tante Merly.Begitu Tante Merly mengangkatnya, aku mematikan telepon."Siapa, Ma?" tanya Evelin."Mungkin orang iseng," jawab Mamanya, lalu mematikan lampu kamar. "Sudah tidak ada siapa-siapa. Mama capek, mau tidur."Tante Merly pergi meninggalkan Evelin yang masih berdiri di tempatnya, sepertinya masih memeriksa gawainya. Aku seketika mengetik sebuah pesan dan mengirim ke gawainya.[ Evelin, tolong aku. Di bawah sini gelap ]Terkirim. Aku mulai menghitung be
Aku mengantarkan Mama masuk ke dalam kamarnya, lalu berjongkok di hadapannya. Kulihat butiran bening meluncur berkejaran di pipinya."Nyonya tidak apa-apa?" tanyaku dengan suara yang hampir tercekat.Mama mengusap air matanya, lalu menatapku sambil mencoba untuk tersenyum."Aku tidak apa-apa, Anna," jawabnya dengan sedikit tersendat. "Aku hanya merasa sendirian sekarang.""Kenapa Nyonya berpikiran seperti itu? Nyonya tidak sendirian," ucapku berusaha menghiburnya."Putriku sudah tiada. Satu-satunya orang yang berharga dalam hidupku sudah tiada," ucapnya lagi, dengan air mata kembali mengalir. "Aku sekarang benar-benar tidak punya siapa-siapa lagi.""Kenapa Nyonya bicara seperti itu? Nyonya masih punya keluarga ini," air mataku sudah tidak bisa terbendung lagi. Aku ikut menangis."Tidak, Anna. Kamu tidak mengerti. Aku hanya punya putriku saja. Lebih baik aku pergi. Aku ingin menyusul putriku.""Tidak, tidak Nyonya. Ara masih hidup,"ucapku, tak bisa menahan diri lagi. "Dia masih hidup."
Akhirnya hari itu tiba. Malam ini adalah hari di mana Evelin dan Mas Ridho akan mendapatkan jabatan dan hak waris atas saham milik Papa secara resmi. Inilah saat yang tepat aku bisa menghentikan semua itu dan membongkar semua kecurangan mereka."Apa malam ini Ara akan datang, Anna?" tanya Mama tampak gelisah, ketika aku merawatnya seperti biasa.Aku memperlihatkan senyumku meskipun di balik masker."Nyonya tenang saja. Malam ini dia pasti akan datang," jawabku."Syukurlah," Mama membuang napas lega, tapi bisa kurasakan hatinya masih bimbang.Setelah selesai membantu Mama membersihkan diri, aku mendorong kursi rodanya menuju ruang makan, dimana semua sudah berkumpul seperti biasa."Malam ini kalian bersiaplah. Papa sudah mempersiapkan semuanya," ucap Papa sambil menikmati sarapannya.Kulihat Mas Ridho dan Evelin saling berpandangan sesaat dan saling tersenyum."Aku mau Anna ikut bersamaku dalam acara itu," ucap Mama."Loh, dia kan cuma suster? Semua yang ada di acara itu orang-orang pe
Papa masih menatapku dengan membulatkan mata."Kau benar-benar Ara?" tanyanya."Aku Ara, Pa," jawabku. "Tentu Papa tidak lupa pada suara putrimu sendiri, kan?""Ba- bagaimana bisa?" tanyanya dengan suara bergetar.Aku menatap ke arah Tante Merly, Evelin dan Mas Ridho yang seketika tampak gelisah."Mereka yang sudah merencanakan kematianku! Mereka ingin membunuhku!" ucapku lantang sambil menunjuk ke arah mereka bertiga.Semua yang hadir dalam ruangan terdengar gaduh. Mereka tampak mempertanyakan apa yang baru saja kukatakan."Jangan sembarangan bicara kamu!" sahut Tante Merly yang seketika meradang."Aku punya bukti, dan akan kupastikan akan mengirim kalian bertiga ke penjara!" jawabku.Suasana kembali gaduh. Para tamu undangan saling beragumen satu dengan yang lain.Papa segera mengambil tindakan. Dia mengarahkan anak buahnya untuk menenangkan para tamu undangan. Evelin tiba-tiba turun dari panggung dan menarik tanganku meninggalkan ruangan itu, menerobos kerumunan orang. Aku yang sat