"Buu! Ibu ngga jijik, ya? Masak makanan sambil cium bau embek. Apalagi eeknya banyak jatuh itu, Bu!" ujar Nia lagi, memecah lamunan. Aku segera membalik ikan asin di wajan. Sedangkan gadisku itu berdiri di ambang pintu. Matanya terlihat menyapu pandangan di depan.
"Lagian Nia berdiri di situ. Jangan di situ, biar nggak bau," ujarku tertawa.
"Kenapa kandangnya nggak dimajuin dikit, ya, Bu. Kan juga masih agak luas di depan sana," celetuk Nia. Apa yang ia katakan sama persis dengan yang ada dalam pikiran. Padahal mereka jelas tahu jika rumah ini berpenghuni. Setidaknya tunjukkan sedikit saja rasa manusiawinya padaku. Kupikir, masalah kami ini sudah selesai. Toh tidak ada lagi yang mereka perebutkan dariku. Lalu apa alasan kebenciannya ini?
"Udah, Nia mandi dulu sana. Abis itu sarapan," pintaku. Ia mengangguk.
Bab (6) fizo
***
"Bu ... tahu nggak? Menurut Nia, daging ayam bahkan daging kambing yang kemarin itu nggak ada yang bisa ngelebihin enaknya ikan asin," ujar Nia tertawa riang, lalu kembali menyisihkan daging ikan asin dengan durinya. Ia terlihat begitu lahap makan kali ini. Padahal tidak ada yang istimewa, hanya ikan asin dan sambal terasi tak pedas.
"Kemarin juga, waktu di rumah Nisa, Mama Nisa kasih temen-temen eskrim. Kayaknya enak banget, Nia sampe nelen ludah. Hehee ...." Aku tertegun mendengar ucapannya. Kemarin ia tak mengatakan tentang eskrim ini.
Melihat tak ada respon dariku, Nia mendongak, menatapku yang kini juga menatapnya dengan pandangan kabur, sebab embun menghalangi.
"Eh eh! Nggak kok nggak, Nia nggak pengen eskrim, Bu. Kan kemarin panas, jadi Nia haus. Maksudnya gitu," terangnya lagi.
Ya Allah, hatiku nyeri mendengar pengakuannya. Itu mengapa jika tidak ada kepentingan belajar, aku melarang keras Nia untuk bermain di rumah Nisa, anak dari Pak Bahul itu. Ini yang kutakutkan. Ia akan dipojokkan.
"Nak, besok hari Minggu, kan? Ibu janji, besok bakal beliin Nia eskrim." Matanya berbinar senang mendengar perkataanku.
"Ibu beneran? Eh, tapi kan, Nia sudah bilang, Bu! Nia nggak pengen eskrim."
"Nggak papa, Ibu yang belikan."
Binar wajahnya terlihat semakin ceria. Ia tak malu walau sebagian temannya sering mengejek bekal yang ia bawa. Sebab, beda jauh dengan milik semua temannya, yang rata-rata membawa bekal dengan lauk daging.
***
Aku terbangun karena mendengar suara ramai orang-orang di sebelah rumah. Adzan Subuh belum terdengar, tapi kenapa di luar sana ramai?
Aku mengabaikan, memilih kembali tidur sebab semalaman ini tidur Ica masih tidak tenang, lantaran kambing-kambing Pak Bahul yang semakin berbunyi dengan keras. Suaranya nyaring memekkakkan telinga di heningnya malam.
Aku kembali membuka mata setelah mendengar Azdan. Usia shalat Subuh, aku berniat belanja di warung Mbak Tatik. Hari minggu ini akan kumanfaatkan untuk bekerja di ladang Bu Surti lagi, karena Nia libur sekolah. Bisa menjaga Ica.
Aku melewati rumah Pak Bahul yang dikerumuni banyak orang. Sebagian juga ada yang jalan-jalan di sekitar kandang. Aku tak tahu ada apa.
"Bu Hamza, ada apa, Bu?" tanyaku pada Bu Hamza yang duduk di tepian teras rumah Pak Bahul.
"Sini!" tangannya melambai ke arahku.
"Heh, anak Pak Bahul kecelakaan, ditambah kambingnya yang paling gede dua ekor raib diambil maling. Terus, satu ekor lagi mati dibunuh gitu aja, ga disembelih."
"Hah?" Sontak aku menutup mulut dengan tangan.
Kambingnya hilang? Pantas saja tadi malam aku mendengar suara gaduh di kandangnya itu. Kupikir ulah si kambing.
"Terus gimana keadaan Adi, Bu?"
"Adi sih nggak papa katanya. Kita ini lagi lihat Pak Bahul yang lagi jerit-jerit nggak terima karena kambingnya dicuri dan dibunuh. Dia sumpah-sumpah segala macem, ngga ikhlas lahir batin katanya haha. Kami pikir tadi kenapa, makanya rame-rame ke sini," terang Bu Hamza dengan tergelak.
"Lagian jadi orang kok tamak. Ya ini deh ganjarannya," imbuhnya lagi. Aku hanya diam tak menimpali.
"Yaudah tak lanjut belanja di warung Mbak Tatik ya, Bu!" pamitku, ia hanya mengangguk.
Aku berjalan dengan bulu kuduk yang terasa meremang. Pak Bahul pasti shock berat. Secara usaha ternak kambingnya itu baru dimulai, tetapi sudah ada kejadian demikian.
Lalu, apa alasan orang itu membunuh satu ekor kambingnya, jika tidak berniat membawa pulang dagingnya. Apa hanya karena iseng?
Betul memang, setiap perbuatan ada ganjarannya. Ah, aku segera menepis pikiran buruk jika apa yang dialami Pak Bahul sekarang ini karma. Pasti ini hanyalah cobaan semata, ujarku meyakinkan diri.
Bersambung.
Sumpah Al-Qur'an (7)***Setelah kejadian tersebut, kini setiap malam Pak Bahul mempekerjakan dua orang untuk menjaga kambing-kambingnya di malam hari. Hal itu membuatku tak nyaman, sebab tawa yang menggelegar dari mereka membuat tidur kedua anakku tidak nyenyak di malam hari. Aku masih mengingat wajah riang Nia saat kubelilan eskrim homemade di tetangga, yang hanya seharga dua ribu itu. Ia menikmatinya hingga bibir mungilnya itu belepotan dengan eskrim. Jika bekerja seharian penuh, maka gaji yang kudapat tiga puluh ribu. Itu pun hanya di hari minggu aku bisa bekerja seharian penuh. Ica tak memakai diapers, aku hanya menggunakan kain sebagai popok untuknya. Uang yang kudapat hasil buruh hanya cukup untuk makan, itu pun hanya pas-pasan. Sebab, tak setiap hari ada yang memintaku untuk bekerja di ladangnya. "As! Aku masuk, ya?" Suara Bu Ramlah terdengar setengah berteriak dari luar rumah. Gegas aku membuka pintu, ia pun masuk tanpa kupersilakan.Jam delapan, tetapi cuaca begitu mendun
Sumpah Al-Qur'an (8)***Aku mengemasi peralatan masak yang sebelumnya tergeletak di bawah. Bingung hendak bagaimana. Jika angin dan hujan terus berembus kencang, sudah pasti rumah ini akan roboh. Di luar juga tidak menjamin keselamatan, sebab tingginya pohon-pohon yang tumbuh di sekitar bisa saja roboh. Aku begitu menghawatirkan Nia. Semoga saja ia tetap di sekolah bersama teman-temannya. Tubuhku menggigil. Semoga saja Ica tidak kedingingan, dan juga hujan segera reda. Baru kali ini hujan turun dengan begitu dahsyat.Aku tersentak kaget saat terdengar suara yang begitu keras di sebelah rumah. Seperti suara pohon yang tumbang. Aku gemetar hebat. Bagaimana nanti bila rumahku juga tertindih pohon. Ya Allah ... mohon lindungi kami semua.Aku mandi dan segera shalat. Lalu mengaji di sebelah Ica yang masih terlelap. Beberapa kali ia terjaga sebab terkejut dengan kilatan petir yang memekkakkan telinga. Entah berapa lapis kain yang menimpa tubuhnya. Supaya ia tidak kedinginan.Kilatan peti
Sumpah Al-Qur'an (9)***Walaupun hubungan keluargaku dan Pak Bahul tidak pernah baik, akan tetapi jujur, sama sekali aku tidak dendam. Atau bahkan merasa senang melihat Pak Bahul mendapat cobaan demikian. Tidak sama sekali.Walau terkadang aku juga marah karena perlakuan mereka. Aku bukanlah sabar, atau bahkan tidak bisa marah. Bukan! Keadaan yang menuntutku untuk bersikap demikian. Berusaha tabah. Sebisa mungkin menahan amarah bila merasa ditindas. Berusaha menahan hati agar tidak berdoa keburukan bila merasa didzalimi. Sungguh, aku tidaklah sabar. Yang bisa kulakukan hanya berdoa, semoga Allah melapangkan hati ini, dan mereka segera sadar atas tindakannya.Pikirku, asal aku bisa makan. Nia dan Ica tidak kelaparan. Itu sudah lebih dari cukup. Aku juga tahu diri. Tidak berharap bantuan dari tetangga. Yang kuharap hanya mereka memintaku bekerja di ladangnya, lalu diupah dengan layak. Hanya itu. Aku hanya menginginkan hakku.Sering kali saat ada bantuan dari program pemerintah, baik
Sumpah Al-Qur'an (10)"Yeeyyy! Tuh tuh, Ibu pulang. Bawa mie sed**p. Udah lama banget kayaknya kita nggak maem mie itu ya, Dek!" Nia berkata dengan tertawa riang pada adiknya yang hanya dijawab dengan celoteh tak jelas.Anak-anakku rupanya sudah menunggu di teras rumah. "Lho, Bu! Mana bungkusannya, Bu?" tanya Nia. Dahinya mengernyit."Masuk dulu, yuk!" pintaku. Mereka masuk mengekor di belakang.Tadi saat melewati rumah Bu Ayu, aku sengaja memperlambat langkah. Sebab kudengar gelak tawa Bu Ramlah dari sana. Berharap ia melihatku, lalu memberi jatahku itu. Kebetulan pintunya dibuka cukup lebar. Aku melirik sekilas, melihat mereka sedang menata berbagai bungkusan yang aku tak tahu. Sebab aku hanya memandangnya sekilas. Kurang jelas."Bu, Ibu nggak dapet lagi, ya? Kayak daging kambing kemarin," tanya Nia. Kini, raut mukanya itu terlihat kecewa."Apa kehabisan lagi, Bu?" cecarnya terus."Ehmm ... gini ya, Nak. Nia mau mie sed**p, kan? Bentar!" Aku bangkit meninggalkannya. Berjalan menuj
Sumpah Al-Qur'an (11)***"As! Aku ambil cabe dikit, ya? Soalnya di Mbak Tatik lagi telat." Teriak seseorang dari luar, saat kami sarapan. Aku tahu pemilik suara itu."Iya, Bu!" jawabku dari dalam.Di halaman rumah sejak dulu memang kutanam aneka cabe, juga ada beberapa terong. Tidak banyak, sebab halaman itu tak begitu luas.Setelah Nia berangkat, aku membawa Ica keluar, berniat hendak memanen cabe untuk dijual nanti. Namun, langkahku terhenti saat melihat pohon cabe yang berada di sudut barat. Daun-daunnya tergeletak di tanah. Aku teringat Bu Ramlah yang meminta cabe barusan.Setelah masalah kepala ikan kemarin, Bu Ramlah sama sekali tak menyapaku. Bahkan beberapa kali membuang sampah di teras rumah. Aku tak banyak bicara atau berdebat untuk hal kecil seperti itu. Malu pada tetangga yang lain jika harus bertengkar. Jadi aku membersihkannya tanpa protes.Baru tadi ia menyapaku untuk meminta cabe. Itu pun seakan merusak tanamanku. Ia mengambil cabe sekaligus dengan ranting dan daunny
Sumpah Al-Qur'an (12).***Pagi ini usai shalat Subuh, aku pergi ke warung Mbak Tatik untuk menawarkan cabe. Samar terlihat bayangan beberapa orang di sebelah pintu masuk ke sungai. Aku memelankan langkah. Sekujur tubuh terasa gemetar. Suasana masih gelap, membuat pandangan yang juga tidak didukung dengan jarak membuatku berpikir macam-macam. Aku khawatir mereka maling atau orang yang berniat buruk pada rumahku. Terlebih anak-anak masih tidur di sana.Mereka berada di tempat yang gelap. Hanya ada penerangan temaram dari lampu bohlam kuning di belakang rumah Pak Bahul. Dengan jarak beberapa meter dari pintu sungai itu.Aku semakin memelankan langkah untuk mengawasi mereka. Lalu seseorang melangkah menjauh menuju rumah Pak Bahul yang membuatku lega. Rupanya itu Pak Bahul, lalu beberapa orang di tempat gelap itu siapa? Kenapa mereka seakan berbisik-bisik untuk bicara. Tidak seperti tempo hari saat mengevakuasi pohon kapuk yang berkelekar bebas.Aku melanjutkan langkah. Merasa tenang ji
Akibat Sumpah Al-Qur'an (13)***"Ibuu! Jangan, Ibu!" teriak Nia saat Bu Ramlah kembali menarik tanganku dengan paksa."Sebentar, Bu! Saya pamit sama anak-anak dulu!" ujarku menepis tangannya tak sengaja dengan kasar. Membuat Bu Ramlah semakin naik pitam."Kamu ini bener-bener ngelunjak! Baru ini lho saya butuh bantuanmu, As! Itu pun akan saya bayar. Nggak inget kamu hah? Kemarin-kemarin atas kebaikan saya. Nggak sekali dua kali saya kasih kamu makanan!" terang Bu Ramlah berapi-api. Matanya melotot geram. Sedang tangisan Nia semakin menjadi, pun Ica yang juga turut menangis melihat kakaknya menangis."Maaf, Bu. Saya panik tadi nggak sengaja. Saya mau nenangin Nia dulu sebentar. Ibu berangkat dulu biar saya nanti nyusul," jelasku padanya. Bu Ramlah mengangkat kedua tangannya yang mengepal dengan geram. Lalu bergegas pergi dengan raut wajah kesal.Aku segera berlari ke arah Nia yang masih menangis tersedu di balik pintu. Ia seperti takut dan bersembunyi saat melihat Bu Ramlah tadi. "He
Akibat Sumpah Al-Qur'an (14)***"Gitu doang ngadu sama induknya!" sahutnya dingin."Saya serius, Bu Ramlah! Nia itu anak kecil. Jangan dikasari. Kalo Bu Ramlah kasar sama anak-anak Ibu sendiri ya itu hak Bu Ramlah. Asal jangan memperlakukan anak orang lain dengan hal yang sama," ujarku kembali memberinya penjelasan dengan lembut. Bu Ramlah membuang muka sinis. Kudengar juga ia mendengkus dengan kasar."Nggak usah sok ngajarin! Saya lebih tua dari kamu. Saya lebih dulu tinggal di kampung ini daripada kamu. Kamu itu bukan siapa-siapa tanpa bantuan saya. Rumah yang kamu tempati itu juga punya Ibu mertua saya. Untung aja kami kasian sama kamu, jadi yang kami rebut balik cuma tanah di sebelah itu doang!" balasnya menggebu setengah berteriak. Matanya berkilat dengan deru napas tak teratur. Emosi sedang menguasai dirinya.Aku tak terkejut dengan kalimatnya yang mengakui kepemilikan tanah yang sekarang kutempati itu. Bukan hanya sekali Bu Ramlah berkata demikian, bahkan sering kali ia mengum