"Terima kasih, Bu!" jawabku.
"Kenapa? Kalau nggak mau bilang aja! Biar saya kasih yang lain," ketus Bu Ramlah.
Mungkin ia melihat raut tak semangat di wajahku, saat menerima pemberiannya.
"Eh enggak, kok, Bu. Terima kasih," ucapku lagi sambil tersenyum. Bu Ramlah berlalu setelah mengingatkanku untuk mengembalikan nampan miliknya itu.
"Bu!" Nia berlari dengan membawa buku di tangannya.
"Kenapa, Nak? Lapar?" tanyaku, mengingat ia hanya sarapan dengan mie gelas saja.
"Bu ... emang kalo orang miskin nggak pantes, ya, liat tivi gede?" tanyanya polos. Namun, wajahnya terlihat sedih.
Aku terkesiap mendengar pertanyaannya. "Siapa yang bilang gitu, Nak?" tanyaku lembut, walau sejujurnya rasa nyeri menjalar di ulu hati.
"Mama Nisa, Bu. Tadi juga, yang lain dikasih makanan. Tapi, Nia enggak. Katanya orang miskin nggak pantes ikut makan kayak orang kaya. Takut makanannya sedih katanya."
Ya Allah, astaghfirullah ....
Aku menggandengnya masuk, meninggalkan tumbukan padi yang belum kuselesaikan. Ica berjalan di depan. Dengan segera kuusap air mata yang berjatuhan.
"Bu, terus tadi, Mama Nisa kayak ngusir ayam. Padahal di teras rumahnya nggak ada ayam, tapi Mama Nisa ngeliatin Nia terus. Apa yang disuruh pergi itu Nia ya, Bu? Makanya Nia pulang, padahal kerja kelompok belum selesai." Nia kembali berkata panjang lebar setelah kami duduk di ruang tengah. Hatiku terasa tercubit mendengarnya.
Aku menyembunyikan tangis di depannya. Lalu tersenyum. "Nggak mungkin, dong. Nia kan anak baik, nggak mungkin diusir. Tapi, mulai sekarang belajar di rumah aja, ya?" pintaku merayu.
"Tapi, kan, tugas dari Bu guru, Bu," katanya dengan raut wajah sedih. Ia tidak memiliki banyak waktu bermain dengan temannya. Hanya ketika di sekolah dan tugas kelompok ia bisa menimbrung. Karena setelah pulang sekolah, ia harus menjaga Ica saat aku bekerja.
Setelah mengambil tumbukan padi, aku menuju dapur. Lalu mencicipi makanan yang Bu Ramlah berikan tadi. Khawatir makanan itu basi seperti kemarin.
Lontongnya sudah lembek. Namun kurasa masih bisa dimakan. Aku hanya perlu memanaskan. Gulai kambing yang hanya tinggal belulang, rasanya juga masih enak. Walau kuahnya terlihat sangat bening dan hambar, sepertinya karena ditambah air. Tak masalah, aku hanya perlu menambahkan sedikit garam.
Bumbu sate itu sudah tidak enak. Mungkin basi karena campuran kacang dan kecap dari kemarin. Mataku berbinar senang saat menemukan potongan kecil daging di dalam bumbu itu. Setelah mencucinya, aku memasukkan ke dalam kuah gulai.
Nia dengan semangat menyantap makan siang ini.
"Benar kata Ibu, rezeki kita untuk makan daging bukan kemarin, tapi sekarang," ujarnya semringah. Lalu lanjut menyuap lontong lembek itu ke dalam mulutnya.
Padahal dagingnya tak seberapa, hanya belulang dan kuah yang banyak. Namun, Nia sudah begitu semangat memakannya.
***
"Ho'oh. Lho, sama? Punyaku juga, lho. Dagingnya hitam. Padahal baru kemarin, aku juga naronya di kulkas."
Tak sengaja aku mendengar obrolan ibu-ibu yang sama-sama bekerja di ladang Bu Surti. Dari percakapannya, aku dapat menangkap jika yang dimaksud mereka itu daging kambing pemberian Pak Bahul.
Daging yang mereka dapat menghitam setelah satu hari didiamkan. Padahal ia meletakkannya di freezer. Beberapa saling bersahutan mengiyakan. Adapula yang menimpali dengan berbagai pendapat miring.
Kali ini, aku meminta uang sebagai gajinya. Lima belas ribu untuk setengah hari bekerja. Akses satu-satunya menuju persawahan ini satu jalur dengan jalan menuju sungai. Yakni jalanan di sebelah rumahku
Kami pulang bersama. Namun, pintu untuk keluar yang dulu dibuat suamiku dengan rancang bambu itu ditutup sempurna. Tidak ada lagi jalan untuk keluar.
"Heh! Kenapa ditutup kayak gini, Pak! Pak Bahul!" teriak Bu Surti. Pak Bahul sedang melihat hewan ternaknya.
Pak Bahul berjalan santai menghampiri. "Ini, kan, sekarang milik saya. Jadi bebas mau saya tutup atau gimana."
"Lah, maumu apa sih? Dari dulu juga ini jalan satu-satunya untuk ke kali!" sahut seseorang, kemudian diiyakan oleh yang lain.
"Mohon perhatiannya sejenak. Para bapak dan Ibu sekalian. Di sini saya sebagai RT hendak mengumumkan, apabila setiap minggu dikenakan biaya lima ribu rupiah per orang, untuk membayar pajak jalan milik Pak Bahul, jalan yang mengakses ke sungai. Karena bila tidak, maka jalan itu akan ditutup. Penjelasan, bila di dalam rumah ada empat orang yang sering ke sungai atau sawah, maka dikenakan biaya untuk empat orang tersebut." Suara Pak RT dari pengeras Mushala menggema, membuat kami seketika menganga.
Pajak?
Ya Allah. Bahkan jalan sekecil ini pun dikenakan pajak?
Seorang Bapak dengan tubuh kekar membuka pintu. Kami berhambur keluar, sebab hari sudah menjelang malam.
***
Pagi ini, aku dengan semangat empat lima memasak sarapan untuk Nia. Nasi putih dengan campuran jagung, dengan lauk ikan asin peda. Tak lupa sambal terasi yang tidak pedas. Untuk si kecil sudah kusiapkan sedikit sayur kacang panjang bening sisa kemarin yang tak sempat kumasak.
"Bu ... Nia semalem jadi nggak nyenyak tidurnya," keluh Nia. Ia mengucek matanya lembut, lalu beranjak ke kamar mandi.
"Kenapa, Nak?" tanyaku, saat ia keluar.
"Rame, Bu. Itu kambingnya bunyi terus. Mana banyak banget kambingnya. Apa bakal seterusnya tiap malam kambing-kambing itu bunyi terus, Bu? Kalo iya, tidur Nia akan terus terganggu dong!" Ia cemberut.
Aku terkikik geli mendengar ucapannya yang sedikit mengomel. Aku sendiri juga kesel sebetulnya, sebab tidur Ica sering terbangun karena suara kambing-kambing yang cukup keras itu.
"Nggak ih. Kan, itu kambingnya baru dateng. Wajar, masih belum kerasan. Lama-lama juga pasti terbiasa itu kambing," jelasku.
"Shalat dulu, gih!" titahku. Nia mengangguk.
Nia memang sudah kubiasakan untuk shalat. Bahkan aku tak segan membangunkannya saat Subuh. Hal ini kulakukan sejak ia masih kecil. Ayahnya dulu yang mengajariku. Hingga sampai saat ini, gadisku itu sudah terbiasa bangun di subuh hari. Biasanya ia juga membantu mengemong Ica saat aku masak.
Cahaya matahari berpendar di ufuk timur. Aku membuka pintu dapur. Nia kembali ke dapur setelah mendirikan dua rakaat.
"Ihh, Ibu! Bau embek!" Nia menutup hidung dengan lucu. Aku tertawa melihat ekspresinya.
Kandang Pak Bahul yang memanjang ini berdiri tepat di depan pintu dapur. Panjangnya mulai dari dinding ruang tengah, hingga dinding dapur. Sepanjang rumahku. Jadi, pemandangan pertama saat membuka pintu, kini yang terlihat hanya kandang-kandang dan kotoran kambing yang berceceran.
Aku terganggu sebetulnya. Tapi, tidak ada yang bisa kulakukan juga. Masih syukur diberi keringanan dengan depan pintu dapur tidak ditutup.
Aku terpaku menatap pintu. Terdapat cerita manis yang membeku. Dulu, yang kuingat saat itu, aku tengah mengandung Nia. Usia kandunganku sudah tua.
Aku meminta untuk jendela samping di dapur ini dijadikan pintu, supaya lebih mudah untukku menuju kebun. Sedangkan pintu di belakang sudah tidak bisa dibuka lagi, sejak ditempati kayu-kayu Pak Bahri yang disusun dengan tinggi.
Minimnya biaya, juga suamiku yang tak pandai dalam hal demikian, dengan modal nekat ia pun memasang pintu itu sendiri. Akhirnya, pintu itu pun terpasang dengan terbalik. Jika dibuka, maka daun pintu pun terdorong keluar.
"Buu! Ibu ngga jijik, ya? Masak makanan sambil cium bau embek. Apalagi eeknya banyak jatuh itu, Bu!" ujar Nia lagi, memecah lamunan. Aku segera membalik ikan asin di wajan. Sedangkan gadisku itu berdiri di ambang pintu. Matanya terlihat menyapu pandangan di depan.
"Buu! Ibu ngga jijik, ya? Masak makanan sambil cium bau embek. Apalagi eeknya banyak jatuh itu, Bu!" ujar Nia lagi, memecah lamunan. Aku segera membalik ikan asin di wajan. Sedangkan gadisku itu berdiri di ambang pintu. Matanya terlihat menyapu pandangan di depan."Lagian Nia berdiri di situ. Jangan di situ, biar nggak bau," ujarku tertawa."Kenapa kandangnya nggak dimajuin dikit, ya, Bu. Kan juga masih agak luas di depan sana," celetuk Nia. Apa yang ia katakan sama persis dengan yang ada dalam pikiran. Padahal mereka jelas tahu jika rumah ini berpenghuni. Setidaknya tunjukkan sedikit saja rasa manusiawinya padaku. Kupikir, masalah kami ini sudah selesai. Toh tidak ada lagi yang mereka perebutkan dariku. Lalu apa alasan kebenciannya ini?"Udah, Nia mandi dulu sana. Abis itu sarapan," pintaku. Ia mengangguk.Bab (6) fizo***"Bu ... tahu nggak? Menurut Nia, daging ayam bahkan daging kambing yang kemarin itu nggak ada yang bisa ngelebihin enaknya ikan asin," ujar Nia tertawa riang, lalu
Sumpah Al-Qur'an (7)***Setelah kejadian tersebut, kini setiap malam Pak Bahul mempekerjakan dua orang untuk menjaga kambing-kambingnya di malam hari. Hal itu membuatku tak nyaman, sebab tawa yang menggelegar dari mereka membuat tidur kedua anakku tidak nyenyak di malam hari. Aku masih mengingat wajah riang Nia saat kubelilan eskrim homemade di tetangga, yang hanya seharga dua ribu itu. Ia menikmatinya hingga bibir mungilnya itu belepotan dengan eskrim. Jika bekerja seharian penuh, maka gaji yang kudapat tiga puluh ribu. Itu pun hanya di hari minggu aku bisa bekerja seharian penuh. Ica tak memakai diapers, aku hanya menggunakan kain sebagai popok untuknya. Uang yang kudapat hasil buruh hanya cukup untuk makan, itu pun hanya pas-pasan. Sebab, tak setiap hari ada yang memintaku untuk bekerja di ladangnya. "As! Aku masuk, ya?" Suara Bu Ramlah terdengar setengah berteriak dari luar rumah. Gegas aku membuka pintu, ia pun masuk tanpa kupersilakan.Jam delapan, tetapi cuaca begitu mendun
Sumpah Al-Qur'an (8)***Aku mengemasi peralatan masak yang sebelumnya tergeletak di bawah. Bingung hendak bagaimana. Jika angin dan hujan terus berembus kencang, sudah pasti rumah ini akan roboh. Di luar juga tidak menjamin keselamatan, sebab tingginya pohon-pohon yang tumbuh di sekitar bisa saja roboh. Aku begitu menghawatirkan Nia. Semoga saja ia tetap di sekolah bersama teman-temannya. Tubuhku menggigil. Semoga saja Ica tidak kedingingan, dan juga hujan segera reda. Baru kali ini hujan turun dengan begitu dahsyat.Aku tersentak kaget saat terdengar suara yang begitu keras di sebelah rumah. Seperti suara pohon yang tumbang. Aku gemetar hebat. Bagaimana nanti bila rumahku juga tertindih pohon. Ya Allah ... mohon lindungi kami semua.Aku mandi dan segera shalat. Lalu mengaji di sebelah Ica yang masih terlelap. Beberapa kali ia terjaga sebab terkejut dengan kilatan petir yang memekkakkan telinga. Entah berapa lapis kain yang menimpa tubuhnya. Supaya ia tidak kedinginan.Kilatan peti
Sumpah Al-Qur'an (9)***Walaupun hubungan keluargaku dan Pak Bahul tidak pernah baik, akan tetapi jujur, sama sekali aku tidak dendam. Atau bahkan merasa senang melihat Pak Bahul mendapat cobaan demikian. Tidak sama sekali.Walau terkadang aku juga marah karena perlakuan mereka. Aku bukanlah sabar, atau bahkan tidak bisa marah. Bukan! Keadaan yang menuntutku untuk bersikap demikian. Berusaha tabah. Sebisa mungkin menahan amarah bila merasa ditindas. Berusaha menahan hati agar tidak berdoa keburukan bila merasa didzalimi. Sungguh, aku tidaklah sabar. Yang bisa kulakukan hanya berdoa, semoga Allah melapangkan hati ini, dan mereka segera sadar atas tindakannya.Pikirku, asal aku bisa makan. Nia dan Ica tidak kelaparan. Itu sudah lebih dari cukup. Aku juga tahu diri. Tidak berharap bantuan dari tetangga. Yang kuharap hanya mereka memintaku bekerja di ladangnya, lalu diupah dengan layak. Hanya itu. Aku hanya menginginkan hakku.Sering kali saat ada bantuan dari program pemerintah, baik
Sumpah Al-Qur'an (10)"Yeeyyy! Tuh tuh, Ibu pulang. Bawa mie sed**p. Udah lama banget kayaknya kita nggak maem mie itu ya, Dek!" Nia berkata dengan tertawa riang pada adiknya yang hanya dijawab dengan celoteh tak jelas.Anak-anakku rupanya sudah menunggu di teras rumah. "Lho, Bu! Mana bungkusannya, Bu?" tanya Nia. Dahinya mengernyit."Masuk dulu, yuk!" pintaku. Mereka masuk mengekor di belakang.Tadi saat melewati rumah Bu Ayu, aku sengaja memperlambat langkah. Sebab kudengar gelak tawa Bu Ramlah dari sana. Berharap ia melihatku, lalu memberi jatahku itu. Kebetulan pintunya dibuka cukup lebar. Aku melirik sekilas, melihat mereka sedang menata berbagai bungkusan yang aku tak tahu. Sebab aku hanya memandangnya sekilas. Kurang jelas."Bu, Ibu nggak dapet lagi, ya? Kayak daging kambing kemarin," tanya Nia. Kini, raut mukanya itu terlihat kecewa."Apa kehabisan lagi, Bu?" cecarnya terus."Ehmm ... gini ya, Nak. Nia mau mie sed**p, kan? Bentar!" Aku bangkit meninggalkannya. Berjalan menuj
Sumpah Al-Qur'an (11)***"As! Aku ambil cabe dikit, ya? Soalnya di Mbak Tatik lagi telat." Teriak seseorang dari luar, saat kami sarapan. Aku tahu pemilik suara itu."Iya, Bu!" jawabku dari dalam.Di halaman rumah sejak dulu memang kutanam aneka cabe, juga ada beberapa terong. Tidak banyak, sebab halaman itu tak begitu luas.Setelah Nia berangkat, aku membawa Ica keluar, berniat hendak memanen cabe untuk dijual nanti. Namun, langkahku terhenti saat melihat pohon cabe yang berada di sudut barat. Daun-daunnya tergeletak di tanah. Aku teringat Bu Ramlah yang meminta cabe barusan.Setelah masalah kepala ikan kemarin, Bu Ramlah sama sekali tak menyapaku. Bahkan beberapa kali membuang sampah di teras rumah. Aku tak banyak bicara atau berdebat untuk hal kecil seperti itu. Malu pada tetangga yang lain jika harus bertengkar. Jadi aku membersihkannya tanpa protes.Baru tadi ia menyapaku untuk meminta cabe. Itu pun seakan merusak tanamanku. Ia mengambil cabe sekaligus dengan ranting dan daunny
Sumpah Al-Qur'an (12).***Pagi ini usai shalat Subuh, aku pergi ke warung Mbak Tatik untuk menawarkan cabe. Samar terlihat bayangan beberapa orang di sebelah pintu masuk ke sungai. Aku memelankan langkah. Sekujur tubuh terasa gemetar. Suasana masih gelap, membuat pandangan yang juga tidak didukung dengan jarak membuatku berpikir macam-macam. Aku khawatir mereka maling atau orang yang berniat buruk pada rumahku. Terlebih anak-anak masih tidur di sana.Mereka berada di tempat yang gelap. Hanya ada penerangan temaram dari lampu bohlam kuning di belakang rumah Pak Bahul. Dengan jarak beberapa meter dari pintu sungai itu.Aku semakin memelankan langkah untuk mengawasi mereka. Lalu seseorang melangkah menjauh menuju rumah Pak Bahul yang membuatku lega. Rupanya itu Pak Bahul, lalu beberapa orang di tempat gelap itu siapa? Kenapa mereka seakan berbisik-bisik untuk bicara. Tidak seperti tempo hari saat mengevakuasi pohon kapuk yang berkelekar bebas.Aku melanjutkan langkah. Merasa tenang ji
Akibat Sumpah Al-Qur'an (13)***"Ibuu! Jangan, Ibu!" teriak Nia saat Bu Ramlah kembali menarik tanganku dengan paksa."Sebentar, Bu! Saya pamit sama anak-anak dulu!" ujarku menepis tangannya tak sengaja dengan kasar. Membuat Bu Ramlah semakin naik pitam."Kamu ini bener-bener ngelunjak! Baru ini lho saya butuh bantuanmu, As! Itu pun akan saya bayar. Nggak inget kamu hah? Kemarin-kemarin atas kebaikan saya. Nggak sekali dua kali saya kasih kamu makanan!" terang Bu Ramlah berapi-api. Matanya melotot geram. Sedang tangisan Nia semakin menjadi, pun Ica yang juga turut menangis melihat kakaknya menangis."Maaf, Bu. Saya panik tadi nggak sengaja. Saya mau nenangin Nia dulu sebentar. Ibu berangkat dulu biar saya nanti nyusul," jelasku padanya. Bu Ramlah mengangkat kedua tangannya yang mengepal dengan geram. Lalu bergegas pergi dengan raut wajah kesal.Aku segera berlari ke arah Nia yang masih menangis tersedu di balik pintu. Ia seperti takut dan bersembunyi saat melihat Bu Ramlah tadi. "He