Have you ever feeling something bittersweet? Or something just bitter and bitter?
Love? Life? Or... both?Than, congratulation. Wellcome to the club!——
Gadis itu terdiam, wajahnya pias sementara ia memandang bagaimana bayangan dirinya sendiri didepan cermin sana.
Menunggu.
Padahal hanya perlu tiga puluh detik.
Namun jemari yang bergetar dan hela napas gugup menjadi tanda mutlak bahwa tiga puluh detik dipagi hari yang damai itu adalah pagi yang amat riskan sepanjang ia hidup.
Maria mengangkat benda pipih panjang berwarna campuran antara biru dan putih itu, benda yang beberapa detik lalu ditenggelamkan pada air seninya.
Menanti apakah keresahan dan juga perubahan dari tubuhnya benar-benar karena hal ini. Hal yang dihindari mati-matian oleh semua anak remaja di bumi.
Maria menunduk sekilas setelah menarik napas, netra bulatnya bergetar, dengan ragu ia meraih alat tes kehamilan yang ia letakan diatas wastafle. Menatapnya nanar, melihat dengan jelas dua garis merah yang terpampang.
Jantung tak lagi berfungsi dengan baik. Hela napas menyapu cemas.
Terduduk diatas kloset yang tertutup Maria kemudian memejamkan mata, desah frustasi muncul dari dua belah bibirnya sementara jemari yang masih memegang testpack itu ia gunakan untuk menyugar rambut pirangnya kebelakang.
Ia harus bagaimana?
“Mar! Lama amat, sih! Gantian! Gue bisa telat!” teriakan itu terdengar dari luar sana, Maria bergeming, tak menanggapi, bahkan hingga pintu kamar mandi itu dibuka dari luar dan muncul satu wanita lengkap dengan omelannya Maria tetap duduk disana seakan kehilanga nyawa.
Masih kelu untuk berkata saat tau ada sesuatu yang tumbuh dalam perutnya.
Melihat Maria duduk tanpa menyahut atau menoleh sedikitpun, teman Maria yang baru saja membuka pintu itu sontak bertanya.
“Mar! lo kenapa?”
Sahabat Maria sekaligus teman satu rumahnya itu mendekat dengan ragu, wajahnya menampilkan ekspresi campuran antara risau dan juga ada percikan sebal yang amat ketara.
Dan nyawa Maria belum kembali, malaikat pembawa pesan masih meminjam jiwa gadis dua puluh enam tahun itu. Membawanya keluar menjelajahi dunia yang kacau sebelum menghempaskannya ke tanah keras.
Jane- pramugari yang merupakan sahabat Maria sejak SMA, menangkap benda kecil yang ada diampitan jemari Maria. Cepat-cepat ia mengambil benda itu dengan kening berkerut.
Sebelum melebarkan mata lengkap dengan jeritan tertahan. Tersadar.
Kala itu Maria baru mendapatkan nyawanya kembali. Mendongak dengan mata yang datar sebelum menciptakan senyum ironi.“Surprise!” katanya tanpa nyawa.
Positive.
Diantara kebingungan tentang hadirnya segumpal daging dirahimnya, Maria masih mampu mengingat tentang malam itu. Malam dimana ia melakukan hal yang ia tau akan disesali seumur hidup, malam dimana ia meluruhkan semua kekacauan dalam gemuruh erangan panjang, malam di Hawai bersama orang tak terduga.
Hening melanda.
Para gadis dua puluh empat tahun itu ditimpa keterkejutan. Mereka sama-sama lajang. Belum ada yang pernah mendapat lamaran atau mengucap janji suci didepan altar bersama satu pria pujaan. Dan salah satu dari mereka hamil?
“Siapa?” tanya Jane dengan nada suara yang mencicit pelan. Menanyakan dengan pria mana Maria berhasil berkembang biak.
Maria terdiam lama.
“Nggak inget,” jawabnya setelah beberapa saat.
Jelas sekali, Maria yang mengatakannya saja merasakan keraguan utuh dari genangan suranya, apalagi Jane sang pengamat jeli. Jane tau betul kalau Maria tengah berbohong.
Maria jelas tau siapa orangnya namun tidak mau memberitahukan itu.
“Sinting! Lo nggak mungkin nggak inget,” selak Jane marah. “Gue tau lo liar, tapi not free sex. I know that, Mar.”
Jemari Maria beralih mengusap kasar wajah cantiknya. Mencoba menyadarkan diri. Memilih untuk tidak menjawab. Menunduk dengan mata memejam.
“Justin?” tebak Jane setelah beberapa lama. Ada genagan marah yang ketara saat gadis itu mengucap nama manusia terakhir yang berhubungan dengan Maria, mereka sudah putus sekitar tiga bulan lalu dan Maria masih merana karenanya. Maria mendongak menatap Jane yang menatapnya sangsi, tak menyangka.
“Si Goblok itu?” lanjut Jane.
Kini gelengan dilayangkan Maria. Menjawab singkat. “Bukan.”
Decak frustasi kembali dilayangkan Jane. “Terus siapa?”
Apa penting sekali mengetahui siapa itu orangnya? Maria justru lebih khawatir tentang reaksi keluarganya ketika mengetahui hal ini. Bisa mampus secara harfiah dirinya. Ayah bisa mengeluarkan nama Maria dari kartu keluarga. Dan ibunya? Nenek? Maria bahkan tidak ingin mengira-ira apa yang bisa para wanita itu lakukan.
Untuk kali ini Maria benar-benar harus berusaha dengan baik.
Dan sama seperti sebelumnya, Maria tidak menjawab pertanyaan Jane. Maria mendesah kecil, memandang Jane sejenak.
Mengalihkan topik bicara.
“Katanya lo telat.” Maria mengingatkan alasan Jane sampai menerobos pintu kamar mandi dan mengomel sepagian, pramugari ini hampir terlambat terbang. “Lo mandi gih, gue lanjut tidur.”
Jane mengibas tangan kasar, tak peduli. Lebih-lebih tercengang dengan Maria yang menunjukan reaksi cukup tenang.
“PHK juga bodo amat,” selak Jane jujur. “Bilang, siapa yang bikin lo bunting?”
Dan tentu saja. Tidak semudah itu mengganti topik.
“Gue nggak mau bilang,” balas Maria dengan nada yang lirih. Kelopak matanya menutup pening. Karena tanpa disuruh otak sialan yang ada didalam kepala Maria lagi-lagi membawa gadis itu pada ingatan satu malam di Hawai.
Sialan!
Mendengar kalimat lelah Maria itu Jane mulai melunak, hembusan napasnya menghembur prihatin, ia menunduk sekilas, sadar kalau tidaklah tepat menekan Maria padahal dibanding orang lain Maria lah orang yang paling dikejutkan. Maria juga pasti takut.
“Kenapa?” tanya Jane akhirnya. Mulai mampu menata sabar. Ia menunggu jawaban, namun belum juga dijawab Jane lebih dulu menyipitkan mata curiga. “Jangan bilang lo mau rahasiakan kehamilan lo ini?”
Dan kesabaran itu hilang kembali. Meluap tinggi bersama dengan jeritan keras yang ia keluarkan. Menjadi ibu tunggal itu tidak mudah! Kendati ia tau betul wanita seperti apa itu Maria, mandiri dan berbeda dengan wanita-wanita diluar sana, namun tetap saja. Semua tidak akan semudah yang dibayangkan.
“Gue seneng lo pinter sekarang,” jawab Maria dengan sedikit senyuman main-main, dengan wajah pucat itu senyum Maria justru terlihat mengerikan bagi Jane.
“Gak usah sok jadi Kylie Jenner deh!” jerit Jane marah, dia tidak mengerti jalan pikiran Maria.
Dan bukannya melanjutkan rasa frustasi karena tau dirinya hamil, Maria malah tertawa melihat tingkah sahabatnya yang mulai hilang kesabaran.
Jane heran. “Mar! Bukan saatnya buat ketawa-ketawa sekarang!”
“Lo beneran gak mau kasih tau gue?” lanjut Jane. Jari telunjuk pramugari dua puluh enam tahun itu mengacung yakin. “Justin. Pasti Justin. Keparat brengsek, dasar tai! Nggak cukup apa dia—.”
“Je,” potong Maria tiba-tiba yang membuat Jane segera berhenti bicara.
Maria terdiam sejenak. Matanya memandang datar. Hela napasnya normal, namun wajah gadis yang biasanya ceria itu nampak kosong. Menoleh pada Jane yang sedang menunggu lanjutan kata-katanya.
“Gue pen muntah,” lanjut Maria tanpa diduga.
Dengan begitu, Maria langsung berdiri, membuka tutup kloset yang ia duduki dan memuntahkan semua isi lambungnya disana. Sumpah. Maria belum memakan apapun namun mual membuat ia harus menguras semua isi lambung yang hanya ada air. Sampai perih, hingga terasa pahit.
Maria merasa satu tangan Jane memegangi rambutnya yang panjang tergerai sementara satu tangan yang lain memijat belakang lehernya.
Maria mengangkat wajah. Selesai dengan morning sickness pada sesi ini. Menarik napas lalu mengeluarkannya dengan satu gurat menyesal.
Mengumpat dalam hati.
Kenapa harus dia?
Diantara dua orang yang pernah menaruh sperma dirahimnya kenapa harus milik Edgar yang berhasil berkembang.
Kenapa harus mantan pacar Jane- sahabatnya. Kenapa harus dia yang Maria temui di Hawai. Kenapa harus si uler kangkung! Kenapa casanova itu!
Dan yang paling penting, kenapa Edgar bisa kecolongan macam perjaka amatir begini!
Satu bulan sebelumnya. —— Sunset in Hawai. Patah hati merupakan side menu yang Tuhan berikan pada pentingnya kotak makan siang dalam hidup setiap manusia. Katanya empat sehat lima sempurna. Terlalu banyak manisan tentu tidak baik. Maria sudah tau. Ia bukanlah remaja idiot yang mengelu-elukan cinta sedemikian rupa. Maria lebih dari sekedar paham tentang teori bahwa manusia yang berani jatuh cinta harus berani pula hancur karena cinta. Karena bukan idiot. Maria tentu sudah menyiapkan hatinya kalau-kalau hal semacam itu terjadi padanya. Tepatnya, Maria sudah bersiap saat gilirannya untuk patah hati tiba. Dan itu terjadi sekarang, atau mungkin dua bulan lalu saat ia memergoki kekasihnya bercumbu dengan wanita yang entah itu siapa, Maria tidak terlalu peduli dengan identitas pecun yang berhasil digaet mantan kekasihnya. Ia hanya menganggap jika
—— Matahari yang bersanding dengan langit Waikiki memang terkenal tak pernah mengecewakan. Cerah tanpa awan, sangat baik untuk para turis yang ingin tanning, apalagi anginnya yang sejuk, dan juga suasananya menenangkan. Ditambah dengan ombak yang tak malu-malu derdebur kencang. Membuat jiwa para peselancar bergejolak ingin segera terjun bersama adrenalin kedalam air melawan ombak. Begitu juga dengan Maria. Wanita yang memakai baju renang berwarna biru motif bunga-bunga itu tentu tak ingin menyianyiakan kesempatan yang bagus ini hanya untuk tidur dan menonton siaran drama di televisi. Terlalu membosankan. Ia pergi dari rumah sejauh ini memang untuk melarikan diri, namun Maria juga tidak mungkin mengabaikan keinginan untuk mencebur ke air saat matahari terik. Maka dari itu Maria menyewa satu slot sesi berselancar pagi ini, dan gadis yang tengah mengikuti pemanasan dengan orang lainnya itu melakukannya dengan baik, tidak terlalu berminat untuk ci
—— Hawai sudah sore. Hari ini adalah hari terakhir Maria berada di Hawai kalau menurut jadwal yang sudah ia susun sebelumnya, setelah menghabiskan tiga hari untuk memanjakan ketenangan jiwa dengan keindahan alam, hari ini Maria menggunakan waktu yang tersisa untuk menjelajahi jalanan serta pernak-pernik khas Hawaian. Meski ini bukan pertama kalinya Maria kemari dan sudah pernah membawa pulang sekarung oleh-oleh khas, namun namanya wanita, pasti ada saja, entah itu cuma lihat-lihat atau memang benar punya niat membeli souvenir untuk buah tangan, yang namanya berkeliliing toko itu wajib. Maria sendiri masuk dalam golongan wanita kebanyakan, menyukai perbelanjaan, maka meski tidak butuh dan meski orang rumah tidak mengharapkan oleh-oleh apapun ia masih mau berkeliling untuk mencari goods yang indah untuk dibawa pulang. Tiga kantong besar sudah ada ditangan kanan gadis yang menggunaka
“Hai, Rapunzel,” suara manis yang dibuat setengah berteriak itu terdengar jelas di telinga ketika Maria baru mendaratkan bokongnya di salah satu kursi di depan bar table. Maria tidak percaya pada sebuah kata yang orang-orang sering bilang dengan kebetulan. Presentase pertemuan antara jumlah manusia dibumi dengan masa yang ada tidak memungkinkan untuk dua orang bisa bertemu secara tidak sengaja. Dan sekarang? Lihat siapa laki-laki yang menggunakan kemeja putih yang dua kancing paling atasnya itu dibiarkan terbuka, membuat dada yang kemarin sore Maria lihat nyata diterpa cahaya senja kian mengintip tanpa malu. Edgar disini. Mungkin dia memang benar-benar TKI yang dikirim ke Hawai, namun apakah boleh seseorang merangkap pekerjaan sebanyak ini dalam satu hari? Tadi siang Maria menemui Edgar di kelas berselancar, sorenya Edgar digerai tat
Gila! Sinting! Dan entah kata apa lagi yang mampu menafsirkan dengan padat dan jelas apa yang tengah dirasakan dua insan disana, kewarasan sudah diambang batas, logika yang dielu-elukan tak lagi menjadi tolak ukur perbuatan. Semuanya berantakan, bersama dengan decap basah yang terdengar memenuhi seluruh sudut ruangan. Maria benar-benar membawa Edgar ke dalam ruang tidur tempatnya menginap. Akal Maria memang sudah hilang, karena pikir saja, gadis mana yang mampu bercumbu dengan laki-laki lain sementara kemarin ia meratapi cinta yang baru saja patah? Dan lihat bagaimana berhasratnya Maria meremas surai coklat milik lelaki yang tengah menciumnya. Edgar begitu keras dan dominan. Edgar melerai tautan yang terjalin antara bibirnya dengan milik Maria, mencaritahu sebagaimana ekspresi wajah cantik Maria dibuatnya, karena dibandingkan apapun Edgar mengakui dengan sangat k
2 years later.-- Menjadi dewasa amat indah. Tak seperti orang lain yang mengerutu karena merasa dewasa datang terlalu cepat dan bahkan banyak yang berangan-angan agar bisa kembali pada masa kecil, Maria justru amat menikmati waktu yang ia lewati sampai usianya menginjak angka dua puluh delapan tahun ini. Menjadi dewasa. Memiliki tanggung jawab baru. Melewati semua tetek bengek drama remaja dan berubah menjadi seorang wanita yang tak terlalu memikirkan setiap hal yang ada. Dan yang paling penting. Menjadi seorang ibu. Benar. Putri tunggal dari keluarga Foster itu telah melahirkan seorang anak laki-laki sekitar satu tahun lalu.Tidak mudah. Tentu, tidak mudah sama sekali. Namun, Maria dapat melewatinya dengan baik. Menjalani kehamilan pertama yang sembunyi-sembunyi amat sulit, melahirkan,
-- “Woi, pemeran utama! Ngaret banget, ditungguin juga.” Seruan itu menjadi sambutan bagi wanita tinggi yang baru melewati pintu kaca, bayi laki-laki berumur satu tahun terlihat stylish digendongannya, Ares sudah dipakaikan beret dan juga sepatu coklat, tak ketinggalan juga ada empeng terselip di mulutnya. Maria lekas mendekat ke meja dimana ada dua wanita hamil disana. Melambai-lambai semangat. “Tanggerang traffic is so wonderful, u know?” balas Maria sembari duduk salah satu kursi yang kosong, kemudian mengatakan terima kasih pada supirnya yang membawakan tas milik Ares. Dua tante-tante itu langsung jejeritan tak tahan, menggeser kursi mereka agar bisa lebih dekat pada bintang utama, menjawil-jawil pipi baby Ares yang dari tadi diam dan hanya memandang dengan tatapan polosnya. Hingga kemudian, Jane mengambil alih bayi kece itu, didudu
-- “Darksky bukannya club Edgar ya? Katanya mau buka cabang? Katanya juga dia buka di salah satu hotel lo? Beneran? Sumpah, hah?” Rentetan pertanyaan itu datang dari mulut Jane yang masih membaca sesuatu di layar ponselnya. Mungkin Jane sedang membaca postingan seseorang di group alumni SMA. Maria tidak terlalu ingin tau, namun yang jelas Maria hanya tak suka dengan fakta bahwa nama Edgar kembali didengarnya setelah ia susah payah kabur dari pria itu tadi. Oke. Biar Maria jelaskan situasinya. Jane dan Lili ternyata masih ada di café yang sama karena ibu hamil itu tak membaca pesan yang Maria kirimkan, bahkan tidak berinisiatif menghubungi Maria saat mereka sadar kalau Maria menghilang lebih lama dari seharusnya. Teman macam apa! Saat Maria kembai kemari, dua ibu hamil itu tengah asyik memakan potongan cake, dan Ares juga disuapi sedikit-sedikit.