Devan menggenggam tangan Raina yang kini berbaring di rumah bersalin. Dia melihat raut ketakutan pada mantan kekasih adiknya itu. Sebenarnya, genggaman ini bukan karena rasa kasih sayang, akan tetapi sebuah keterpaksaan yang perlahan mulai mengikis hatinya yang sunyi.
"Jangan takut! Jangan berhenti berdoa biar hati kamu juga makin tenang. Percaya aja, bahwa kamu bisa melewatinya," ucap Devan dengan wajah datar. Seolah ucapan itu hanya sebatas kalimat penenang yang dia ambil dari g****e.
Raina mengangguk seraya memaksakan diri untuk tersenyum. Dia dapat merasakan, seberapa canggungnya Devan. Beberapa detik kemudian dia mengalihkan pandangan pada langit-langit. Terlihat gerakan bibirnya membacakan do’a, namun raut wajahnya tetap resah. Sebentar lagi dirinya harus menjalani operasi Caesar.
Devan mulai melirik Raina kembali. Dia mengacak rambutnya karena kebingungan, kalimat apa lagi yang harus diucapkan pada wanita yang dengan terpaksa dia nikahi beberapa bulan lalu, hanya untuk menutupi aib adiknya.
Tapi memang pada akhirnya, tidak ada satu kalimat terucap dari keduanya, sampai seorang perawat memindahkan Raina dari ruang inap menuju ruang operasi.
Devan mengikuti brankar yang dibawa perawat, menuju ruang operasi. Masih harus menunggu lagi, brankar yang membawa Raina itu terhenti di ruangan tunggu yang disekat tirai.
Raina mendengus, tidak ada sesuatu tempat dia menumpahkan rasa takut, kecuali tangan Devan yang tidak sengaja menyentuh safety rail di sampingnya. Dia genggam tangan Devan, menautkan jarinya pada jari pria di sampingnya. Untuk pertama kali, dia melakukan hal itu.
Hanya kali ini dan hari ini, Devan bersedia meminjamkan tangannya sebentar. Meski tidak ada cinta untuk Raina, dia bukan pria yang tidak punya hati dan simpati disaat seperti ini.
Raina dibawa kembali oleh perawat ke ruang operasi, dan dia mulai melepaskan genggaman tangan itu, tangan yang cukup membuat hatinya tenang.
"Yang tadi istrinya ya, Mas?" tanya seorang Ibu-ibu yang duduk di samping Devan.
"Iya," jawab Devan.
"Bayinya cewek apa cowok?"
"Kalau di-USG, sih , cowok, Bu."
"Wah, selamat, ya! Ngomong-ngomong kenapa bisa harus sampai caesar?"
Devan memejamkan mata, malas dengan pertanyaan semacam ini, lagi pula dia tidak tahu alasan pasti Raina bisa operasi. Sehingga dia menjawab seadanya, "Air ketubannya sedikit, terakhir kontrol Dokter menyarankan operasi."
"Oh, dulu anak saya air ketubannya sedikit. Masih bisa normal tuh, apa gak dicoba induksi?"
"Hmm ... gak tahu, gak ngurus." Devan menjawab sambil mengacak rambutnya.
Jawaban Devan membungkam ibu-ibu yang kepo barusan. Ada sedikit penyesalan mengapa dia sampai berkata seperti itu pada orang tua. Tapi, saat ini dia sangat lelah hanya untuk mengurus Raina, sampai mengabaikan kesantunan yang selama ini dipertahankannya.
Selang 15 menit. Bayi Raina dibawa oleh perawat menuju ruang bayi. Raina masih berada di ruang operasi karena perutnya yang barusan disayat, masih dijahit oleh dokter.
Devan mengikuti langkah perawat menuju ruang bayi. Kemudian mengadzani bayi laki-laki yang diberi nama Zian. Tentu saja perasaannya biasa-biasa saja karena itu bukan darah dagingnya. Bahkan kadang, terbersit dalam hatinya untuk apa dia ada di sini.
***
Kamar Dandelion 1, ruang inap kelas VIP tempat Raina berbaring begitu sepi, meski dua orang berada di sana. Raina masih berbaring dengan efek bius yang belum sepenuhnya menghilang. Badan masih terasa menggigil, bagian perut serta kaki masih belum bisa digerakkan sempurna.
Beberapa saat yang lalu, suster memberitahu bahwa bayinya belum bisa satu kamar dengan Raina, butuh waktu maximal 24 jam untuk bayi tersebut di ruang observasi.
"Sudah aku adzanin tadi. Suara tangisnya juga kencang, dia terlihat sehat," ucap Devan membuka percakapan.
"Terimakasih."
"Ini fotonya!" Devan membuka galeri di gawai dan menunjukkannya pada Raina.
Raina tersenyum, dia nyaris lupa akan kondisinya yang tidak berdaya. Meski belum bisa melihat anaknya secara langsung, tapi hal itu membuat dirinya gembira.
"Namanya Zian Pradipta Lubis." Meski tidak suka situasi ini, Devan antusias memberi bayi itu nama, dan sudah pasti anak itu harus ikut marga keluarganya.
Raina pun, merasa berdebar karena anaknya sudah mengikuti marga keluarga Devan. marga yang akan melekat seumur hidup pada Zian.
"Terimakasih, namanya bagus, aku suka nama itu."
Enam jam kemudian, Raina belajar mengangkat kaki pelan. Mungkin terlalu pelan. Dia masih merasa takut untuk mencoba.
Devan masih berada di samping Raina, dari tadi hanya melamun sesekali melihat gawai. Tapi reaksi Raina membuat dia memiliki celah untuk memulai percakapan kembali.
"Dokter bilang coba belajar miring ke kiri dan ke kanan. Semakin diam semakin ototnya kaku. Biar besok bisa belajar duduk dan jalan sedikit-sedikit."
Beruntung, meski terlihat niat gak niat menemani Raina di rumah sakit. Tapi Devan pendengar yang baik di saat dokter memberi informasi. Setidaknya, setelah bertemu ibu-ibu kepo yang tadi, membuat Devan lebih menyimak.
Raina mengangguk, tidak berani bilang bahwa dia takut. Dia merasa canggung minta bantuan pada pria yang dia tahu tidak ada perasaan apapun selain rasa kasihan.
Devan memegang bahu Raina membantu wanita itu untuk menyamping. "Coba menyamping!" perintah Devan, dahinya berkerut. Dia bukan orang yang sabar untuk saat ini. Mungkin karena rasa lelah. Sebenarnya batinnya protes, segala aktivitasnya tertunda hanya untuk menemani Raina.
Raina menyadari raut wajah Devan yang tidak ramah. Dia memaksakan diri mengubur rasa takutnya. Mulai menyamping perlahan. Ototnya masih kaku.
"Sakit?" tanya Devan.
"Iya sakit, tapi gak sesulit yang dibayangkan. Cuma otot terasa kaku."
Memang tidak terlalu sakit untuk saat ini karena dokter memberinya obat anti nyeri yang paling bagus. Akan tetapi, untuk melakukanya butuh usaha yang keras karena dia merasa perutnya ditarik sesuatu.
Bagi Raina, raut wajah Devan yang tidak juga berubah ramah lebih menakutkan dari pada luka sayatan di perutnya.
"Tadi menyamping ke kiri, sekarang coba menyamping ke kanan." Devan membimbing Raina kembali, Memegangi bahu Raina.
Raina mendengus. Tiba-tiba ingin menjambak rambut Devan. Pria itu benar-benar tidak memberinya sedikit jeda untuk mempersiapkan diri terlebih dahulu. Meski memang disarankan dokter, apa dia tidak tahu jika Raina masih takut.
"Hmm ... pelan-pelan," ucap Raina.
"Oh, Sorry."
Beruntung bagi Raina, beberapa saat setelah itu Bu April ibunya Devan datang. Pasti setelah ini, Devan akan pergi, bergantian menjaga Raina. Raina bersorak dalam hati, berharap Devan cepat pergi.
"Bagaimana keadaan Raina?" Senyum tulus mengiringi Bu April. Tangannya membawa tas berisi pakaian, Bu April akan menginap.
"Baik. Dia sudah bisa menyamping, Bu." Devan mewakilkan layaknya suster.
"Alhamdulillah. Ibu senang mendengarnya. Kamu istirahat dulu. Rain biar ibu yang jaga."
"Ya!" Devan mencium tangan ibunya berpamitan pulang.
"Besok kamu ikut menginap ya, Dev."
"Insya Allah, lihat kondisi dulu, ya, Bu. Aku udah habisin waktu dari kemarin di rumah sakit, pekerjaan Devan tertunda, Bu."
Devan sudah menemani Raina, kontrol, dan mengurus administrasi jadwal operasi dari kemarin.
"Devan pamit pulang dulu, Bu. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Raina melihat pintu tertutup dan Devan pun berlalu. Dalam hati dia bersyukur. Bukan hanya karena canggung. Tapi juga karena kasihan pada Devan, dia tidak ingin terlalu membebani pria itu.
"Memang kamu belum diperbolehkan makan dan minum?" tanya Bu April, saat melihat nampan makanan pasien utuh.
"Sudah diperbolehkan, Bu."
"Loh, kenapa makananmu masih utuh? Devan tidak membantu menyuapimu?"
"Em ... tadi aku yang menolak."
April mengerutkan dahi, tidak percaya. "Ya sudah, biar Ibu yang menyuapimu, ya."
"Aku bisa sendiri, Bu." Raina berkata sambil bersusah payah membenarkan posisi tidurnya. Tapi tidak berhasil. Menyamping saja masih sulit.
Bu April tersenyum. Pada akhirnya, dia tetap menyuapi Raina.
***
Setelah tiga hari berada di ruang inap. Raina hari ini bisa pulang. Zian sejak kemarin lebih banyak bersama April. Selain masih dalam masa perawatan Raina masih belum paham apa-apa tentang bayi.
Devan membawa tas perlengkapan Raina, April, dan miliknya, seolah dia suami siaga jika dilihat sekilas.
Ibu April bertugas membawa Zian. Sementara itu, Raina diantar menggunakan kursi roda oleh perawat hingga parkiran mobil.
Mereka pulang bersama seperti keluarga bahagia lainnya. Akan tetapi apa yang nampak dari luar tidak seperti aslinya. Devan tidak menginginkan Raina pulang bersamanya.
***
"Sekarang kamu tidur di sini, sama Ibu, ya. Biar malam Ibu bisa temani kamu jaga Zian."
"Baik, Bu. Makasih." Raina menjawab dengan senyum ceria.
Devan seolah tidak mau mendengar hal itu, malas ikut percakapan mereka. Dia hanya sibuk, merapikan barang bawaan tadi.
"Ini yang ginian taruh di mana, Bu?" Devan mengacungkan diaper berukuran New born - Small.
"Yang bungkus besar taruh di dalam lemari untuk stock. Yang bungkus kecil simpan di atas nakas untuk dipakai hari ini barengan tisu basah dan tisu kering."
"Oh, Oke."
Devan keluar dari kamar. Duduk di sofa sambil mengambil air isotonik yang sudah tersedia di meja. Mendengus, dia memikirkan kehidupan barunya.
Devan tidak tahu banyak tentang Raina. Yang dia tahu, Raina adalah anak teman ayahnya. Dia lulusan 2 tahun lalu, selisih 6 tahun lebih muda dengan Devan, semasa sekolah sering mendapat prestasi di bidang seni musik. Devan juga sempat melihat Raina tampil di acara peresmian Music School milik Devan. Saat itu, Raina bernyanyi aliran musik jazz. Sempat tersihir oleh suara Raina, bukan berarti Devan menaruh hati padanya.
Sebenarnya, tidak masalah jika Dia dinikahkan dengan wanita secantik Raina, bahkan mereka mempunyai hobi yang sama dalam bermusik. Tapi yang jadi masalah, Raina adalah kekasih adiknya, Dhaka.
***
Sudah satu minggu Raina berada di rumah Bu April. Malam ini dia terjaga sendiri untuk menyusui bayinya. Bu April sudah tidak menemani di dalam kamar. Tapi dia terjaga di tengah rumah bersama suaminya. Tidur di kasur lipat di depan televisi, mungkin sampai beberapa hari ke depan.
Hujan turun, sengaja Raina membuka sedikit tirai hanya untuk melihat percikannya. Baginya, hanya seperti itu bisa menenangkan hati. Raina begitu suka rintik hujan.
Tak lama kemudian, dia menaruh bayinya di kasur bayi tepat di sebelahnya, menutup kelambu berwarna biru, setelah sebelumnya memastikan kasur bayinya aman dari nyamuk.
Dia kembali menatap ke arah jendela, bukan untuk melihat hujan lagi, tapi ada suara mesin mobil masuk ke arah pekarangan. Devan baru saja pulang, tepat jam dua pagi.
Raina diam-diam mengamati, saat mobil masuk ke garasi, saat Devan membuka pintu depan. Tiba-tiba dia menutup tirai, tersadar pria yang dia amati mulai melirik ke arah kamarnya.
Raina membenarkan posisi tidurnya, rasa ngilu pada perutnya terkadang terasa saat dia merubah posisi berbaring. Saat sudah mendapat posisi yang pas, dia mulai memejamkan mata sejenak. Sambil memasang telinga siap-siap jika bayinya mulai terbangun lagi.
Raina kembali terusik, pintu kamarnya diketuk seseorang. Biasanya, jam-jam segini Bu April datang untuk melihat keadaan Raina dan bayinya.
"Masuk saja, Bu!" ujar Raina. Mata Raina membulat, bukan Bu April yang datang. Akan tetapi, Devan lah yang datang.
Devan menaruh bungkusan warna putih. Tulisan mandarin dan logo brand di plastik tersebut membuat Raina tidak perlu bertanya untuk tahu isinya."Ini obat cina yang aku ceritain kemarin. Ada 6 kapsul, diminum setiap mau tidur, kata temanku proses penyembuhan luka caesar bakal cepet." Devan tidak tahu hal seperti ini, jika bukan dari temannya yang dengan inisiatif memberitahu duluan."Iya, makasih.""Aku juga beli ekstrak gabus buat kamu, kamu kan gak suka makan ikan gabus langsung. Jadi gantinya ini.""Iya, nanti bakalan aku minum," jawab Raina.Beberapa saat mereka terdiam, pandangan mata Devan masih tertuju pada plastik yang sudah dia taruh di nakas. Seolah, ingin mengatakan sesuatu namun tertahan.Raina tahu ada hal lain yang ingin Devan sampaikan, tapi dia pun tidak berani untuk bertanya.Hingga akhirny
"Jika Raina pergi, pasti dia akan membawa Zian pergi juga, ibu gak ingin itu terjadi. Sementara Dhaka, anak itu keberadaanya saja gak tahu di mana." April berkata sambil melanjutkan pekerjaan dapur yang sempat tertunda.Devan terdiam."Ibu mohon sama kamu, supaya lebih memahami kondisi ini. Kamu tahu sendiri, hubungan Raina dan keluarga angkatnya kaya gimana, hanya Almarhumah Bu Fatma yang baik sama Raina. Jika Zian tinggal di sana, ibu gak bisa lihat perkembangan mental Zian seperti apa, terlebih Raina masih sangat labil jika dilihat dari usia dan kondisi keluarga angkatnya itu."Devan ingin sekali berkata bodo amat untuk masalah Raina, tapi takut kualat sama ibunya. Akhirnya, dia memilih mengangguk-angguk saja. Formalitas, supaya April tak membahas itu lagi."Lagipula Raina wanita yang baik.""Semua orang yang hidup menumpang, bisa mendadak jadi baik, Bu.
Raina tidak habis pikir, kenapa Devan tidak diskusi dulu tentang pernikahan sah mereka jika pada akhirnya mendiamkan dia seperti ini. Mungkin saja hanya demi Zian supaya bisa hidup lebih layak, karena tidak ada alasan lain yang lebih masuk akal bagi Raina selain itu. Raina mendapatkan kehidupan yang layak dan nafkah yang cukup bersama Devan. Akan tetapi, dia tidak mendapatkan hati laki-laki itu. Raina mendekati Devan. Dia ingin berbicara banyak hal, tapi dia bingung memulainya dari mana. Sehingga dari tadi hanya mengekor ke mana Devan pergi, ke dapur untuk minum ataupun menunggu di depan pintu kamar mandi. Hal itu cukup membuat Devan risi karena Raina hanya mengikutinya tanpa berkata apa-apa.
Raina tertegun atas ulah Devan. Mungkin pria ini kerasukan atau sekadar kedinginan, atau mungkin juga karena sempat terlalu lama menjomblo. Yang jelas, Raina merasa tubuhnya sesak dan bergerak gelisah dalam pelukan itu."Rain!"Raina gemetar saat Devan memanggil namanya dalam jarak sangat dekat. "Kenapa?""Request sambel goreng juga, ya! Terus cepetan masaknya, jangan pakai lama.""Katanya angetin yang ada aja?""Cuma tambah sambal aja, kok. GPL!""Ya udah, kalau disuruh GPL lepas dulu pelukannya. Apa Bang Dev nyuruh aku masak di kamar?"Devan melonggarkan pelukan dengan ekspresi biasa saja. "Sorry.""Titip Zian, ya! Kalau dia bangun bawa aja ke bawah!"Raina tergesa-gesa menuju dapur. Hatinya belum benar-benar stabil akibat pelukan dadakan yang dilakukan oleh suaminya.
Mata Kirana lekat menatap Raina yang sedang mencuci piring sehabis makan bersama tadi. Iri, harusnya dia yang menjadi tuan rumah. Membuat sarapan tiap hari untuk Devan adalah impiannya. Apalagi Kirana pintar masak. Dia ragu, apakah bocah yang hamil diluar nikah seperti Raina bisa masak sehebat dirinya.Raina lebih cantik darinya. Kirana sangat yakin, Devan tidak akan berpikir dua kali untuk jatuh cinta pada Raina, kalau saja Raina tidak berlaku keji di masa lalu bersama Dhaka, hingga hamil diluar nikah."Raina, numpang ke kamar mandi bentar, ya!" Senja datang menghampiri."Kamar mandinya sebelah sini, Mbak." Raina berjalan ke arah kamar mandi menunjukan letak kamar mandi pada Senja."Oke, makasih, Rain." Senja masuk ke kamar mandi, sambil membawa Fanza, karena Fanza pup.Raina kembali ke wastafel, ternyata Kirana sudah menggantikan mencuci piring, membuat R
Devan menunda pekerjaannya yang mulai menumpuk. Dia meraih smartphone, mencari website Hotel berdasarkan rating tertinggi di internet yaitu Crowne Luxury . Walaupun pada awalnya dia menanggap omong kosong saran dari anggota grup tadi, tapi apa salahnya dicoba.Devan menghampiri Raina yang sedang main games Uncle the horor. Devan Ingin memberitahu sesuatu, tapi Raina terlalu larut dalam permainan, membuat Devan terhenti haya untuk melihat raut wajah Raina saat bermain. Devan merasa aneh, padahal Raina sendiri yang memilih permainan, tapi saat hantunya muncul dia tutup mata, sambil bergedig takut. Jangan lupakan juga backsound games tersebut yang creepy. Devan duduk di samping Raina. "Seru banget, ya?""Eh, Bang Devan. Udah selesai makannya?""Iya udah."
Devan menyadari Raina tak ada di ranjang. Saat membuka mata, dia hanya melihat Zian yang terlelap tidur dengan wajah yang polos. Devan melirik ke sisi jendela, ada cahaya lampu dari luar dan di sana juga dia melihat Raina duduk sambil menatap ke jendela.Wanita itu berwajah sendu. Devan mampu menangkap kesedihan darinya. Tanpa dia sadari, dia mulai tak rela melihat Raina bersedih.Devan bangkit dan mendekat pada Raina. Melihat wajah wanita itu dari samping, membuat kekaguman di dalam hati yang tak sudi dia utarakan. Dia masih bersikeras meyakini bahwa perasaan ini adalah hanya sebatas kasihan semata.Devan menaruh tangan di bahu Raina. "Kenapa gak tidur?"Raina terperanjat atas kehadiran Devan, terlebih pria itu memegang bahunya. "Gak tahu, susah tidur.""Ada yang dipikirkan?"Raina terdiam sejenak lalu kembali menatap ke arah luar, ka
Sore ini, Devan pergi ke Jatinegara menemui seseorang yang sangat dekat dengannya di masa lalu. Tangannya menjinjing buah tangan, berbagai jenis makanan yang empuk. Karena dia yakin, kalau dikasih makanan yang keras sedikit yang punya rumah pasti menggerutu."Assalamualaikum."Sebenarnya, pintu terbuka setengah dari tadi. Devan bisa melihat orang tersebut duduk di tikar, mungkin orang itu berkurang pendengarannya. Devan tersenyum, membuka pintu lebih lebar, bersimpuh mendekati seorang kakek."Assalamualikum.""Waalaikumsalam. Ini Sape ye?" tanya Kong Darul sambil membenarkan kaca mata.Devan meraih tangan Kong Darul, sungkem. "Ini Devan, Kong." Devan duduk bersila kaki."Eh, elu kirain sape. Samar-samar tadi muke lu, tong.""Engkong sehat? Maaf baru bisa mampir ke sini, nengokin engkong."Dev