Aruna merapihkan kerah kemeja Anggasta yang terlihat sedikit berantakan, mereka harus tampil perfek di depan kamera meskipun semuanya hanya sandiwara. Aruna memakai dress selutut berwarna peach, sedangkan Anggasta memakai setelan celana bahan berwarna krem dan juga kemeja berwarna biru soft. "Lima menit lagi konferensi pers di mulai, tolong jangan buat kesalahan saat wawancara nanti." titah Theana. "Oke mi, aku dan mas Anggasta bakal keluarin statement terbaik ke media." Anggasta gugup, ia terus-menerus menarik nafas lalu membuangnya untuk menghilangkan rasa gugupnya. "Na, aku gak perlu hapalin skrip gitu buat wawancara nanti?" tanyanya. Aruna tertawa mendengar pertanyaan Anggasta, "Kita bukan mau syuting mas, buat apa pake skrip." "Jadi aku harus jawab spontan gitu?" "Iya dong lagian tenang aja mas, urusan itu biar serahin aja ke aku. Aku bakal oper jawaban ke mas yang menurut aku mudah dan bisa mas jawab," Anggasta mengangguk, dan kini waktunya konferensi pers di mulai. Kila
Aruna kini tengah sibuk mengacak-acak isi lemarinya dan mengeluarkannya tanpa rasa bersalah, sedangkan di sudut ruangan ada Imah yang tengah melirih karena melihat pakaian-pakaian itu berserakan tidak beraturan. "Bi, aku gak punya baju!" pekik Aruna. "Itu yang non acak-acak kan baju, bukan keset atau lap dapur." ucapnya sedikit agak kesal. "Bi, ini semua tuh udah aku pakai. Malu dong kalau harus di pakai lagi," gerutunya, dan sekarang Aruna beralih ke rak sepatunya. "Tapi kan baru sekali non, apa mau pinjem daster bibi?" Aruna melotot mendengar perkataan Imah, "Bi, ih ada-ada aja! tapi boleh deh aku liat daster punya bibi yang belum di pakai ada gak?" "Eh, non bibi kan cuma bercanda." "Bi, udah nawarin loh. Mana cepet dasternya," Dengan berat hati Imah mengambil daster miliknya yang masih baru untuk diberikan kepada Aruna, daster ini memiliki belahan serut di bagian kanan dan memiliki panjang selutut. Yang paling Aruna suka adalah model dari bahunya yaitu model off shoulder, A
"Saya gak mampir ya, sudah malam juga." ucap Anggasta tanpa turun dari mobil. "Iya mas, hati-hati ya." Anggasta melajukan mobilnya kembali, dan menghilang perlahan dari rumah Aruna. Setiap pergi bersama Anggasta, perut Aruna selalu berakhir terisi penuh dengan makanan. Aruna merasa bobotnya kini sudah bertambah, dan esok saat ia datang ke Yvaine mungkin Liza akan langsung menyeretnya ke tempat gym. "Bi," panggil Aruna. Bukan Imah yang datang melainkan Ayara, rupanya ia sudah kembali dari pelariannya. "Loh masih inget pulang ternyata," ejek Aruna. "Kamu mau menikah dan kenapa gak kasih tau mamah? lalu siapa calon kamu itu? pengusaha? konglomerat? atau pejabat?" tanyanya membuat Aruna muak. "Cuma orang biasa, kakaknya Kastara." Ayara berdecih kesal, ia nampak tidak suka dengan status lelaki yang akan menikahi Aruna. "Kenapa kamu mau sih dinikahin sama orang biasa kayak dia! percuma dong kamu punya wajah cantik kalau dapetnya yang biasa aja," ucap Ayara ketus. "Mah, berhenti at
Aruna menatap figur dirinya di cermin, ini hari pertunangannya tapi tidak ada kebahagiaan yang terasa di hatinya. Hampa, hanya itu yang Aruna rasakan. Dulu ia pernah memimpikan hal ini saat masih menjadi kekasih Kastara, ia membayangkan betapa bahagianya saat Kastara resmi menjadi tunangannya dan kelak akan menjadi suaminya. "Aruna," panggil Anggasta. "Udah mulai acaranya?" tanya Aruna. "Sudah, beberapa wartawan juga sudah ada di aula untuk memotret kita." Anggasta sebenarnya tidak nyaman jika di pestanya kali ini harus ada wartawan, tapi Anggasta tidak bisa berbuat apa-apa karena inilah resiko menjadi pasangan dari orang yang berkecimpung di dunia entertainment. Anggasta menadahkan tangannya untuk membantu Aruna berdiri, lalu meletakkan tangan Aruna di pergelangannya. Mereka harus tampil baik dan romantis dihadapan semua orang, meskipun hati mereka saling bertolak belakang. Saat Aruna dan Anggasta keluar semua bersorak menyambut mereka berdua, begitu juga wartawan yang langsung
Pukul dua dini hari Anggasta baru kembali ke rumah, Rajasa sudah siap menunggu Anggasta di tengah kegelapan ruang tamu. Anggasta terlihat mengintip lewat jendela dari luar, merasa keadaan aman Anggasta segera masuk mengendap-endap. "Darimana kamu, Anggasta?" tanya Rajasa. Anggasta terkejut mendengar suara berat ayahnya di tengah kegelapan, jantungnya serasa mencelos karena kaget. Anggasta meraba dinding untuk menemukan saklar lampu ruang tamu. "Habis jalan aja yah," "Sama siapa?" tanya Rajasa dengan nada menginterogasi. "Sendiri yah," "Bukannya sama Alana kamu pergi?" Anggasta terdiam, darimana ayahnya tau kalau ia baru saja pergi bersama Alana. "Terkejut karena ayah tau? Anggasta, kamu sebentar lagi akan menjadi suami Aruna. Meskipun kamu gak cinta sama dia, tapi kamu harus bisa menjaga jarak dengan perempuan lain." ujar Rajasa membuat Anggasta sedikit kesal. "Ayah cuma mau peringatin kamu, Alana gak sebaik yang kamu kira Ngga. Jadi jangan terlalu dekat dengannya," "Oh ya?
"Ini konsepnya sexy ya, kamu pasti bisa kan Na?" tanya Liza. "Kamu ngeraguin aku Liz? muka aku tuh tipe badass gini gampang lah kalau cuma pose sexy," sahut Aruna. "Oke, satu jam lagi kita siap-siap buat photoshot." Liza keluar dari make up room dan pergi menemui Theana juga beberapa kru, kini Aruna hanya sendirian. Rasanya badmood sekali, sudah lama Aruna tidak pergi ke klub karena sibuk berurusan dengan Mahendra dan rencana pernikahannya. Anggasta tidak memberinya kabar sejak kemarin malam, terakhir Aruna lihat Anggasta pergi bersama Alana entah kemana setelah pesta pertunangan selesai. Aruna tidak perduli mau Anggasta pergi dengan perempuan manapun, karena ia juga tidak ada perasaan untuk Anggasta. "Aruna," panggil seseorang, suaranya nampak familiar di telinga Aruna. Aruna menoleh, senyumnya langsung merekah lebar saat melihat orang tersebut. Aruna berdiri dan refleks memeluknya, tapi ia melepaskan pelukan Aruna. "Maaf," ucap Aruna. "Gak apa, aku cuma mau kasih ini buat kam
"Jadwal aku masih padet gak Liz?" tanya Aruna sembari merebahkan dirinya di sofa empuk. "Ini hari terakhir kamu pemtretan Na, jadwal kamu baru ada tiga hari lagi." Aruna tersenyum sumringah, akhirnya hal yang ia tunggu-tunggu datang juga. Malam ini Aruna akan pergi ke klub untuk menghilangkan penatnya, juga menyegarkan tenggorokannya yang sudah lama tidak teraliri minuman beralkohol. "Emang ada apa Na? kamu ada janji sama Anggasta?" tanya Liza. "Aku mau ke klub, hehe." bisiknya. "Na, jangan ke klub dulu deh. Kamu baru aja lepas dari berita negatif loh, jangan sampai kamu kena berita negatif lagi apalagi kamu sebentar lagi bakal menikah." "Loh emangnya aku di klub mau ngapain Liz sampai kamu takut aku bikin skandal lagi, aku cuma mau senang-senang aja kok. Lagian emang ada larangannya ya orang yang mau menikah pergi ke klub?" Liza berdecak kesal, "Oke! tapi kamu harus di kawal Jono sama Irwan, gimana?" "Kamu yang bener aja Liz! aku ini mau ke klub buat apa di kawal!" Aruna meng
"Sudah saya siapkan semuanya tuan," ucap seorang ajudan, lalu pergi setelah selesai melaporkan tugasnya. Rei Takahiro, seorang lelaki keturunan Jepang Indonesia yang sejak kecil tinggal di Indonesia. Ayah Rei seorang pengusaha restoran sukses di Jepang, sedangkan ibunya adalah seorang manager hotel ternama di Indonesia. Mereka di pertemukan saat hotel tempat kerja ibu Rei bekerja sama dengan restoran ayah Rei. Setengah tahun menjalin hubungan, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah dan satu tahun kemudian di karuniai seorang putra tampan yang diberi nama Rei Takahiro. Rei tumbuh dengan baik di bawah pengasuhan kedua orangtuanya, hingga akhirnya ia menginjak dewasa dan siap mengemban tugas sebagai pewaris perusahaan Takahiro. "Rei, ibu mau ajak kamu makan siang di restoran ayah. Mau ya?" ajaknya. Rei hanya mengangguk, pekerjaan yang begitu banyak membuatnya teramat sibuk namun ia tidak bisa menolak permintaan ibunya. Butuh waktu lima belas menit untuk Rei datang ke restoran caban