Share

Hero Gladiolus and The Gate of Gardraff
Hero Gladiolus and The Gate of Gardraff
Penulis: Kikyo de Kira

From Zero to Hero

Bulan sabit melengkung indah di langit malam, bintang pun bertaburan sangat mengagumkan. Zero menyeret langkahnya, ia merasa tak bertenaga sama sekali. Ini adalah hari ketiga ia tak mengonsumsi makanan apa pun. Rasa lapar yang tak dapat dijelaskan bagai melilit seluruh tubuhnya hingga remuk.

“Aku lelah sekali.” Zero berhenti sejenak dan mengambil botol minum di dalam ransel lusuhnya. Ia bahkan harus menghemat air itu. Tak ada yang bisa dimintai bantuan, justru ia bisa hidup hingga di usia 16 tahun ini karena membantu orang lain.

Satu tahun lalu saat usianya menginjak 15 tahun, Zero memilih keluar dari panti asuhan. Tidak ada alasan ia harus tinggal lebih lama, sebab di sana tak ada orang yang benar-benar menyayangi Zero.

Tubuh kurusnya sangat tidak seimbang dengan tinggi badannya 172 cm. Zero seperti orang-orangan sawah dibalut baju kaos hijau tua dan celana dengan sobekan yang tak normal di lutut. Beberapa orang yang melihat mungkin akan mengira ia adalah pengemis jalanan.

Menghabiskan waktu di panti asuhan, Zero tak menyangka bahwa dunia yang sesungguhnya sangatlah kejam. Ia berniat kerja, tetapi di mana-mana selalu diminta ijazah. Jelas ia tidak punya. Di panti asuhan ia hanya mengikuti pelajaran dari sukarelawan yang datang. Namun, ia adalah remaja lelaki yang gemar sekali membaca.

Pernah ia sedang asyik membaca di panti, tiba-tiba sekelompok temannya merebut buku tersebut. Zero tak melawan, ia sama sekali tak ingin menyakiti orang lain entah itu menggunakan lisan ataupun pukulan. Zero tak bisa melakukannya. Saat makanannya berkali-kali direbut, ia tidak pernah marah. Bagi Zero barangkali teman-temannya lebih membutuhkan.

Pengurus panti tahu dan menegur teman-teman Zero, namun itu justru memperburuk keadaan. Zero semakin dibenci. Ya, ia dibenci karena lemah dan terlalu baik hati. Zero amat tertindas, sering ditertawakan, dihina, dan diremehkan. Semua itu sudah menjadi makanan sehari-hari.

Seorang pengurus panti pernah menyarankan agar Zero sekali-kali melawan, akan tetapi ia berkata, “Aku tidak bisa karena mereka akan terluka nantinya, jika memang harus ada yang tersakiti di antara kami biarlah aku saja.” Zero tersenyum polos kala itu, dalam hal apa pun ia selalu mementingkan orang lain.

Di suatu hari tanpa diketahui teman-temannya dan pengurus panti, Zero memutuskan untuk pergi. Ia yakin tak ada orang yang merasa kehilangan dirinya. Zero berniat melihat keindahan dunia di luar sana, tapi jelaslah tak semudah perkiraan Zero. Setelah mencari kerja di mana-mana dan tak membuahkan hasil, Zero menawarkan jasanya untuk bekerja paruh waktu merawat hewan peliharaan orang lain. Ia juga pernah merawat kebun, menyirami bunga, menanam sayuran, memetik buah-buahan, hingga menjaga toko buku. Ia tinggal di kontrakan kecil yang disewa bulanan, awalnya meski diliputi serba kesulitan ia masih dapat bertahan sampai kesialan itu menimpanya.

Zero difitnah mencuri sejumlah besar uang di tempat kerjanya, jika ia tak segera kabur, mungkin sekarang sudah ditahan dan berada di balik jeruji besi karena kejahatan yang tidak ia lakukan. Ia memilih kabur karena tak memiliki siapa pun yang akan membelanya. Zero pun berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan berjalan kaki. Jari-jari kakinya bahkan terlihat ingin keluar dari sepatu murahan yang ia beli diskonan.

“Apa hanya aku yang menderita seperti ini? Tidak punya keluarga, tidak memiliki siapa-siapa. Aku sendiri sampai lupa siapa nama asliku? Sejak kecil teman-teman sudah memanggilku Zero karena menurut mereka aku seperti telur yang busuk di dalamnya, tidak dapat berkembang. Seperti angka nol,” lirihnya pelan sambil mendongak melihat bulan sabit.

Ia mengedarkan pandangan, pastilah hari sudah terlampau malam hingga jalan raya seluas ini sudah sepi. Ia berdiri di dekat pembatas jalan, di bawah sana ternyata jurang yang cukup dalam ditumbuhi pepohonan besar. Zero bersandar dan untuk ke sekian kali menatap bulan sabit yang seolah menertawakan dirinya.

“Bulan, bawa pergi semua kesulitan dan kesialan yang kualami dalam hidup ini. Sebenarnya aku juga ingin bahagia seperti orang lain, aku ingin sekali saja merasakan hangatnya kebersamaan dengan orang-orang yang mencintaiku, tapi aku sadar itu adalah permintaan yang berlebihan.” Zero menghela napas beratnya.

Baru saja ia ingin melanjutkan langkah, tiba-tiba dari belakang datang sebuah mobil dengan kecepatan tinggi dan menabrak tubuh lemah Zero. Ia terlempar jauh dan tak sempat memegang pembatas jalan, tubuh ringkih itu jatuh ke dalam jurang.

Kakinya sudah mati rasa, Zero tahu saat tubuhnya mencapai tanah ia pasti tak bisa diselamatkan lagi. “Rupanya aku berakhir menyedihkan seperti ini, sekarang aku benar-benar menyerah, aku sudah tak memiliki keinginan untuk hidup dan berjuang lagi,” ucap Zero di detik-detik terakhirnya.

Zero menyerah untuk pertama kalinya selama 16 tahun ini. Biasanya ia selalu bangkit setiap kali jatuh, selalu tersenyum meski dihina, dan selalu berbaik sangka saat menerima pukulan teman-temannya.

Apakah dunia ini yang terlalu jahat pada Zero ataukah ia yang terlalu baik untuk dunia ini? Jelas tak akan ada jawaban lagi, sebab tubuh lemah Zero bersimbah darah di tanah. Tulang-tulangnya pastilah patah terbentur pepohonan.

***

Uhuk-uhuk!

Zero terbatuk-batuk dalam posisi duduk, ia lalu memukuli dadanya yang terasa sesak. Matanya yang perih perlahan terbuka dan memperhatikan keadaan di sekeliling.

“Apakah ini tempat tinggal orang yang sudah mati? Atau aku jadi hantu gentayangan?” Zero amat resah dan terkejut, kepalanya diliputi tanda tanya. Terlebih ada banyak perubahan pada tubuh Zero.

Ia ingat tubuhnya kurus dan lemah, tapi sekarang tampak ideal bahkan wajah Zero yang tirus dengan mata cekungnya juga terasa membaik. Rahangnya lebih kuat dan di sepasang mata itu hanya memancarkan kebaikan.

“Jangan-jangan aku terlihat lebih tampan sekarang,” katanya sambil tersenyum malu pada diri sendiri. “Tidak rugi ditabrak mobil dan menjadi orang mati,” ujarnya lagi. Barangkali ini pertama kalinya senyum di wajah Zero merekah seindah itu. Ada kegembiraan kecil yang menggelitik hingga mendorong ekspresi bahagia di wajahnya lepas tanpa beban.

Selesai mengamati tubuhnya yang tiba-tiba menjadi gagah, Zero baru sadar ternyata ada pohon raksasa di belakangnya, di sekitar pohon itu ada rerumputan dan bunga-bunga kecil.

Ini bukan jurang tempat Zero terjatuh sebelumnya. Ini pastilah tempat tinggal orang mati. Begitulah ia berkali-kali meyakinkan diri.

“Hei pohon besar, tetaplah berdiri kokoh seperti ini! Jangan limbung walau sekuat apa pun badai menerjangmu, jangan pernah menyerah untuk melindungi dan memberikan keteduhan pada mereka yang ada di bawahmu.” Zero menepuk-nepuk batang pohon yang besarnya puluhan kali lipat tubuh Zero.

Ia kemudian beranjak menghampiri danau kecil dan melihat wajahnya. “Tidak ada yang berubah, aku hanya terlihat lebih baik dari sebelumnya,” kata Zero lalu mencuci rambut hitamnya yang terasa lebih panjang.

“Sejak kapan rambutku mencapai tengkuk begini?” pikirnya, tetapi Zero tak terlalu pusing akan hal itu. Air di danau amat menyegarkan, Zero meminum cukup banyak sebelum ia kembali melanjutkan langkah.

Tidak ada matahari, tidak ada bulan sabit, bahkan satu kilau bintang pun tidak ada. Cuaca dan suasana di sini sangat berbeda. Langit tidak berwarna biru, hitam, apalagi jingga, hanya tampak sendu seperti mendung yang hujannya tak turun-turun. Namun, Zero tetap bisa melihat dengan baik dan dapat membedakan banyak warna-warni bunga yang tadi ia jumpai.

“Aku istirahat di sini saja.” Zero melihat gerbang megah dan pagarnya dipenuhi bunga wisteria. Belum sempat ia merebahkan badan, sosok yang lebih gagah dari Zero tiba-tiba muncul.

“Mulai sekarang ... namamu adalah Hero Gladiolus dan aku akan menjadi ayahmu.” Lelaki itu tersenyum, seolah ia sudah menunggu kedatangan Zero sejak lama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status