Belum genap satu minggu orang tuanya dimakamkan, Sera sudah harus berhadapan dengan dua laki-laki berjas mahal yang mendatangi rumahnya. Dua orang itu memiliki wajah yang sangar dan tidak ada raut ramah sama sekali. Yang ia tahu mereka adalah suruhan Ardhi Prasetyo, anak dari salah seorang pengusaha terkenal yang memiliki kebun sawit beratus-ratus hektar di Kalimantan.
“Gunawan Idris memiliki total utang 900 juta. Satu hari sebelum kecelakaan itu terjadi, dia seharusnya sudah melunasi utangnya dan membayarnya secara kontan kepada Ardhi Prasetyo. Tetapi Gunawan malah kabur dengan istrinya karena tidak mampu membayar utangnya. Lalu Ardhi Prasetyo memberikan satu pilihan yang harus dipenuhi kalau mau utangnya lunas tanpa pembayaran,” jelas salah satu orang dari dua laki-laki yang duduk di ruang tamu rumah Sera.
Sera dengan harap-harap cemas menunggu kelanjutan ucapan laki-laki itu.
“Di surat ini, yang sudah ditandatangani oleh Gunawan Idris beserta istri dan juga oleh Ardhi Prasetyo disebutkan bahwa Sera Al-Idris, anak semata wayang Gunawan Idris telah dengan suka rela menjadi istri yang dinikahi secara siri oleh Ardhi Prasetyo.” Laki-laki itu lalu menyerahkan sebuah surat dengan tanda tangan basah di atas materai milik ayah dan ibunya. Juga milik seseorang bernama Ardhi Prasetyo yang disebut-sebut laki-laki di depannya sebagai suami sahnya.
Sera langsung panas dingin. Hatinya menjerit tak tertahankan. Bagaimana mungkin orang tuanya tega menyerahkan darah dagingnya sendiri untuk seseorang yang bahkan tidak pernah ia kenal? Sera ingin menangis, tetapi air matanya sudah kering. Sudah ia habiskan untuk menangisi orang tuanya yang ternyata malah mengkhianatinya.
Kenapa dunia begitu kejam padanya?
“Dalam tiga hari terhitung dari hari ini, Anda harus sudah mulai pindah dari rumah ini untuk tinggal di apartemen yang sudah disiapkan untuk Anda,” ucap laki-laki satunya lagi. Laki-laki itu kemudian menyerahkan sebuah kartu akses apartemen dan ponsel baru kepada Sera.
Dalam sekali lihat saja Sera tahu bahwa kartu akses itu hanya dimiliki oleh apartemen high class yang harga sewanya bisa mencapai puluhan juta dalam satu bulan.
“Bagaimana kalau saya menolak?” tanya Sera dengan suara bergetar. Tangannya menggenggam dua benda itu dengan dengar gemetar.
“Berdasarkan isi surat, Anda sudah sah menjadi istri Bapak Ardhi Prasetyo dan sebaiknya Anda menuruti semua yang ada dalam surat ini, kami tidak bisa menjamin hidup Anda akan tenang kalau Anda menolak atau bahkan melarikan diri. Anda juga tidak diperkenankan untuk menyebarkan status Anda sebagai istri dari Bapak Ardhi Prasetyo karena itu akan mempengaruhi citra beliau.”
Dan di sinilah Sera sekarang. Berada di ujung jalan yang akan membawanya ke neraka dunia.
Sera menarik napas dengan kasar. Dadanya sesak sekali. Ia menggeret koper berukuran sedang di tangan kanannya dan menyeberangi jalan dengan isi kepala yang melayang jauh ke memori terakhir bersama orang tuanya. Kenangan saat ia berhasil mendapat gelar sarjana.
Mereka merayakannya dengan makan di sebuah restoran yang cukup mewah. Bercakap-cakap tentang masa kecil Sera yang dulu bandel dan nakal, tentang Sera yang mulai mengenal pacaran saat menginjak sekolah menengah, hingga tentang rencana Sera setelah wisuda.
Semua kenangan itu tampak kabur dan menyesakkan dada.
Tidak sampai sepuluh menit, Sera sudah tiba di depan gedung yang tampak lengang itu. Hanya terlihat satpam yang sedang bercakap dengan seorang laki-laki tua berjas necis, ada juga dua orang wanita yang baru keluar dari gedung itu dengan tampilan yang glamor. Dandanan dari ujung kepala hingga ujung kaki tampak begitu mewah. Sera seperti anak itik buruk rupa yang hilang. Dia hanya mengenakan jeans belel dan kaos putih yang berbalut jaket bomber berwarna hjau lumut. Kakinya hanya dibalut sepatu sport yang sudah lusuh.
Dengan beban berat yang seakan menindih pundaknya, ia berjalan memasuki gedung dan menuju resepsionis.“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanya petugas resepsionis yang bertugas. Petugas itu menampilkan senyum sopan yang terlihat cukup ramah.
“Saya penghuni baru apartemen ini, Mbak,” ucap Sera. Ia mengeluarkan kartu akses dari sling bag yang melingkar di pundak dan menunjukkan ke resepsionis. “Nama saya Sera Al-Idris, penghuni unit 509.”
Sebenarnya Sera tidak perlu melakukan itu. Ia bisa tinggal naik ke atas dengan menggunakan lift, tetapi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan ia akhirnya tetap bertanya dengan resepsionis untuk memastikan bahwa namanya memang terdaftar sebagi penghuni salah satu unit apartemen di gedung itu, seperti yang dijelaskan laki-laki yang datang ek rumahnya tempo hari.
“Ah, iya benar. Data atas nama Sera Al-Idris sudah terdaftar sebagai penghuni unit nomor 509. Sudah dibayarkan lunas untuk dihuni sampai satu tahun ke depan oleh Bapak Adi Kurniawan.”
Benar. Salah satu dari tiga laki-laki yang datang ada yang bernama Adi Kurniawan. Sera menebak kalau laki-laki itu adalah tangan kanan Ardhi Prasetyo.
“Terima kasih, Mbak,” kata Sera sambil tersenyum tipis.
Ia langsung menuju lift yang berada di sebelah kanan dari pintu depan seperti yang telah diarahkan oleh resepsionis.
Di dalam lift, Sera langsung bersandar lemas. Ia tidak tahu dan tidak bisa membayangkan apa yang menantinya di atas sana.
Unit apartemennya sudah dibayar lunas untuk satu tahun. Apa itu artinya dia harus melayani Ardhi Prasetyo selama itu?
Sera menggeleng keras. Ia adalah perempuan dewasa yang tahu pasti bahwa dijadikan istri siri oleh Ardhi Prasetyo itu artinya dia harus mau dengan suka rela menjadi budak seks laki-laki itu. Ia merasa menjadi wanita simpanan. Bagaimana tidak? Ia dinikahi hanya sebatas karena sebuah perjanjian yang dibuat tanpa sepengetahuan dirinya. Bahkan bertemu dengan laki-laki yang sekarang berstatus sebagai suaminya pun belum pernah.
Sera sampai di lantai lima. Saat lift terbuka ia langsung menyeret kakinya yang memberat dengan perasaan ngeri di dalam hatinya. Begitu sampai di depan unit 509, jantungnya seperti jatuh ke dasar bumi.
“Kamu akan baik-baik saja, Sera,” bisiknya menguatkan diri.
Ia menyentuhkan kartu akses pada sebuah layar di samping pintu hinggga berbunyi ‘tit’ lalu pintu terbuka. Dengan gemetar ia mendorong pintu perlahan. Ia langsung mendapati ruangan gelap gulita.
Tangannya meraba-raba tembok untuk menemukan sakelar lampu. Begitu ketemu, ia langsung menekannya dan lampu menyala terang. Ruangan iru benar-benar memiliki definisi kemewahan yang nyata.
Sera takjub dibuatnya.
Ia memiliki beberapa teman yang cukup kaya yang tinggal di apartemen mewah. Tetapi yang ada di depan matanya ini jelas memiliki level yang jauh lebih mewah.
Sera melangkahkan kaki ke tengah ruangan yang terdapat sofa kulit berwarna cokelat dengan meja kaca lebar di depan sofa. Beberapa meter di dapnnya ada TV LED yang lebar. Di sisi kiri ruangan itu ada dapur dan pantri yang terpisah oleh rak tinggi berisi buku-buku tebal, dan juga bunga-bunga di dalam vas yang tampak segar.Di sisi kanan terdapat dua ruangan dengan pintu tertutup rapat. Sera berjalan ke arah pintu terdekat dan membukanya.
Lagi-lagi ia dihadapkan pada ruangan yang luas, dan mewah. Di tengah ruangan itu terdapat ranjang berukuran king yang tertutup oleh bed cover berwarna cokelat tua dengan motif garis-garis tipis tak beraturan. Sera membuka pintu lebar-lebar, memasuki ruangan itu lalu matanya tertuju pada pintu di sisi kanan. Seperti yang sera tebak, di dalam sana terdapat banyak pakaian wanita yang membuat Sera syok. Di sana terdapat gaun-gaun yang tidak pernah Sera bayangkan akan melekat di tubuhnya.
Sera dengan sungkan menyentuh gaun-gaun yang semuanya masih ada tag harganya. Sera tidak bisa untuk tidak ternganga melihat harga yang tertera di semua baju itu. Semuanya berkisar di angka jutaan. Di bagian ujung ruangan itu terdapat berderet sepatu, high heels, dan tas-tas branded yang selama ini kebanyakan hanya Sera lihat di toko.
Sera semakin syok saat melihat ada berbagai macam bra dan celana dalam dengan berbagai motif dan model. Dengan hati-hati ia mengecek ukuran bra dan celana dalam itu.
Sial! Batinnya. Semua sesuai dengan ukurannya.
Sera baru memindai kamar mandi yang tidak kalah mewahnya dengan ruangan yang lain saat ponselnya berbunyi nyaring. Ponsel khusus yang harus Sera gunakan.Kontak dengan nama ‘Adi Kurniawan’ adalah si penelepon.
Dengan berat hati, Sera mengangkat telepon itu.
“Saya sudah mendapat laporan kalau Anda sudah sampai di apartemen,” ucap Adi. Nada suaranya masih sama. Datar dan dingin.
“Ya,” jawab Sera singkat. Ia bahkan sudah tidak kaget kalau ada seseorang di luar sana yang mengawasi gerak-geriknya seperti buronan.
“Jam tujuh malam nanti, Bapak Ardhi akan berkunjung.”
Sera meneguk ludah dengan perasaan yang menggila. Jam tujuh malam, itu artinya hanya tersisa beberapa jam lagi sebelum Sera bertemu dengan laki-laki yang sudah menjadi suaminya. Laki-laki yang bahkan tidak pernah Sera temui secara langsung. Sera hanya beberapa kali melihat wajah Ardhi Prasetyo di TV. Siapa sangka laki-laki itu kini menjadi suaminya? Dunia suka sekali bercanda.
“Tolong Anda mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin. Gaun, alat make up, dan semua yang Anda perlukan sudah tersedia semua di sana,” sambung Adi. “Bapak Ardhi suka wanita yang anggun, jadi tolong jangan bersikap seperti wanita nakal karena Bapak Ardhi akan sangat membencinya.”
Wanita nakal katanya? Di hadapan mantan pacarnya pun Sera segan, bagaimana mungkin Sera bertingkah seperti wanita nakal di depan seseorang yang asing?
Sera hanya terus mendengarkan intruksi dari Adi tanpa mengatakan apa-apa. Ia terlalu frustrasi untuk berkata-kata.“Jangan sampai mengecewakan Bapak Ardhi, karena Anda sendirilah yang akan sangat dirugikan nanti.”
Bahkan hingga Adi mengakhiri sambungan, Sera hanya terpaku di sebelah ranjang dengan ponsel yang berada dalam genggaman yang menguat.
to be continued.
Sera baru saja selesai mandi saat suara ponselnya kembali bersuara nyaring. Dengan mengenakan handuk sebagai pembungkus tubuh telanjangnya, Sera keluar dari kamar mandi untuk melihat si penelepon. Kali ini pemilik nama ‘Ardhi Prasetyo’ yang muncul di layar. Badan Sera langsung panas, entah karena apa. Detak jantungnya berkejaran. Sera membiarkan ponsel itu berdering lama sebelum akhirnya dengan sangat terpaksa Sera menggeser layar untuk mengangkat panggilan telepon itu. “Saya mau bicara,” ucap suara dingin dari seberang telepon. Dingin sekali. Dingin yang membekukan tulang. Sera menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh. “Kasih saya waktu sepuluh menit untuk siap-siap,” jawab Sera dengan menahan getaran dalam suara. “Saya nggak punya banyak waktu. Cepatlah keluar! Waktu saya terlalu mahal untuk dibuang sia-sia hanya untuk nunggu kamu. Keluar sekarang!” Dengan tubuh bergetar, Sera keluar dari kamar. Tangan
Satu minggu berlalu sejak Ardhi untuk pertama kalinya bertandang dan yang Sera lakukan hanyalah berdiam diri di apartemen. Menyiksa diri hanya dengan makan buah-buahan yang tersedia di kulkas. Ia tidak nafsu makan sama sekali. Setiap kali mencoba memasukkan nasi, ia akan langsung muntah. Dan itu cukup membuatnya tersiksa. Ditambah dengan kepala yang berdenyut nyeri membuatnya semakin malas untuk berbuat sesuatu. Namun, pada akhirnya ia memaksakan diri untuk tetap makan dan menguatkan diri. Ia tidak akan membiarkan dirinya tumbang hanya karena seorang iblis tak berperasaan seperti Ardhi. Sera keluar dari apartemen dan menuju sebuah kedai kopi di pojok kota yang biasa ia datangi selama ia menyelesaikan skripsi. Waktu menunjukkan pukul dua siang, dan kedai cukup lengang. Hanya ada beberapa orang yang menempati kursi-kursi kayu di dalam sana. Setelah memesan, Sera memilih untuk naik ke rooftop dan duduk di kursi paling ujung yang dekat dengan batas pagar yang terbuat dar
Berbeda dengan sikapnya yang selalu bertingkah layaknya bajingan, Ardhi memperlakukan Sera dengan sangat berhati-hati saat mereka berhubungan badan untuk pertama kalinya. Saat Sera menunjukkan kesakitan, Ardhi akan berhenti, bertanya pada Sera apakah perempuan itu baik-baik saja. Sera tidak bisa untuk tidak terenyuh karena tidak menyangka Ardhi akan memperlakukannya dengan sangat lembut seakan tidak mau menyakitinya. Saat Sera tak mampu untuk menahan air mata karena merasa ngilu yang luar biasa di bawah sana pun Ardhi dengan sabar menghapus air matanya. Perempuan itu bahkan bisa dengan jelas melihat wajah memuja Ardhi saat mereka berdua bergelung dalam gairah yang menyala. Sera merasa seperti sedang dicintai dan dihargai dengan penuh kasih. Sera merasa hampir gila saat mereka mencapai puncak kenikmatan yang membuat Sera menggeletar. Pelepasan yang sungguh menakjubkan, walaupun harus dibarengi dengan perih yang menggila. Keduanya saling merengkuh, meno
Menjadi seorang istri di saat umurnya bahkan belum menginjak usia dua puluh tiga tahun jelas tidak pernah terlintas dalam benak Sera. Ia sudah merancang masa depan dengan baik. Setelah lulus kuliah ia akan melamar kerja di tempat yang direkomendasikan oleh dosen pembimbingnya. Rencana berumah tangga jelas belum ada di agendanya untuk lima tahun ke depan.Namun, sayangnya bayangan itu buyar seketika karena hidup Sera berubah sekejap hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari sebulan.Bulan lalu, ia masih bisa memakan masakan ibunya yang paling juara. Bulan lalu, ia masih bisa menikmati waktu dengan ayahnya, menemaninya menonton tayangan sepak bola di tengah malam, jalan-jalan pagi mengelilingi kompleks perumahan, makan bubur ayam di pinggir jalan, berbelanja di supermarket dengan membawa daftar yang telah dituliskan oleh ibunya, sungguh … terlalu banyak waktu yang ia habiskan dengan ayahnya. Bulan lalu, ia bisa keluar ru
Sera bangun pukul lima. Tidak lebih dari dua jam ia terlelap. Pagi yang tidak seperti biasanya karena ada satu makhluk asing yang berbagi ranjang yang sama dengannya semalam. Pertama kalinya tidur di atas ranjang yang sama dengan Ardhi membuatnya resah dan gelisah. Logikanya meneriakkan protes, namun sudut hatinya juga tidak tinggal diam. Menurut si sudut hati, hal ini wajar karena mereka adalah pasangan suami istri yang sah di mata agama. Logikanya berteriak sebaliknya. Tahu bahwa mereka bukan pasangan suami-istri yang normal layaknya pasangan di luar sana. Sera tidak tahu mana yang normal untuk hubungan yang terjalin dengan Ardhi saat ini. Di dalam kamar mandi, Sera mengguyur tubuh dari ujung kepala dengan air dingin dari shower. Sudah menjadi kebiasaan sejak kecil. Sedingin apa pun cuaca di pagi hari, ia tidak pernah mau mandi dengan air hangat dan ini berlangsung sampai ia dewasa.
Ardhi adalah sosok laki-laki yang sangat passionate dalam bekerja. Disiplin adalah motto hidupnya. Dan ia mewajibkan itu menjadi motto pegawai di kantornya. Sekali melanggar kedislipinan yang laki-laki itu terapkan, bisa dipastikan karirnya akan langsung tamat saat itu juga. Karena kedislipinan inilah yang semakin memajukan perusahaan. Para karyawan sudah terbiasa dengan ritme kerja Ardhi Prasetyo meski laki-laki berusia tiga puluh dua tahun itu baru menduduki posisinya sebagai CEO sejak setahun yang lalu, menggantikan Randi Prasetyo, sang ayah yang terkena stroke dan sampai kini hanya bisa beraktivitas seperti sedia kala. Separuh tubuhnya lumpuh hingga ke mana-mana harus duduk di atas kursi roda selama sisa hidupnya.Kedatangan Ardhi di kantor pusat yang berada di daerah Sudirman−pada sebuah gedung tinggi di lantai 30−disambut para pegawai yang berjumlah enam belas−delapan pegawai laki-laki dan delapan pegaw
Pulang ke rumah itu artinya Ardhi siap mendengarkan omelan sang ibu yang katanya rindu kepada anaknya yang jarang pulang. Padahal hampir setiap dua minggu sekali Ardhi menyempatkan untuk pulang ke rumah untuk menghabiskan waktu dengan sang ibu yang katanya kesepian.“Boy! I miss you soooo much!”Itu adalah teriakan dari seorang wanita berusia hampir enam puluh tahun. Tampilan wanita itu begitu anggun dan rapi. Tubuh sintalnya terbalut terusan selutut sederhana yang berwarna merah muda. Meski terlihat sederhana, namun semua orang tahu bahwa harga dari baju itu jelas tidak murah. Rambut pendek sebatas bahu yang sebagian sudah memutih itu tertata rapi. Tampilan sederhana tapi berkelas. Itulah definisi yang cocok untuk wanita yang biasa dipanggil Ardhi dengan sebutan Ibu. Mantan aktris terkenal pada zamannya. Selia Prasetyo, istri tercinta ayahnya.“I miss you too, Ibu!” Ardhi
Selia menatap Ardhi dengan tatapan yang penuh kekecewaan. Keluarga Tarendra sudah pergi sejak setengah jam yang lalu, namun Ardhi dan kedua orang tuanya belum beranjak dari posisi masing-masing.“Ibu dan Ayah kenapa nggak bilang sama saya dulu tentang hal ini?” tanya Ardhi dengan menahan kesal.“Seharusnya kamu sudah paham, Ardhi. Dua bulan lagi rapat direksi. Kamu sudah harus bertunagan sebelum itu kalau tidak mau menyerahkan posisimu sebagai CEO," ujar Selia dengan gusar.Ardhi tak gentar dan menatap ibunya tanpa berkedip. “Tidak akan ada pertunangan, Bu. Saya tidak berniat menikahi Thalia.”“Cepat atau lambat kamu tetap akan menikah. Dengan Thalia atau bukan," tegas Selia. Wanita paruh baya itu pun menatap anak semata wayangnya dengan ketegasan yang nyata.Ardhi menautkan jari-jemarinya. "Saya tahu, Bu. Kalau sudah saatnya menikah, saya akan