Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, terdengar suara kicauan burung di luaran sana. Di dalam ruang ICU, tepatnya di mana Aina tengah dirawat terlihat Jaden tengah memeriksa keadaan Aina, yang belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar dari komanya.
Merasa perlu jika Rafael harus mengetahui keadaan Aina, Jaden mengambil ponsel milik Aina yang kebetulan ia bawa. Dengan gerakan cepat ia mencari nama pria yang sedikit banyak membuat Jaden kesal.
Drrrttt
📱My HusbandJaden terus menelepon, tapi tidak kunjung mendapatkan jawaban dari Rafael. Akhirnya ia memutuskan untuk mengirim pesan saja, dan memberitahukan keadaan Aina yang berada di rumah sakit.
'Di mana pria berengsek itu! Kenapa dari semalam nomernya tidak aktif,' batin Jaden kesal.
[Cepat datang ke rumah sakit Modern Hospital, Aina kecelakaan.] Kirim.
Jaden mengirim pesan singkat, setelah itu ia menyimpan ponsel milik Aina di dalam saku celananya.
'Aku sudah mengirim pesan pada suamimu, Aina. Semoga saja dia cepat datang, dan mengetahui keadaanmu yang sebenarnya,' monolog Jaden, seraya menyampirkan anak rambut ke belakang telinga wanita yang tengah terlelap dalam koma.
Saat Jaden tengah asyik memandang wajah Aina, entah dengan pemikiran apa. Tiba-tiba pintu ruang ICU terbuka, terlihat Lala datang untuk mengecek keadaan Aina.
Cekelek!
"Lho ... Dokter Jaden ada di sini? Apa Anda semalaman menjaga pasien ini, Dok?'' tanya Lala asisten Jaden, yang semakin penasaran akan sikap dan perubahan Jaden semenjak dokter tampan itu menangani Aina.
"Hmm ... jangan banyak tanya, jaga pasien ini. Tetap di sini, jangan ke mana-mana. Aku mau mandi, lalu ke kafetaria dulu,' perintah Jaden tegas, setelah itu ia melangkah keluar dan menuju ruangan kerjanya.
***
Saat Jaden tengah membersihkan diri, di dalam apartemen mewah. Namun, terlihat berantakan di mana-mana. Pakaian berhamburan di lantai, dan terlihat dua pasangan tanpa sehelai benang pun. Terlihat masih terlihat lelap dalam tidur, rasa lelap saat mereka tidur jadi terganggu saat suara dering jam weker membangunkan mereka.
'Eegghh ... jam berapa ini?' gumam Rafael seraya meraih jam weker, lalu melihat jam. Betapa terkejutnya saat jam telah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.
Degh!
'Apa! Sekarang jam tujuh!' panik Rafael, langsung terduduk. Kemudian ia turun dari tempat tidur king size, dengan cepat ia meraih celana di lantai kemudian memakainya.
Wanita yang sedari tadi terlelap mulai terusik, kemudian ia mamandang dengan pandangan khas orang bangun tidur.
"Sayang, kenapa kamu terlihat panik pagi-pagi begini? Ayo, sini. Kita tidur lagi, ini masih pagi, dan aku masih sangat mengantuk," rengek sang wanita dengan nada khas bangun tidur, tidak lupa tangannya terulur meraih tangan Rafael.
Namun, dengan sedikit kasar Rafael melepaskan tangan wanita yang telah membuatnya melayang beberapa kali dalam semalam.
"Lepaskan, Alya! Kita harus pulang, Aina pasti menunggu kita semalaman. Aku tidak tahu, apa yang dipikirkan dia nanti. Sekarang, cepat pakai baju kamu. Kita pulang, kalau kamu tidak mau, aku pulang sendiri," jawab Rafael sedikit kesal, seraya memakai kemeja dan mengancingkannya.
"Bilang saja sama Aina kalau kita ada meeting penting dengan klian, di luar kota seperti biasanya. Beres 'kan. Aku ini sekertarismu, Rafael. Jadi, kalau kamu ada keperluan kantor maka aku harus ikut, dan kata itu sangat ampuh bila kamu katakan sama Aina."
"Sudah, jangan panik gitu. Sini, aku mau meminta morning kiss darimu Sayang," ucap Alya dengan nada menggoda, tidak lupa ia menyingkap selimut yang menutupi tubuh polosnya.
"Benar juga, ya. Entah kenapa tiba-tiba aku panik sekali tadi, padahal kita 'kan sudah biasa bepergian. Pasti Aina mengerti, kalau kita tidak pulang karena ada urusan kantor," terang Rafael, dan membuka kemejanya kembali. Lalu melangkah ke tempat tidur, dan mulai menindih Alya lagi.
"Kamu nakal sekali, Sayang. Hingga aku tidak bisa mengendalikan diriku, meskipun semalaman kita sudah beberapa kali melakukannya. Kita ulangi, ya, setelah itu kita mandi dan pulang," pinta Rafael dengan mata sayunya.
"Yah ... itu yang kumau, Sayang. Karena aku akan membuatmu tergila-gila padaku, Aina tidak akan bisa memberikan semua itu padamu. Hanya aku yang bisa, hanya aku,'' desah Alya, ketika menikmati kecupan yang diberikan Rafael di lehernya.
Alya dan Rafael mengulang kembali pergulatan panas mereka, keduanya tidak henti saling memberikan kenikmatan. Tanpa tahu, jika ada hati yang terluka karena ulah keduanya. Bahkan keduanya tidak tahu, jika Aina tengah mengalami kecelakaan dan terbaring koma di rumah sakit.
Ya, Alya Adriana yang tidak lain adalah kakak kandung dari Aina. Kini, Alya tengah menjalin hubungan terlarang dengan suami sang adik. Entah apa yang merasuki wanita cantik itu, hingga tega menjadi duri dalam daging keluarga kecil adiknya.
Satu yang Alya tahu, ia mencintai Raditia Rafael sejak pertemuan pertama mereka. Ia sudah berusaha mengendalikan perasaan cintanya pada Rafael, tapi itu makin membuat rasa cinta dalam hatinya semakin membesar. Mengingat Rafael yang tampan, dan juga kaya raya.
Rasa cinta setiap hari dalam diri Alya yang semakin membesar, membuat ia mencari cara untuk mendekati Rafael. Ia tahu betul kelemahan Rafael, yang tidak bisa menutup matanya pada wanita cantik dan sexi. Ia pun bertekad, dengan semakin mempercantik dirinya agar bisa menarik perhatian Rafael. Baik itu saat di kantor, maupun saat di tempat tidur.
Dengan niat tersembunyi Alya melamar pekerjaan di perusahaan milik Rafael, gayung pun bersambut ketika tanpa curiga Rafael menerima Alya bekerja di perusahaannya, dan menjadikan Alya sebagai sekretaris pribadinya.Bekerja satu atap, dan interaksi yang begitu intens membuat Rafael dan Alya semakin dekat.
***
Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, Rafael dan Alya baru saja keluar dari mobil. Rafael melangkah menuju rumahnya terlebih dahulu, tanpa menunggu Alya yang berjalan pelan di belakangnya.
Cekelek!
"Sayang! Sayang! Kamu di mana?" teriak Rafael di rumah megah miliknya.
Rafael terlihat beberapa kali membenahi kemeja di bagian lehernya, mengingat Alya tadi pagi dengan beraninya memberikan tanda merah di leher putih itu. Rafael yang meskipun sudah terbiasa bermain cinta dengan beberapa wanita, tetap saja ia merasa sedikit takut jika sang istri Aina mengetahui kelakuannya di luaran bersama wanita lain, dan saat ia bersama Alya kakak istrinya sendiri.
'Di mana Aina? Kenapa rumah terlihat sepi,' gumam Rafael seraya melangkah menuju dapur, ia berniat memanggil bibi yang sudah lama bekerja di rumah sang istri.
"Bik Ida! Bik ... Bibik!" panggil Rafael dengan nada sedikit keras.
Bik Ida yang berada di belakang tengah menjemur pakaian, seketika berlari menuju suara, yang tidak lain suara adalah Rafael.
"Di mana Nyonya, kenapa rumah terlihat sepi?" tanya Rafael sedikit heren, karena yang ia tahu Aina tidak pernah kemana-mana. Istrinya lebih senang menghabiskan waktu di rumah, dan menunggunya pulang bekerja.
"Iii--iitu, Tuan. Nyonya pergi dari kemarin sore, katanya mau memberikan kejutan ulang tahun Tuan. Tapi, sampai sekarang Nyonya belum pulang juga," jelas Bik Ida, dengan nada takut.
"Apa! Nyonya pergi, dan sampai sekarang belum kembali?!" tanya Rafael, mulai dihinggapi perasaan takut.
"Ii--iya, Tuan. Nyonya belum kembali, sampai sekarang. Coba Tuan hubungi nomer ponselnya, siapa tahu Nyonya tersesat," saran Bik Ida, mulai turut takut karena Rafael tidak mengetahui di mana Aina.
'Di mana kamu, Aina. Tidak biasanya kamu pergi tanpa berpamitan denganku terlebih dahulu,' batin Rafael sedikit heran.
Seperti saran Bik Ida, Rafael langsung mengambil ponsel di dalam saku jasnya. Saat ia akan membuka, ia teringat kalau ia mematikan ponselnya. Lebih tepatnya karena sengaja ia mematikan, agar kemesraannya dengan Alya tidak terganggu.
Dengan cepat Rafael pun mengaktifkan ponselnya, menunggu beberapa menit. Tiba-tiba ia mendengar suara pesan, tanpa menunggu lama ia langsung membuka pesan dari nomer ponsel istrinya.
Ting!
[Cepat datang ke rumah sakit Modern Hospital, istrimu kecelakaan.]
Degh!
'Aina kecelakaan! Itu tidak mungkin,' guman Rafael, tidak percaya. Ia pun bergegas keluar rumah, bertepatan Alya masuk ke dalam rumah.
"Rafael! Kamu mau ke mana?'' tanya Alya, dengan memegang lengan Rafael.
"Aku mau ke rumah sakit, lepaskan tanganmu Alya!" bentak Rafael, setelah itu ia berlari menuju mobilnya yang terparkir di garasi.
Alya yang merasa penasaran langsung bergegas masuk, dan bertanya pada Bik Ida.
"Bik! Kenapa dengan Rafael, tadi dia terlihat ketakutan dan khawatir begitu?" tanya Alya cepat, dengan nada tidak sabaran.
"Ii--itu, Nyonya Aina kecelakaan, dan sekarang ada di rumah sakit," jelas Bik Ida.
Degh!
"Apa! Aina kecelakaan? Sekarang dia ada di rumah sakit mana?" tanya Alya bertubi, dan mulai dihinggapi perasaan khawatir juga. Meskipun ia tega menusuk Aina dari belakang, dengan cara menjalin hubungan dengan suami adiknya.
Alya pun turut merasa khawatir, bagaimana pun Aina adalah adiknya. Ia tidak akan tega jika adiknya terluka, apalagi kecelakaan. Pikirannya mulai berpikir aneh-aneh.
'Kamu pasti baik-baik saja, Aina. Kamu gadis yang kuat, aku yakin kamu kuat,' batin Alya dengan sisi baiknya.
'Kalau Aina kecelakaan, kamu pasti beruntung banyak Alya. Jadi, jangan terlalu mengkhawatirkan keadaan adikmu itu. Pikirkan saja kebahagiaanmu, kalau bisa buat Rafael selalu memujamu," batin Alya dengan sisi gelapnya.
"Sekarang Aina berada di rumah sakit mana, Bik! Katakan cepat!" pinta Alya dengan tidak sabaran.
"Itu, tadi Tuan Rafael bilang. Nyonya Aina sekarang di rawat di rumah sakit Modern Hospital," jawab Bik Ida.
Alya dengan terburu, ia berlari ke luar. Lalu menyetop taxi, yang tidak jauh dari rumah Rafael.
'Taxi! Taxi!' panggil Alya cepat, dan taxi pun berhenti tepat di depannya. Tanpa membuang waktu ia masuk, dan memberitahu pada sang supir kemana ia akan pergi.
"Ke rumah sakit Modern Hospital, Pak," ucap Alya cepat memberitahu alamat yang ia tuju.
"Baik, Mbak."
Alya di dalam taxi begitu resah, dalam hati ia berpikir. Kenapa adiknya bisa kecelakaan, mengingat adiknya begitu pintar dan tidak sembrono dalam hal apa pun. Kecuali, saat ia mempercayai kedekatannya dan suaminya yang di anggap wajar. Seperti layaknya saudara, tapi nyatanya Aina tidak tahu jika kedua orang yang selama ini dipercayai menusuk dari belakang.
"Pak! Tambah kecepatannya, karena saya sedang buru-buru," pinta Alya dengan tidak sabaran.
"Tapi ---"
"Saya akan memberikan uang lebih, jika Bapak mau melakukan apa yang saya mau," ucap Alya dengan nada sungguh-sungguh.
"Baik, tolong pegangan Mbak. Karena saya akan membawa mobil dengan sedikit kecepatan," jawab supir taxi, dengan wajah berbinar karena ia akan mendapatkan bonus.
Bersambung
"Ketika ujian cinta datang pada salah satu pasangan, mampukah pasangan lainnya menerima. Tetap berada di samping pasangan itu, dengan cara menemani, dan mensupport. Atau malah meninggalkan pasangan itu, yang dalam keadaan tidak berdaya."***Mobil yang dikendarai Rafael melaju dengan kecepatan tinggi, hingga tidak membutuhkan waktu lima belas menit. Mobilnya telah masuk di pelataran rumah sakit Modern Hospital, di mana Aina tengah dirawat saat ini.Setelah mobil diparkirkan, Rafael dengan terburu keluar lalu berlari masuk ke dalam rumah sakit. Tujuannya satu, tempat resepsionis. Ia ingin menanyakan di mana istrinya tengah di rawat."Suster! Suster! Di mana kamar pasien bernama Aina Anindya?" tanya Rafael dengan napas memburu, karena ia habis berlari."Tunggu sebentar, ya, Pak. Saya carikan data pasien terlebih dahulu," jawab suster ramah, dan langsung membuka buku di mana ada nama data pasien
Mulai BimbangSetelah mendengar penuturan Dokter Jaden, Rafael dan Alya keluar dari ruangan serba putih itu. Langkah Rafael begitu berat, ketika ia mengingat perkataan Dokter Jaden tentang keadaan Aina istrinya.Beruntung ada Alya yang menyanggah tubuh Rafael, terlihat pria tampan itu tidak bisa menerima jika Aina sang istri koma dan juga lumpuh pada kedua kakinya."Kenapa! Kenapa Aina bisa terluka parah seperti itu, Alya? Sesungguhnya apa yang terjadi, hingga dia bisa terluka dengan luka parah di tubuhnya," tanya Rafael, seraya menoleh ke arah wanita yang mengisi hatinya selama dua tahun ini.Meskipun ia sadar jika Alya tidak akan bisa menggantikan tempat Aina, sebab sang istri mempunyai tempat spesial di hatinya."Aku juga tidak tahu, Rafa. 'Kan semalaman kita bersama, dan menghabiskan malam indah dengan memadu kasih hingga hampir pagi. Ah, bukan bahkan sampai pagi," jawab Alya sok pol
Tidak Tenang'Apakah aku harus memeriksa keadaannya terlebih dahulu, sebelum aku pulang?' batin Dokter Jaden, setelah keluar dari ruangan Dokter samuel.'Tapi, di sana ada Rafael. Apakah aku bisa menahan diri lagi, saat bertemu dengannya? Namun, kalau aku tidak melihat Aina sebelum pulang. Aku tidak akan tenang,' monolog Dokter Jaden bimbang.Langkah Dokter Jaden terasa berat, ketika ia ingin melangkah keluar dari rumah sakit. Ia pun merasa tidak tenang, dan tidak tega meninggalkan Aina saat bersama Rafael dan Alya.Padahal Dokter Jaden sudah berada di lobby rumah sakit, dan ia berniat ke parkiran untuk mengambil mobilnya. Namun, urung ia memutuskan kembali. Karena ia memang tidak akan bisa tenang bila belum memastikan keadaan Aina baik-baik saja. Meskipun ia tahu, kalau wanita yang tengah terbaring koma itu memang sudah tidak apa-apa, dan dalam kondisi stabil.Tap ... tap ... tap!
Rayuan AlyaTing!Terdengar suara pesan dari ponsel milik Rafael, ia terlihat malas merogoh saku celananya, lalu bertanya-tanya siapakah gerangan yang mengirim pesan di tengah malam begini.Ia pun hanya berpikiran satu wanita yang berani mengirim pesan padanya selarut ini, tidak lain dan tidak bukan adalah kakak iparnya sendiri Alya.'Pasti Alya yang mengirim pesan, apa dia tidak capek mengirim pesan terus sedari tadi,' gumam Rafael, lalu membuka aplikasi berwarna hijau.Degh!Terlihat foto dengan pose erotis, dan sangat menggoda dari kakak iparnya. Ya, setelah semua pesan diabaikan oleh Rafael. Namun, Alya tidak kehilangan akal untuk menarik perhatian pria yang sangat ia cintai.'Apa ini, Alya! Apa kamu berniat menggodaku, demi Tuhan! Aku saat ini menahan diri agar tidak lari pulang, lalu menyerangmu. Karena di sini masih ada Aina yang harus kujaga dan
Terkuaknya Identitas Jaden"Kenapa lama sekali, Sayang?" tanya Devan begitu melihat Sania kembali dari toilet."Di toilet sedikit ramai, jadi aku menunggu giliran masuk ke toilet dulu," jelas Sania, dan langsung duduk di samping Devan. Devan dengan senyuman langsung merangkul mesra Sania, tapi sebelum itu ia mengambil minuman di meja untuk Sania.''Ini, minumlah. Kamu pasti haus 'kan dari toilet, setelah kamu minum ini kita berdansa," rayu Devan dan memberikan gelas yang sudah ia bubuhi dengan obat perangsang.Sania tanpa curiga langsung menerima gelas pemberian kekasihnya, setelah itu ia meneguk minuman itu hingga tandas.Devan yang melihat itu merasa senang, apalagi saat melihat Sania menghabiskan semua minuman dalam gelas tanpa sisa."Ayo kita berdansa sekarang, Sayang. Kita habiskan malam ini untuk bersenang-senang, karena setelah ini kita sudah kembali ke Indonesia. P
Sadar Dari KomaMasih di dalam pesawat jet pribadi keluarga Tamawijaya, terlihat Jaden tengah menyantap makan siangnya. Meskipun ia hanya menyuapkan sedikit makanan ke dalam perutnya, setidaknya ia memakan sesuatu. Mengingat sedari pagi ia belum makan apa-apa.Setelah ia menyuapkan makanan terakhir ke dalam mulutnya, ia memerintahkan sesuatu pada Martin tangan kanannya untuk mengajaga keamanannya sebaik mungkin selama dalam perjalanan ke rumah sakit nanti. Bukan ia takut penjahat, atau musuhnya. Tapi, ia tidak mau identitasnya cepat diketahui khalayak umum.Sebab ia tidak mau wartawan mengendus keberadaan, dan identitasnya yang bekerja sebagai seorang dokter. Apalagi saat ini di rumah sakit ada Aina, dan Aina akan menjadi prioritas utamanya mulai dari sekarang.Jaden sudah tidak percaya lagi pada siapa pun, mengingat sahabatnya sendiri yang diberikan amanah bisa saja lalai dan tidak melaksanakan apa yang ia minta.
Tangisan Ainahuk ... uhuk!"Aina tiba-tiba terbatuk, seketika membuat Jaden yang berada di samping Aina merasa khawatir."Nona! Nona, kamu tidak apa-apa? Apa ada yang sakit, di mana? Cepat katakan, Aina?!" tanya Jaden dengan tidak sabaran, hingga ia memanggil Aina dengan sebutan nama saja dan tidak berkata formal."Saya tidak apa-apa, Dokter. Hanya saja, mulut saya kering," keluh Aina dengan memegangi lehernya.Tanpa menjawab Jaden dengan sigap mengambil minuman yang berada di atas meja, dan langsung memberikan pada Aina. Namun, gerakkannya terhenti ketika ia melihat Aina masih terbaring di tempat tidur."Apa Nona mau minum menggunakan dengan sedotan, atau duduk saja?" tanya Jaden, seraya menunjukkan air putih dalam gelas ke arah Aina."Saya ingin minum dengan duduk saja, bisakah Dokter membantu saya. Karena saya tidak kuasa untuk bangun sendiri," jawab Aina
Berniat Mengakhiri Hidup"Hiks ... hiks, hiks."Terlihat Aina masih menangis meratapi kondisi kakinya yang lumpuh, Jaden masih setia berada di samping Aina. Meskipun ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, selain kata penenang berharap wanita dihadapannya berhenti menangis."Kenapa saya bisa seperti ini, Dokter? Kenapa saya bisa terluka parah seperti ini, apa salah saya hingga Allah menghukum saya seperti ini?" tangis Aina pecah kembali, meratapi nasib dan juga kakinya.Jaden yang mendengar penuturan dari Aina mengeryit heran, kenapa bisa Aina bertanya seperti itu. Seharusnya dialah yang lebih tahu, kenapa dia bisa sampai terluka."Apa kamu tidak ingat sesuatu, di mana Nona bisa kecelakaan tepatnya 5 hari yang lalu?" tanya Jaden dengan nada herannya."Apa! Saya kecelakaan, Dokter? Tapi, saya tidak mengingat apa-apa, selain ingat di mana saya saat itu tengah mempersiapkan kado untuk