Share

Bab 7

“Terkadang, kesendirian itu muncul karena kamu yang membuat benteng terlalu tinggi untuk digapai orang lain, Nak.”

“Maafkan Arum.”

“Sekarang rencana kamu apa? Memperbaiki, meninggalkan, atau membiarkan keadaan berulang di masa depan?”

Arum tercenung. Dia menimbang-nimbang: apa yang bisa diperbaiki; bisakah dia meninggalkan; atau sanggupkah jika sesuatu yang dihindarinya terulang kembali.

Pagi ini Arum sengaja bolos ke restoran. Untuk pertama kalinya setelah bertemu kembali dengan Boy setahun yang lalu, dia mengunjungi Bu Wanti. Sejak kelulusan sekolah waktu itu, Boy banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling kota demi pekerjaannya, bahkan beberapa kali melancong ke luar negeri. Sementara Bu Wanti yang lebih sering ditinggal sendiri memutuskan pulang ke kampung kelahirannya hingga rumahnya dikontrakkan selama beberapa tahun.

Kesendirian Arum semakin terasa sepeninggal ibu angkatnya, Bu Asiyah. Tidak ada lagi rumah kedua tempatnya mencari kehangatan keluarga. Untuk beberapa saat dia jatuh, terpuruk sendirian, hingga merasa trauma dan menyalahkan takdir—takdir yang selalu menuntutnya berjalan sendirian. Padahal, semenjak mengenal Boy dan mamanya, dia mendapatkan kemajuan dalam bidang akademiknya. Namun, semua perjuangannya dan perjuangan mereka seolah-olah lenyap karena keegoisannya, membiarkan kedunguan kembali menguasainya.

“Ma.” Arum memanggil Bu Wanti dengan sebutan yang sama seperti Boy lakukan. “Apa Arum masih bisa memperbaiki?”

Bu Wanti tersenyum. Wanita berpenampilan elegan dan selalu bersikap tenang itu mendaratkan elusan di puncak kepala Arum. “Mama tanya dulu, demi apa kamu ingin memperbaiki?”

Itu pertanyaan yang mengherankan, mungkin juga dasar hati Arum telah salah memilih alasan. Demi apa lagi jika bukan untuk kelangsungan hubungannya dengan Diaz. Arum merasa harus bisa menjadi pintar dan berkelas seperti kemauan Bu Andini. Dia harus berjuang untuk mendapatkan restu orang tua Diaz. Dia tidak mau kehilangan Diaz. Akan tetapi, Arum merasa malu untuk menjelaskannya kepada Bu Wanti.

“Malam ini tidur di sini, ya,” pinta Bu Wanti.

Arum mengangguk, merasa beruntung karena tidak perlu menjawab lebih detil apalagi menjelaskan tentang Diaz. Meski begitu, dia yakin Bu Wanti tahu segala kisahnya dari Boy. Anak mama itu memang tidak bisa menjaga rahasia. Awas saja kalau dia pulang nanti sore, akan kubikin perhitungan, batin Arum.

🍁🍁🍁

Salah satu keuntungan tidak memiliki ponsel adalah kamu tidak segundah orang kebanyakan saat patah hati. Tidak perlu menatap berlama-lama wajah orang yang disayangi di layar ponsel, tidak harus mendengar dering panggilannya yang dipastikan ingin meminta maaf, bahkan tidak harus tergoyahkan dengan pesan-pesan bualan saat kamu ingin sejenak menepi.

Sudah dua hari ini Arum menitipkan pesan untuk Mila sang administrasi restoran lewat Boy, agar memegang kendali bisnis kulinernya. Arum pun meminta Boy mengunjungi panti sepulang kerja untuk memastikan kondisi di sana. Meski awalnya Boy mengeluh lelah karena jarak restoran dan panti cukup jauh, pada akhirnya dia berangkat juga.

“Humaira menanyakan kapan kamu pulang. Mbak Windri dan yang lain juga berencana piknik tipis-tipis saat anak-anak liburan semester nanti. Kamu mau ikut mereka?”

“Hmm, boleh. Asal kamu sama Mila bisa atasi restoran saat liburan. Biasanya jumlah pengunjung naik dua kali lipat.”

“Kenapa aku? Aku malah ingin ikut liburan!” sergah Boy.

“Mana bisa? Bagaimanapun kamu karyawanku, ingat itu! Jangan makan gaji buta dengan alasan nebeng liburan dengan sahabatmu.” Arum mencibir.

“Buka saja lowongan cookhelper, rekrut anak magang untuk posisi waitress, beres! Lagi pula Humaira selalu bilang kalau aku menyenangkan untuk diajak berlibur.” Boy terkikik.

Mereka duduk di teras malam ini. Dua cangkir kopi hitam tanpa ampas ditambah krimer mengingatkan Arum akan masa-masa SMA. Di sanalah dulu dia berjuang menghentikan disleksianya setelah dibuat menangis dua-tiga bulan awal sekolah. Mulanya Arum pikir, Boy sama seperti teman-teman SD dan SMP-nya, hanya bisa membuatnya menangis dan semakin bodoh. Nyatanya semua tuduhan itu terbantahkan manakala Boy mengajaknya ke rumah ini.

“Orang bodoh itu banyak. Orang buta juga ada di mana-mana. Tapi bukan berarti mereka hanya bisa menangis dan menyerah. Setidaknya orang bodoh dan buta itu memiliki otak. Kamu hanya perlu memperbaiki jalan otak kamu!” kata Boy tegas kala itu.

Detik ini Arum memandang Boy dengan perasaan rindu. Rindu hardikannya yang keras saat Arum mulai lelah berlari. Seandainya waktu bisa diputar dan Arum bisa berdiri tegak sepeninggal Bu Asiyah—walau tanpa kehadiran Boy dan mamanya, tentu saat ini Arum bisa sedikit sombong saat duduk di samping pria itu.

“Kamu nggak berubah, Boy. Masih menyebalkan seperti dulu,” ucap Arum tak sadar. Binar matanya berpadu dengan seterbit senyum lebar.

Boy terkesiap, gelagapan. Merasa diperhatikan terlalu lama, dia gelisah. Namun, hatinya tersenyum. Ada kembang api yang meletup-letup di kedalamannya. Dia berdeham beberapa kali, menstabilkan perasaan yang mulai terbawa suasana. Untung saja mamanya sudah tidur setelah kelelahan mengajari Arum membaca dari awal. Kalau tidak, yakinlah Boy sudah mendapat celetukan elegan darinya.

Setelah menarik keluarkan napas panjang, Boy berusaha mengalihkan pembicaraan. “Diaz datang ke resto. Katanya, dia juga mencarimu di rumah kontrakan. Mungkin, malam ini pun dia datang ke panti. Kapan kamu menemuinya?”

Mendengar nama Diaz dari bibir Boy itu seolah-olah mengalahkan kegalauan dengan menatap wajah kekasih di layar ponsel. Kerinduan membuka pintu hatinya. Udara kosong di dalamnya seketika tersentuh rasa yang benar-benar rasa: gelora. Gejolak cinta, butuh, ingin, harapan ... semua yang berusaha Arum tutupi selama dua hari ini, menggelegak hanya karena telinganya menangkap nama Diaz.

“Jangan selalu menyikapi hal dengan bersembunyi, Rum. Karena sampai kapan pun, kamu tidak akan berani menerima kenyataan.”

Setitik air mata itu jatuh, tepat membasahi bibir Arum yang bergetar. Bayangan pria yang sering mengacak rambutnya beberapa bulan ini membuat ngilu. Aku benar-benar rindu senyuman, suara, gurauan, juga rayuan Diaz. Sungguh, berpisah bukan karena kehendak itu menyakitkan rasanya.

Boy meletakkan ponselnya di antara dua cangkir kopi. Benda pipih itu sontak mengalihkan perhatian Arum.

“Aku yakin kamu tidak terlalu sulit untuk membaca nama orang yang kamu cintai di dalam kontak telepon. Dia menunggumu bicara.”

Arum tidak berani menyentuh ponsel Boy. Bukan karena dia takut salah membaca, melainkan takut tak bisa menahan diri saat mendengar suara Diaz nantinya. Haruskah dia bicara lebih dulu? Kenapa bukan Diaz saja yang berusaha lebih? Bukankah pria itu bilang sangat mencintainya? Apa dia tak berhasil bicara dengan Bu Andini?

“Cinta itu ... bilang! Rindu itu ... bilang! Karena hanya orang bodoh yang bisa menyimpan itu!” kata Boy kasar, seperti sedang mengatakan itu untuk dirinya sendiri. Sebab, siapa yang tahu kalau hatinya sedang mengekang diri untuk meluapkan sesuatu? Rasa yang selalu tertunda ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status