Emak menghapus air mata yang menganak sungai di pipinya. Wanita tua itu memegang pipiku dengan kedua belah telapak tangannya. Tangannya bergetar dan dingin, ah, aku paham bagaimana rasanya menjadi dia. Baru saja ditinggalkan suami tercinta, sekarang anak perempuan satu-satunya pun harus pergi.
“Cepatlah sikit, terbang nanti pesawat tu cemano (gimana)?” bentak bang Asman. Tangis Emak makin keras. Bahunya sampai berguncang hebat. Aku memeluknya, berusaha mengalirkan ketabahan ke aliran darahnya. Inilah takdir yang telah aku pilih, tak mungkin untuk mundur. “Era berangkat, Mak, do’akan Era banyak rezeki, bisa sering pulang tengok Emak.” Emak mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Duka dalam matanya terlihat jelas. Entah apa yang memenuhi benak wanita yang telah melahirkanku itu, mungkin dia menyesal karena menyetujui pernikahanku dengan Bang Asman, atau mungkin dia merasa tertipu oleh menantunya. Bang Asman yang dulu sangat perhatian, mendadak berubah seratus delapan puluh derajat sejak menikah denganku. Keempat abangku bergantian merangkul tubuhku. Bang Arham tampak paling terpukul. “Maafkan Abang, Ra. Maaf.” Dia menangis sambil mengucapkan maaf berkali-kali. Aku pun turut menangis. Apa dia merasa bersalah karena menjadi gerbang bagiku berkenalan dengan Bang Asman? Sungguh, aku ingin menyalahkan semua orang saat ini. Bang Arham, Emak, Bah, bahkan semua abangku bersalah atas takdir buruk yang menimpaku. Tak pernah terlintas dalam anganku memiliki suami seperti Bang Asman. Namun, apa gunanya menyalahkan keadaan? Tak akan mengubah apa pun. Lelaki bertabiat buruk itu mungkin memang jodohku. Terkadang, melintas tanya dalam hati, seburuk apa aku hingga memiliki suami seperti dia. Bukankah orang baik akan berjodoh dengan orang baik? Aku menyingkirkan seluruh tanya dalam benak. Sebentar lagi, Bang Asman akan mengamuk sebab aku menghabiskan banyak waktu berpamitan dengan keluargaku. Aku menyusul Bang Asman yang telah duduk di dalam mobil sewaan. Hatiku dongkol melihat sikapnya, tak ada sedikit pun menghargai Emak dan abang-abangku. “Tak nak Abang salam Emak?” tanyaku. “Dahlah tu. Terlambat nanti."Emak melambaikan tangan hingga mobil sewaan kami hilang di persimpangan. Aku menangis dalam diam, tak ingin Bang Asman mendengar isakku. Bisa-bisa dia memarahiku dengan kasar. Aku menatap—mungkin untuk terakhir kalinya—jalan tanah yang kami lewati. Tempat ini menyimpan banyak kenangan. Aku menghabiskan masa kecil di sini. Aku bahagia, sebab Bah menyayangiku. Masa mudaku pun berjalan dengan indah. Sangat. Hingga Bang Asman datang dan merenggutnya.Lelaki yang duduk di sebelahku itu memasang wajah kaku. Tak ada kata yang keluar dari bibir tipisnya. “Bang,” bisikku, takut terdengar penumpang lain. Dia menoleh tanpa menjawab panggilanku. “Boleh nanti Era sering pulang tengok Emak?” “Berangkat pun belum, dah tepikir nak balek sini. Tak patut!” Astaga! Rasanya tak ada yang salah dengan pertanyaanku, lalu mengapa dia membentakku? Beberapa penumpang melihat ke arah kami, sebagian lagi berlagak tidak mendengar. Aku memilih diam sepanjang sisa perjalanan. Tak ingin mendengar kalimat ketus yang keluar dari mulut lelaki itu. Untuk sampai ke bandara kami harus menyeberangi sungai Siak, salah satu sungai terbesar di Indonesia. Setelah itu, menempuh perjalanan panjang untuk tiba di ibukota provinsi, Pekanbaru. Dari bandara simpang tiga nanti kami langsung bertolak ke Jakarta. Hatiku gamang karena tercabut dari dunia yang selama ini telah membuatku nyaman. Aku baru saja lulus SMA, dipaksa menikah dan mengikuti suami jauh dari keluarga. Mungkin banyak teman sebayaku yang juga mengalami nasib yang sama, tetapi adakah yang seperti aku? Menikah tanpa cinta dan mendapat suami dengan tabiat buruk. Banyak cerita yang terukir dalam kurun waktu setahun ini. Sejak kepergian Bah, tak ada lagi yang sama. Sepertinya, aku pun tak bisa berharap banyak pada Bang Asman. Aku tak yakin dia akan bersikap baik padaku. Namun, siapa tahu, kan? Bisa saja, di rumahnya sendiri dia berubah. Lagi pula, masa tak ada setitik cinta pun di hatinya untukku? ***Aku menyeret koper besar ini seorang diri. Sementara bang Asman melenggang santai di depanku. Tangannya hanya membawa sebuah tas jinjing kecil yang entah berisi apa. Aku tak berani protes. Tatapan matanya yang tajam seolah menembus langsung ke jantungku. “Cepat sikit, macam keong!” Astaga, aku hanya bisa mengurut dada, menyabarkan diri dari sikap buruk lelaki di depanku ini. Tidakkah dia merasa aneh? Membiarkan aku, istrinya membawa barang seberat ini? Atau pikirannya memang tertinggal entah di mana?
Dasar tak ada otak! Sebuah sedan berhenti tepat di depan Bang Asman. Lelaki yang duduk di belakang kemudian tergopoh-gopoh turun dan mengambil tas yang sedang aku pegang. “Sini saya bawa, Bu.” Bang Asman tak acuh, dia naik ke dalam mobil tanpa melihat ke arahku. Rasanya aku ingin kembali ke Siak. Andai saja aku mengerti bagaimana cara naik pesawat seorang diri, sudah aku tinggalkan lelaki tak ada hati itu di sini. “Silakan, Bu.” Lelaki paruh baya itu membukakan pintu mobil bagian belakang. Aku mengucapkan terima kasih sebelum naik. Rasa asing mendadak merajai hatiku. Ini bukan rumahku. Tempat ini asing dan aku tidak memiliki siapa pun di sini. Mataku menangkap gedung-gedung tinggi yang memenuhi kiri-kanan jalan. Tak ada jalan tanah yang menyimpan jejak kenangan lagi. Tak ada sungai membentang yang menjadi tujuanku untuk mencuri waktu bertemu Fahmi lagi. Tak ada Emak yang akan marah jika aku terlambat pulang untuk menyiapkan makan malam. Tak ada abang-abangku yang suka curi-curi merokok di kamar Bang Arham. Tak akan ada lagi. Mobil berhenti di depan sebuah rumah berukuran besar. Sekilas mirip dengan rumah Tengku Asnawi di kampung. “Mirip rumah Pakcik Asnawi,” celetukku. “Memanglah, ini rumah dia yang bangun untukku.” Aku mengangguk maklum. Tengku Asnawi memang sangat sayang dengan Bang Asman. Dengan uangnya yang banyak, apa yang tak mungkin dilakukannya untuk keponakannya ini? Bapak tua yang menjemput kami di bandara tadi membawa seluruh bawaan kami ke dalam rumah, kemudian dia pamit. “Ini rumahmu juga, Ra. Berbuatlah sesukanya.” Aku diam saja mendengar perkataannya. Tak ada gunanya menyahuti lelaki itu, yang ada setiap ucapan yang keluar dari mulutmu seolah salah di matanya. “Itu kamar kita. Istirahatlah. Aku ada urusan.”“Abang nak kemana?” tanyaku pelan. Jujur saja, aku sangat lapar karena tadi hanya sempat sarapan di kampung. “Kenapa? Bukan urusan kau.” “Era lapar.” “Di belakang ada beras, di kulkas ada ikan. Masaklah.”Lelaki itu meraih kunci mobil yang tergantung di dinding, kemudian dia pergi meninggalkanku begitu saja. Susah payah aku menahan air mata yang nyaris jatuh di pipi. Sungguh, aku tak ingin menangisi lelaki yang tak ada perasaan itu. Mimpi buruk dalam hidupku, mungkin akan dimulai detik ini.***
10Menjadi istri seorang Asman Chairi, aku dipaksa menjadi mandiri, dewasa, dan mengambil keputusan sendiri. Asman tak memiliki waktu untuk mendengar keluhanku, pun memberi pendapat untuk masalah-masalah yang aku hadapi.Hidup kami berjalan seperti air mengalir, tenang. Sangat tenang. Tepatnya aku berusaha untuk tetap tenang menghadapi sikap tak peduli lelaki itu.Hari, minggu, bulan, aku habiskan dalam kesendirian. Bang Asman lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja—atau tempat lain yang aku tidak tahu—dari pagi buta hingga tengah malam.Awal mula pindah ke Jakarta, aku masih berharap dia berubah menjadi lebih baik. Setiap hari aku bangun lebih awal untuk membuatkan dia sarapan, melepas dia bekerja, dan hal lain yang lazim dilakukan suami istri. Aku berusaha sangat keras untuk melembutkan hatinya, membuat dia bisa mencintaiku. Paling tidak, bersikap baik padaku.Namun
Aku memegang benda pipih berwarna putih itu dengan tangan bergetar. Garis dua di bagian tengahnya membuat napasku nyaris putus. Hamil? Aku hamil? Bagaimana bisa? Selama ini aku sengaja mengkonsumis pil KB tanpa sepengetahuan Bang Asman. Aku berpikir untuk apa memiliki anak jika rumah tangga yang kami jalani ini jauh dari kata bahagia. Kehadiran anak dalam rumah tangga yang gersang, hanya akan membawa malapetaka. Kasihan anakku nanti. Dadaku sesak dengan sesal. Mengingat-ingat apakah aku lupa meminum pil KB sialan itu? Rasanya tidak. Aku sengaja menaruhnya di meja rias agar tak pernah lupa. Bang Asman pun pernah melihat pil itu, dan dia tidak pernah keberatan. Bagaimana aku akan memberi tahu hal ini padanya? Sedangkan kami sudah seminggu tidak bertegur sapa. Jangan tanya mengapa, karena jika aku ceritakan, seolah aku adalah wanita paling durhaka di dunia karena membuka aib suami seenaknya. Namun bisa aku pastikan, tak banyak w
Pukul dua belas malam lelaki itu pulang. Wajahnya terlihat sangat lelah, tidak seperti biasa. Kadang aku berpikir, apa yang dia lakukan di kantor sehingga selalu pulang tengah malam. Mas Wibi pun bekerja di kantor pemerintahan walaupun jabatannya tidak setinggi Bang Asman, tetapi suami Lina itu selalu tiba di rumah pukul lima sore.Untunglah Lina dan Mas Wibi bukan tetangga yang usil. Mereka diam saja melihat Bang Asman selalu pulang tengah malam. Lina tak pernah bertanya apa pun padaku. Hubungan kami yang dekat tak lantas menjadi alasan untuk mencampuri urusan masing-masing.“Ha, tumben kau menungguku? Dah tak marah?” sindirnya tajam, tanpa menoleh ke arahku.Hatiku bagai diiris sembilu dan ditetesi jeruk nipis saat melihat lelaki itu langsung masuk ke kamarnya. Kami memang sudah seminggu pisah kamar. Aku yang memulai dengan memilih tidur di kamar tamu. Sepertinya Bang Asman merasa ny
Aku terbangun pagi ini dengan pikiran lebih tenang. Rencana kabur itu membuat semangat hidupku menyala kembali. Aku yakin, Bang Asman tak akan mencariku. Malah mungkin dia senang karena aku tak akan lagi menjadi bebannya.Aku melirik jam dinding. Sudah pukul lima subuh. Aku memaksa diri untuk bangun, walaupun kepalaku sedikit pusing. Menurut artikel yang aku baca, ibu hamil memang mengalami pusing pada kehamilan tiga bulan pertama.Setelah ibadah subuh, aku menurunkan koper besar yang ada di atas lemari, membersihkan debu yang menempel di sana, lalu aku memasukkan semua baju ke dalamnya. Tak lupa perhiasan dan barang berharga lain aku kemas dalam tas kecil yang akan aku jinjing nanti.Dadaku sesak dengan rasa bahagia. Meninggalkan Bang Asman dan semua duka di sini seperti sebuah tujuan dalam hidupku kini. Aku rasa, jauh dari kehidupan Bang Asman membuat hidupku lebih bahagia. Kasihan sekali bayi di dalam rahimku jika dia
Debar di dadaku semakin kencang saat mobil memasuki area bandara. Ketakutan mendadak muncul mengingat diri ini belum pernah naik pesawat sendirian.Hilir-mudik orang lalu-lalang, ditambah deru pesawat memenuhi gendang telinga, membuat keberanianku menguap entah ke mana. Lina memarkirkan mobil di tempat menurunkan calon penumpang pesawat.“Sebenarnya aku pengin ngelarang kamu, Ra. Dalam kondisi hamil muda begini, bahaya banget pergi naik pesawat sendiri.” Lina menatapku dengan sorot mata cemas. Tangannya memegang tanganku.Apakah benar perkataan Lina? Aku tak mau mengambil risiko kehilangan bayi di dalam kandungan, tetapi saat mengingat kehidupanku bersama Bang Asman yang bagai dalam neraka, aku membulatkan tekad.“Enggak apa-apa, Na. Tenang aja. Aku kuat kok.”“Kehamilanmu masih terlalu muda, Ra. Aku enggak yakin Bang Asman ngizinin. Kamu kabur?&rdqu
Semalaman aku menyesali keputusan untuk meminta Lina mengantarku ke bandara. Rasanya aku harus mulai menjaga jarak dengan perempuan itu. Dia sudah tahu terlalu banyak.Aku tahu sebagai seseorang yang paling dekat denganku, merasa dirinya sebagai sahabatku, dia ingin menjagaku. Pun karena dia tahu aku sedang hamil muda. Lina mencemaskan janin dalam rahimku sebab dia sangat ingin punya anak. Namun, jika dia sudah ikut campur terlalu dalam seperti ini, bukankah aku berhak menjauh?Pikiranku sarat sesal, juga kerinduan pada kampung halaman. Apakah Emak sehat? Siapa yang memasak di rumah kini? Emak sudah tua, fisiknya tak terlalu kuat untuk bekerja berat. Ditambah pukulan batin yang dia alami sejak Bah menikah lagi, kondisi kesehatan Emak semakin menurun.Pukul satu malam aku masih terjaga. Mataku nyalang menatap dinding berwarna abu-abu yang menjadi batas antara kamarku dan ruangan lain di rumah ini. Rasa hampa menggerogoti
Minggu pagi yang cerah ini aku berjalan-jalan seorang diri di sekitar rumah. Menurut Bu Bidan, jalan pagi itu penting untuk mempermudah proses persalinan nanti. Kehamilanku sudah memasuki bulan ke sembilan. Jika benar perkiraan bidan, aku akan melahirkan pertengahan bulan ini.Beberapa kali aku berselisih jalan dengan tetangga yang sedang olahraga pagi. Seperti biasa, mereka menanyakan suamiku. Aku hanya menjawab dengan senyuman. Mungkin aneh bagi sebagian orang, sebab perempuan hamil pada umumnya jalan pagi bersama suami.Setelah mengeluarkan cukup banyak keringat, aku memutuskan untuk pulang. Tak lupa membeli nasi uduk untuk sarapan di rumah.Sejak hamil aku memang lebih santai. Bang Asman membayar seorang asisten rumah tangga untuk membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Mbak Mur hanya bertugas mencuci dan menyetrika.Sesampainya di rumah, aku melihat sebuah mobil pickup baru saja meninggalkan hal
Persalinanku mungkin adalah persalinan paling menyakitkan. Perempuan lain melahirkan didampingi suami, atau paling tidak ibu mereka. Sedangkan aku, menderita di ruang bersalin itu seorang diri. Sakit yang mengalir di tubuhku, tak lebih sakit dari luka dalam hatiku.Lina sudah pulang sejak tadi, sedangkan suamiku entah berada di mana. Saat bidan memeriksa pembukaan jalan lahir, air mata menganak sungai di pipi.“Sudah pembukaan delapan, Ra. Kuat, ya.”Aku meringis menahan sakit luar biasa yang setiap sebentar timbul. Tubuhku terbaring di ranjang beralas kain putih ini seorang diri. Dalam hati nelangsa karena harus menghadapi proses antara hidup dan mati ini sendiri.Rasanya setiap rasa sakit itu datang, aku ingin menjerit sekuat-kuatnya. Luar biasa rasanya. Seperti tubuhku dipatah-patahkan. Belum pernah aku merasa sakit yang sesakit ini.Bu Bidan baik hati itu setia me