-Tidak peduli seberapa sering kau membuatnya tersenyum, yang penting adalah, bagaimana caramu mempertahankannya.-
***
Dua insan yang baru beberapa kali bertemu itu saling pandang. Kemudian tersenyum, memamerkan senyum manis.
Yasmin bergeser lebih dekat pada suaminya, tubuh polos yang terbalut selimut saling bergesekan.
"Mas, katanya mau cerita. Kok malah senyum terus dari tadi?"
Arsen mengecup rambut wanita yang bersandar di pelukanya. "Aku mau tanya dulu sama kamu."
"Apa?"
"Kenapa kamu mau dijodohkan denganku? Dan apa yang membuatmu menerimaku meski kau sudah tau keadaanku?"
"Kenapa aku mau menikah denganmu? Aku juga mau jawaban yang sama dari kamu."
"Jawab saja pertanyaanku." Arsen mengalihkan pandangan, sejujurnya ia tak suka dibantah.
"Karna aku, tidak punya pilihan lain. Aku yakin apa yang dipilihkan ayah, adalah yang terbaik untukku."
"Kenapa kau mau menerimaku dengan segala kekuranganku?"
"Mas Arsen punya banyak kelebihan yang menutupi kekurangan. Sehingga apa yang menurut Mas Arsen adalah kekurangan, sama sekali tidak terlihat."
Arsen mengangkat satu sudut bibirnya, "Itu hanya pendapatmu. Dan aku tidak tau kau berkata jujur atau tidak. Tapi setidaknya aku harus mempercayainya, kan?"
Yasmin menatap mata Arsen sambil tersenyum. Sementara Arsen mengeratkan pelukannya.
"Waktu itu aku sedang berada di lapangan kerja, untuk memantau pembangunan. Disitulah kecelakaan terjadi, kakiku tertimpa benda berat. Membuat kakiku cedera parah, kaki ini harus diamputasi total. karna tingkat cedera yang parah, kakiku tidak bisa disambung kembali sehingga memilih menggunakan organ palsu."
"Hmm ... apa saat itu Mas langsung dibawa ke rumah sakit?"
"Tidak."
"Oh, Mas juga terlambat mendapat penanganan."
"Yah, begitulah."
"Lusa aku sudah harus bekerja, jadi bersiap-siaplah untuk pindah ke rumahku."
Arsen adalah seorang Arsitek terkenal, artinya ia cukup sibuk dengan pekerjaannya. Namun bukan berarti Arsen tidak punya waktu untuk liburan, atau cuti menikah.
Sudah beberapa kali ayahnya menawarkan bulan madu ke luar kota atau ke luar negri, tapi Arsen menolak dengan tegas. Dengan alasan banyak pekerjaan,
"Lagi pula hal itu tidak perlu, siapa yang mau menghabiskan waktu dengan orang yang tidak disukai!"
ucapnya tempo hari dengan percaya diri. Kini, Arsen sedikit menyesalinya.
Mungkin perkataan Yasmin benar, apa yang dipilihkan ayahnya, belum tentu buruk.
***
Arsen dan Yasmin turun bersama untuk sarapan. Mereka menuruni tangga sambil berpegangan tangan."Arsen, kamu baru bangun?"
Begitu ayahnya melihat, Arsen segera melepas tangannya.
"Sudah dari tadi."
Yasmin merasakan kekosongan dari tangannya, ia sedikit terkejut saat Arsen tiba-tiba melepas genggaman.
"Menantuku ... sini, sini."
Yasmin tersenyum menerima sapaan dari ibu mertuanya.
Wanita paruh baya itu menarik lembut tangan Yasmin, "Kenapa kalian baru turun, ini sudah mau siang."
"Maaf Bu, kita kesiangan."
"Gak papa, namanya juga pengantin baru, oh iya manggilnya bunda aja ya, biar lebih akrab. Arsen juga manggil bunda kok."
"Oh, iiya bunda."
"Makan yang banyak ya ..."
Yasmin menggangguk dengan sopan.
Setelah makan pagi yang menjelang siang itu, Arsen mengajak Yasmin keluar.
Niatnya sih mau melihat-lihat rumah, namun Arsen malah membawa Yasmin jalan-jalan ke pantai indah kapuk.
Walau masih siang, suasana pantai sudah ramai pengunjung. Dipantai indah kapuk, terdapat beberapa lokasi yang bisa dikunjungi juga.
Arsen memilih ke pantai maju teluk Jakarta, untuk bersantai dan mencari angin terlebih dahulu.
Yasmin terpana begitu memasuki lokasi pertama, Arsen mengajak Yasmin menikmati pemandangan laut disana. Tak lupa menelusuri street food yang begitu menggugah selera.
"Kamu senang?"
Yasmin mengangguk senang.
"Keliatan banget ya?"
Arsen menggeleng kecil, "Tidak juga. Hanya saja, saking senangnya, kamu sampai terdiam dari tadi. Aku takut kamu tidak suka."
"Aku suka kok Mas, makasih ya."
Arsen tidak menyangka perasaannya bisa sesantai ini bersama Yasmin. Dulu Arsen kira, ia tidak akan pernah bisa mempunyai seseorang lagi di sisinya.
Hampir setahun lamanya Arsen merasa sendiri, dihantui bayangan mantan kekasih yang memilih meninggalkannya. Hingga berhasil membuatnya tak percaya diri untuk sekedar mendekati wanita.
Untuk itu, Arsen pernah berjanji, jika ada yang mau menerima keadaannya, Arsen akan berikan sepenuh hatinya.
"Sudah sore, pulang yuk Mas."
Tak terasa, beberapa jam lamanya mereka menghabiskan waktu di tempat itu. Bersama orang yang membuatmu nyaman, waktu begitu cepat berlalu.
Arsen menggenggam erat tangan Yasmin, tidak, Arsen tidak akan pernah melepaskan wanita berharga ini.
Sesampainya di rumah, Yasmin membantu membereskan baju Arsen untuk pindahan besok.
"Baju Mas Arsen segini doang?" tanya Yasmin, namun saat berbalik, ia terkejut, bukan Arsen yang didapatinya, melainkan ibu mertuanya.
Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu tersenyum,
"Bunda, sejak kapan Bunda disini? Kenapa Bunda gak bilang?"
"Kamu memang sempurna untuk Arsen."
Yasmin mendekat pada mertuanya.
"Tidak ada manusia yang sempurna Bunda, aku juga punya banyak kekurangan."
Menggenggam tangan Yasmin, ibu Arsen menatap wanita di hadapannya dengan penuh kasih sayang.
"Jangan pernah berubah, ku mohon ..." suaranya mulai memudar, Yasmin merasakan air mata di tanganya.
"Bunda, kenapa nangis?"
"Tolong terima Arsen, akan kuberikan semua yang ku punya jika kamu mau."
"Bunda ..."
"Tolong."
Yasmin memeluk ibu mertuanya,
"Bunda, aku gak bisa memberi janji, tapi aku akan berusaha."***
Di perjalanan menuju rumah barunya, Yasmin terlihat diam saja. Membuat Arsen khawatir tentang apa yang dipikirkannya akan terjadi.
Tangan kiri Arsen menggenggam tangan Yasmin, "Apa yang kamu pikirkan?"
Sambil tersenyum, Yasmin membalas pertanyaan Arsen.
"Bukan apa-apa Mas, nyetirnya yang baik ya ..." lalu Yasmin melepas genggaman Arsen, hingga Arsen kembali menyetir dengan kedua tangannya.Setelah sampai di rumah, semua barang-barang satu persatu diangkut oleh beberapa orang yang membantu pindahan mereka.
"Terima kasih, ya."
"Ya Pak, sama-sama."
"Ayo masuk." ajak Arsen pada Yasmin.
Suasana rumah minimalis ber cat warna pastel menghiasi rumah, beberapa barang sudah ada di sana.
"Mas, sudah pernah tinggal disini?"
"Belum, ini benar-benar rumah baru. Surat-surat rumah ini, atas nama kamu. Begitu kamu menjadi istriku, rumah ini milik kamu."
Yasmin menatap Arsen tak percaya, sekaya apa sih Arsen ini? Sampai baru nikah saja, sudah memberi rumah padanya.
"Bisa dibilang, ini jaminan. Kalau suatu saat aku menyakitimu, kamu boleh usir aku dari rumah ini."
Tatapan Yasmin berubah, membuat Arsen terkekeh. "Tenanglah, aku bukan lelaki yang kasar pada wanita."
"Terima kasih, Mas."
Arsen, lelaki berbadan tegap itu tengah membereskan barang-barangnya di kamar. Ia sibuk kesana kemari mengambil dan menata segala keperluannya.
Sementara Yasmin menatap punggung tegap di hadapannya. Entah kenapa, Yasmin merasa, setiap waktu perasaannya semakin meningkat.
Yasmin begitu menyukai lelaki yang sudah menjadi suaminya itu. Terlebih, setelah mengetahui cerita pahit Arsen. Ia begitu ingin melindungi Arsen, tidak ingin mengecewakannya barang sedikitpun.
_"Yasmin, kamu berniat menghias rumah ini? Aku sengaja membiarkannya polos, supaya kamu bisa memilih wallpaper sesukamu."
"Benarkah? Aku suka menghiasnya. Gimana kalo ... kamar ini kita kasih wallpaper motif ini Mas." Yasmin mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan Arsen beberapa wallpaper elegan.
"Bagus."
"Ini untuk ruang tamu, atau ini ya? Menurut kamu yang mana Mas?"
"Hmm ... Ini."
Sedang sibuk memilih-milih, ponsel Arsen berdering. Benda itu terletak tapat d idekat Yasmin, hingga dengan jelas Yasmin bisa melihat si penelepon.
Senyum Yasmin memudar begitu ia mengetahui orang yang menelpon suaminya.
***
Jangan lupa vote, coment, dan belangganan ya! Ig : @reast07 @restiani07
Yasmin belum pernah berpacaran sebelumnya. Tapi jika menyukai seseorang, ia pernah beberapa kali. Bahkan Yasmin pernah terjebak di dalam dilema perasaan yang sama. Ia pernah, begitu menyukai seseorang, dan ternyata orang itu juga sama sukanya pada Yasmin. Itulah dilemanya, saat dua insan saling menyukai, tapi tak bisa bersama sebab suatu alasan. Yasmin tidak ingin punya status selain menikah. Sementara waktu itu, umurnya masih genap enam belas tahun. Dengan yakin, Yasmin melenyapkan perasaan itu. Meski banyak alasan indah, sampai Yasmin bisa menyukai pria masa lalunya itu. Sekarang, entah bagaimana awalnya, Yasmin begitu menyukai lelaki di hadapannya. Lelaki berbadan kokoh itu tengah sibuk kesana kemari membereskan barang-barangnya. Yasmin berinisiatif mengambil segelas air untuk suaminya. "Minum dulu, Mas." "Makasih, sayang." Yasmin merasa gugup mendengar panggilan Arsen yang begitu baru di telinga
"Buriq? Kau tau buriq bukan kata-kata yang bagus bukan?" Seketika Bian dan Sandi tertawa, membuat Jun Ki semakin jengkel. "Emang apa yang terjadi dengan kencan buta lo?" tanya Sandi penasaran. (Malam sebelumnya) "Jadi, kamu Oppa-nya Jung hee?" "Iya." "Makasih ya sudah mau datang. Namaku Jessi." "Aku Jun Ki." "Aku, tak secantik cewek-cewek di Korea, bahkan kulitku saja gak putih." "Bukan masalah." Jessi tersenyum senang, sementara Jun Ki memutar bola matanya, apanya yang gak putih? Siapapun bisa melihat kalau Jessi berkulit putih cerah. Setelah pesanan datang, mereka menyantap makanan dalam hening. "Ah!" Jessi merasakan tasnya terjatuh, dan dengan sigap Jun Ki mengambilkannya. "Gomawo, Oppa!" "Ada apa dengan kakimu? Gatal?" tanya Jun Ki terheran saat melihat ga
"Aku gak mau memilikinya, aku gak mau memilikinya, aku gak mau!"Chaira meremas hadiahnya dengan gemas, tempo hari Chaira memenangkan juara harapan ke dua lomba model. Ia sangat menyesali, kenapa ia harus memiliki prestasi dari bakat yang tidak diinginkannya?Ia menjatuhkan dirinya ke kasur, tepat saat itu ponselnya berbunyi."Hhh ... Anak Korea itu."Belakangan ini, Jun Ki beberapa kali mengiriminya pesan. Bertanya kosakata yang tidak diketahuinya, tapi entah kenapa meski merasa aneh, Chaira tetap membalas semuachatdari lelaki tampan itu."Kak!" panggil Karmila setelah memasuki kamar Chaira yang tidak tertutup rapat."Eh, ada apa Mil?""Kakak dapet hadiah darimana?""Oh, ini ... kamu mau?" Chaira memyerahkan syal berwarna marun pada adiknya."Wah, bagus banget. Buat aku nih?""Ambil saja kalo mau.""Makasih, jadi ... ini dari siapa?"Chaira menggela napas, "Itu had
Kinanti terbangun dengan memegang kepalanya yang pusing luar biasa. Ia mengingat-ngingat kejadian semalam. "Hah?!" Ia terkejut, spontan menutup mulutnya. Menoleh ke samping, tidak didapatinya pria yang semalam bersamanya. Lalu Kinanti memegang erat selimut yang menutupi tubuhnya tanpa busana. "Apa yang aku lakukan?" tanyanya pada diri sendiri, sambil memijat-mijat kepalanya. Tidak sulit untuk Kinanti mengingat kejadian semalam, ia menyodorkan tubuhnya pada pria dewasa, Ingat! MENYODORKAN!! Ia menghela napas kasar, "Apa karna sudah lama?" Tak lama pintu kamarnya diketuk, Kinanti langsung memilih bajunya random. "Sebentar." Begitu dibuka, ternyata Ismi yang mengetuk pintunya. "Ada apa Mbak?" "Ayo sarapan, yang lain sudah pada nunggu." Dalam hati, Kinanti mengumpat kesal. Kenapa harus ke bawah sih? Kenapa tidak diantar saja makanannya? Ia lupa kalau rombongannya bukan tamu VIP. "Masuk
Rayyan menarik gadis cantik yang berjalan di depannya, lalu membawanya ke ruang musik yang sedang kosong. "Lepasin!" gadis cantik yang bernama Kinanti itu, melepas paksa tangannya yang digenggam erat. Alih-alih menuruti permintaan Kinanti, Rayyan malah menariknya kembali dengan pelan menuju rak buku "Maaf." "Apa kamu harus melakukan ini?" tanya Kinanti dengan putus asa, setelah Rayyan menarik tangannya kencang, lalu mengusapnya perlahan. 'Entah apa yang diinginkannya.'batinnya Ekspresi Rayyan mulai serius, tangan kanannya memegang rak di depannya, lalu menunduk menatap gadis yang keheranan dibuatnya. "Kinan, ayo kita menikah! Aku akan bertanggung jawab." "Hah? apaan sih! Aku bilang, aku sudah punya pacar! Seenaknya kamu ngajak aku nikah." ujar Kinanti seraya mendorong Rayyan agar menjauh darinya. "Kita melakukannya! Gimana kalo kamu hamil? Kamu pikir pacarmu itu mau bertanggung jawab?"
"Refi! Kamu kenapa?" Dengan cepat Arsen membawa wanita itu ke ruang kesehatan. Mengambil minyak hangat, lalu dioleskan pada kepala Refi, sambil memijatnya. Kali ini Refi mengaduh kesakitan di bagian perutnya. "Kamu pasti belum makan." tebak Arsen. Refi mengangguk. Lalu tak lama kemudian, Arsen membawakan roti dan segelas air di tangannya. "Makanlah." "Makasih." "Kenapa kamu bisa sampai telat makan sih? Kamu masih belum sadar juga punya penyakit lambung? Lagian kamu gak perlu diet-diet lagi kan? Kamu kan sudah bukan model lagi!" omel Arsen dengan nada agak tinggi. Sementara Refi hanya tersenyum melihat Arsen yang seolah menghawatirkannya, mau tidak mau, hal itu menambah kepercayaan dirinya. "Aku suka lupa jadwal makan. Habis, gak ada yang ingetin sih." "Terus?" "Maka kembalilah padaku, cuma kamu yang segitu perhatian sama aku." Lagi, Refi mengucapkan kata-kata itu dengan seenaknya,
"Refi, kamu cantik sekali." Perempuan itu bergelayut manja, memeluk lengan Arsen. "Dia memang selalu cantik, namanya juga model, gak cantik, gak tenar." celetuk salah satu MUA. "Kamu juga ganteng banget deh, kalian berdua itu pasangan yang serasi." lanjutnya, sambil menggoda. "Jadi ... sudah selesai kan? Dia sudah boleh ku bawa pulang, kan?" tanya Arsen pada semua kru. "Ya, silakan, sudah boleh dibawa." jawab beberapa karyawan, tak urung menggoda pasangan tersebut. "Kamu capek?" Arsen mengusap kening Refi yang sudah tak berkeringat. Refi mengambil tangan besar itu, lalu menggenggamnya. "Kita makan yu, aku lapar." Sepanjang perjalanan, Refi terus menggenggam tangan Arsen meski tau kekasihnya sedang menyetir. Baginya, waktu bersama Arsen tidak boleh terbuang sia-sia. Kalau bisa, ia ingin membawa tangan pelindung itu kemana-mana.
"Chaira, aku antar pulang ya." "Siapa juga yang mau pulang." Gadis berjilbab itu membereskan buku ke dalam tasnya. "Terus, kamu mau ngapain di sini?" "Lee Jun Ki, kamu kepo sekali." Tawa junki terdengar merespon ucapan Chaira. "Kau mengikutiku ya?" Tanpa membalas perkataan Jun Ki, Chaira memasukkan hendsetnya ke dalam tas. "Jungki! Gue duluan ya!!" seru Sandi diikuti Bian. "Iya ..." balasnya seraya melambaikan tangan. "Kamu gak pulang bareng temenmu?" "Kan, aku pulang sama kamu?" Chaira memutar bola matanya. "Aku tahu kamu hari ini tidak membawa motor, kan?" 'Bagaimana dia bisa tau?'tanya Chaira dalam hati. Suasana kelas sudah kosong, tinggal mereka berdua. Hari ini Chaira memang tidak membawa motor, karna dipakai adiknya. "Sudah ku bilang, aku tidak pulang." "Oh, kau mau makan siang ya?" Kini mereka sudah keluar kelas, s