Suara yang dihasilkan oleh ketukan jemari jenjang pada keyboard laptop memenuhi ruangan kamar yang sunyi. Sosok cantik itu tengah asik dengan blognya, mengabaikan satu sosok lagi yang sekarang tengah sibuk menorehkan goresan-goresan kasar pena di atas kertas putih.
Seojin tak mau menatap adiknya yang tampak kesal sejak kepulangannya sore tadi. Kalau tidak salah, tiga puluh menit yang lalu Sunmi cerita soal pertemuannya dengan gadis bernama Bae Jihyun yang membuat hatinya panas akhir-akhir ini. Keributan terjadi setelah Sunmi menyiram wajah Jihyun dengan segelas iced americano yang disaksikan oleh puluhan pasang mata. Sungguh, Seojin tidak mengerti jalan pikiran adiknya, dasar bocah.
Wanita cantik itu kemudian menutup halaman blognya saat ia sudah menyelesaikan postingannya, kemudian beranjak dari kasur, menghampiri Sunmi yang asik menggambar di kursinya.
Helaan nafas berat terus terdengar ketika ia melangkah mendekati sang adik. Seojin tahu suasana hati gadis bergigi kelinci itu sedang tidak baik sekarang. Adik kecilnya bahkan tidak menggambar dengan baik. Hanya ada coretan abstrak yang hampir memenuhi kertas.
Seojin menepuk pelan pundak sang adik, kemudian berkata dengan lembut. "Sunmi, sudah malam. Cepat istirahatkan tubuhmu, tidak baik terus-menerus menyimpan amarah seperti itu." Suaranya terdengar begitu lembut di telinga Sunmi, membuat gadis itu menoleh dengan cepat.
"Aku hanya tidak mau dia berpaling, Eonnie. Aku takut wanita itu akan merebut Myungsuk dariku." Ia menaruh pena itu di atas meja, tiba-tiba memeluk pinggang Seojin, menenggelamkan wajahnya di perut sang kakak.
Yang lebih tua hanya tersenyum tipis, mengelus pelan surai hitam sang adik dengan penuh rasa sayang.
"Kau hanya ketakutan, Sunmi-ya. Tidak apa-apa, Myungsuk tidak akan meninggalkanmu." Seojin berbisik lembut di telinganya, tapi Sunmi menggeleng.
"Kami sudah lama pacaran, Eonnie. Dulu aku dan Myungsuk hanya bocah SMP, tapi sekarang kami sama-sama sudah dewasa. Lama-lama dia pasti akan bosan denganku dan mencari seseorang yang lebih cantik. Kau tahu segalanya kan, Eonnie." Sunmi mengeratkan pelukannya dan membuat Seojin mendesah kaku. Siapa lagi yang tahu soal masalah Sunmi selain dirinya. Myungsuk? Pemuda itu hanya tahu sedikit, tapi Seojin tahu segalanya.
Sang kakak hanya memandang iba ke arah adiknya tanpa mengubah posisi mereka, surai legam itu masih diusapnya penuh sayang. Sunmi mungkin terlihat sangat sempurna di mata orang-orang, namun sebenarnya gadis ini punya rahasia yang ia simpan sendiri. Sebuah rasa takut yang sering memenuhi relungnya ketika seseorang mencoba untuk mendekati Myungsuk, kemudian ia akan bertindak gegabah dan berakhir menyesal, mengadu pada Seojin.
"Bagaimana jika Myungsuk-oppa meninggalkanku karena orang itu, Eonnie ... bagaimana?" Seojin bingung jika sudah dilontarkan ucapan seperti ini oleh adiknya. Jujur saja, ia tak tahu sosok seperti apa Bae Jihyun itu. Yang jelas, selama ini menurut pengamatannya Myungsuk serius dengan Sunmi walaupun pemuda itu mempunyai segudang keanehan dalam hidupnya, sorot mata pemuda itu sudah cukup mengartikan segalanya.
Senyum itu kembali merekah, menambah kesan jelita di wajahnya yang damai. "Percayalah, Sunmi-ya. Dia tidak akan pernah meninggalkanmu." Seojin berucap pelan, mencoba untuk menenangkan sang adik yang masih setia memeluk pinggangnya.
Sunmi melepaskan pelukannya perlahan-lahan, kemudian menatap mata sang kakak. Seojin tahu tatapan mata itu menjelaskan sebuah kekhawatiran yang amat dalam. Ia mengusap lembut belah pipi Sunmi, sedikit menurunkan tubuhnya dan mengecup pelan kening sang adik.
"Bilang pada Eonnie kalau dia menyakitimu. Eonnie tidak akan mengampuninya nanti." Seojin kembali berujar, membuat Sunmi terpesona dengan senyum menawan yang ditunjukkan sang kakak. Walaupun mereka bukan saudara kandung, ikatan mereka lebih dalam dari yang bisa orang lain lihat.
Gila, beruntung sekali kalau Wooseok bisa mendapatkan Seojin-eonnie, batin Sunmi.
Detik berikutnya, Sunmi hanya mengangguk lemah dan membiarkan Seojin tetap menangkup wajahnya, tak menghiraukan cairan bening yang mulai lolos dari kornea matanya.
Seojin hanya mampu menghela nafas setelah itu, mendengarkan tangisan adiknya.
****
Suara yang terdengar saat pintu studio dibuka bahkan tak ia hiraukan. Paling-paling Jihyun yang datang sepagi ini, pikirnya. Namun pemikiran itu segera ia tepis jauh-jauh saat ia mendengar suara goresan pena di atas kertas. Tunggu, sejak kapan Jihyun menggambar tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Sepasang manik elang itu pun terbuka.
Myungsuk mendapati seorang gadis dengan balutan blazer kuning tengah serius menggambar di kursi kerjanya. Baru sepuluh menit ia mencoba untuk tertidur di sofa, namun niatnya harus ia urungkan jauh-jauh sekarang.
"Sunmi, sedang apa kau di sini pagi-pagi begini? Kau tidak ke sekolah?" Myungsuk menunjuk Sunmi dengan jarinya, membuat sang kekasih menggeleng tanpa membalas tatapannya.
"Aku akan membantumu menggambar, Oppa. Kau tidak boleh membantah." Sontak saja mata Myungsuk langsung terbuka lebar. Kekasihnya bilang apa barusan?
"Wow, tunggu dulu ... apa ini? Aku sudah terlanjur kolaborasi dengan Jihyun, Sunmi. Jangan mengacaukannya." Ia mendudukkan dirinya, menatap tak suka pada Sunmi.
Gadis yang masih sibuk menggambar itu kemudian mengalihkan pandangannya pada sang kekasih, menatap kedua maniknya dengan kilatan tajam.
"Kalau begitu batalkan saja kolaborasi kalian, pokoknya kau tidak boleh membantah!" katanya dengan nada yang ketus.
"Lagipula, kalau bersamaku komikmu akan lebih cepat selesai. Gambarku juga bagus, dan kau tidak perlu susah payah berulang kali menemui editor. Komikmu akan langsung diterbitkan, dan kau akan terkenal."
Myungsuk diam saja mendengar ucapan panjang lebar yang dilontarkan kekasihnya. Sunmi sedang kerasukan apa sebenarnya, kenapa ia tiba-tiba bersikap posesif begini. Myungsuk tidak suka.
Kedua alis pemuda Daegu itu bertautan dan matanya seolah memberi isyarat pada Sunmi untuk menjelaskan sesuatu. Sementara murid kelas tiga Seoul Art School itu hanya diam, sampai sebuah suara lain menginterupsi keduanya.
"Oh, jadi maksudnya kemampuanku tidak lebih baik darimu, begitu?"
Keduanya menoleh ke arah pintu yang terbuka, tampak Jihyun tengah berdiri santai di sana, menatap jengah keduanya.
"Hei, apa-apaan opini itu. Aku merasa tidak berguna sekali sebagai partnermu." Jihyun berjalan menuju sofa dan ikut mendudukkan dirinya di sana, tersenyum getir ke arah Myungsuk.
"Selamat pagi, Jihyun-ah." Si ulzzang hanya menatap lelah pada Jihyun, mengisyaratkan bahwa ia perlu pertolongan sekarang.
"Maaf mengenai mulut kekasihku yang pedas." Ia memejamkan matanya. Jihyun kemudian melengkungkan sebuah senyum manis ke arah sang pemuda Daegu, membuat Sunmi panas lagi.
"Tidak apa-apa, Myungsuk. Yang barusan itu masih lebih baik daripada saat ia menyiram wajahku dengan iced americano kemarin." Jihyun menjelaskan dengan nada datar, menatap tajam Sunmi yang masih terpaku di mejanya.
Myungsuk terkejut karena menangkap jelas maksud dari perkataan Jihyun. Maniknya berpendar ke arah gadisnya yang masih sibuk menggambar, ia mencoba mencari penjelasan darinya. Tapi Sunmi langsung membuang nafas kasar, ikut menatap tajam Jihyun yang masih setia dengan wajah tersenyumnya.
"Aku hanya melindungi kekasihku dari seseorang yang tampaknya akan menjadi perusak hubungan, Oppa." Ia meremas kertas di tangannya, berdiri dengan kesal dan mulai berjalan menuju pintu studio.
Kekasihnya hanya berdecak malas, memijat keningnya. "Apaan sih, Sunmi?"
"Aku serius, Oppa. Pikirkan kalimatku, kalau tidak kita putus!"
Bersamaan dengan terlontarnya kalimat itu, Sunmi menutup keras pintu studio milik bibinya, meninggalkan Myungsuk yang frustrasi dan Jihyun dengan wajah bingungnya.
Si ulzzang ikut membuang nafas kasar, berdecak kesal sambil mengacak surainya. Jihyun yang duduk di sebelahnya hanya menatap miris dan menggelengkan kepala, terpaku dengan kepergian Sunmi.
"Kekasihmu sangat mengerikan, Myungsuk."
Myungsuk tak menjawab, hanya membalas ucapan Jihyun dengan sebuah anggukan singkat.
****
"Jihyun, aku ingin menanyakan sesuatu padamu." Gadis Busan itu menoleh ketika suara berat milik partner-nya terdengar.
"Bertanya soal apa?" Jihyun refleks mendekat ke arah Myungsuk. Sekarang, pemuda Daegu itu memberi tatapan menerawang ke depan.
"Apa maksudmu soal Sunmi yang pernah menyiram wajahmu dengan iced americano, apa itu benar?" Ia menautkan kedua alisnya, membuat Jihyun terkekeh melihat ekspresinya.
"Bodoh, kekasihmu itu mengajakku kopi darat kemudian marah-marah dan menyiram wajahku."
"Memang ada masalah apa?" Myungsuk masih belum mau menatap Jihyun, ia mengigit kuku tangannya.
"Sunmi menyuruhku untuk menjauhimu. Sepertinya dia cemburu, Myungsuk." Jihyun menghela nafas sebentar, mengambil pena yang tergeletak tak jauh dari mereka.
"Dan sepertinya dia serius soal ucapannya tempo hari." Pemuda Daegu itu tahu betul bagaimana ancaman Sunmi pagi itu. Ia bilang mereka akan putus jika Myungsuk tak menuruti keinginannya.
Dasar anak kecil.
"Aku tahu, Jihyun." Maniknya menoleh ke arah Jihyun, "maksudku ... kenapa Sunmi cemburu padamu? Kukira selama ini dia tidak pernah seposesif itu," ujarnya dengan suara berat.
Jihyun menggeleng, mengedikkan bahunya sambil cemberut.
"Kurasa dia cemburu karena kita terlihat sangat dekat, mungkin." Ia tersenyum canggung.
Myungsuk menggeleng dengan yakin. "Kita ini teman, Jihyun. Kenapa dia harus repot-repot cemburu padamu?" Suara baritonenya kembali terdengar.
"Pacarmu juga tidak pernah mempermasalahkannya, kan?" Ia bertanya lagi, membuat Jihyun langsung mengangguk.
"Ah, jangan khawatir, Myungsuk. Setidaknya dia tidak bilang apapun sejak kita sering bertemu."
Myungsuk menatap Jihyun tak percaya. Ia jadi tidak yakin kalau kekasih partnernya itu adalah manusia. Kalau hanya dengan membuat komik saja Sunmi yang masih remaja keberatan, bagaimana dengan kekasih Jihyun yang usianya pasti lebih dewasa dari mereka. Benarkah zaman sekarang masih ada pria yang tidak masalah kalau kekasihnya menemui pria lain setiap hari? Myungsuk jadi penasaran padanya.
"Hei, Bae Ji Hyun ... sebenarnya orang seperti apa kekasihmu itu?"
****
Sunmi memutar-mutar pensil di tangannya, tak fokus sedari tadi karena mengingat kata-katanya sendiri beberapa hari yang lalu. Sebenarnya ia tak berniat untuk membuat Myungsuk marah, tapi karena perkataannya tempo hari, sampai sekarang kekasihnya itu belum juga menghubunginya.Waktu istirahat akan berakhir sebentar lagi, dan Sunmi masih belum beranjak dari kursinya sejak bel berbunyi. Panggilan dari teman sekelasnya tak ia hiraukan, seolah pikirannya hanya mampu fokus pada satu hal.Pada Hyun Myungsuk yang ia rasa mulai menjauh.Gadis itu menghela nafas berkali-kali, lelah sendiri dengan skenario bodoh yang sudah ia buat. Sunmi mengutuk Myungsuk dalam hatinya. Brengsek, apa dia masih butuh aku, batinnya. Persetan kau, ulzzang brengsek.Lama bermonolog sendiri, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia lekas mengambilnya dan melihat sebuah pesan masuk yang dikirimkan oleh seseorang beberapa detik yang lalu.
Hujan turun secara tiba-tiba malam ini. Padahal, sejak tadi sore belum ada tanda-tanda akan turun hujan, awan mendung pun tak terlihat. Keempat orang yang baru keluar dari restoran itu menatap tak percaya pada jalanan basah di depan mereka. Hujannya sangat deras, dan sialnya Seojin masih punya pekerjaan."Aku harus menyerahkan file ke Bos sebelum dia berangkat ke luar kota besok." Wanita cantik itu mengoceh panjang lebar sejak mereka mendengar suara hujan. Wooseok sudah ingin menutup telinganya rapat-rapat jika saja bukan Seojin yang sedang berbicara seperti kereta api.Aku tidak peduli, Noona. Persetan dengan semua file milik Bos mu, telingaku rasanya mau pecah, batin Wooseok. Tapi ia mengurungkan niatnya untuk benar-benar meneriakki Seojin karena ia ingat kalau pekerjaan tetap pujaan hatinya selain food blogger adalah Chef di salah satu hotel bintang lima. Dan demi Tuhan, Wooseok pernah tak sengaja membuka salah satu file milik Seojin. S
Inbox (1)From: Kang WooseokHai, Noona ... apa kabar? Hari ini sudah makan berapa kali? Perlu kutemani ke supermarket, mungkin? Kapan kita bisa bertemu?Inbox (1)From: Kang WooseokSeojin-noona, kau ada di rumah? Aku ingin bertemu :) ayo kita makan siang bersama~Inbox (1)From: Kang WooseokNoona, hari ini luang tidak? Ayo temani aku ke toko sepatu. Oppa di rumah, kan? Aku jemput sekarang, ya ....Inbox: (1)From: Kang WooseokNoona, hangout bersamaku, ya? Aku bosan. Miss u Noona :(****"Bagus, Seojin ... bagus. Ya, ke kiri sedikit."
Myungsuk menyelesaikan tugas kuliahnya tepat pukul sembilan malam ini. Inginnya langsung tidur dan memimpikan anak anjing yang lucu seperti kemarin, tapi sepertinya ia harus mengubur semua keinginannya sekarang, karena lagi-lagi sesuatu bernama deadline terus membuat kedua matanya tetap terjaga semalaman penuh.Ia tidak ingat kapan Jihyun kembali ke rumahnya hari ini. Sejak pagi mood pemuda itu benar-benar buruk. Ia mencoret gambar yang sudah hampir jadi, lalu menggambarnya kembali dengan asal-asalan. Tentu saja hal itu membuat Myungsuk semakin lama mengerjakan gambarnya. Belum lagi jam kuliah yang harus ia kejar. Ini semua benar-benar berat jika dipikir berulang kali, tapi mau bagaimana pun, ia sudah terlanjur mengerjakan semuanya.Pertengkaran dengan Sunmi masih belum selesai. Gadis Busan itu bahkan masih belum menghubunginya sampai sekarang. Tadi pagi Myungsuk menemuinya ke sekolah, bermaksud untuk meminta maaf. Namun sepertinya mood Su
"Dantae-ya, kenapa membeli jajangmyeon di jam segini? Apa kau sangat sibuk akhir-akhir ini?"Dantae kenal baik dengan paman penjual jajangmyeon yang ada di kedai ini. Beliau biasa membuka kedainya dari pukul tujuh malam hingga pukul dua pagi. Biasanya, Dantae makan di sana bersama Wooseok atau Seojin. Tapi sesekali saat Jihyun berkunjung ke Seoul sebelum ia pindah, mereka juga suka kencan di sana, atau membeli jajangmyeon untuk dibawa pulang. Tapi malam ini, tidak ada seorang pun yang bersama Dantae hingga membuat lelaki paruh baya itu bertanya."Ke mana Wooseok dan Seojin?" Ia kembali bertanya sebelum Dantae menjawab.Pria Daegu itu hanya tersenyum sambil mengambil uang kembalian yang diberikan si lelaki paruh baya. Kalau Jihyun tidak sedang merengek seperti tadi, ia pasti akan pergi bersamanya ke kedai ini."Mereka sedang tidak bersamaku. Aku membeli ini untuk kekasihku, dia tiba-tiba ingin makan j
Ini sudah satu jam sejak kepergian Dantae, dan Jihyun masih belum mendapati kekasih cueknya itu kembali. Tidak mungkin Dantae diculik, kan. Lagipula siapa yang mau menculik orang kaku dengan raut wajah datar sepertinya.Tapi lama-lama ia kesal juga.Gadis itu mencoba untuk menghubungi kekasihnya lagi. Lima belas menit yang lalu, ia mengirim pesan pada Dantae tapi sama sekali tak mendapat balasan. Kali ini Jihyun mau langsung meneleponnya saja. Percuma dikirimi pesan lagi kalau tidak ada satu pun balasan.Ia mencari nomor Dantae dan menghubungi, namun tak ada jawaban sama sekali. Teleponnya tersambung tapi tidak diangkat. Sial, ke mana perginya pria cuek itu. Jihyun sudah mengantuk sekarang. Padahal ia ingin melupakan kejadian soal pertengkarannya dengan Sunmi di Coffee Shop itu dengan menghabiskan waktu istirahatnya dengan Dantae. Masa bodoh dengan wangi parfum di baju Dantae kemarin, yang jelas sekarang ia perlu kekasihny
Dantae memutar-mutar pensil di tangan kanannya. Pria Daegu itu masih belum menghasilkan lirik apa pun hari ini. Tangan kirinya ia gunakan untuk memijit pelipis yang terasa pening. Pertengkaran dengan Jihyun semalam masih mengganggu pikirannya, membuatnya tidak fokus bekerja. Ini hari minggu, tapi rasanya seperti tak ada libur dalam kamusnya.Wooseok tidak datang hari ini, katanya ada janji makan siang dengan Seojin-noona. Sedangkan dia harus rela pergi ke studio di jam yang sama seperti hari kerja. Mungkin itu juga yang membuat Jihyun tambah marah sekarang. Gadis itu bahkan tega mengabaikan seluruh teleponnya.Dantae ingat apa yang terjadi tadi pagi. Jihyun terus diam dan itu berarti dia benar-benar marah. Pukul empat lebih tiga puluh menit ia memarkir mobilnya di depan kantor penerbit BoRa, dan ia harus memaksa kekasihnya agar mau bicara padanya sepanjang perjalanan. Marahnya Jihyun yang paling menyeramkan adalah diam, dan Dantae sudah ja
Beomgyu tidak mengajak Jihyun makan siang di luar. Pemuda itu memesan delivery dengan alasan agar tugas mereka bisa tetap dikerjakan sambil makan. Beomgyu banyak menghibur hingga membuat Jihyun tertawa. Sepertinya pemuda itu akan masuk ke dalam list teman baiknya setelah ini."Kau tahu apa yang paling lucu mengenai tetangga lama yang aku ceritakan ini?" Ah, ya. Mereka sedang membicarakan tentang tetangga lama Beomgyu beserta kekonyolan dalam pertemanan mereka sejak tadi. Jihyun hampir tak berhenti tertawa, karena demi apa pun, kedengarannya teman lama Beomgyu ini adalah orang yang bodoh."Apa, Oppa? Apa?" Jihyun berujar tidak sabar, menatap Beomgyu dengan manik berbinar. Beomgyu menepuk-nepuk pahanya sendiri untuk menghentikan tawanya."Dia suka sekali meminjam celana pendekku dan lupa mengembalikannya."Jihyun tertawa lagi."Oh, iya! Dia juga seperti kakek-kakek, kerjaannya hanya tidur se