Zoo nggak janji lagi bisa update kapan. Maaf jika updatenya lama, karena setiap karya dan penulis memiliki kesulitannya sendiri. Terima kasih sudah membaca novel ini dan dukungan semuanya Jaga kesehatan dan selalu bahagia. Happy Reading~
Astro tidak habis pikir dengan keseharian Tiara. Semuanya tidak ada yang berguna, kecuali saat gadis itu kuliah. Astro mengamati peradaban Manusia yang unik. Berjalan cepat dan singkat. Mungkin itulah kenapa teknologi dipergunakan untuk mempermudah pekerjaan, bukan lagi sebagai pelengkap. Dengan waktu hidup manusia yang sangat pendek itu menjadi sangat jelas. “Ih! Kamu malah diam saja. Memang nggak kelihatan sih, tapi bantu sedikit dong. Pinjamkan aku sihirmu.” Satu alis Astro terangkat setengah. Tiara kalau tidak mengoceh dengan segala pemikirannya yang rumit, ia akan merengek seperti anak kecil. “Oy! Kok diam aja sih?” “Apa yang harus saya lakukan, Nona?” “Apa kek, tarik itu orang ke sini juga nggak papa.” “Baikla-“ “Tunggu!” Tiara berteriak menghalangi Astro yang akan menjentikkan jarinya. “Nggak, nggak usah. Aku sendiri yang akan ke sana. Huh!” Dengan kaki menghentak Tiara mendatangi Ilham. Entah ulah apa lagi yang akan Tiara lakukan. “Selamat pagi para lelaki tampan.” Ti
“Astro, kamu tahu Ammon menyayangimu, kan?” tanya Tiara. “Kenapa menanyakan hal itu?” Tiara memutar tubuhnya dengan kursi kerja kebanggannya. “Aku sedang menganalisa sesuatu. Akan lebih akurat kalau aku menanyakannya langsung padamu.” “Ya, kami cukup akur,” jawab Astro sesingkat itu. Bagi Tiara saat Astro bersikap dingin seperti karakter yang ia tulis, membuatnya bangga. Seperti merasa benar-benar bicara dengan Astro. “Tapi saat kamu izin ke dunia manusia ... tidak, selain itu kalian bertengkar bukan pura-pura, kan?” “Jangan mengimajinasikan hal yang aneh-aneh Nona. Itu membahayakan alur ceritanya.” Astro menurunkan buku yang ada di depan wajahnya dan menatap langsung pada Tiara. “Nona tahu konflik yang terjadi, kan? Banyak faktor, dan salah satunya idealis kami berbeda. Tapi bukan berarti kami membenci, walau terlihat tidak saling menyukai.” “Hubungan yang unik, aku tidak memikirkannya sama sekali. Saat aku menulis, aku begitu iri dengan Ammon dan-“ “Itu juga tidak salah.” Astr
Sisca meneguk salivanya melihat porsi makan Tiara. Kalau ada Bayu pasti sudah dimarahi, sedangkan Ilham pasti tidak mau ambil pusing, jadi tidak ada yang menegurnya. Sisca pun tidak bertanya langsung dan hanya mengira-ngira selapar apa gadis itu setelah menulis 6 lembar polio seorang diri. Selain itu ... sampai saat ini Sisca seperti dihantui dengan pikirannya sendiri mengenai mimpi? Entah, rasanya begitu nyata untuk Sisca anggap hanya sebuah mimpi. Mengenai suara hutan yang mengungkit seseorang dan mengaitkannya dengan Tiara. Semakin Sisca berusaha melupakan ingatan itu, semakin membuatnya penasaran. Setidaknya jika itu benar-benar mimpi, tidak mungkin Sisca mengingatnya dengan detail tanpa melupakan satu hal pun. Bahkan skenario saat dirinya di dalam toilet, jelas-jelas ia sudah selesai kelas dan ingin konsultasi. Tapi saat terbangun ia masih di dalam kelas itu. Setelah Sisca bertanya pada temannya materi yang dipelajari hari itu, sama dengan ingatannya di dalam mimpinya. Dan yang
Tiara yang baru berdiri merasakan seperti menginjak sesuatu. Melihat ke bawah, ia menemukan dompet yang dikanalinya. “Eh, inikan punya Sisca.” Tiara memberiunjuk pada Ilham setelah memungutnya. “Loh, lo nemu di mana? Bahaya banget dompet yang ketinggalan.” “Gue nemu di bawah.” “Hm ... apa mungkin jatuh pas gue ngambil tas dia?” Tiara mengangkat bahunya. “Telepon Sisca gih, bilang dompetnya ketinggalan.” “Iya gue hubungin dulu, ayok sambil jalan. Ramai banget di sini.” Tiara dan Ilham pergi ke parkiran untuk sekalian pulang. Lebih tepatnya mereka harus ke kantor T&J Publishing lebih dulu, untuk bekerja sebagai penulis dan manager. “Gimana? Apa kata Sisca?” tanya Tiara setelah melihat Ilham selesai berbicara di telepon. “Dia juga baru sadar dompetnya nggak ada. Bisa-bisanya dia ceroboh, tidak seperti dirinya. Gue jadi khawatir habis lihat dia bengong kayak tadi.” “Iya, kan? Kok gue deja vu ya?” “Maksud lo?” Tiara tidak bisa mengatakan pemikirannya lebih lanjut. Karena itu tida
Hanya jalan kaki sampai kampus sekitar 15 menit. Estimasi keterlambatan 10 menit setiap mata kuliah, dan Tiara baru ingin berangkat 10 menit sebelum mata pelajaran dimulai, itu sebabnya gadis itu kebingungan sendiri memasukkan apa yang dibutuhkannya ke dalam tas. “Udah semua, ayo berangkat!” Baru memegang knop pintu Tiara teringat dengan dompet Sisca yang harus dibawanya. “Astaga ... untung ingat.” Ia balik lagi mencari tas yang kemarin dipakainya. Karena terburu-buru Tiara mengeluarkan semua isi tasnya. Dompet Sisca yang keluar pun sampai jatuh sembarang dengan terbuka. “Ini aja, kan? Apa lagi gue yang lupa ya?” Tuk~ Sebuah kertas keluar dari dompet Sisca. Karena buru-buru Tiara menyelipkannya asal di dompet dan berlari untuk berangkat kuliah. *** Di depan kelas Tiara mengatur napasnya dulu. Setelah itu, ia masuk dan duduk di paling belakang karena memang dekat dengan pintu masuk dan juga bagian depan sudah penuh. Dengan jarak yang jauh, untuk menjangkau layar presentasi Tiara me
“Gimana keadaan Sisca? Lo udah anterin dia dengan benar, kan?” Tiara yang begitu khawatir langsung menghampiri Ilham. Baru saja Ilham sampai setelah mengantar Sisca pulang. Saat Tiara mengantar Sisca ke klinik kampus, seperti tersadar atau terbangun, Sisca meminta untuk pulang dengan emosional. Tiba-tiba gadis itu menangis tanpa alasan yang jelas. “Kondisinya memang mengkhawatirkan, tapi seharusnya tidak apa-apa. Apa kamu mendengar sesuatu dari Sisca, Ham?” Bayu sampai berbicara cukup panjang karena merasa aneh juga. Karena dari yang ia tahu, hal seperti itu bisa terjadi jika ada trauma atau luka lama yang terungkit. Dan Tiara sudah cerita jika tidak ada apa-apa sebelum Sisca mengalami hal itu. Ilham melempar kunci mobil Bayu yang ia pinjam. “Tidak ada, dia dingin seperti biasanya. Gue sampai nggak percaya dia habis nangis.” “EH?” Tiara dan Bayu keheranan bersama. “Maksudnya gimana?” tanya Tiara. “Ya gitu, setelah naik mobil Sisca emang hanya diam. Tapi pas udah sampai dia menguc
Ruangan kosong berwarna hijau toska polos, dihiasi meja dan kursi putih dengan satu buah laptop di atasnya. Itu adalah fasilitas yang Penulis Tiran dapatkan sebagai penulis eksklusif di T&J Publishing. Gadis yang tidak lain adalah Tiara, mondar-mandir memikirkan pola seperti apa cerita itu bisa ter-update. Bab 10 sampai bab 12 yang terkirim ke email editor berisikan cerita yang sedang ditulis oleh Tiara, dari apa yang Astro alami saat dipenjara di dalam kediamannya, sampai karakter Tiara bisa melihat Astro di dunia nyata. Benar, keseharian Tiara bersama Astro beberapa hari ini tertulis rinci begitu saja. “Lihat itu! Aku hanya menulis apa saja yang kamu ceritakan. Kenapa naskah yang tadi ... Kamu membacanya sendiri, itu bukan tulisanku.” Emosi meledak di dalam pikiran Tiara. Keputusasaan, tertekan, dan kebingungan. Sosok Astro ada di hadapannya saja sudah membuatnya gila, kini terlihat jelas jika Tiara menjadi karakter novelnya sendiri. Dan konyolnya, bagian karakter Tiara muncul,
Ini aneh, Tiara merasa tatapan orang sekitar begitu tajam dari biasanya. Bahkan lebih dari kehebohan yang pernah ia buat karena mengungkapkan diri sebagai Penulis Tiran. Tidak, ini memang berbeda. Saat itu lebih seperti antusias. Setiap langkahnya, ada saja yang meminta tanda tangan Tiara sebagai Penulis Tiran. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Saat menoleh, mereka pun yang memperhatikan Tiara langsung memalingkan pandangan. Bukan tatapan kagum, rasanya lebih tajam dan menusuk. Tanpa ambil pusing Tiara mencari tempat duduk paling belakang di kelas. Menurutnya, jadi pertahanan belakang itu bisa tidur saat pelajaran. “Good morning, Tiara!” Sisca yang mengambil duduk di samping Tiara, mengernyitkan keningnya. Seperti ada yang redup dalam diri Tiara. Mengelilingkan pandangan, Sisca sepertinya mengerti. “Ti, kalau nggak mau ikut kelas kita bolos yuk?” Tiara yang menidurkan dirinya di atas meja, menegakkan tubuhnya. “Pasti banyak yang memandang gue gila.” “Biasanya juga begitu.” Sring~ k