Karena hari libur, Tiara hanya berbaring menatapi ponselnya. Balasan pesan yang ia tunggu-tunggu tidak ada kelanjutan, padahal ia sudah spam termasuk sosial medianya juga.
Tiara ingin mengajak Bayu pergi keluar. Tidak ada lagi teman yang bisa diajak, Sisca ada urusan keluarga dan Ilham sibuk kerja sampingan dengan Madam Asri.
Dengan rasa tanggung jawab ingin Tiara membuka laptopnya untuk menulis, tapi rasanya mual, tidak ada yang bisa membuat Tiara menulis.
Tiara sempat terlintas sebuah alur percintaan dengan latar belakang keranjaan Tiongkok bergenre fantasi. Sebuah kisah tragis yang berakhir pengorbanan sang Guru untuk negara dengan keegoisan cinta seorang pemuda, tidak lain murid Guru tersebut.
Sementara Tiara ingin menulis terlebih dahulu di ponselnya untuk memulai adegan apa yang cocok untuk pembukaan, kepala Tiara berasa berdenyut. Seketika sebuah memori muncul hingga membuatnya jatuh dari kasur sakin terkejutnya.
Bruk!
Zoo nggak janji lagi bisa update kapan. Maaf jika updatenya lama, karena setiap karya dan penulis memiliki kesulitannya sendiri. Terima kasih sudah membaca novel ini dan dukungan semuanya Jaga kesehatan dan selalu bahagia. Happy Reading~
Ponsel bukan lagi untuk hiburan. Sudah 2 jam Tiara menunggu, dari yang awalnya masih cerah, sekarang mulai gelap. Lampu-lampu taman mulai dinyalakan, nyamuk mengganggu, dan sekitar lebih sepi dari sebelumnya. Ya, hari ini adalah hari libur. Terbesit untuk kembali saja. Sudah mengirim pesan pun tidak ada tanggapan, tapi yang Tiara tahu Bayu bukan orang yang akan mengingkari ucapannya sendiri. Bermodal keyakinan itu, apapun yang terjadi Tiara akan menunggu. Banyak waktu yang terbuang percuma, sudah batas Tiara untuk menunggu. Hawa dingin malam semakin menguji kesabaran Tiara, 4 jam terasa sebentar namun dilewati dengan cukup berat. “Kenapa hatiku sakit ya?” tanpa sadar air mata Tiara menetes. Jika diingat lagi bukan hanya 4 jam, tapi 4 tahun Tiara munggu Bayu yang terus mengacuhkan cintanya. “Ck! Gue jadi mengait-ngaitkan hal yang nggak jelas. Seenggaknya malam ini cerah, bintang yang biasanya nggak kelihatan malam ini terlihat beberapa, apa lagi sekarang bulan
“Bayu!” “Bayu~” “Bay Bay Bay!” “Oh Baby Bayu!” Tidak kenal waktu dan tempat, Bayu jengah dengan Tiara terus berada di sekitarnya. Menurut Bayu, Tiara itu bukan orang yang layak diberikan hati, karena balasannya sejuta hati yang merepotkan. “Ada apa? Akhir-akhir ini lo makin nempel aja sama Tiara. Udah luluh lo?” ledek Ilham melihat tingkah gelisa Bayu saat Tiara semakin mendekat. “Kayaknya gue harus pergi.” Buru-buru Bayu membereskan bukunya. Ingin ia bangkit dari kursi, namun ditahan oleh Ilham. “Nanti dulu, gimana lo bisa buat Tiara balik lagi kayak dulu? Lo lihat tuh, dia udah bisa loncat-loncat.” Tunjuk Ilham yang mana Tiara berlari begitu kegirangan hanya untuk menghampiri Bayu. “Nggak ada apapun, memangnya Tiara kenapa? Dia kan memang selalu begitu.” Ilham memutar matanya, Bayu ini sangat cerdas tapi sangat bodoh persoalan cinta. “Lo emang nggak tahu atau pura-pura nggak tahu? Lo pikir kemarin-kem
Gorden dibuka lebar memberikan penerangan penuh pada kamar lelaki yang mendapat gilaran pertama pemeriksanaan. “Wah ... benar-benar seorang Manager, kayaknya terakhir gue tinggalin kamar lo nggak serapi ini deh.” Tiara tidak habis pikir jika kamar laki-laki bisa begitu rapi. “Ya lo jorok! Habis pakai kamar orang tuh dibersihin lagi. Handuk basah dicampur cucian baju, selimut dilipat tapi kasurnya nggak digibrasin dulu. Gue nggak mau minjemin kamar gue lagi!” Brak! Tiara dan Ilham terkejut dan menoleh ke arah sumber suara. Bayu yang berdiri di dekat meja belajar dengan wajah datarnya hanya melihat telapak tangan yang memerah. “Ada apa dengannya?” bisik Tiara yang seketika merasa seram. Ilham mengendikkan bahunya, ia hanya mengamati tingkah Bayu yang aneh itu. Keheningan hampir membunuh semua yang ada di kamar. Suasana menjadi tegang saat tidak ada yang berani mengeluarkan suara. “Ehm! Sepertinya baik-baik aja di sini, ya
“Apa maksudnya Ilham bertanggungjawab atas Tiara? Apa hubungan kalian?” Pertanyaan itu mengejutkan Ilham dan Tiara. Lampu hijau yang terang-terangan Bayu nyalakan seperti petir di siang bolong. “Nggak ada urusannya juga kan sama lo? Anggap saja seperti ini, dari kecil Emak gue selalu nitip gue ke Ilham, karena sekarang ada lo jadi bagi-bagi tugas gitu. Lo patroli keseharian gue dan Ilham jadi satpam waktu belajar gue.” Tiara menjelaskan sekenanya. Ilham maju saat melihat Bayu tidak mempercayai perkataan Tiara. “Kita omongin ini di tempat lainnya aja, agak sensitif kalau Tiara dengar. Sekarang ikuti keinginan Tiara saja dulu, mohon mengertilah.” Ilham berbisik untuk menarik rasa penasaran Bayu. Ia juga mengedipkan satu matanya pada Tiara memberi kode, jika ia yang akan mengurusnya. “Udah ayo kita lanjut makan-makannya. Bayu, bantuin gue bawain piring-piring ini.” Dengan tanggap Tiara mencairkan keadaan. Walau sedikit tegang dan canggun
Gedung falkutas kedokteran, Ilham mencari Bayu, ia bertanya kebanyak orang di sana namun tidak melihatnya. Tidak biasanya Bayu belum ada di kampus satu jam sebelum kelas dimulai. Ilham yang sudah menyerah akan kembali ke gedung falkutasnya, tidak sengaja melihat lelaki jakun berjalan dengan buku ditangannya di seberang jalan. Sangat mudah dikanali si kutu buku yang terlihat keren itu. “Bayu!” panggil Ilham berteriak. “Bay! Bayu!” Nampaknya lelaki jakun itu tidak mendengarnya, saat dilihat lebih teliti Bayu menggunakan earphone di telinganya. Jarak yang semakin jauh membuat Ilham mau- tidak mau lari. “Hei!” Ilham memanggilnya lagi sambil menepuk pundak Bayu. Melihat Ilham yang membungkuk dengan napas tersegal-segal membuat Bayu mengerutkan keningnya, lalu melepas earphonenya. “Ada apa?” “Hah hah ... tunggu, kasih gu-e napas.” Bayu tidak mengatakan apapun seakan bebar-benar memberi waktu. Padahal
Keringat merembas piyama. Napas yang tersegal mendominasi suara. Pandangan kosong menggiring ingatan pada potongan-potongan cerita yang terlihat jelas membuat bulu kuduh Tiara merinding. “Apa itu? Kenapa begitu nyata?” Tiara mencoba berpikir logis untuk menutupi rasa takutnya. Namun, di dalam diri Tiara merasa sesuatu yang memilukan setiap isi mimpinya terngiyang. Tangannya yang menyentuh dada terasa sakit, kesedihan seakan ditahan untuk membohongi diri sendiri. “Astro ... Ah! Apa aku benar-benar sudah gila?” *** “Hm, jadi begitu ....” Saat ini seorang psikolog dengan papan tulisnya mendengarkan keluhan Tiara. Mimpi yang katanya terasa nyata. “Maaf sebelumnya jika lancang, apa Penulis Tiran mengalami halusinasi?” “Tidak, tapi ....” Tiara menggantungkan jawabannya. “Tapi?” “Sebelum season kedua di-publish saya merasa ada yang meneror. Dokter, mungkin saat itu saya berhalusinasi.” Mencoret-coret p
Membaca kembali apa yang sudah ditulisnya, Tiara merasa begitu dekat dengan mimpinya itu. Saat ini Astro sedang berada di dunia Imajinasi dengan situasi yang mengancam nama baiknya di dunia Suku Dewa. “Apa yang gue bayangkan saat ini? Idekah? Tapi kenapa hati gue bertentangan dengan apa yang gue pikirkan?” Tiara merasa firasat buruk jika ia menulis apa yang ada di kepalanya. Cerita yang tidak adil untuk Astro. “Kanapa juga gue ambil pusing? Selama ini fine-fine aja, karena dia antagonisnya.” Tiara membiarkan dirinya menulis apa yang ada di kepalanya. Visualisasi kejadian terasa jelas membuat Tiara begitu mengekpresikannya walau itu hanya sekedar tulisan. Ctak! Berhenti di enter. Mata Tiara mengarah pada rak bukunya. Ia teringat saat terjatuh dari tempat tidur, sebuah buku jatuh sendiri dan Tiara mengembalkannya. Menyusuri setiap buku semua tersusun rapi- Tunggu! Di dalam mimpi Astro membereskan kekacauan yang
“Jadi ... lo percaya teori kayak gitu? Maksud gue, hal mustahil semacam tokoh novel yang memiliki kehidupan sungguhan yang nyata?” Sisca mengendikkan bahunya. “Gue lebih percaya kalau ada yang namanya dunia paralel. Ada dunia atau kehidupan lain di dunia ini, sama-sama hidup berdampingan dengan kita di bumi. Banyak misteri yang belum terungkap di dunia ini.” “Hm ... gue setuju, tapi gue nggak percaya.” Untuk sekedar pembicaraan random, Sisca merasa Tiara mencoba mengarahkannya ke hal yang lebih dalam. “Ya itu hak lo, tapi gue jadi penasaran apa yang membuat lo nggak percaya saat lo setuju dengan pernyataan gue?” “Artinya setiap penulis novel membuat kehidupan lain di dalam karyanya, dan bisa disebut sebagai Tuhan yang bisa menciptakan kehidupan pada karya tersebut.” “Jadi pembahasan lo ke arah sana ... Saat penulis merasa dirinya yang benar-benar menciptakan apa yang ditulisnya sebagai karya ciptanya dan mengaku dirinya Tuhan.