Manusia selalu hidup dengan memaksa aturan dan menuntut semuanya terjadi, namun saat kehendaknya tak berjalan sesuai kemauan maka akal sehat tak lagi bekerja. Hal itu yang terjadi pada Ayah Kaluna. Kaluna terdiam di teras sebuah panti asuhan yang dekat dengan sekolahnya. Sepeninggalan sang ayah seminggu yang lalu, para tetangga mengusulkan untuk sementara Kaluna dan adiknya tinggal di sini sampai kenalan mereka datang. Hal itu hanya dituruti Kaluna walaupun sendirinya tahu tidak akan ada orang yang datang menjemputnya. Semua orang itu telah Kaluna bunuh dalam ingatannya semenjak mereka menolak dengan keras keluarga Kaluna yang sedang kesusahan.
Eyangnya, orang tua kandung Ayah tak pernah membukakan pintunya sekalipun setelah mengetahui kasus yang menimpa sang anak. Begitu pula dengan om dan tantenya. Bahkan sepupu terdekat Kaluna juga ikut menjaga jaraknya.
Neneknya, Ibu dari Ibu Kaluna mengatakan kekecewaannya yang terbesar kepada anak dan menantunya. Neneknya dengan tegas tidak bisa membantu apapun selain menyarankan keluarganya untuk pergi dari kota itu dan memulai kehidupan tanpa mengganggu mereka lagi.
Pada akhirnya semua menolak Kaluna dan keluarganya. Tak ada yang menerima mereka dengan senyum merekah seperti dulu. Tak ada lagi pelukan hangat dari Eyang ataupun sang Nenek saat Kaluna datang, tak ada lagi.
Dan setelah orang tuanya pergi untuk selamanya, Kaluna juga tak ingin kembali ke neraka itu lagi. Meskipun dirinya tak tau alasan pasti mengapa orang tua nya bisa jatuh sejatuh jatuhnya, namun Kaluna cukup bisa membaca situasi yang terjadi. Tidak ada yang menginginkan Kaluna lagi di sana dan Kaluna harus sadar diri akan hal itu.
Lamunannya kembali berkelana ke malam sebelum ayahnya meninggal. Kala itu keduanya duduk berdua di balkon selepas maghrib. Ayahnya mengadahkan kepala keatas menatap bulan yang kala itu bersinar terang.
“Ayah suka bulan?” tanya Kaluna.
Sang ayah tersenyum lalu membalas, “Ada alasan kenapa Ayah memberi kamu nama Kaluna.”
“Apa itu?” tanya Kaluna lagi.
“Bulan yang tak tergantikan,Kaluna,” ujar Sang Ayah.
“Ibu pernah bilang kalau lebih suka bintang,” ucap Kaluna.
“Iya, Ibumu sangat suka bintang makannya kita sering bertengkar hanya karena topik lebih terang bintang atau bulan,” kata Ayah.
Kaluna ikut mengadah dan melihat bulan yang bentuknya bundar itu.
“Ibu udah jadi bintang sekarang Yah,” ucap Kaluna sambil menunjuk kearah bintang terang yang setia disamping bulan.
“Ibumu sudah memenuhi impiannya sayang,” balas Sang Ayah.
Kaluna mengangguk namun juga dalam hati nya menyimpan kerinduan. Meskipun Ibunya bukan termasuk sosok Ibu yang dekat dengan anaknya namun Ibunya adalah Ibu terbaik untuk Kaluna. Sang Ibu tak pernah bosan mengingatkan Kaluna jika dia lupa akan sesuatu, tak lupa selalu mengajari Kaluna untuk menjadi orang baik serta selalu menjadi orang nomer satu yang akan memarahi Kaluna habis-habisan jika dirinya berbuat salah. Sang Ibu tidak akan membela anaknya jika Kaluna atau sang adik lah yang bersalah. Tapi meskipun begitu, sosok Ibunya tetap yang terbaik sampai saat ini.
“Luna, dengerin Ayah ya-” ucap Sang Ayah.
“Luna dari tadi dengerin Ayah,” potong Kaluna membuat Ayahnya tertawa kecil.
“Apapun yang terjadi nanti, Ayah cuma mau Luna ngerti kalau Ayah dan Ibu selalu sayang Kaluna dan adik. Gak pernah sekalipun Ayah pernah menyesal dengan semua keputusan Ayah, karena semuanya Ayah lakukan untuk keluarga kita. Luna dan adik selalu jadi anak kesayangan Ayah dan Ibu, jangan pernah berpikir kita meninggalkan kalian karena kita akan selalu sama kalian.”
Kaluna tersenyum miris, karena pada akhirnya dirinya merasa ditinggalkan sekarang. Kaluna selalu mencoba untuk mengerti namun sampai sekarang Kaluna belum paham mengapa Ayahnya memilih untuk menyerah dan menyusul sang Ibu.
“Pada akhirnya Ayah menyerah dan meninggalkan kami,” monolog Kaluna.
Kaluna kembali menatap selembar kertas yang waktu itu pernah ayahnya berikan. Sebuah nama, nomor telfon dan sebuah alamat tertera disana. Jika Kaluna tahu kalau omongan ayahnya kan menjadi nyata dengan cara seperti ini, Ia bisa saja memarahi sang Ayah habis-habisan agar kembali sadar dan melanjutkan hidup.
***
Kaluna melangkahkan kakinya menuju alamat yang sudah seharian ini dicarinya. Sepulang sekolah tadi kaluna menjemput adiknya dan kembali ke panti, namun selepas makan siang dirinya pamit kepada Bu Ridha untuk mengunjungi suatu tempat. Iya, alamat yang ada di kertas peninggalan sang ayah.
Kaluna sudah sampau di depan sebuah rumah modern yang cukup besar namun terlihat sepi dari luar. Akhirnya Ia memutuskan untuk bertanya pada satpam.
“Permisi pak, ini benar alamat yang sama dengan yang ada disini ya pak?” tanya Kaluna dengan menunjukkan kertas miliknya.
“Iya dek, tapi bapak sedang tidak di rumah,” ujar Satpam tersebut.
Kaluna mengangguk dan hanya bisa menghela nafasnya. Ia tak ingin memaksa lebih jauh lagi. Mungkin besok Ia bisa kesini lagi.
Keesokan harinya Kaluna kembali lagi ke sana, namun satpam yang kemarin tetap pada jawabannya. Pemilik rumah sekaligus orang yang Ia cari akan pergi dalam waktu yang lama sehingga Kaluna tidak bisa menemuinya dalam waktu dekat.
Kaluna menyerah, Ia tak akan lagi kembali ke sana. Mungkin peninggalan terakhir Ayahnya juga tidak membantu apapun selain menghasilkan sebuah kesia-siaan. Kini Kaluna harus bias berdiri dengan kakinya sendiri dan mencari cara agar tetap hidup dan bisa menghidupi Sang Adik juga.
Kaluna memantapkan hatinya untuk bertahan. Dia tahu bahwa Ia dan adiknya tak bisa mengandalkan bantuan panti asuhan selamanya sehingga mulai dari sini Kaluna memutuskan untuk mencari tambahan uang.
Awalnya Kaluna membuka jasa menggambar tugas untuk teman-temannya, dan hasilnya lumayan banyak untuk mencukupi uang jajannya dan Sang Adik. Kaluna juga menerima tugas untuk mengerjakan beberapa tugas seni lainnya.
Kaluna juga mencuci piring di salah satu warung didekat panti untuk mendapatkan upah. Semuanya Kaluna lakukan diusianya yang masih empat belas tahun. Meskipun sulit, Kaluna harus melakukannya.
Hari ini Kaluna pulang dengan perasaan senang karena telah mendapatkan upah pertamanya dalam sebulan. Namun langkahnya tiba-tiba oleng saat ada segerombolan anak seusianya yang dengan sengaja mendorong Kaluna yang sedang berjalan hingga sekarang gadis itu terduduk di jalan dengan lutut yang berdarah.
“Kalian mau apa?” tanya Kaluna pelan.
Ia tahu siapa-siapa saja yang ada didepannya ini. Yang Kaluna tau anak laki-laki dengan warna rambut sedikit pirang itu adalah kakak kelasnya sedangkan lima orang lainnya adalah antek-antek pribadinya. Kelompok ini sangat terkenal akan keonarannya disekolah dan itu yang membuat Kaluna kini merasa takut.
“Wih, duit nih,” ucap salah satu anak perempuan di sana sambil mengambil paksa uang milik Kaluna yang Ia pegang erat-erat.
“J-jangan,” cicit Kaluna.
Bukannya berhenti, mereka semakin menjadi. Setelah mengambil uang Kaluna mereka bahkan sempat menginjak dan meludahi perempuan itu. Perilaku bengis untuk anak-anak yang duduk di bangku SMP.
Kaluna menangis sejadi-jadinya. Kini dia ditinggalkan dengan lutut yang berdarah dan seragam sekolah yang kotor penuh tanah. Uangnya yang selama sebulan ini ditunggu-tunggu juga hilang karea diminta paksa. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain menangis karena untuk berdiri saja sekarang lututnya sangat sakit.
“Ibu, sakitt,” lirih Kaluna dalam tangisnya.
***
Kaluna menatap wajah adiknya yang sedang tertidur pulas. Dirinya tadi bisa pulang karena bantuan seorang ibu-ibu yang melihatnya terjatuh. Setelah Ibu Panti membantunya membersihkan dirinya serta mengobati luka pada lutut Kaluna. Ia yakin bahwa luka tersebut akan membekas karena lukannya cukup lebar.
Hatinya kembali merindukan sang Ibu karena wajah adiknya sangat mirip dengan ibu mereka apalagi saat tersenyum. Kaluna sebisa mungkin menahan air mata nya. Tiba-tiba menjadi anak yatim piatu dalam waktu satu bulan tentu saja terasa berat dijalani. Ketika anak seumurannya masih bersenang-senang dan bermain, Ia harus bekerja untuk kehidupannya, Ia tak bisa terus menerus bergantung pada uang pemberian panti karena pada akhirnya dirinya harus berusaha berpijak dengan kakinya sendiri.
“Ibu, Luna kangen,” lirih Kaluna.
Ia menutupi tubuhnya dengan selimut, berusaha untuk meredam tangisannya. Ini sudah tengah malam namun gadis kecil ini hanya bisa menangis meratapi nasibnya dan juga merindukan kedua orang tua nya. Kaluna tahu dirinya harus bisa lebih kuat karena hari esok akan lebih sulit dijalani. Namun apakah Kaluna bisa sekuat itu?
Delapan tahun kemudian.Kaluna berjalan menyusuri gang kecil yang temaram karena penerangan yang ada hanya dari sebuah lampu di ujung jalan. Langkahnya pelan karena seharian ini semua tenaganya sudah terkuras habis. Ia bekerja di dua tempat yang berbeda dalam sehari dan hari ini kedua bos nya lagi-lagi membuatnya melakukan pekerjaan yang tidak masuk akal.Rasa letihnya seketika berkurang saat Ia melihat sang adik sedang duduk diteras kontrakan mereka dengan sebuah buku dipangkuannya. Hati Kaluna menghangat, disaat dunia tidak menerima nya dengan baik hanya sang adik yang menunggunya untuk kembali pulang . Ia bekerja keras selama ini berbekal harapan agar adiknya bisa bahagia seperti anak seumurannya. Cukup Kaluna saja yang merasakan semua kepahitan ini, tapi dalam masa depan adiknya nanti Ia tak ingin ada cerita yang sama untuk sang adik.Disaat Kaluna selalu hilang harapan dan menyerah pada dirinya sendiri, Ia bersyukur ada
Kaluna yang tadinya membayangkan akan menunggu sampel dengan santai diruang tunggu akhirnya ikut kelabakan saat Gama menemukan ada kesalahan packaging pada novel yang yang akan diluncurkan minggu depan itu. Seharusnya pembatas buku yang dicetak adalah versi kedua karena ada kesalahan hak cipta pada vectoryang diinginkan penulis pada pembatas buku yang pertama. Dengan cepat Gama menyuruh siapapun orang yang ada disana untuk membantunya mengambil semua bookmark yang sudah tertata rapi didalam buku untuk dikeluarkan dan diganti dengan yang baru- termasuk Kaluna yang memang ada disana.Sekarang ada tumpukan besar buku-buku berjumlah dua ratus novel yang harus mereka buka satu persatu. Tentunya ini akan memakan waktu yang sangat lama. Untung saja tanggal perilisannya masih jauh sehingga masih ada waktu untuk memperbaikinya.Kaluna memutuskan untuk pamit sebentar guna memesan beberapa makanan untuk semua orang karena ini sudah lewat jam makan
“Ya ampun La, aku gak usah ditemenin juga gak kenapa-napa,” ujar Kaluna yang sedang menuangkan soto ayam kuah bening yang tadi Ia beli kedalam mangkok.Sepulang dari kantor Lila mengatakan bahwa dirinya akan menginap. Lila tahu jika hari ini dan tiga hari kedepan Kaluna sendirian di rumah karena Evan pergi olimpiade untuk itu sekitar jam tujuh malam setelah Kaluna sampai dirumah, Lila datang dengan rantang makanan buatan sang ayah. Malam ini makanan di rumah Kaluna melimpah.“Aku takut kamu gak keurus,” cicit Lila.“Enak aja! Aku mandiri tau,” elak Kaluna.Lila hanya bergumam kecil mencibir Kaluna yang sok mandiri walaupun kenyataannya memang benar adanya. Mana bisa menyebut seorang Kaluna tidak mandiri padahal selama bertahun-tahun hidupnya hanya berdua dengan sang adik.Kaluna masuk kekamar guna mengganti baju nya dengan piama. Lila yang sudah selesai menata makan malam mereka akhirnya berteriak karena bosan.
Kaluna menatap cafe tersebut dari seberang jalan. Jalannya terhenti tiba-tiba dan rasa ragunya mulai menyerang. Karena sudah kepalang pusing dengan keinginan salah satu penulisnya, akhirnya dengan sedikit keberanian Ia memutuskan kembali ke Cafe Naluna sesuai usulan Lila. Namun saat sudah sampai disini, Kaluna malah enggan melanjutkan langkahnya.“Mau nyebrang mbak?” tanya seorang laki-laki tinggi menjulang dengan aksen bicaranya yang sedikit unik, seperti ada aksen yang berbeda dengan orang daerah sini.“I-iya mas,” gagap Kaluna.“Hayuk, saya juga mau nyebrang,” ajak laki-laki itu.Kaluna akhirnya hanya bisa menghela nafasnya, pasrah. Mungkin dirinya memang harus merecoki orang asing lagi. Tanpa disangka-sangka laki-laki yang tadi menyebrang dengannya juga ikut masuk ke cafe tersebut. Bahkan Kaluna bisa melihat Delvin menyapa laki-laki tersebut dengan akrab.Kaluna menghela nafasnya. Dengan langkah pelan Ia menu
Kaluna berusaha mengeringkan ujung lengan kemejanya yang tadi tidak sengaja terkena kopi milik Lila saat keduanya makan siang di Cafe Kreatif. Untung saja hari ini Ia tak memakai kemeja putih.Kaluna terseyum sopan saat melihat Joan -editor- keluar dari bilik toilet."Udah makan siang Na?" tanya Joan."Udah ce," jawab Kaluna singkat.Mata Joan menyipit kala melihat tangan Kaluna."Tangan kamu kenapa?" tanya Joan.Kaluna segera membenarkan lengan bajunya yang tergulung."Gak kok ce," ujar Kaluna.Joan sibuk memperbaiki penampilannya sedangkan Kaluna masih mengeringkan lengan bajunya."Kamu tuh kalau aku liat-liat gak pernah pakek kemeja lengan pendek ya Na?" tanya Joan tiba-tiba.Kaluna menenggak ludah dengan susah payah. Joan dikenal sebagai seorang yang perfeksionis dengan penampilan dan fashion seseorang. Dia bahkan bisa mengomentari pakaian anak magang selama satu jam j
"Ibu," panggil Kaluna.Kaluna melihat sosok Ibunya tengah berdiri beberapa meter di depannya. Keduanya kini berada di sebuah danau yang tak asing. Danau yang sama dimana dulu keluarga mereka sering berkunjung. Namun kini ada yang berbeda, Kaluna sadar semua ini hanya khayalannya saja, mana mungkin Ibunya sekarang ada didepannya. Pasti ini mimpi."Kaluna gak kangen Ibu?" tanya Ibu Kaluna.Kaluna mengangguk pelan tapi raut wajahnya masih jelas terlihat bingung."Kaluna kangen Ibu sama Ayah," jawab Kaluna.Lalu sedetik kemudian hatinya terasa lebih ringan, Kaluna tiba-tiba merasa tenang entah karena apa."Ibu sama Ayah gak pernah tinggalin Luna sama Evan," terang Sang Ibu.Kaluna tersenyum, ingin rasanya segera berlari menuju Sang Ibu namun anehnya Ia sama sekali tak bisa melangkahkan kakinya. Ia terus memanggil Ibunya namun Sang Ibu justru pergi menjauhi Kaluna menuju ke sebuah cahaya. Sebisa mungkin Kaluna berte
Kaluna menghela nafasnya kasar. Sekali lagi Ia harus menahan emosinya mendengar para editor bergosip tentang dirinya, dibelakangnya. Ia bisa saja membungkam semua orang dengan kebenaran namun kebenaran itu hanya akan membongkar rahasia seseorang, dan Kaluna tak mau jadi orang yang selancang itu.Gama yang mengetahui semua kebenaran itu hanya bisa menyemangati Kaluna, Ia juga tak mengerti kenapa gosip murahan seperti itu bisa menyebar dengan cepat dalam dua jam padahal masih di jam kerja."Na, tolong hasil akhir layoutnya Penulis Biru kirim ke email ya," ujar Gama."Iya Mas, ini baru selesai langsung aku kirim," ucap Kaluna.Lila hanya bisa menatap sahabatnya dengan sendu dari balik meja, Ia tak bisa meninggalkan mejanya karena mata Bu Dian masih melihat kearahnya. Atasannya itu sepertinya menaruh dendam terlebih pada Lila entah karena apa.Efek dari gosip itu ternyata membawa perubahan yang pesat, tak ada lagi sapaan m
Kaluna melangkahkan kakinya tanpa gentar saat memasuki kantor. Ia sebisa mungkin menutup telinga atas semua omongan teman kantornya yang kian menggila. Banyak rumor yang dibumbui dengan garam membuat kobaran api semakin membara, namun hal itu bukan berarti menghentikan langkahnya, Ia harus bekerja untuk adiknya. Mereka yang mencaci Kaluna juga tidak membayar gajinya, jadi untuk apa didengarkan. Kaluna juga tak bisa menutup mulut semua orang, Ia hanya perlu menutup telinganya.Kaluna melakukan pekerjaannya dengan baik hari ini bahkan mendapat pujian dari Gama dan Bu Dian, namun pada dasarnya semua mata sudah tertutup dengan rumor yang membuat Kaluna justru dibenci bukannya ikut diapresiasi.Kaluna melangkah pergi dari gedung kantornya dengan langkah gontai. Ia harus segera pulang untuk menemui Sang Adik yang tadi siang tiba tanpa ada yang menyambut. Tak lupa Kaluna juga mampir ke warung nasi padang untuk makan malam mereka berdua.Hari ini dan hari-ha