Fatih diam menunggu dokter yang sedang memeriksa mamanya di dalam ruangan. Zhein nampak terlihat santai dan otaknya terus berpikir mengingat siapa Fatih sebenarnya. Baru kali ini. Zhein bertatap muka secara face to face dengan tatapan yang begitu dalam dan lama.Sedangkan Fatih, ia terdiam memikirkan Mamanya yang tiba -tiba saja terjatuh. Apa yang terjadi selama satu tahun ini setelah kepergiannya? Apa ada orang jahat yang ingin mencelakai Mamanya? Padahal Papah Lukman sudah lama tiada."Keluarga pasien?" panggil dokter yang keluar dari ruangan kecil itu setelah memeriksa Mamanya."Iya. Saya Fatih, putra kandung pasien. Apa yang terjadi dengan Mama saya, dokter," tanya Fatih penasaran."Mama kamu sudah lama mengidap penyakit jantung. Kali ini kambuh lagi dan sepertinya kamu harus menjaga benar kesehatan Mama kamu. Jika tidak, hal seperti ini bisa terjadi lagi, dan mungkin bisa tidak tertolong lagi," ucap dokter itu memberi tahu."Tolong Mama saya, dokter. Sembuhkan Mama saya, berapa
Malam ini Sean menginap di rumah Pinka. Sean berjanji untuk tetap bersama Pinka, apapun yang terjadi. Semua barang Sean yang berada di mess pun sudah di pindahkan ke rumah Pinka.Pinka sama sekali tidak keberatan dan justru moment seperti inilah yang Pinka harapkan. Lelaki yang ia cintai kembali dalam pelukannya dan mulai mengendari kapalnya yang sempat terhenti karena rapuh.Kesempurnaan cinta, ketulusan rasa sayang dan indahnya berumah tangga selalu menjadi impian Pinka setelah melahirkan Adzan. Tidak setitik pun keburukan di pikiran Pinka untuk menggantikan posisi Sean dengan yang lain termasuk Reno, lelaki yang sudah jelas -jelas akan meminang Pinka.Ranjang besi yang berukuran queen size itu kini tak kosong lagi. Ada Pinka dan Sean yang telah merebahkan tubuh mereka dan sudah berada di bawah selimut.Sean meletakkan ponselnya saat Pinka sudah duduk dan ikut berbaring di sampingnya."Adzan sudah tidur, sayang?" tanya Sean yng langsung meraih tubuh Pinka untuk di peluk dengan erat.
Ainul di bawa kembali ke rumah sakit dan masuk ke ruang IGD. Ada beberapa rangkaian tes darah yang harus di lakukan untuk mengetahui penyakit yang di derita oleh Ainul. Padahal Ainul kemarin sudah sembuh, kenapa Ainul bisa kembali sakit.Ibu Aisyah sudah tidak peduli dengan kehadran Zahra yang memang terlihat tak menginginkan kehadiran Ainul di dunia ini. Dari sikap Zahra sudah jelas bisa di simpulkan bahwa Zahra sama sekali tak menginginkan Ainul menjadi putrinya.Beberapa kali Ibu AIsyah memencet tombol panggilan kepada Sean dan berharap putranya masih punya hati untuk mengurus Ainul. Jangan sampai Sean juga beku terhadap keadaan Ainul. Ibu Aisyah semakin cemas dan panik, ia sudah berapa kali mondar mandir di depan ruangan IGD dan sesekali melongokke dalam melihat apa yang sedang di lakukan dokter dan perawat terhadap Ainul.Suara telepon dari ponsel Sean yang terdengar nyaring berada di meja rias itu sedikit menggangggu pencapaian klimaks Sean yang tinggal selangkah lagi. Keringat
Sean dan Pinka segera menyusul Ibu Aisyah ke rumah sakit dimana Ainul di rawat. Sepanjang jalan Sean terus menggenggam tangan Pinka, istrinya. Tekad Sean sudah bulat untuk jujur pada Ibu Aisyah dan menceritakan semuanya tentang yang terjadi antara Pinka dan Sean serta Zahra."Kak Sean yakin? Dengan semua yang akan Kak Sean bicarakan pada Ibu?" tanya Pinka lembut."Yakin sekali. Kenapa? Kamu jadi terlihat kurang yakin?" tanya Sean pada Pinka.Pinka menggelengkan kepalanya pelan. "Takut ada yang tersakiti. Pastinya akan ada," ucap Pinka pada Sean."Sudahlah Pinka. Semua itu sudah menjadi keputusan kita. Pernikahan kita harus segera di publikasikan. Jangan seperti ini terus menerus, smeuanya akan semakin runyam. Semakin kita menutupi sesuatu, maka resiko yang akan kita terima akan semakin besar dan menumpuk. Ini sudah saatnya. Kamu bisa lihat kan? Zahra bahkan pergi menghilang dari rumah tanpa menyusul putri kandungnya yang sedang berada di rumah sakit," tegas Sean tanpa harus menjelekka
Ainul tiba -tiba saja kritis. Hidupnya kini hanya bergantung pada selang yang menempel di tubuhnya dan tinggal di ruang ICU sampai kondisi tubuhnya stabil lagi.Sean menghadap kepada dokter yang memeriksa Ainul. Ainul terdeteksi mengalami spina bifida. Penyakit ini merupakan penyakit kelainan kongenital yang terjadi akibat gangguan pembentukan tabung saraf selama bayi di dalam kandungan. Gejalanya aalah sakit dan nyeri di sekujur tubuhnya, masalah sensorik dan juga masalah motorik.Sejak lahir, Ainul memang sering sekali menangis dan sering merasa tak nyaman berada di box, mungkin karena rasa sakit yang di timbulkan dan paanas dari dalam tubuhn bayi itu."Apakah penyakit ini berbahaya dokter?" tanya Sean mulai khawatir. Ainul memang bukan putri kandungnya, tapi selama ini, Sean sayang dengan Ainul dan begitu tulus ia anggap seperti putrinya sendiri."Selama penanganannya cepat dan respon bayi juga baik. mungkin semuanya akan baik -baik saja. Saya sarankan untuk tetap bisa mencari don
Sean berjalan lunglai ke arah Pinka dan Ibu Aisyah setelah berbicara hal penting dengan dokter. Raut wajahnya tadi begitu terlihat bingung. Namun setelah melihat Pinka dan Adzan yang berad dipangkuan Ibu Aisyah, Sean langsung menerbitkan senyumnya denagn lebar. Pemandangan seperti ini adalah moment baru bagi Sean.Ibu Aisyah juga terlihat senang dan bahagia saat melihat Adzan yang terus tertawa khas bayi yang tak bisa berhenti terbahak bahak kegelian."Sayang ... Bisa bicara sebentar?" panggil Sean lembut.Pinka menoleh ke arah Sean dan mengangguk kecil menyanggupi permintaan Sean."Ibu, Pinka mau Sean bawa sebentar, Ada hal penting. Adzan, Uminya pergi sebentar ya?" ucap Sean meminta ijin pada putranya dan mencium kening Adzan penuh kasih sayang. "Titip Adzan ya Bu," pinta Pinka pada Ibu Aisyah."Jangan lama -lama. Ibu juga harus mengurus Ainul. Ainul bagaimana kondisinya, Sean? Apakah dokter sudah memberitahukan itu padamu?" tanya Ibu Aisyah pelan."Belum Bu. Ini mau di bahas, lang
Mama Fatih berkeliling di rumah sakit itu untuk mencari keberadaan Pinka. Ia tidak tahu, siapa nama putri tiri Pinka yang sedang di rawat di rumah sakit.Fatih juga penasaran ingin cepat sembuh dan menemui Pinka sesuai petunjuk Ari.Zhein telah menyiapkan bubur ayam untuk sarapan pagi Zahra. Zahra masih tertidur pulas di kamar tidurnya dan Zhein sudah memberekan rumah kecilnya dan menyiapkan sarapan pagi. Zhein harus segera pergi ke sekolah dekat sini untuk mengajar.Tok ... Tok ... Tok ..."Ra ... Zahra ... Bangun Ra. Aku mau berangkat," ucap Zhein lembut membangunkan Zahra."Eummm ... Ya ... Sebentar," jawab Zahra yang membuka kedua matanya lalu terbangun dan memakai hijabnya. Zahra keluar dari kamarnya dan duduk di ruang tengah. Dua mangkuk bubur ayam panas sudah ada di meja makan di temani dua gelas teh manis dan satu piring berisi beraneka macam sate dan satu piring lainnya berini gorengan.Zhein sudah duduk di kursi dan menyuruh Zahra untuk duduk di depannya. Zahra pun menggeret
Pinka terdiam menatap Mama Fatih yang kini ada di depannya. Pinka takut masa lalunya di bongkar dan istri dari Pak Lukman meminta semua uang dan barang mewah yang pernah di berikan kepada Pinka. Padahal semua uang, perhiasan dan barang mewah yang bisa di jual sudah di rampa soleh Ayah Sam untuk berjudi dan membayar hutang. Entah bagaimana kabar Ayah Sam saat ini. Benarkah ia sudah meninggal? Atau hanya kabar burung saja berita buruk saat itu yang di dengar Pinka."Mari Bu. Pinka antar ke suami Pinka, mungkin kalau ada ijin, Pinka bisa bicara empat mata denagn Ibu," ucap Pinka denagn santun."Iya Pinka. Terima kasih atas waktu yang sudah kamu berikan untuk saya," jawab Mama Fatih pelan.Pinka mengajak Mama Fatih untuk bertemu dnegan Sean, suaminya. Lelaki itu sedang menggendong Adzan dan Ibu Aisyah sedang mengurus Ainul."Kak Sean ... Ini ada seorang Ibu yang mau bicara dengan Pinka soal masa lalu Pinka," ucap Pinka sambil mengedipkan satu matanya pada Sean."Masa lalu?" tanya Sean pel