“Terkadang lebih baik bagimu untuk sendirian saja agar tidak ada yang menyakitimu.”
***
“Hah … Jag …,” desah seorang gadis berambut panjang dengan kepala tertarik ke belakang. Tangan gadis itu menjambak pelan rambut pemuda yang sibuk menelusuri ceruk lehernya.
“Kau menyukainya, Bianca?” bisik pria bernama Jag itu sembari mencium lembut leher gadis cantik dalam rengkuhannya itu.
Mendengar jawaban berupa desahan dari gadis bernama Bianca tersebut, Jag menjadi semakin bersemangat. Tangan kanannya menarik tubuh Bianca mendekat, menikmati kehangatan dan kelembutan yang diberikan. Kemudian, tangan kiri pria itu menjambak pelan rambut Bianca, membiarkan dirinya lebih leluasa untuk berpetualang pada tubuh gadis itu.
Bianca mendesah dan matanya terpejam ketika titik sensitifnya diciumi oleh Jag. Dari bawah dagu hingga pundak ciuman itu semakin gencar. Tiap kecupan membuat Bianca semakin terbakar dan mengharap lebih dari lelaki itu.
Mendadak, Jag mendekatkan wajah Bianca ke wajahnya, lalu mendaratkan sebuah ciuman ganas pada bibir mungil gadis itu. Lidah Jag memaksa masuk ke dalam mulut Bianca, membuat gadis itu mengerang seraya membalas ciuman itu lebih dalam.
Kejantanan Jag mengeras sejak pertama kali dia menyentuh Bianca. Kulit gadis yang dingin itu sangat ingin dia hangatkan. Tanpa ingin berlama-lama melakukan pemanasan, Jag langsung meloloskan dress yang masih terpasang sempurna di badan Bianca. Hanya dalam satu tarikan ritsleting bagian belakang, maka gaun itu langsung jatuh dan mendarat di bawah kaki mereka.
Tubuh molek, putih mulus Bianca membuat lelaki itu seperti singa yang kelaparan. Dia menikmati setiap jengkal tubuh indah di hadapannya. Seluruh atensinya tersita pada bagian lekuk tubuh Bianca, Jag langsung menekuk lutut dengan tangan mengarah ke bagian bawah bokong Bianca. Bukan untuk menggerayangi bagian tersebut, melainkan ingin mengangkat tubuh mungil itu.
Bianca hanya tersenyum senang ketika dirinya bisa dengan puas bergelayut di bagian leher Jag. Seperti biasanya, dia tak perlu memimpin permainan, mangsanya sendiri yang lebih dulu menyerahkan diri padanya.
Mendadak, manik mata Bianca mengarah kepada pintu ruang tidurnya yang sedikit terbuka. Matanya bertemu dengan manik biru yang sedang menatap ke arahnya dengan jijik. Selena, ingin bergabung? Bianca melemparkan sebuah telepati kepada gadis yang—entah sengaja atau tidak—mengintip percintaannya.
Menerima telepati tersebut, Selena memasang ekspresi marah. Dia menutup mulutnya, mencoba menahan isi perutnya yang tiba-tiba memaksa ingin keluar.
Karena tak tertahankan, Selena langsung berlari sembari memegang mulutnya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah wastafel untuk menjadi tempat pelampiasannya.
Selagi berlari menuruni tangga, Selena melewati seorang pemuda yang sedang melangkah ke lantai dua. Melihat gadis itu berlari tergesa-gesa dengan tangan di mulutnya, pemuda itu berteriak dalam benaknya—telepati, Selena!
Selena tak memedulikan teriakan itu, dia berlari mencapai kamar mandi dan …. “Hoeek!” Selena langsung mengeluarkan isi perut yang sejak tadi dia tahan. Menjijikkan! Bagaimana bisa dia melakukan hal seperti itu?! Memuakkan! Gadis itu memaki dalam hati.
“Selena!” seru pemuda yang tadi Selena lewati. “Kau baik-baik saja?” Dia mengulurkan tangan untuk menepuk punggung gadis itu.
“Jangan sentuh aku!” Selena menepiskan tangan pemuda itu. “Ini karenamu, ini semua karenamu, Matt!” Tangan Selena mencengkeram sisi wastafel dan membiarkan air keran menjatuhkan semua muntahannya ke dalam saluran pipa. Di rumah baru ini, Selena mendapatkan sambutan tidak menyenangkan dari Bianca dan manusia bernama Jag. “Seharusnya aku tidak ada di sini,” ujar gadis itu sembari menatap pria yang berstatus sebagai kakak angkatnya dengan mata membara. “Tidak di rumah ini, dan tidak juga dengan kalian!”
Lima hari sebelumnya.
Matt membuka pintu yang mengantar mereka berempat ke ruangan beratap tinggi dengan jendela-jendela besar menghadap timur. Dindingnya bersekat dengan ruas-ruas dipenuhi rak buku menjulang hingga atas kepala orang dewasa. Ayah angkat mereka, John, adalah seorang pecinta buku, sama seperti Selena.
Setelah satu per satu masuk ke dalam ruang kerja John, mereka memilih tempat duduk masing-masing yang berjejer menghadap satu kursi kulit yang masih kosong, tepat di belakang meja mahoni besar. Belum ada suara yang keluar dari mulut mereka hingga sang ayah muncul. Empat orang yang duduk di atas kursi kayu itu memerhatikan ayahnya berjalan menuju tempat duduk miliknya. Pria dengan warna rambut yang menyala bak api itu tampak mengagumkan.
“Kita harus pindah. Segera,” kata John singkat.
“Kota yang baru? Asik!” sorak Bianca girang.
Selena melirik sinis pada Bianca yang memang menjadi orang paling bersemangat setiap pindah ke kota satu dan ke kota yang lainnya. Sama seperti Henry yang juga langsung antusias. Selena tahu betul kalau dua saudaranya itu sangat tidak sabar untuk mencicipi makanan di tempat baru mereka.
“Ya … namanya kota Breavork,” sambung John.
“Breavork?” ulang Matt.
John melemparkan tatapan pada Matt yang berusaha mengingat kota tersebut. “Sepertinya kita pernah tinggal di sana,” gumamnya.
“Benar, Matt. Kita pernah tinggal di sana.”
Pupil mata Matt langsung membesar, ia ingat kota tersebut. Matt menoleh memerhatikan Selena yang tampak tenang, atau lebih tepatnya tidak tertarik dengan tema pembicaraan malam ini.
“Ck! Pindah lagi?” decak Selena merasa muak dengan semua ini.
Tentu saja Selena saat itu langsung jadi pusat perhatian saudara dan ayahnya. Hal itu langsung memancing emosi Bianca dan membuatnya berkata, “Kalau kau tidak ingin ikut kami pindah. Kau bisa tinggal di sini sendirian!”
Selena tertawa sinis. Dia berdiri dan merapikan ujung roknya. “Kalau bisa … jangankan hanya tinggal di sini. Aku bahkan lebih memilih untuk mati daripada menjadi seperti kalian,” ungkapnya lagi.
“Sekarang naluri manusia kembali muncul dalam dirimu,” sinis Bianca membalas ucapan Selena.
“Memangnya kenapa? Kau ingin aku seperti kalian, menyerap zat feromon manusia? Melakukan kontak fisik berlebihan yang menjijikkan itu?” Selena tertawa sinis. “Bahkan memikirkannya saja membuatku ingin muntah!”
“Elle!” bentak Bianca yang langsung berdiri juga menghadap Selena. Matanya berkilat-kilat menatap saudarinya.
“Anak-anak, cukup!” seru John yang masih duduk dengan kaki bersilang. Ayah mereka begitu tenang dan tidak terlalu heran dengan perselisihan anak-anak adopsinya tersebut.
Bianca mendengus, ekspresinya berubah menjadi cemberut dan kembali duduk.
Sementara Selena sudah tidak tahan berada dalam satu ruangan dengan keluarganya. “Aku akan kembali ke kamar,” ucapnya dingin dan langsung keluar dengan cepat.
John membiarkan Selena yang memang tak pernah ingin terlibat akan hal ini. Sekarang dia melemparkan tatapan pada anak sulungnya. “Matt … Kota Breavork hanya kita berdua saja yang mengenal tempat itu,” katanya.
Matt membalas tatapan ayahnya yang penuh arti, kemudian mengangguk paham. “Iya, Ayah.”
“Aku harap selama berada di sana, semuanya baik-baik saja … Terutama untuk Selena,” pintanya lagi.
Matt mengerti dan sekali lagi dia mengangguk. Kota yang memiliki masa lalu kelam. Mungkin dengan kembalinya mereka ke kota tersebut akan menjadi suatu kesalahan atau sebaliknya. Semua demi Selena, kata John sebelumnya.
***
Selena menurunkan kaki kanannya terlebih dulu kemudian disusul dengan kaki kiri. Sementara netra biru indahnya menatap bangunan tua dengan beberapa patung malaikat bersayap di pucuk menaranya. Valley High School, itulah nama sekolah baru untuk para vampir itu.
“Kalian langsung ke ruang administrasi terlebih dulu untuk laporan,” pesan John.
“Siap, Ayah!” jawab Matt seraya tersenyum.
“Ya sudah, masuk. Ingat, jangan membuat kekacauan.”
Semuanya mengangguk paham, kecuali Selena. Gadis yang memiliki warna rambut nude brown itu memegang tali ranselnya lalu berjalan lebih dulu ke dalam tanpa menghiraukan tiga saudaranya.
*
Selena melangkahkan kaki di koridor sekolah. Dia merasakan atmosfer tatapan kagum dari para murid sekolah tersebut. Itu bukan hal yang baru baginya. Semua mata terpana mengagumi kecantikan dan ketampanan empat murid baru tersebut.
Sebagai makhluk abadi, mereka diberikan keindahan oleh semesta memiliki tubuh yang sempurna. Mata yang indah dan wajah bak malaikat bumi itu mampu memadamkan aura murid yang sebelumnya bisa dikatakan paling good looking di sekolah tersebut.
“Elle, kita satu kelas.” Matt memberikan selembar kertas berisi jadwal mata pelajaran pada Selena yang menunggu di depan ruang administrasi.
“Hm.” Selena menerima kertas tersebut dan memasukkan ke dalam tas.
“Henry, kita satu kelas!” seru Bianca senang sambil mengangkat kertas di tangannya.
“Yah … lagi-lagi aku harus kerepotan karenamu,” keluh Henry pura-pura tidak senang. Dia hanya ingin melihat Bianca marah dan cemberut. Dan ternyata benar, Bianca hampir saja memukul lengannya karena kesal.
Matt mengekeh melihat itu. Dia lalu pamit pada dua adiknya untuk ke kelas dan menyuruh mereka melakukan hal yang sama. Berjanji akan bertemu di kafetaria pada saat jam istirahat.
*
Kelas yang semula begitu ribut mendadak menjadi hening ketika dua murid baru berdiri di depan papan tulis putih. Tatapan teduh dari Matt mampu menyihir semua siswi di kelas. Mereka terpesona dengan ketampanan tidak manusiawi itu. Sementara Selena juga berhasil membuat para murid laki-laki menjadi bungkam dan mengagumi keindahannya dalam hati. Tatapan yang dingin berpadu dengan paras nyaris sempurna.
“Selamat pagi. Perkenalkan nama saya Matteo dan dia saudari saya, Selena.” Matt mengenalkan diri secara singkat pada semua murid di kelas dan dijawab bisik-bisik oleh mereka.
Wajar saja mereka berdua memiliki visual menawan seperti itu, ternyata kakak beradik. Kira-kira begitulah yang mereka ucapkan pada teman sebangku mereka.
Wali kelas mereka mempersilakan Matt dan Selena memilih bangku kosong di dalam kelas. Matt mempersilakan Selena berjalan lebih dulu di depannya. Gadis itu memilih satu kursi tepat di samping jendela besar dengan pemandangan puluhan pohon cedar menghijau, kemudian duduk setelah meletakkan tas di atas meja. Tetapi, baru saja Matt menarik satu kursi di samping Selena, tiba-tiba saja gadis itu berucap pelan hampir tidak terdengar.
“Aku ingin sendiri.”
Matt menatap mata tajam adiknya. Mengerti bahwa Selena takkan sudi duduk bersamanya, akhirnya Matt mengalah dan duduk tepat di belakang Selena.
Aku ingin pergi dari dunia ini … batin Selena seraya mengeluarkan buku-buku dari dalam tas.
Di waktu bersamaan, tiba-tiba saja pintu terbuka dengan keras dan membuat atensi seluruh murid teralih pada objek di depan pintu masuk kelas. Begitu juga dengan Selena yang langsung membeku, terpana dan terpesona dalam satu waktu.
-Bersambung-
“Rain! Kau terlambat lagi?” bentak wali kelas dengan tangan di pinggang. Tangannya masih memegang buku dan spidol hitam. “Maaf,” ucap Rain singkat dan langsung masuk ke dalam sebelum dipersilakan. Pak Guru seolah sudah mengerti dan maklum dengan tabiat lelaki yang terlihat tidak beres itu. Beliau hanya bisa geleng-geleng kepala, kemudian melanjutkan penjelasan. Sementara itu mata Selena tidak bisa beralih dari sosok Rain yang langsung berjalan menuju ke arahnya. Selena sedikit bingung kenapa lelaki itu ingin menghampiri dia. Mau apa dia? Batin Selena kebingungan di dalam hati. Sekarang Rain sudah berdiri tepat di samping meja Selena. Mata mereka langsung bertemu. Selena nyaris terpana beberapa detik saat melihat bola mata berwarna biru. Sama seperti warna mata miliknya. Selena terpaku dan terpesona dalam waktu yang bersamaan. Rain menaikkan satu alisnya tak suka, “Kenapa kau duduk di kursiku?!” tanyanya dingin dan begitu angkuh. Gadis
“Kenapa harus kau yang menyita perhatianku? Apa kelebihanmu?” *** Mobil akhirnya sudah tiba di rumah. Selama perjalanan hanya terdengar suara Bianca yang berisik, bercerita pada John bagaimana menyenangkan hari pertama di sekolah. Tentu saja dia melewatkan bagian terburuk karena membuat masalah dengan salah satu siswa dari tim basket itu. Selena masuk ke dalam rumah dan langsung berjalan ke satu tujuan yaitu kamarnya. Mengabaikan rencana-rencana keluarganya yang ingin berburu hewan malam ini. “Elle, kau mau ikut dengan kami malam ini?” tawar Matt sembari tersenyum sebelum Selena masuk ke dalam kamarnya. “Tidak.” Selena menjawab singkat tanpa menoleh dan sambil memegang kenop pintu kamarnya. “Kenapa? Kita penduduk baru di sini. Mungkin kau harus melihat-lihat kota Breavork yang indah ini,” bujuk Matt tanpa menyerah. Selena berdecih. “Mau kita berada di mana pun, aku sama sekali tidak tertarik untuk berburu. Lagipula … b
“Setenang dan selembut apapun dirimu, pasti akan ada seseorang yang hatinya bising karenamu.” *** Kediaman keluarga Walter. Selena baru saja melewati pintu masuk kembar rumahnya. Sepintas dia melihat Bianca yang duduk sendiri sambil memainkan smartphone miliknya. Jangan heran ketika vampire jaman sekarang sudah mengerti teknologi canggih. Mereka harus membiasakan diri dan beradaptasi dengan perilaku umum manusia. “Baru pulang? Darimana saja?” tanya Bianca yang langsung berdiri menghampiri Selena. Sementara Selena terus berjalan tidak berniat menghentikan langkah. “Bukan urusanmu,” jawab Selena dengan suara datar. “Habis berburu, ya? Kenapa tidak mengajak kami semua?” Selena enggan menjawab. “Elle,” panggil Bianca lagi yang tidak menyerah untuk mengekori langkah Selena. Selena masih tidak menjawab. Sampai saat dia dan Bianca berada di tangga, lalu berpapasan dengan Matteo. Sekilas Matt b
“Yang kudamba hanya kamu. Yang kutakutkan hanya satu. Kau menghilang dari pandanganku.”***Walter’s house.Selena berdiri di depan pintu rumah dengan tangan bersedekap. Wajahnya yang dingin ditambah dengan ekspresi tidak suka ketika melihat Matt dan Henry yang keluar dari mobil sambil tertawa. Sementara tak jauh dari dua saudaranya, ada Bianca yang pulang diantar oleh seorang lelaki dengan motor bisingnya.Sekelebat dia memiliki rasa iri pada tiga saudaranya yang tidak pernah merasa sedih, sakit hati atau benci dengan keadaan mereka yang menjadi abadi ini.“Hai, Elle … ada apa?” tanya Henry dengan senyum ramahnya.“Darimana saja?” Selena balik bertanya.“Whoa … tumben sekali seorang Selena ingin tahu kita habis darimana,” sindir Bianca yang melenggang langsung masuk ke dalam rumah. Melewati Selena dengan gaya angkuhnya. Selena benci itu.&ldq
“Setiap tindakan selalu ada konsekuensinya. Berhati-hatilah dalam mengambil keputusan.”****Malam itu, setelah Selena bertanya tentang detak jantung seorang vampire, John tidak dapat tenang semalaman. Dia belum bisa menjawab dengan benar dan memuaskan untuk Selena. Dia sendiri tidak menyangka kalau Selena bertanya hal yang belum pernah dia dengar selama beratus-ratus tahun ini. Bahkan Matt yang usianya jauh lebih tua daripada Selena, atau pun Bianca dan Henry yang lebih sering berinteraksi dengan manusia, tidak pernah sekalipun menanyakan itu.“Ada apa yang terjadi dengan Selena? Apakah dia merasakan hal itu? Kalau memang benar, dengan siapa?” gumam John sambil menatap perapian yang menyala.Di luar semakin dingin karena hujan mulai turun. Selena terus menatap hujan yang jatuh dari langit sambil bersedekap. Kaca jendela menjadi basah karena bias hujan. Dia sendiri juga berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya.S
“Kelebihan yang kau miliki adalah yang diingankan orang lain.”***Valley High School.Selena bergegas mengayunkan langkahnya menuju kelas. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Rain, lelaki yang mengusik pikirannya selama beberapa jam terakhir. Konyol rasanya dia bisa menjadi seperti ini. Bahkan kalau diingat-ingat terasa sangat aneh ketika Selena tidak dapat menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan Rain di jalan tempo hari.Di kelas hanya ada beberapa orang saja. Tidak ada Rain di sana.“Selamat pagi!” sapa seorang gadis ceria pada Selena. Tentunya dia adalah manusia.Selena menoleh sebentar kemudian menjawab, “Pagi.” Sambil meletakkan tas miliknya di atas meja.Gadis manusia bernama Syilea itu terus mengikuti Selena hingga duduk di kursi sampingnya. “Kita belum berkenalan secara resmi.”Aku sudah tahu namamu, batin Selena.“Hai, na
“Rasa penasaran bukan hanya bisa dirasakan oleh manusia, melainkan bangsa vampir pun juga.”***Selena berusaha untuk terus menyamakan langkah kakinya dengan Syilea. Dia berpikir apakah manusia selalu berjalan dengan begitu pelannya. Bagi Selena langkah kecil dan pelan seperti ini memakan waktu banyak.“Apa rumahnya masih jauh?” tanya Selena pada Syilea.Gadis yang memakai ransel berwarna putih gading itu menoleh pada Selena sambil memakan crepes rasa coklat keju di tangannya. “Lima menit lagi kita sampai,” jawabnya sambil mengulurkan cemilan di tangannya. “Kamu mau, Elle?”“Tidak. Terima kasih.” Selena menolak dengan suara pelannya. Mana mungkin dia memakan makanan manusia.“Oh iya … apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Syilea.“Ya?”“Kenapa kamu ingin tahu rumah Rain?”Selena tidak perlu
"Sekali lagi mengutuk diri sendiri. Aku benci pada diriku."***Selena melangkah mundur. Ekspresinya begitu kaget dan tampak jelas dia sedang menahan diri sekuat mungkin. Sementara Syilea terus merintih kesakitan dan mencoba bangun, namun Selena tidak bergeming sedikit pun."Elle … bisa bantu aku?" pinta Syilea sambil meringis.Selena tidak menjawab, sekali lagi dia melangkahkan mundur kakinya."Elle! Kau mau kemana?!" teriak Syilea yang masih duduk di posisi jatuhnya.Selena menggelengkan kepala dengan kuat. Bisikan yang entah darimana datangnya terus menggema di dalam kepalanya. Suara-suara aneh yang menakutkan, memerintahkan Selena untuk mencicipi darah segar di depan mata.Tanpa suara dan pamit, Selena membalikkan badan lalu berlari sekuat mungkin menjauh dari Syilea. Sementara suara Syilea mulai terdengar sayup terdengar memanggil namanya."Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Kontrol dirimu, Elle!!" seru Selena