Share

7. Perjamuan

"Felenia, kau mau ikut denganku atau membiarkan para manusia itu menghabisimu?"

Felen menoleh, lalu memandang kosong lengan Leon yang terulur padanya.

"Kenapa aku harus ikut denganmu?" Ia terkekeh pelan. Senyum getir muncul di bibir gadis itu ketika tatapannya terjatuh pada tubuh kaku Aghnya yang sudah tidak bernapas.

"Karena kau bisa dibilang tahanan perjanjian ... atau perantara perjanjian, hm? Ibumu juga menitipkanmu padaku. Terlebih, kau tidak memiliki alasan kuat untuk menolak ajakanku, tetap berada di sini hanya akan membuatmu berakhir sama seperti Aghnya."

Ucapan Leon ada benarnya hingga perasaan bimbang menggelayuti hati gadis itu. Keadaan tidak memberi Felen banyak pilihan. Akhirnya, ia memilih untuk meraih uluran tangan Leon. Meski Felen tidak mengetahui masa depan seperti apa yang akan ia hadapi jika mengikuti pria itu, itu lebih baik daripada kematian.

Netra keemasan Leon menyorot lembut pada Felen. "Pilihan bijak. Tenang saja, kau akan terus bersamaku mulai saat ini," jawabnya lugas.

Sekali lagi Felen melihat ke arah tubuh Aghnya yang sepenuhnya diselimuti bulu-bulu hitam milik Leon. "Bagaimana dengan ibuku?"

"Tubuh manusia itu hanya sebuah cangkang kosong karena jiwanya sudah tidak berada di sini. Terbang ke langit, ke tempat seharusnya." Leon menjawab meyakinkan, walau tentu hal itu tidak mungkin karena siapa pun manusia yang bersekutu dengan iblis tidak akan pernah sampai ke nirwana. Terjebak dalam kegelapan di dasar neraka oleh rantai yang membelenggu seluruh tubuhnya.

Saat Felen berbalik, dan menghadap pada Leon sepenuhnya, derap langkah cepat terdengar di telinga. Genggaman tangannya seketika mengerat. Seolah tidak ingin ditinggalkan sendirian di hutan yang menyeramkan itu.

"Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Felenia." Ucapan penuh kemesraan dan makna tersirat itu dibarengi oleh kecupan ringan di punggung tangan Felen.

"Ayo kita pergi," lanjutnya menarik lembut gadis manusia itu ke arahnya.

Tanpa Felen sadari, Leon menyeringai lebar. Tampak mengerikan dan akan membuat bulu kuduk manusia mana pun bergidik ngeri ketika melihatnya. Iblis itu sangat senang karena berhasil mendapatkan gadis yang sejak kelahirannya sudah ia incar. Leon kembali melangkah memasuki portal hitam di depannya, membawa Felen ke kastilnya di dunia seberang.

***

Kastil milik Leon adalah duplikat dari Neuschwanstein Castle yang berada di Jerman --dunia manusia, lalu karena kecintaannya terhadap arsitektur kastil tersebut, Leon membangun kastilnya sendiri di Devil Reign, menyerupai Neuschwanstein Castle. Namun, dengan pemandangan dengan nuansa kelam khas kerajaan iblis. Kemegahan kastil tersebut adalah bukti kekuasaan dan keagungan Leon sebagai Lord of Corruption, the Avatar of Pride. Salah satu dari The Seven Lords --Sang Tujuh Dosa Besar Neraka.

Ketika sampai di kastil tersebut, para pelayan iblis berpakaian hitam dan para jelmaan Bunny yang memakai topi tinggi dan jubah berwarna hitam, berjajar rapi dan menyambut Leon dan Felen di pintu masuk. Mata Felen mengerjap beberapa kali saat melihat hewan imut itu berjalan layaknya manusia.

"Selamat datang, My Lord." Seorang pelayan tua dengan ekor hitam dan telinga kucing menyambut Leon dengan sopan. Tubuhnya membungkuk dengan kepala tertunduk dalam.

"Hm. Tolong siapkan kamar untuk calon pengantinku, dan makanan untuknya." Leon mengatakan itu dengan nada datar walau seringai lebar terpatri di bibir. Sekilas terdapat kekagetan di mata pelayan tua itu, namun ia tetap mengangguk khidmat mengikuti keinginan sang tuan.

"Baik, My Lord." 

Leon mengibaskan tangan, memerintah pelayan tua itu untuk segera pergi dari hadapannya. Fokus Leon kembali pada Felen yang masih memandang penasaran pada Bunny putih. Gadis itu tidak terlihat kelelahan sama sekali setelah perjalanan singkat melalui portal hitam ke Devil Reign.

Keadaan dunia manusia dan dunia iblis sangat berbeda jauh. Baik dari segi waktu, tekanan udara, suasana, lingkungan, musim dan lain hal sebagainya. Seharusnya, tubuh gadis itu belum terbiasa dengan keadaan dunia iblis, tetapi Felen terlihat baik-baik saja.

"Felenia."

Panggilan tersebut mengingatkan Felen akan keberadaan Leon yang sempat ia abaikan karena Bunny imut di depan. Felen lalu berbalik, dan bertanya singkat. Terkesan acuh dan tidak peduli.

"Apa?"

Tangan Leon mengibas ke dalam, mengisyaratkan Felen untuk menghampirinya. Kaki Felen melangkah ke arah Leon sembari masih menggandeng paw Bunny. Kelembutan Bunny itu membuat Felen ketagihan untuk menyentuhnya. Sedangkan Leon mengernyit-- sedikit tidak suka, walaupun pemandangan tersebut terlihat sangat menggemaskan.

"Kita makan malam dulu."

Uluran tangan Leon disambut oleh Felen. Leon menuntun Felen ke arah ruang jamuan makan yang jarang digunakan, beberapa Bunny mengikuti di belakang melewati lorong berukuran panjang dan besar dengan lampu-lampu gantung mewah di atas kepala.

"Leon, mereka itu apa?" tunjuk Felen pada para Bunny yang mengikuti dengan barisan rapi.

"Hm ... siluman?"

Kalimat Leon yang berupa pertanyaan membuat Felen mengernyit, tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.

"Semua sudah siap, My Lord." Pelayan tua yang tadi menyambut di depan sudah menunggu di samping pintu yang kini terbuka lebar, menampilkan sebuah meja makan dengan kursi-kursi berjajar rapi di setiap sisi. Di atas meja makan tersebut tersaji beberapa jenis hidangan yang mampu menggugah selera. Lalu, dua pelayan iblis berdiri siap di sisi kanan dan kiri untuk melayani Leon dan Felen.

"Wah ... " Felen tidak menahan kekagumannya akan keindahan ruang makan tersebut. Ruang makan di manornya memang bagus, namun ruang makan yang ia lihat sekarang jauh lebih menakjubkan. Terutama dengan berbagai jenis makanan yang terhidang di meja. Perut Felen yang memang belum diisi berbunyi halus, membuat si empunya meringis malu.

"Ayo, sepertinya perutmu sudah tidak sabar."

Mereka berdua duduk di masing-masing kursi. Dua pelayan iblis dengan cekatan

menghidangkan appetizer di piring Felen dan Leon. Felen memakannya dengan lahap. Hidangan terus berganti sampai akhirnya tinggal tersisa dessert. Leon ikut menemani Felen makan malam, meski dirinya tidak membutuhkan nutrisi seperti manusia. Makanan manusia tidak berpengaruh apa pun padanya karena yang Leon butuhkan hanya jiwa manusia yang terjatuh dalam kegelapan. Semakin gelap jiwa tersebut, semakin nikmat dan lezat rasa jiwanya.

Setelah menyelesaikan makan malamnya, Leon memerintahkan beberapa Bunny mengantar Felen ke kamar yang telah disiapkan.

"Aku akan menyusulmu nanti," ucap Leon seraya mengusap lembut puncak kepala gadis itu. Felen mengangguk tanpa banyak bertanya, dan melangkah mengikuti para Bunny yang memasuki lorong berbeda dengan Leon.

"Kumpulkan para Interessengruppen!" perintah Leon mutlak pada si pelayan tua yang setia berdiri beberapa langkah darinya. Raut wajah penuh senyuman yang ia perlihatkan pada Felen menghilang, digantikan dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Pelayan tua itu mengangguk, dan wush ... menghilang begitu saja.

Leon duduk di singgasana menyorot tegas orang-orang kepercayaannya, Para Interessengruppen. Tidak ada yang berani memandang, apalagi sampai bertatapan dengan iblis pemegang kekuasaan tertinggi tersebut. Ketiganya menunduk hormat. Senyum Leon terkembang puas melihat itu.

"Aku ingin kalian mempersiapkan ritual pertama, tiga malam lagi, saat Bloody Moon."

Walaupun mereka bertiga sedikit kaget dengan  informasi mendadak tersebut, ketiga iblis tersebut tetap mengangguk tanpa mempertanyakan keputusan Sang Lord karena sebagai bawahan tugas mereka adalah mengikuti semua keinginan tuannya.

Setelahnya, Leon mengisyaratkan mereka untuk keluar dari ruang takhta, meninggalkan Sang Lord yang sepertinya tengah berpikir sembari meminum cairan berwarna merah dari gelas emas. Menyesap cairan tersebut sedikit demi sedikit untuk meresapi kenikmatannya.

"Adrien." Satu panggilan tegas terucap dari bibir Leon, lalu kurang dari satu detik, Adrien-- si pelayan tua menghadap di depannya.

"Yes, My Lord."

"Siapkan ramuan untuk calon pengantinku. Tentunya kau tahu maksud ucapanku setelah melihatnya tadi, bukan?"

"Saya mengerti, My Lord."

"Aku ingin ramuan itu sudah siap besok malam."

"Sesuai keinginanmu, My Lord." Adrien tersenyum tipis. Pria tua itu pamit setelah mendapat anggukan kecil dari Leon, menghilang seperti debu tanpa meninggalkan jejak sama seperti kedatangannya yang tiba-tiba.

Leon menyimpan gelasnya di meja yang berada di samping kursi. Dengan satu kali embusan napas tubuhnya sudah berpindah, dan berdiri di depan pintu besar dengan ukiran simbol buruk hantu di tengah. Tanpa membuka pintu tersebut, Leon sudah berada di dalam ruangan yang menjadi kamar tidur Felen, Sang Calon Pengantin. Gadis itu tengah tertidur damai di atas ranjang. Tidak mengetahui kalau Leon berniat mengikatnya dengan rantai yang lebih kuat dari rantai yang membelenggu Aghnya.

Leon duduk di atas ranjang Felen, memerhatikan wajah gadis itu dengan lekat. Tangannya mengusap ringan pipi Felen yang sedikit chubby. Tampak merona dengan warna cantik.

"Tidak lama lagi, Sayang." Bibir Leon menyunggingkan seringai mesra penuh kekejaman. Di antara cahaya bulan yang berpendar terang, wujud sejati Leon dengan aura gelap di sekitar menampakkan sosoknya. Sesosok malaikat yang dibuang dari surga ke neraka terdalam karena pemberontakannya.

"Aku akan selalu mendapatkan semua yang kuinginkan. Bahkan ketika Tuhan menentangnya, aku akan mendapatkannya," bisiknya penuh kesombongan dan keangkuhan.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
lepas dari kandang singa, masuk kandang iblis
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status