Luna menjambak rambutnya sendiri, merasa kesal dengan kenyataan yang ia hadapi. Dari tiga wawancara yang ia ikuti, hanya satu yang lolos. Kabar buruknya adalah, Luna lolos di perusahaan pertama yang ia ikuti wawancaranya. Kenapa bisa Luna menyebutnya sebagai kabar buruk? Tentu saja bukan karena bidang perusahaannya, melainkan karena adanya Dominik sebagai bos besar di sana. Jelas Luna merasa keberadaan Dominik di sana sebagai ancaman. Dominik yang hadir dengan kesan misterius yang tanpa sadar membuat Luna mengambil langkah mundur.
Hanya saja, Luna sama sekali tidak bisa mundur dari pekerjaan yang sudah berada di depan matanya. Karena sebelumnya, pemilik restoran sudah menghubungi Luna dan mengatakan jika dirinya sudah mendapatkan pengganti pelayan restoran serta mengizinkan Luna untuk bekerja di luar. Pemilik restoran memang mengetahui Luna sudah mengirimkan lamaran dan bahkan mendapatkan panggilan untuk wawancara. Karena mendapatkan perkiraan jika Luna akan mendapatkan pekerjaan tersebut, pemilik restoran pun memutuskan untuk mencari pekerja baru.
Luna mengusap wajahnya kasar, lalu menatap langit-langit kamarnya yang usang. Sekarang, ia benar-benar binguna. Ia dilemma. Namun jika dirinya tetap seperti ini, Luna tidak akan makan. Luna pun memutuskan bangkit dari posisinya. Luna pada akhirnya sudah mengambil keputusan. Dia tidak bisa terus lari dari masalah. Luna akan menghadapinya. Toh, Luna yakin jika dirinya tidak akan lagi bertemu dengan Dominik atau para petinggi perusahaan, secara Luna sendiri melamar untuk posisi yang jelas tidak akan bersinggungan langsung dengan para petinggi.
Dengan memikirkan kemungkinan tersebut, suasana hati Luna pun sedikir membaik. Setidaknya, saat ini Luna bisa memantapkan hatinya untuk berangkat bekerja. “Ya, aku harus semangat. Aku yakin, kemarin adalah pertemuan terakhirku dengan pria itu!” seru Luna semangat. Apa lagi, kemarin saja Luna mendengar jika Dominik di Indonesia hanya untuk memeriksa kemajuan perusahaan cabang. Itu berarti, Dominik hanya akan di Indonesia dalam beberapa hari dan akan kembali ke negara asalnya. Luna sendiri yakin, pasti sekarang Dominik sang bos besar itu sudah kembali ke negaranya. Luna benar-benar berharap hal itu terjadi.
Luna menghela napas panjang dan melihat jam dinding. “Hah, selamat datang di dunia yang melelahkan,” bisik Luna lalu segera bangkit dan menyiapkan diri sebaik mungkin.
Tentu saja Luna ingin memberikan kesan baik di hari pertama dirinya bekerja. Apalagi, tiga bulan pertama termasuk ke dalam masa percobaan. Jika Luna berhasil memberikan kontribusi yang baik dalam pekerjaannya dan tidak membuat kesalahan, Luna pasti bisa menjadi karyawan tetap. Tentunya itu adalah hal yang Luna harapkan. Ia ingin menjadi karyawan tetap, agar kehidupan ekonominya bisa lebih stabil dan dirinya hanya perlu melakukan satu pekerjaan untuk memenuhi semua kebutuhannya.
Karena itulah, Luna berharap jika pilihan yang ambil bisa berjalan lancar. Luna benar-benar berharap jika Tuhan mendengar doanya ini, dan mengabulkan doanya untuk dijauhkan dari Dominik. Saat doa tersebut terkabul, maka Luna benar-benar bisa bernapas lega karena setidaknya ia sudah dijauhkan dari sumber masalah yang kemungkinan di masa depan akan membuatnya terjerumus pada lubang yang tak akan pernah bisa ia tinggalkan.
***
Luna menggenggam tali tas selempang yang ia kenakan untuk mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam hatinya. Bagaimana dirinya tidak merasa emosi, saat tahu jika ternyata dirinya tidak mendapatkan meja dan kursi di divisi yang seharusnya. Benar, perusahaan sengaja tidak menyediakan kursi serta meja, yang berarti ada sesuatu yang terjadi tidak sesuai dengan perkiraan Luna. Saat Luna merasa gelisah, Luna pun dikejutkan dengan tepukan pada bahunya.
“Nona Luna Hevda?” tanya sosok laki-laki bertubuh tinggi besar dengan senyuman ramahnya. Wajah pria itu tampak familier bagi Luna. Sepertinya Luna pernah melihatnya.
“Ya, itu saya,” jawab Luna pelan.
“Perkenalkan, saya Harry. Bisakah Nona mengikuti saya?” tanya pria tersebut sembari memberikan isyarat.
Luna pun tidak memiliki pilihan lain untuk mengikutinya. Saat mengikuti langkah demi langkah pria itu, Luna pun mengingat di mana dirinya pernah melihat pria ini. Luna melihatnya di ruang wawancara. Bukan sebagai penguji, tetapi sebagai seseorang yang tampak mencatat sesuatu disudut ruangan sembari mengamati dengan kedua netranya yang tajam. Luna pun berusaha untuk menekan perasaan gelisah yang kini merayapi hatinya. Tentu saja Luna merasa penasaran, sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Saat ini pun, Luna bisa merasakan kini punggungnya menjadi sasaran tatapan penuh tanda tanya dan penuh rasa ingin tahu. Namun, Luna tahu jika mereka semua juga tidak berani untuk menunjukkan rasa ingin tahu mereka dengan terang-terangan. Luna benar-benar ingin menggerutu. Belum juga apa-apa, kini Luna sudah menjadi pusat perhatian. Sudah dipastikan jika dirinya akan menjadi bahan perbincangan di kalangan rekan kerjanya. Luna hanya berharap jika dirinya bisa segera mendapatkan meja dan kursi untuk melaksanakan pekerjaannya yang sesungguhnya.
“Nona, silakan masuk,” ucap Harry menyadarkan Luna untuk segera masuk ke dalan lift.
Luna masuk dan mencoba untuk tetap tenang dan berpikiran positif saat melihat Harry ternyata akan membawanya ke lantai paling atas. Lantai yang tentu saja di mana pun perusahaannya akan ditempati oleh para petinggi perusahaan. Saat itulah Luna bertanya, “Apa ada hal yang salah? Kenapa saya dipanggil Direktur?”
Harry tidak memberikan jawaban yang diinginkan oleh Luna, dan hanya menyuguhkan sebuah senyuman manis. Keduanya tiba di lantai yang Harry tuju, dan Luna pun segera diarahkan untuk menuju sebuah pintu yang berukuran cukup besar. Harry mengetuk pintu dan berkata, “Nona Luna sudah tiba, Tuan.”
Harry pun menatap Luna dan berkata, “Silakan masuk Nona. Tuan sudah menunggu di dalam.”
“Anda tidak masuk?” tanya Luna merasa agak ragu jika dirinya harus masuk ke dalam sendirian.
Rupanya, kegelisajan Luna tersebut terbaca oleh Harry. Saat itulah Harry mengulum senyum dan berkata, “Tidak perlu merasa cemas, Nona. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Silakan masuk.” Harry pun membukakan pintu untuk Luna.
Tentu saja, Luna tidak memiliki pilihan lain, selain masuk ke dalam ruangan tersebut. Namun, begitu pintu yang ia lewati tertutup, dan membuatnya terkurung di dalam ruang mewah tersebut, rasa menyesal datang begitu cepatnya. Ya, Luna menyesal karena dirinya mau-mau saja masuk, tanpa mengetahui apa yang akan terjadi. Luna pun menatap sebuah meja berukuran besar dengan sebuah punggung kursi yang memunggunginya. Luna mengernyitkan keningnya dan bertanya, “Permisi. Apa Anda mencari saya?”
Tidak ada sahutan dalam beberapa saat. Sebelum kursi tersebut berputar dan menunjukkan siapa yang duduk di sana. Luna tersentak saat melihat netra biru langit yang langsung menghujam dirinya. “Ka-kamu?” tanya Luna tidak percaya.
“Ya, ini aku,” jawab Dominik sembari menyunggingkan seringai tipis dan bangkit dari duduknya.
Tentu saja langkah yang dilakukan oleh Dominik membuat Luna merasa was-was. Rasanya Luna ingin berbalik pergi, tetapi ia sadar jika dirinya saat ini berhadapan dengan pimilik perusahaan. Luna pun memperbaiki sikapnya dan bertanya kembali, “Jadi, ada keperluan apa Tuan memanggil saya?”
“Kenapa bertingkah sopan seperti ini? Bukankah malam itu kau melarikan diri begitu saja saat aku sapa?” tanya Dominik dengan nada mencemooh.
“Saat itu saya terkejut. Saya terbiasa melarikan diri saat merasa terkejut,” jawan Luna jelas-jelas berbohong.
“Begitukah? Karena terkejut? Bukan karena kau merasa takut padaku?” tanya Dominik lagi sembari mengambil langkah mengikis jarak antara dirinya dan Luna.
Tentu saja hal itu membuat Luna panik, ia memunudurkan dirinya hingga punggungnya menempel begitu lekat pada daun pintu. Dominik yang melihat hal tersebut tidak menyia-nyiakan hal tersebut dengan mengungkung Luna menggunakan kedua tangannya. “Sepertinya, daripada dibilang terkejut, kau lebih terlihat takut. Seperti saat ini. Bukankah kau merasa takut padaku? Apa ini ada hubungannya dengan perkataanku malam itu?” tanya Dominik dengan suara rendahnya yang membuat Luna bergetar oleh rasa takut dan sensasi aneh yang berpadu menjadi satu.
Luna berhasil mengendalikan dirinya sendiri dan balik bertanya dengan suara yang tentu saja berusaha ia kendalikan agar tidak bergetar sama sekali, “Apa yang Anda maksud? Saya tidak mengerti dengan apa yang Anda maksud. Tolong mundur, atau saya bisa salah berpikir dengan menganggap jika Anda tengah berusaha melecehkan saya.”
Dominik menyeringai dan berkata, “Ah, tidak. Aku tidak tengah mencoba melecehkanmu. Aku hanya ingin merasakan bibirmu.”
Belum juga Luna bereaksi, salah satu telapak tangan Dominik menyusup ke bagian belakang kepala Luna dan menarik Luna mendekat sebelum meraup bibir Luna yang tampak begitu menggoda. Untuk beberapa detik Luna tampak mematung. Ia benar-benar terkejut dengan serangan yang diberikan oleh Dominik, dan tidak memiliki kesempatan untuk bereaksi karena Dominik sudah lebih dulu melepaskan bibirnya. Dominik menyeringai dan mengusap bibir bawah Luna sembari berkata, “Manis.”
Saat itulah Luna meledak dan menendang kaki Dominik dengan keras. Hal tersebut rupanya berhasil memukul mundur Dominik. Luna menyeka bibirnya sendiri dengan ekspresi jijik, sementara Dominik berdiri dengan menguarkan aura yang dominan. Dominik berkata, “Karena aku sudah memastikannya, maka aku sudah mengambil keputusan. Selamat, kau diterima sebagai sekretarisku. Besok, kita pergi ke Rusia.”
“Karena aku sudah memastikannya, maka aku sudah mengambil keputusan. Selamat, kau diterima sebagai sekretarisku. Besok, kita pergi ke Rusia.”Luna yang mendengar hal tersebut tentu saja tidak mempercayai pendengarannya. Lebih-lebih tidak percaya dengan perlakuan seperti apa yang sudah ia terima barusan. Luna mengepalkan kedua tangannya. Hilang sudah rasa takut yang Luna rasakan pada Dominik. Perempuan itu menatap Dominik dengan tatapan penuh peringatan.
Negeri Salju, itulah julukan negeri Rusia yang dikenal oleh dunia. Rusia yang terkenal sebagai salah satu destinasi favorit para turis. Namun, memilih waktu terbaik untuk mengunjungi negeri berjuluk Negeri Salju ini adalah hal yang terasa sangat sulit bagi sebagian besar orang. Hal itu terjadi, karena musim sering datang atau pergi tidak tepat dengan prediksi kalender musim yang sudah ditetapkan oleh instansi yang memiliki wewenang.Hanya saja, bagi Luna yang tidak pernah berkunjung ke luar negeri, kapan pun waktunya itu tidak masalah. Saat ini saja, Luna terlihat begitu takjub dengan apa yang ia lihat. Karena membutuhkan waktu yang lama untuk menempuh perjalanan hingga tiba di negeri asing ini, Luna sama
Luna tampak berbeda dengan sebuah syal tipis cantik yang menghiasi lehernya. Gadis satu itu tampak sesekali membenarkan letak syal tersebut, seakan-akan dirinya sangat enggan jika syal cantik tersebut berpindah letak sedikit saja. Sepertinya, Luna tengah menyembunyikan sesuatu di balik syal yang ia gunakan tersebut. Luna mendengkus kesal, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Luna sama sekali tidak berusaha untuk menyembunyikan ekspresi kesal yang menghiasi wajah cantiknya yang membawa kecantikan gadis Nusantara yang begitu kental. Suasana hati Luna memang sangat buruk, dan ia tidak berniat untuk menyembunyikan suasana hatinya yang buruk tersebut.Luna larut dalam pekerjaannya, sesekali ia mendapatkan tel
Luna mengurut pelipisnya yang terasa begitu tegang. Ia bangkit dari posisinya dan menyadari jika ini bukanlah kamar apartemen yang disediakan oleh Dominik untuk Luna tinggali selama dirinya tinggal di Rusia. Luna memang tidak tahu dirinya ada di mana saat ini, tetapi Luna yakin jika ini adalah ruangan milik Dominik. Selain dari kemewahan yang tampak jelas di setiap sudut ruangan yang didominasi warna gelap ini, Luna juga bisa mencium aroma khas Dominik yang pekat.Luna menunduk dan menyadari jika dirinya sudah menggunakan gaun tidur asing. Ia tidak panik dan berpikir jika Dominik yang menggantikan pakaiannya. Meskipun Dominik kurang ajar, tetapi ia yakin jika CEO panas satu itu
Luna mengamati pemandangan yang berkabut dalam diam. Di tangannya ada sebuah cangkir teh hangat yang rupanya masih mengepulkan hawa panasnya. Gadis itu menghela napas. Baru saja beberapa hari dirinya berada di Rusia, dan dirinya sudah hampir mati sebanyak dua kali. Ya, selama dua kali Luna berada di tengah-tengah area yang dihujani peluru. Sungguh gila, dan hingga saat ini Luna masih merasakan tensi ketegangannya.Padahal ini sudah pagi, sudah berjam-jam lamanya kejadian itu berlalu, tetapi Luna masih merasakan aura mencekam yang membuatnya sesak. Luna menghela napas panjang. Beruntunglah karena Dominik memberikannya libur setelah dirinya melalui berbagai kejadian mengerikan tersebut. Tentu saja, siapa pun
“Jangan marah seperti itu, Luna. Jika aku menolaknya, kau malah akan berada dalam situasi yang lebih berbahaya,” bisik Dominik pada Luna saat mereka melangkah menuju ruang VIP yang memang disediakan untuk para pelanggan yang rela menghabiskan jutaan dolar hanya untuk memenuhi hasrat berjudi mereka. Menang atau kalah adalah masalah nanti. Hal yang terpenting adalah, dahaga mereka bisa terpenuhi saat itu juga.Untuk meladeni tantangan Ignor, Dominik harus mengadakan sebuah permainan kartu yang diselenggarakan di ruangan terbaik yang ia miliki. Ini bukan hanya masalah gengsi, tetapi juga masalah keamanan. Semakin terbatas ruangan, dan semakin terbatang siapa pun yang bisa berkunjung pada ruangan t
Luna terlihat benar-benar gelisah. Seolah-olah dirinya memiliki firasat buruk jika ada hal merugikan yang akan ia hadapi. Hal ini tidak terlepas dengan apa yang sudah Dominik katakan tadi siang di kantor. Setelah mengatakan hal tersebut, Dominik melepaskannya dan mengerjakan pekerjaannya seolah-olah tidak ada hal yang terjadi. Namun, hal itu berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Luna. Perempuan itu tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjannya, hingga dirinya berkali-kali mendapatkan teguran dari Harry yang memang masih bertugas untuk mengawasi kinerjanya.Luna menatap langit yang sudah menggelap. Udara dingin juga berembus dingin, mulai menyusuo dan menggigit tulang Luna hingga menyisakan ngilu dipermukaa
“Apa kau gila?!” tanya Luna dengan nada tinggi.Luna sama sekali tidak mempertahankan sikap profesionalnya di hadapan sang bos besar, walauapun saat ini dirinya dan Dominik masih berada di perusahaan dan masih dalam jam kerja. Luna terlihat begitu marah dengan napas yang terengah-engah. Dominik sendiri duduk bersandar pada meja kerjanya yang kokoh dan tampak menikmati ekspresi kemarahan yang saat ini tengah Luna tampilkan di hadapannya. Dominik bahkan terlihat tidak ragu menampilkan ekspresi senang yang tentu saja membuat Luna semakin marah saja.“Apa kau tidak ingin menjelaskan apa pun dengan ap