"Hanya itu yang bisa kusampaikan, Paman. Sampai saat ini pun orang-orang suruhanku masih melakukan pencarian. Semoga saja secepatnya kita mendapatkan kabar baik," ujar Revan setelah menjelaskan semuanya tentang Dimas pada orang tua sahabatnya.
Tidak ada yang bisa dikatakan Adrian selain terima kasih pada Revan yang telah berbuat banyak untuk Dimas, putranya. Bahkan lebih dari mereka yang merupakan orang tua dari Dimas sendiri.
Revan hanya membalas ucapan terima kasih Adrian dengan seulas senyum. Ia melirik ke arah Sarah yang masih terisak di bahu suaminya. Andai air mata dan kekhawatiran itu ada sebelum Dimas kecelakaan, mungkin Dimas masih berada di sini bersama mereka. Namun, semua sudah terjadi sekarang, tidak akan ada yang berubah. Yang bisa mereka lakukan sekarang adalah berdoa agar Dimas baik-baik saja.
"Aku akan terus mengabari paman mengenai pencarian Dimas," tukas Revan setelah beberapa saat terdiam mengamati dua orang di hadapannya. "Jika tidak ada yang ingin paman bicarakan lagi, aku pergi."
Revan sudah melangkahkan kakinya keluar dari rumah sahabatnya sebelum suara pria paruh baya yang tadi merangkul istrinya itu menghentikan langkahnya di depan pintu. Sepertinya ayah dari sahabatnya itu mengejarnya ingin mengatakan sesuatu.
"Revan tunggu!"
"Ada apa, Paman? Apa ada yang ingin paman bicarakan lagi?"
Adrian menatap ragu ke arah Revan, tapi keinginannya untuk mengatakan hal yang harus ia katakan. Tadi memang ia sempat mengatakan terima kasih. Namun baginya itu belumlah cukup. Masih ada hal yang ingin ia sampaikan pada Revan.
Melihat Adrian yang belum mengatakan apa pun, membuat Revan menghela napasnya. Ia mengulangi pertanyaannya tadi dan baru setelahnya Adrian menanggapi pertanyaannya. "Tidak! Paman hanya ingin berterima kasih padamu untuk semua yang kau lakukan. Paman juga akan mengerahkan orang-orang paman untuk membantumu agar pencarian bisa dilakukan lebih cepat dan luas."
"Lakukan apa pun yang paman inginkan. Aku tidak masalah dengan hal itu. Bukankah itu yang selalu paman lakukan? Terlebih pada Dimas! Ah ya, satu lagi! Paman tidak perlu berterima kasih padaku. Dimas sahabatku. Aku dan Dimas sudah seperti saudara, sudah seharusnya aku melakukannya. Paman pun tahu itu. Lagi pula siapa yang akan peduli padanya jika bukan aku? Tante? Atau Paman? Aku sudah cukup melihatnya sendiri, tidak satu pun dari kalian yang peduli padanya. Kalian hanya peduli pada diri kalian sendiri. Menganggap reputasi kalian nomor satu dibandingkan anak kalian sendiri. Kalian tidak pernah peduli pada perasaan Dimas. Apa yang dia inginkan tidak pernah kalian dengar."
"Kami melakukannya semuanya untuk Dimas, untuk kebaikan Dimas," bantah Adrian. Masih berusaha memberi pengertian pada Revan yang tampak salah paham atas apa yang ia dan istrinya lakukan selama ini.
Melipat kedua tangannya di depan dada, Revan tersenyum meremehkan, tatapanya menajam mendengar perkataan Adrian. Rasa ibanya hilang entah ke mana. Emosi yang tadi coba ia tahan, menyeruak begitu saja mendengar pembelaan Adrian. "Oh! Apa benar untuk kebaikan Dimas? Atau hanya untuk kebaikan kalian?"
Adrian terdiam mendengar pertanyaan Revan. Tidak mampu untuk menjawab pertanyaan sederhana yang dilayangkan Revan padanya.
Tidak mendengar tanggapan dari Adrian membuat Revan mengulas senyum sinis, semakin memandang penuh cemooh pada Adrian. "Lihat? Bahkan paman tidak bisa menjawab pertanyaan sederhanaku."
Adrian masih dengan ego dan harga dirinya tidak bisa menerima perkataan Revan. Bagaimanapun Dimas adalah putranya. Tidak salah bukan ia dan istrinya menginginkan yang terbaik untuk Dimas? "Mungkin yang kau katakan benar. Namun sebagai orang tua, paman dan tante berhak juga atas hidup Dimas, termasuk memilihkannya pasangan yang terbaik untuknya."
Revan tertawa hambar mendengar perkataan pria paruh baya yang ada di hadapannya. "Yang terbaik paman bilang? Oh ayolah!" ujarnya dengan sinis. "Yang terbaik menurut kalian, belum tentu terbaik untuk Dimas."
Tidak habis pikir dengan pria paruh baya di hadapannya. Bisa-bisanya di saat keberadaan Dimas masih menjadi misteri, Adrian masih mementingkan harga diri dan ego serta membicarakan haknya sebagai ayah dari Dimas. "Aku akui kalian adalah orang tuanya Dimas. Meskipun begitu, bukan berarti kalian bisa melakukan semua kehendak kalian. Dimas juga punya hati. Dia memiliki perasaan dan keinginannya sendiri. Sedikit saja, apa paman tidak pernah memikirkannya? Tidak bukan?" ujar Revan diikuti dengan dengkusan kasar. "Kalian para orang tua sama saja! Selalu mengekang dan mendikte hidup anak-anak kalian!"
"Mungkin ini salah alasan kenapa persahabatan kami bertahan hingga sekarang. Dimas dan aku sama. Kami harus terkekang dengan berbagai hal karena lingkungan kami. Namun, setidaknya aku lebih beruntung karena orang tuaku tidak memaksakan perjodohan yang mereka ajukan padaku. Mereka tetap memberikanku kesempatan untuk memilih. Tidak seperti paman dan tante yang selalu menekan Dimas untuk menerima wanita yang kalian pilihkan untuknya. Tanpa peduli Dimas suka atau tidak."
Revan menghela napas pelan dan memandang kecewa pada ayah sahabatnya ini. "Paman tahu? Kenapa Dimas suka pergi ke Lembang disela kesibukannya? Itu karena dia ingin merasakan sedikit saja udara kebebasan yang tidak pernah ia dapatkan di sini. Mungkin kalian memenuhi kebutuhannya, memberinya kemewahan dengan semua yang kalian miliki, tapi tidak dengan kebebasan. Andai saja kalian tidak menyuruhnya untuk kembali saat itu juga, mungkin Dimas masih ada di Lembang menikmati liburannya. Dan setidaknya kita tahu dia baik-baik saja. Namun, sekarang kita tidak tahu bagaimana keadaannya. Kita tidak tahu apakah Dimas baik-baik saja atau tidak, dan itu semua karena keegoisan kalian. Kalian yang membuat Dimas pergi. Kalianlah penyebabnya. Jika nanti Dimas kembali aku harap kalian menyadari kesalahan kalian pada anak kalian sendiri. Jangan sampai kalian menyesal setelah dia benar-benar pergi dari hidup kalian. Berdoa saja itu tidak akan pernah terjadi."
Tanpa menunggu tanggapan Adrian, Revan benar-benar meninggalkan kediaman keluarga Ardiantara. Ia sudah tidak tahan lagi dengan keluarga sahabatnya yang memuakkan. Lebih baik ia menyelesaikan pekerjaannya agar memiliki waktu lebih untuk mencari keberadaan sahabatnya. Revan meneruskan langkahnya yang sempat terhenti tanpa peduli pada pria paruh baya yang hanya bisa menatapnya sendu dan penuh sesal.
Sementara Adrian masih bergeming di tempatnya. Terpekur memikirkan perkataan sahabat putranya. Bahkan ia tidak sadar Revan sudah pergi dari hadapannya. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Dimas, putranya. Kenangan demi kenangan sang putra berputar dalam kepalanya. Yang dikatakan Revan benar, mereka memang memenuhi setiap kebutuhan Dimas tapi tidak peduli pada keinginan Dimas sendiri. Yang mereka lakukan justru selalu menuntut putranya untuk menjadi seperti yang mereka inginkan. Dan kini semuanya sudah terlambat, putranya hilang entah ke mana. Sesal itu mulai memenuhi hati. Sesal yang ia baru rasakan setelah putranya pergi. Masih adakah kesempatan untuknya menebus semuanya. Masihkah?
***
"Paman istirahat saja, paman pasti lelah setelah seharian bekerja. Biar aku saja yang menjaganya. Lagi pula ini sudah malam, paman membutuhkannya agar bisa beraktivitas besok."Danu tersenyum mendengar perkataan Andrea yang duduk di tepi ranjang. Ia menatap gadis cantik yang sedang mengganti kain kompres di dahi pria yang ditolongnya beberapa minggu yang lalu itu. "Aku sudah berjanji padamu, aku akan membantumu untuk merawatnya. Jadi aku akan di sini sampai kondisinya membaik," ucapnya lalu kembali menatap iba pria yang masih setia memejamkan matanya meski sudah dua minggu berlalu. Bahkan sejak kemarin kondisi pria ini menurun.Melihat tatapan Danu membuat Andrea menghela napas pelan. Ia tahu Danu sedang mengkhawatirkan pria yang masih belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar ini. "Dia baik-baik saja, Paman. Kondisinya sudah lebih baik dari kemarin. Paman tidak perlu cemas. Jika terjadi sesuatu, aku akan memberi tahu paman. Jadi sekarang paman bisa pulang dan ist
"Andrea ...""Andrea?""Huh? Paman?""Kau melamun?" tanya Danu saat menemukan Andrea termenung sendiri di meja makan sampai-sampai gadis yang masih menunjukkan raut kebingungannya ini tidak menanggapi pangilannya sedari tadi. "Apa yang sedang kau pikir, 'kan, hm?""Aku ..." Andrea menggantung perkataannya. Ragu untuk mengatakan hal yang mengganggu pikirannya. "Bukan apa-apa, Paman," jawabnya. "Mungkin aku hanya lelah," elak Andrea.Danu memandang penuh selidik ke arah Andrea yang sedari tadi menghindari tatapannya. "Kau tidak sedang berbohong pada paman, bukan?"Andrea kembali menoleh ke arah Danu sebelum kembali menunduk. Menghindari tatapan pria paruh baya yang masih menunjukkan raut ketidakpercayaan atas jawaban yang ia berikan.Sementara Danu tersenyum melihat sikap Andrea. Gadis ini memang terlalu polos untuk bisa berbohong. Tidak berubah sejak dulu. "Paman mengenalmu bukan satu dua tahun, Andrea, tapi sejak kau masih kanak
Danu yang merasa Andrea begitu lama membersihkan tubuh pria yang ditolongnya, memutuskan kembali ke kamar yang di tempati pria itu untuk memanggil Andrea. "Andrea! Kenapa lama sekali? Kau ..." Perkataannya menggantung saat mendapati Andrea termenung, tapi bukan itu yang menjadi fokusnya. Melainkan benda yang ada di tangan gadis itu. "Apa yang kau pegang itu Andrea?""Eh Paman? Sejak kapan ada di sini?" tanya Andrea terkejut saat mendengar suara Danu bertanya padanya. "Apa paman sudah selesai sarapan?" lanjutnya."Paman sudah selesai sarapannya. Paman menunggumu tapi kau belum muncul juga untuk sarapan, makanya pamam ke sini untuk memastikan apakah semua baik-baik saja, dan yang paman temukan adalah kau lagi-lagi melamun," jelas Danu. "Apa semua baik-baik saja? Dan apa yang ada di tanganmu?" tanyanya lagi.Andrea hanya tersenyum tipis. "Semua baik-baik saja. Hanya saja aku menemukan ini terlepas dari
"Andrea, kau baik-baik saja bukan?" tanya Danu dengan cemas saat melihat wajah shock Andrea di depan pintu kamar tempat pria yang ditolongnya berada."Wajahmu pucat, apa terjadi sesuatu?" tanya Galang menimpali pertanyaan Danu. Awalnya ia dan Danu berniat menggantikan Andrea untuk menjaga pemuda di dalam sana agar gadis di hadapan mereka ini bisa beristirahat, tapi yang mereka temukan justru Andrea berdiri mematung dengan wajah shock. Ada apa sebenarnya? Apa kondisi pemuda itu menurun lagi seperti minggu lalu? Atau lebih buruk lagi, pemuda itu ....Galang menggeleng, mencoba mengenyahkan pikiran negatif yang menghampiri kepalanya. Tidak! Ia tidak boleh seperti ini. Pasti pemuda itu baik-baik saja. Tangannya bergerak memegamg dan menggoyangkan lengan Andrea. Menyadarkan gadis itu dari keterpakuannya. "Andrea! Semua baik-baik saja, 'kan?" tanyanya sekali lagi.Andrea yang merasakan lengannya digoyang-goyangkan
Dimas mengerjap pelan menyesuaiakan cahaya yang masuk ke matanya. Setelahnya ia mengedarkan pandangannya. Keningnya mengerut melihat kamar yang tampak asing baginya ini. Di mana ia saat ini? Bukankah ia sedang dalam perjalanan pulang, tapi mengapa ia berada di tempat asing ini?"Mama ingin kau pulang hari ini juga! Jika tidak, kau tahu akibatnya!"Dimas mendesah lelah setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh ibunya. Ia meletakkan ponselnya begitu saja di jok di samping kemudi. Selalu seperti ini, selalu dihadapkan pada tuntutan yang tidak dapat ia tolak. Kenapa ibunya tidak pernah mau mengerti? Ia hanya ingin menenangkan diri sebentar, menghilangkan penat akibat rutinitas yang dijalaninya. Namun, kenapa sulit sekali untuk mendapatkan hal itu? Kenapa ia tidak bisa tenang sebentar saja? Tidak bisakah lepas dari segala semua yang terasa mengimpitnya selama ini?Sibuk dengan pikirannya, membuat Dimas ti
Pertanyaan yang keluar dari bibir Dimas membuat Danu menghela napas lelah karena sedari tadi berarti penjelasan yang ia jabarkan sia-sia saja. Tidak satu pun didengar oleh pemuda yang baru bangun setelah dua minggu lebih tidak sadarkan diri ini. Namun terlepas dari itu, ia merasa lega di saat yang bersamaan. Ini berarti pemuda yang ia tolong tidak ada kaitannya sama sekali dengan Andrea."Kau benar-benar tidak mendengar perkataan Danu?" tanya Galang dengan suara rendah tapi penuh penekanan. Berulang kali ia mengembuskan napas, guna menahan emosi. Ia sadar, yang mereka ajak bicara adalah orang baru sadar dari tidur panjangnya. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri, pun mengembalikan fokus. Namun apa semua yang mereka katakan terlewat begitu saja? Tidak satu pun yang disimak? Termasuk saat Danu memperkenalkan mereka tadi? Setidaknya pemuda ini pasti menyimak saat Danu menyebut nama mereka satu persatu, 'kan?Dimas yang mendengar pertanyaan itu membuatnya merasa bersalah. "
"Bagaimana, Paman?""Mau bagaimana lagi? Sepertinya pemuda itu memang harus tinggal lebih lama di sini," ujar Danu menjawab pertanyaan Andrea. Tidak ada pilihan bagi mereka bukan? Tidak mungkin juga untuk membiarkan pemuda itu luntang-lantung tanpa tujuan sementara pemuda itu tidak mengingat apa pun.Pada akhirnya mereka membawa pemuda itu ke rumah sakit untuk memeriksa dan memastikan kondisinya. Hasilnya pun tidak berbeda dengan yang dikatakan oleh Dokter Dania beberapa hari yang lalu. Pemuda itu benar-benar hilang ingatan. Beruntung kondisi fisiknya sudah membaik. Hanya butuh beberapa hari untuk memulihkan kondisinya seperti sedia kala."Kau tidak keberatan bukan? Dia tinggal di sini lebih lama lagi?" tanya Danu. Meski ia tahu Andrea gadis yang baik dan tidak akan tega menolak permintaannya, tapi ia tetap menghargai gadis ini. Tidak mungkin ia memaksa Andrea untuk terus merawat orang asing, terlebih seorang pria.
"Maaf terlambat. Sudah waktunya makan siang," ujar Andrea mengejutkan Dimas yang duduk bersandar di kepala ranjang. "Oh maafkan aku mengejutkanmu! Aku hanya membawakan makan siang untukmu," tukas Andrea sambil meletakkan nampan di atas nakas di samping ranjang. "Ayo makan dulu. Kau harus minum obatmu," ucapnya lagi sambil menyendok sesuap nasi berisi lauk ke arah Dimas yang masih menatapnya dengan lekat. "Aku ... aku bisa sendiri," ujar Dimas dengan tergugu menolak saat Andrea hendak menyuapinya. "Sudah! Jangan menolak, ayo cepat dimakan." Dimas masih menatap ragu dan diam, enggan membuka mulutnya. Tentu saja itu membuat Andrea jengkel. "Mau sembuh atau tidak?" ketus Andrea. "Ayo buka mulutmu dan makan!" lanjutnya. Mendengar nada ketus dari Andrea membuat Dimas mau tidak mau membuka mulutnya. Menerima suapan dari Andrea. Satu suap, dua suap ... Andrea terus men