Sejak subuh Milly sudah bangun dan mandi keringat. Tubuhnya jauh lebih segar dan demamnya hilang.
Entah, obat apa yang telah dokter kemarin berikan padanya tapi Milly langsung membaik. Pagi itu ia sudah masak nasi goreng untuk sarapan adik dan ayahnya. Martin yang terbangun kemudian terlihat heran. Kakaknya tampak ceria dan sehat. Setelah membuatkan beberapa lauk untuk makan siang, Milly meminta Martin untuk menjaga ayahnya. "Mau langsung kerja, Mbak?" tanya Martin heran. "Iya. Tapi mau mampir ke kilinik buat ambil hasil tes darah kemarin. Sesuai saran kamu juga, harus jaga diri. Kamu nggak kuliah 'kan?""Enggak. Tapi jangan maksa diri bangetlah! Sepenting apa 'sih sampe buru-buru balik kerja lagi?" Martin terlihat kesal. Milly menelan cairan di mulut dengan resah. Ia meninggalkan meja tempat meramu obat ayahnya dan duduk di sebelah adiknya. Jarinya yang lentik walau tanpa perawatan mengelus lengan Martin yang segera ditepis dengan kesal. "Tin ... jangan ngambek gitu dong. Kita udah nggak ada uang. Tinggal dua puluh ribu buat naik angkot ke hotel. Bapak dua hari lagi harus cuci darah. Semua kebutuhan hidup terus mengejar. Mengerti dikiiit aja. Ok?"Martin menatap langit-langit rumah dengan mata berkaca-kaca. Hatinya resah dan tidak lagi sanggup melihat pekerjaan kakaknya saat ini. "Martin malu, Mbak! Bukan karena profesimu! Karena Martin cowok dan cuman jadi beban!" seru adiknya dengan emosi. Milly memeluk kepala adiknya dengan erat dan penuh kasih. "Suatu saat, kamu yang akan membuat kita bahagia," bisik Milly. Martin tergugu dengan memeluk pundak kakaknya. ***Baru saja Milly muncul di klinik, asistan yang kemarin mendekat, Sari. Setelah mengajaknya ke ruang tunggu, Sari mengulurkan amplop tersebut. "Bu, Dokter Prana masih ada pasien, tapi sebentar lagi selesai. Bisa tunggu dulu?" "Bi-bisa. Ada apa ya?" Milly terlihat cemas dan pikirannya mulai menebak dengan liar. "Hanya standard penyampaian saja, Bu. Harus dokter yang bersangkutan supaya sesuai prosedur program kita," jawab Sari dengan cepat.Milly mengangguk dengan wajah lega. Matanya yang sempat menyiratkan kecemasan, kini kembali biasa.
Prana benar, Sari juga melihat ada kepolosan dalam sikap Milly. Wanita itu seperti butiran berlian dalam kubangan lumpur. Mungkin apa yang dijalani selama ini, tidak sepenuhnya karena ingin. Kondisi dan kerasnya hidup, kadang menuntun manusia untuk membuat pilihan sulit.Tidak lama kemudian, Prana muncul dan dokter muda yang sangat mempesona dan berkharisma tersebut menyapa Milly dengan ramah. Setelah menyampaikan tentang sosialisasi yang aman tentang keintiman dalam profesinya, Prana mengabarkan jika dirinya bersih dan tidak mengalami penyakit apa pun. Milly tersedu dan hatinya menjadi ringan. "Terima kasih, Dok." Berulang kali ucapan itu terlontar dari mulutnya. "Mungkinkah untuk beralih ke profesi lain? Bekerja untuk lembaga kami misalnya?" Milly tercekat. Ia tidak mengira jika dokter itu mengatakan hal yang begitu ia hindari untuk jawab. "Maaf, saya permisi. Terima kasih sekali lagi." Milly bangkit dan meninggalkan Prana yang menyesal telah menutup kesempatannya untuk menggali lebih dalam. 'Apakah aku terlalu buru-buru sampe bikin dia tersinggung?' batin pria itu. ***Berita tentang pesta nanti malam menjadi buah bibir di kalangan rekan kerja Milly. Sementara mereka di ruang persiapan yang juga merangkap kamar mandi umum tersebut, Milly mendengar jika ada seorang miliader yang kaya raya bahkan menduduki peringkat dua di Indonesia memesan club sepenuhnya. Hanya orang berduit saja yang mampu mengelontorkan uang sedemikian banyak untuk memesan club untuk private. "Jena, Lora dan Milly, dipanggil sama Derry!" teriak salah satu temannya. Dengan dada berdebar, Milly segera membereskan riasannya. Jam baru menunjukkan pukul enam sore. Tidak seharusnya ia dan kedua temannya mulai bekerja. Mereka memilih untuk datang karena bisa mandi dan bersantai di ruang berpendingin dengan tenang. Ketika masuk ke kantor Derry, hati Milly berdenyut sakit. Renzo juga ada di sana. Pengalamannya digilir sepuluh tamu tanpa bayaran melintas dan itu sangat membuatnya trauma."Kalian tahu malam nanti ada tamu khusus?" tanya Renzo. Ketiganya mengangguk. "Lora, kamu menemani Tuan Benny. Jena kamu mendapatkan kehormatan untuk menemani bos miliader, Tuan Jetro Six. Dan Milly, kamu menemani Herto. Paham?!" seru Renzo. Milly merasakan gemuruh amarah di dadanya. Renzo memerintahkan dirinya untuk menemani pria yang telah menyebabkan Milly menanggung penderitaan batin. Derry meminta ketiganya segera bersiap pukul delapan malam di club.Dengan langkah gamang Milly berjalan dan pandangannya tidak fokus. Beberapa kali ia menabrak orang.Jena memekik gembira saat mengabarkan tentang dirinya yang terpilih menemani sang miliader. Lora juga beruntung menemani Benny, pria baik yang sesungguhnya menjadi favorit Milly karena pria itu hanya butuh ditemani mengobrol dan minum saja. Tapi Herto? Pria menjijikkan itu akan melakukan hal yang membuat Milly mual dan mengalami mimpi buruk. Selama dua jam Milly hanya duduk dengan pandangan kuyu di depan kaca. Tepukan Lora mengingatkan dirinya untuk bersiap. Milly menatap dirinya dan dengan lesu, dan memutuskan berdandan seadanya. Rambutnya yang indah ia ikat sembarang. Gaun terusan berwarna ungu muda dengan corak bunga di bawah menjadi pilihannya. Gaun dengan bawahan lipit lebar itu memang tidak menunjukkan liuk seksi tubuhnya. Tapi dengan penampilan tanpa make up tebal dan gaun rempel selutut tersebut justru membuat Milly terlihat anggun. Rambutnya yang terikat sembarangan dengan anak rambut menghiasi kening, membuat Milly terlihat seperti gadis polos yang menawan. Ketika melangkah masuk, Lora segera melemparkan diri pada Benny. Jena melenggang dengan anggun lalu duduk di sebelah pria paling tampan dan menarik dengan wajah blasteran. Milly menunduk dan duduk tanpa suara di sebelah Herto yang tersenyum penuh kemenangan. Entah kenapa, saat melihat gadis terakhir dengan gaun ungu dan riasan wajah yang tidak mencolok, Jetro seketika terpana. Ia menyesap minumannya dengan pelan dan mengisap cerutu tanpa melepaskan pandangannya pada Milly. Wajah wanita itu mengingatkan dirinya pada sosok putri yang tergambarkan pada film dan cerita fantasi. Matanya yang sayu mengerjap dengan ekspresi tertekan. Dagunya berbentuk oval sempurna, dilengkapi leher yang jenjang, membuat gadis itu begitu menawan di bawah sinar lampu yang temaram. Musik mulai berdengung dengan lembut. Renzo menyapa semua pria kaya yang menjadi tamunya malam itu dan tampak sekali ia mencoba memikat dengan perkataan manis."Renzo!" panggil Jetro tiba-tiba. "Ya, Tuan Six?" jawab Renzo ramah. "Kenapa kau tidak memberiku gadis itu?" tunjuk Jetro pada Milly.Jena yang sibuk mengusap dada Jetro terperanjat, begitu juga semua yang ada di meja tersebut tak terkecuali Milly.
"Ka-karena Jena lebih pintar, Tuan Six! Dijamin tidak kecewa!" jawab Renzo segera menguasai diri. "Aku mau dia! Kau tidak keberatan 'kan Herto?" tanya Jetro sembari mengebulkan asap cerutu. Milly mengeraskan rahangnya. Dirinya mirip dengan barang dagangan! "Ten-tentu tidak, Jetro! Aku tidak keberatan!" sahut Herto dengan hati mengumpat. Jena memang terkenal hebat di ranjang, tapi Milly jauh lebih menantang! Benny tertawa. "Matamu sangat jeli, Jetro. Milly adalah teman yang menyenangkan! Terutama di lantai dansa!" timpal Benny dengan senyum ramah dan hangat. Jetro mematikan cerutu dan melepas jasnya. Renzo tidak berkutik lagi. Milly menunduk, terus menatap lantai. Hatinya begitu terluka oleh permainan malam itu. "Berdansalah denganku!" Jetro mengulurkan tangan kokohnya pada Milly. Dengan gerakan pelan, Milly menyambut. Keduanya kemudian meluncur di lantai dansa. Tubuh Milly yang gemulai dan lentur, seperti pasrah di tangan Jetro. Pria itu ternyata pintar berdansa waltz. "Tidak seharusnya kau pilih aku!" ucap Milly geram. Jetro memicingkan mata kaget. Ada raut kesal pada wajah Milly. "Kupikir menjadi pilihanku adalah suatu kehormatan?" tanya Jetro. "Mimpi!!" "Yaa ... kulihat temanmu tadi cukup terpesona padaku." "Aku punya urusan dengan Herto!" "Oh ... rupanya kau kekasih Herto? Menarik sekali!" Tubuh Milly berputar dan Jetro menangkapnya dengan lembut. Milly mengagumi kelihaiannya. "Sembarang! Pria itu perlu kuhajar! Dia telah menipuku!" Jetro terkesiap. "Siapa namamu?" "Mau apa?" "Bagaimana nanti manggil kamu?! Kecuali kau suka dengan nama baru dariku. Singa kecil." Milly menahan kesal yang mengumpal. "Milly!" Jetro tersenyum. "Milly, from now on, you're mine!" Senyum Jetro terkembang. Sementara Milly melotot penuh protes!Pesta yang diadakan oleh Jetro terus berlangsung. Sementara mereka berdansa, Milly menjadi sasaran cibiran semua rekan kerjanya, terutama Jena.Beberapa tamu undangan memandang mereka seperti pasangan yang sangat serasi. Sedangkan tidak sedikit yang mencibir tentang kebersamaan mereka."Ayo, kita minum!" Jetro menggandeng pergelangan mungil Milly.Wanita itu seperti robot yang telah terprogram. Ia tidak menjawab atau merespon. Ekspresinya kadang sedih, seringkali datar.Jetro membelikan margarita untuk mereka. Setelah berdansa selama satu jam, keduanya terlihat lelah.Jetro menarik Milly untuk duduk dengannya. Dengan satu sentakan, Milly duduk. Giginya terpaut menyatu menahan lelah juga geram.Tangannya meraih gelas dan menenggak habis margarita tersebut tanpa jeda."Wah kau terlihat haus, Milly! Mau minum lagi?" tanya Jetro. Milly terdiam dan hanya melirik sinis."Herto, bisakah kau membantu mem
Milly terus menunduk tanpa bicara sepatah kata pun. Jetro baru selesai mandi dan melihat Milly duduk di tepi pembaringan dengan sikap salah tingkah.Gadis itu semakin membuat Jetro terpikat. Ia tidak pernah menemui seorang wanita panggilan yang memiliki karakter yang begitu unik dan jauh dari kata liar."Berapa lama kamu menjalani profesi ini?" tanya Jetro.Milly mengangkat wajahnya dengan tatapan tidak suka."Perlukah aku menjawab?!" tanya Milly dengan nada tersinggung. Jetro tidak terganggu dengan balasan tersebut."Aku sudah memesanmu untuk dua malam! Usahakan jangan keluar kamar selama aku pergi. Baju ganti nanti akan disiapkan oleh asistenku!"Jetro sudah rapi dengan kemeja dan celana panjang. Dengan cepat, pria itu juga memakai sepatu.Tanpa pamitan, Jetro meninggalkan Milly. Wanita itu terhenyak. Ini baru pukul lima pagi dan Jetro sudah siap ke kantor?Ini pertama kali selama menjalani pro
Milly masuk dengan hati berdebar dan jantung berdetak dengan kencang. Seakan-akan takut jika jantungnya melompat keluar, Milly mendekap bantal dengan erat.Jetro berganti pakaian tanpa risih sedikit pun di depan Milly.Tubuhnya yang terpahat sempurna dengan bahu kokoh dan dada bidang tersebut seharusnya indah untuk dipandang. Namun Milly memilih menunduk dan menutup mata dengan rapat."Ini uang tipsmu. Semua hotel beserta tagihan lainnya sudah kubayar. Lain jika kuperintahkan untuk di kamar jangan keluar tanpa ijinku! Aku kurang menyukai orang yang tidak mematuhi perintah!" Suaranya sangat lantang dan dingin.Berbeda sekali ketika mereka sedang bercinta, Jetro begitu lembut padanya. Milly beranggapan, pria itu hanya memanfaatkan dirinya saja. Semua kelembutannya adalah taktik untuk bercumbu dengan para wanita. Karakter asli Jetro yang angkuh dan arogan akan muncul kembali saat mereka tidak melakukan keintiman."Maaf," ucap Milly singkat.&
Milly duduk di teras rumah dengan wajah termenung dan pikiran penuh. Walau tubuhnya tidak lelah, tapi Milly tidak bisa mengerjakan apa pun.Pikirannya terus dijejali dengan rasa khawatir akan kondisi ayahnya yang sempat menurun tadi pagi. Untunglah, ia baru saja mendapatkan uang yang cukup fantastis dari hasil menemani Jetro selama dua malam, lima puluh juta rupiah!Setelah membawa ke rumah sakit dengan Martin, dokter mengatakan jika ayahnya harus mendapatkan ginjal baru.Harga sebuah ginjal tidak murah. Walau begitu, bukan itu bagian yang tersulit. Mendapatkan ginjal yang cocok untuk ayahnya adalah hal yang rumit dan butuh waktu.Milly juga bertemu dengan Prana yang akhir-akhir ini sering mengirim pesan yang membuat Milly segan.Tanpa alasan yang masuk akal, Prana menawari untuk membantu pengobatan ayahnya. Milly tahu kemana muara dari pertolongan tersebut. Semua bantuan, akan ada timbal baliknya."Mbak! Bapak kejang!" teriak Martin d
Milly tidak memahami pikirannya sendiri. Bagaimana ia bisa menyetujui tawaran Jetro dan menolak bantuan Prana?Keduanya pasti menuntut hal yang sama. Pernikahan. Namun Milly setidaknya bisa merasa dihargai jika memilih Prana!Menghadapi Jetro yang angkuh, kasar dan sinis sangat melelahkan emosinya.Belum lagi rasa benci yang mulai menggunung dalam batinnya. Tapi semua sudah terlanjur. Milly menggadaikan hidupnya pada pria brengsek yang menikmati tubuhnya tanpa cinta!Jetro memenuhi janjinya. Ia menyediakan fasilitas terbaik di rumah sakit untuk ayahnya dan pembayaran penuh untuk kuliah Martin.Jetro juga menawarkan mobil dan rumah, tapi Martin menolaknya."Aku nggak mau Mbak Milly makin berhutang budi!" tangkis adiknya penuh pengertian.Semua berjalan baik. Jetro bahkan menebus Milly dari hotel yang dikelola Renzo.Pria serakah itu meminta tebusan lima ratus juta untuk primadonanya. Milly yakin, semua
Menjelang malam, Milly ingin rasanya keluar kamar dan menikmati suasana villa yang terlihat begitu mengagumkan, tapi hatinya sungkan. Ada rasa kikuk yang menyelimutinya.Mengingat Jetro adalah pria yang penuh dengan aturan aneh, Milly akhirnya memilih untuk berdiam di kamar dan menunggu hingga perintah datang untuknya.Ketukan di pintu terdengar dan Milly bergegas membukanya."Kamu sampai kapan ada di kamar?" tanya Jetro dengan tatapan heran.Mulut Milly membeku. Ia tidak memiliki keberanian menjawab."Aku ....""Makan malam sudah siap, cepat ke bawah sebelum semua dingin," potong Jetro. Pria itu berbalik dan meninggalkan Milly. Dengan langkah tergesa, ia pun menyusul.Berbagai hidangan tersusun dengan indahnya di atas piring dan mangkuk porselen. Saking terpesonanya, Milly hanya menatap piring dengan mulut membulat. Terasa sayang untuk menyentuh dan merusak penampilan masakan tersebut."Tutup mulutmu
Sudah hampir sebulan lamanya Milly tinggal di pulau terpencil tersebut bersama Jetro.Terlepas dari kehangatan di ranjang yang membuatnya terlena, Milly baru menyadari jika Jetro ternyata sangat posesif!Pagi itu, Virgo berpamitan untuk menuntaskan beberapa urusan bisnis Jetro dan mengatakan mereka akan kembali besok.Milly tidak melihat ada yang darurat dengan kepergian mereka dan akhirnya ia memilih berpetualang.Setelah menyiapkan bekal makan siang, Milly menelusuri tepi hutan yang langsung menghadap ke laut. Betapa indahnya pulau tersebut pada sisi bagian utara.Milly menghabiskan waktu untuk berenang dan membawa peralatan snorkeling.Virgo telah mengajarkan beberapa teknik canggih yang membuatnya makin mahir dalam menggunakan peralatan tersebut.Setelah menjelang sore, Milly kembali dan menemukan Jetro berteriak murka padanya."Siapa yang mengijinkan kau keluar, Milly?!" teriaknya penuh amar
Milly memicingkan mata untuk menghindari sinar matahari yang menerobos lewat kisi-kisi jendela atas. Ketika menyadari ia berada di kamar Jetro, Milly bergegas bangkit serta menyambar pakaiannya.Ada rasa malu bercampur jengah yang menguasai dirinya. Setiap berada dalam radius satu meter dengan Jetro, ia tidak mampu mengendalikan diri.Badai telah berakhir dan matahari telah bersinar kembali. Tidak ada alasan untuk Milly tetap berada di kamar tersebut.Jetro sendiri entah ada di mana, tapi Milly memilih menjauh hari ini. Ia tidak akan membiarkan dirinya tenggelam dalam jerat yang tidak bisa hindari.Ketika akhirnya jam makan siang berdentang, Milly meneguhkan hati untuk bergabung dengan siapa pun di meja makan."Kamu tidak muncul makan pagi ya?" sapa Virgo dengan ramah."A-aku ketiduran," jawab Milly gugup. Jetro tidak terlihat saat ini.“Teh atau kopi?” tawar Virgo dengan nada yang sama, ramah.&