Share

Two Strangers

June masih terpaku di tempatnya berdiri menatap Drake. Ia masih belum percaya kalau Drake adalah atasannya sekarang. Otaknya mulai beku, telinganya pun mendadak tuli, ia nyaris tidak mendengar apa yang Drake katakan. Ia masih mencoba mencerna kenyataan yang ada di hadapannya itu. Kalau Drake adalah atasannya, bagaimana mungkin ia membalas dendam?

“June? Hey! June Hanson!”

Drake memanggil-manggil June sambil melambai-lambaikan tangannya sebab June sepertinya sedang menghilang ke alam yang lain. June tiba-tiba tersadar, ia tidak boleh termangu terus seperti ini. Drake sepertinya sama sekali tidak ingat pada June, jadi June memutuskan untuk berpura-pura tidak mengenal Drake juga.

“Ah, iya pak. Saya akan buatkan kopi. Bapak suka yang manis atau kopi hitam saja?” tanya June.

“Kopi susu dengan sedikit gula saja. Setelah itu siapkan catatan, siang ini kita ada meeting penting,” katanya sambil langsung menatap layar laptopnya.

“Baik, Pak,” kata June sambil memalsukan seulas senyum. Ia berusaha bersikap seprofesional mungkin. Dengan cepat, June berbalik menuju keluar ruangan. Ia bahkan belum tahu di mana tempat untuk membuat kopi, tapi ia akan segera mengetahuinya setelah ini. Sambil menenteng tasnya, June keluar dari ruangan itu lalu menengok ke kiri dan kanan, mencari orang yang bisa ia tanyai. Ia bahkan belum tahu di mana meja kerjanya, tapi sekarang ia harus membuat kopi dulu.

Semua orang terlihat sibuk, berjalan kesana kemari dengan cepat, atau fokus di depan komputernya masing-masing.

“Permisi...”

“Eh, permisi... aku...”

Tidak seorangpun mengindahkan kata-kata June, hingga akhirnya June memutuskan untuk menemui Anne, si resepsionis yang juga terlihat sibuk, mengangkat telepon yang berdering terus menerus. Saat melihat June, Anne hanya melirik seolah bertanya apa yang ingin ia katakan, selagi mengangkat dan menjawab telepon.

“The Burton Group, selamat pagi. Dengan Anne bisa saya bantu?” katanya menyapa penelepon.

“Di mana pantry? Aku mau membuat kopi,” bisik June, berharap Anne bisa membaca gerak mulutnya.

“Oh biar saya sambungkan. Tunggu sebentar,” katanya. Ia kemudian memijit beberapa angka di teleponnya.

“Lurus dari sini, pantrynya ada di sebelah kiri,” katanya cepat, sambil menutup telepon. Telepon itu kemudian berdering lagi.

“Terima kasih,” kata June. Anne hanya mengangguk dan melambai sambil mengangkat telepon berikutnya.

June berjalan ke arah yang ditunjukkan Anne dan akhirnya ia menemukan pantrynya. June mencari cangkir minum yang cukup bagus, kopi, gula, dan air hangat. Semuanya tersedia lengkap di pantry. Sepertinya, tugas utamanya hari ini akan berjalan dengan lancar. Dengan pengalamannya sebagai sekertaris direksi selama bertahun-tahun, membuat kopi adalah perihal yang sangat mudah.

Setelah selesai membuat kopi, June segera mengambil nampan yang cukup bagus lalu membawanya kembali ke ruangan Drake sambil menenteng tasnya. Ia berjalan hati-hati lalu memijit tombol bel seperti yang dilakukan Anne tadi.

“Siapa?”

“June, Pak.”

Tiba-tiba kunci pintu terbuka, June membuka pintu dengan sebelah tangan lalu masuk ke dalam. Pria itu sama sekali tidak melihat June. Matanya fokus menatap koran dan laptop yang ada di hadapannya. June menaruh kopinya di atas meja lalu berdiri di hadapan Drake.

“Duduk dan ambil catatanmu,” kata Drake sambil terus mengetik.

“Siapkan data ini,” kata Drake sambil membalik laptopnya.

Ia menjelaskan data apa yang harus June olah. June mencatat semuanya dalam buku catatan yang ia bawa dari rumah. Drake memintanya membuat sebuah slide presentasi, lebih tepatnya melengkapi slide presentasi yang sudah ada.

“Kapan slide presentasi ini harus sudah selesai, Pak?” tanya June.

“Dua jam lagi,” jawab Drake cepat.

June melebarkan matanya, gagal menutupi ekspresi terkejut di wajahnya.

“Kenapa? Tidak sanggup?”

“Sanggup, Pak!” seru June cepat.

“Ya sudah, pergi dan kerjakan cepat. Lalu ikut denganku meeting di luar,” jawab Drake.

“Baik, Pak,” jawab June. Ia segera berdiri dan menenteng tasnya menuju keluar ruangan.

“Kamu mau kemana?” tanya Drake tiba-tiba, menghentikan langkah June.

“Mencari meja kerjaku, Pak,” jawab June jujur. Ia berpikir pasti meja kosong di depan ruangan tadi adalah mejanya.

“Kamu bekerja di sini,” jawab Drake.

“Eh?” June terkejut. Drake melirik ke sebuah meja kecil di dalam ruangan kerja yang besar itu yang sudah dilengkapi dengan komputer. Letaknya tidak jauh dari meja Drake. Kenapa sejak tadi June tidak memperhatikannya?

“Itu meja kerja saya?” tanya June. Sedetik kemudian June menyesalinya karena tatapan mata Drake begitu dingin dan tegas.

“Tidak suka?” tanyanya dengan nada suara yang tidak kalah dingin.

“Suka, pak,” jawab June.

“Saya tidak suka sekertaris saya berada di luar ruangan karena saya suka seseorang yang selalu siap dan dekat. Jadi saya tidak perlu tenaga ekstra untuk memanggil atau mencari kamu. Mengerti?” tanyanya lagi.

“Mengerti, Pak,” jawab June lagi. Di dalam hatinya, June mengumpat, tapi bibirnya menyunggingkan senyum. Inilah yang June sebut dengan profesionalitas. Ia kemudian berjalan cepat namun tenang ke arah meja kerjanya. Mata Drake melirik mengikuti langkah kaki June menuju meja kerjanya. Ia kemudian mendengus. Karena ini hari pertamanya, Drake akan membiarkannya banyak bertanya seperti tadi. Drake mengambil kopinya lalu meniupnya dan menyesapnya pelan. Kopinya enak. Drake menyesapnya lagi lalu melirik ke arah June. Rasanya ia pernah melihat wanita itu di suatu tempat, tapi entah di mana. Drake tidak ingat lagi.

June mendengus pelan karena kesalnya. Berada satu ruangan dengan atasannya, apalagi orang yang paling ia benci di muka bumi ini sepanjang hari adalah hal terakhir yang ia inginkan. Selama menjadi sekertaris di tempat lain, ia selalu mendapatkan privasi cubiclesnya sendiri. Meskipun kecil, tapi ia bisa melakukan apapun yang ia mau, bahkan terkadang melepaskan stocking, melepaskan high heelsnya sekali-sekali, atau seperti kebanyakan pekerja lainnya sesekali melihat media sosial di handphonenya. Jika begini, June harus terus terlihat profesional tanpa jeda sedikitpun. Pantas saja gajinya besar, batin June.

June kemudian mengerjakan semua data yang harus ia kerjakan, melengkapinya pada slide presentasi Drake sesuai yang diminta. Data itu begitu banyak dan rumit, June harus memeriksanya berulang kali lalu merapikan tampilan slidenya agar terlihat lebih baik. June terhanyut dalam pekerjaannya hingga akhirnya ia tersadar bahwa waktu dua jamnya sudah akan habis. Ia sudah menyelesaikan slide terakhirnya ketika tiba-tiba Drake sudah berdiri di hadapannya.

“Sudah selesai?” tanyanya.

“Sudah, pak. Sudah saya kirimkan pada Bapak sesuai instruksi,” jawab June penuh percaya diri.

Drake kemudian kembali ke meja kerjanya, membuka hasil kerja June yang sudah diemail kepadanya. Drake memeriksanya dengan seksama. June mengerjakan semuanya dengan sangat baik, rapi dan teliti. Drake mengangguk-angguk. CV June yang mengesankan memang tidak berbohong, meskipun terakhir kali ia dipecat dari perusahaan sebelumnya. Drake sangat membutuhkan sekertaris saat itu, jadi ia mengabaikan fakta terakhir dan menerima June untuk masuk bekerja hari ini.

“June, kemarilah,” kata Drake.

June berjalan ke arah meja Drake lalu duduk di hadapannya.

“Katakan padaku, kenapa terakhir kali kamu dipecat dari pekerjaanmu?” tanya Drake langsung pada intinya. Rasa penasaran sangat menggelitik di pikirannya. June sedikit terkejut, pikirannya berkelana pada malam saat mereka mabuk. Itulah saat June dipecat dari pekerjaannya.

“Sebagai atasan barumu aku berhak tahu, kan?” tanyanya lagi. Matanya yang coklat itu menatap June dengan tajam, namun sedikit lebih ramah. Seketika jantung June berdegup lebih kencang, membayangkan mata coklat itu setahun lalu berada sangat dekat dengannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status