Share

2. Hukum Kekekalan Cinta

Risa tengah mendengarkan penjelasan Bu Ari dengan seksama. Bu Ari tengah menjelaskan tentang Hukum Kekekalan Massa.

"Jadi anak-anak, massa zat sebelum dan sesudah reaksi kimia itu sama. Massa itu bukan berat ya. Mereka besaran yang berbeda. Massa benda selalu sama dimanapun ia berada. Sedangkan berat benda berbeda-beda tergantung nilai gravitasi yang ada di daerah itu."

"Hukum kekekalan massa dapat kita lihat dari contoh reaksi antara hidrogen dengan oksigen. Kedua zat itu berwujud gas. Setelah bereaksi terbentuklah air dalam wujud gas, yang apabila suhunya mendingin akan berubah menjadi air. Dari contoh ini kita bisa pahami bahwa berdasarkan Hukum Kekekalan Massa, jumlah zat yang bereaksi akan sama dengan zat hasil reaksi. Hanya saja wujud zat yang dihasilkan berbeda dengan wujud zat pembuatnya."

Risa dengan penuh minat dan konsentrasi mendengarkan penjelasan Bu Ari. Citra yang sedang mengalami jatuh cinta sesekali melirik pada cowok incarannya, yaitu Gio. Sampai tidak memperhatikan penjelasan sang guru.

"Baiklah untuk tugas di rumah kalian kerjakan lagi soal di buku pegangan kalian halaman 15-18 ya. Kemarin masih banyak yang salah. Demikianlah pelajaran hari ini. Kurang lebihnya saya mohon maaf. Selamat siang."

"Siang Bu," kompak para siswa.

Risa menoleh ke arah sahabatnya lalu menyentuhkan bahunya ke bahu Citra dengan keras.

"Eh ... copot... copot."

Risa tertawa melihat tingkah sahabatnya. Citra memang punya kebiasaan latah kalau kaget.

"Apaan sih?"

"Kamu yang apaan. Fokus dong Cit. Ada tugas dari Bu Ari."

"Hah, tugas apaan?"

"Tugas minggu kemarin disuruh dikerjakan lagi. Konsep dasarnya masih banyak yang salah. Kita mulai dulu dari Hukum Kekekalan Massa. Untuk materi hitungan yang lain akan dijelaskan pada pertemuan selanjutnya."

"Owh ... hehehe. Kamu paham kan penjelasan Bu Ari?" Citra menatap Risa penuh makna.

"Sedikit. Kenapa?"

"Kerjain dulu ya, ntar aku nyontek dan diajarin sama kamu," ucap Citra sambil cengengesan.

"Dasar."

Mau tak mau Risa mengerjakan soal yang kemarin dan setelahnya mengajari Citra dengan penuh kesabaran.

*****

"Risa."

Risa menoleh dan tersenyum kepada Arjuna.

"Hai Kak Juna."

"Kamu mau kemana?"

"Pulang."

"Naik angkot?"

"Iya."

"Ya udah bareng yuk."

Risa mengernyitkan dahinya, heran.

"Kak Juna gak naik motor?"

"Motorku harus diservis, ayuk bareng lagi pula rumah kita searah."

"Oh ... oke."

Risa dan Arjuna atau biasa dipanggil Juna adalah sahabat. Dulunya, Papah dan Mamah Juna adalah pelanggan setia soto buatan Ibu Risa. Karena itu mereka sering bertemu makanya mereka akrab. 

Sambil berjalan menuju gerbang sekolah mereka mengobrol seru. Banyak orang yang menatap mereka berdua penuh minat. Tentu sebagian besar menatap dengan pandangan mengejek. Risa sadar jika dirinya dan Arjuna bagaikan angsa dan itik. Arjuna sangat tampan dengan kulit putih dan senyum menawan. Sedang Risa? Sudah kulit kecokelatan, dekil dan senyum aneh karena posisi gigi atasnya yang lebih maju dari gigi bawah alias tonggos.

"Ya ampun Jun, kamu jalan sama si tonggos kuper? Kayak gak ada cewek lain apa? Mending Ghea kemana-mana tahu," celetuk Diana bersama gengnya. Risa mendesah dalam hati, kenapa mereka harus berpapasan dengan Diana sih?

"Bukan urusan kamu Di, mending Risalah daripada temen kamu yang tukang selingkuh itu," balas Arjuna tak kalah sengit.

"Ghea cantik Jun, banyak yang suka jadi jangan salahin dialah. Lagian Ghea udah klarifikasi ke kamu kan?"

"Hehehe. Kamu bikin aku ketawa tahu gak Di, kamu sama Ghea kan sama saja. Katakan sama temen kamu. Aku gak sudi jalan lagi sama bekas sana sini."

"Sok alim, kamu."

"Biarin, daripada sok polos ternyata sukanya polos beneran. Atau kamu sama saja Di kayak temen kamu itu?"

"Juna!"

"Apa! Jangan kamu kira aku gak tahu kelakuan kalian diluar sana. Ayuk Ris." Arjuna langsung menggenggam tangan Risa dan melangkah keluar menuju gerbang. 

"Sial. Sial. Sial." Diana nampak kesal, lalu memutuskan segera pergi dan diikuti ketiga temannya yang menatap Diana bingung.

Tanpa ada satupun yang menyadari bahwa sejak tadi ada tatapan tajam dari pemilik mata elang. Tangannya mengepal. Rahang kokohnya bergerak seperti menahan marah.

*****

"Nunggu lama ya ternyata," ucap Arjuna.

"Nunggu angkot ya lama Kak Jun," sahut Risa.

"Pas hari minggu aku nyari kamu di GOR, kamu gak jualan?"

"Enggak. Kemarin ada tetanggaku nitipin anak kembarnya. Lumayan jagain seharian bisa nambah uang saku. Kemarin dikasih banyak juga."

"Jangan bilang kalau kamu momong adik kembarnya Abizar."

"Iya."

Abizar dan Arjuna teman seangkatan, sama-sama anak IPA hanya tak pernah satu kelas. Mereka saling mengenal meski tidak terlalu akrab.

"Abi sih punya pacar gak Ris?"

"Gak tahu Kak, kalau yang naksir banyak."

"Kalian gak pernah ngobrol."

"Jarang Kak, cuma sebatas nyapa aja. Risa bingung aja mau ngobrol apa sama Kak Abi."

"Iya yah, cowok 'AC' soalnya. Tapi sama aku gak bingung kan? Malah kalau udah ngobrol jadi lupa waktu. Hayooo, bener kan?"

"Beda Kak, Kak Juna kan orangnya supel dan ramah. Siapapun senang berteman sama Kak Juna. Termasuk Risa."

"Jadi kita cuma temen nih?"

"Ya enggak juga."

"Hah, ada yang lain lagi?"

"Iya. Aku udah menganggap Kakak sebagai kakakku."

Juna kecewa. Ah ... cuma kakak rupanya. Risa hanya tersenyum. Cukup lama keheningan meliputi keduanya.

"Tadi belajar apa?"

"Owh ... jam terakhir Kimia. Belajar Hukum Kekekalan Massa."

"Materi bagus itu. Kamu tahu gak dalam hubungan percintaan ada loh yang namanya 'Hukum Kekekalan Cinta' pernah denger?"

Risa terkekeh mendengar plesetan dari Arjuna.

"Ini baru denger dari Kakak."

"Hahaha. Iyakah?"

"Iya."

"Beneran belum pernah denger sebelumnya?"

"Belum Kak, paling dengernya Hukum Kekekalan Energi."

"Jadi kamu gak tahu ya? Sini aku kasih tahu. Hukum kekekalan Cinta itu artinya ada dua reaktan atau zat yang bereaksi. Dimana dengan bantuan katalis bernama hati terjadilah laju reaksi dan dihasilkan sebuah produk bernama cinta dua sejoli."

"Ya Allah, Kak Juna bisa aja." Risa tertawa mendengarnya.

"Beneran. Dimana produk cinta itu jumlah massanya akan sama dengan massa cinta dari kedua zat pembentuknya."

"Hahaha." Risa lembali tertawa.

Juna menatap remaja di depannya, hem ... cantik. Coba kalau giginya dipasang kawat gigi. Mukanya di kasih skincare sama tubuhnya dikasih lulur, pasti Risa akan jadi cewek yang sangat cantik dan menjadi idola.

"Kak ... Kak ... KAK," teriak Risa.

"Eh ... kenapa Ris?" Arjuna gelagapan.

"Kakak yang kenapa? Kok malah bengong?"

"Hehehe ... enggak."

Hening. Mereka tengah mengamati hilir mudik kendaraan di halte sekolah. Tampak pula siswa siswi lainnya yang juga tengah menunggu angkot atau jemputan.

"Ris."

"Ya."

"Gimana menurut kamu tentang hukum yang aku utarakan tadi?"

"Gimana ya?"

"Ungkapin aja."

"Dalam reaksi kimia bukannya reaktan atau zat yang bereaksi bisa satu atau dua zat bahkan lebih. Pun dengan hasil reaksi atau produknya. Bisa satu zat, dua zat atau lebih."

"Maksud kamu?"

"Kalau dalam reaksi kimia yang terlibat ada tiga zat gimana?"

Juna mengernyit kemudian tersenyum memahami maksud Risa.

"Astaga aku gak pernah mikir kesana. Jadi menurut kamu gimana?"

"Aku setuju dengan istilah Hukum Kekekalan Cinta dari Kak Juna hanya saja aku kurang yakin produk yang terbentuk bernama cinta dua sejoli semata."

Juna menyimak perkataan Risa dengan penuh antusias. 

"Memang sih Kak, mau satu, dua atau tiga reaktan pasti akan ada reaksi kalau memang zat itu bisa mengalami perubahan kimia. Tapi Risa juga yakin produknya juga belum tentu satu atau dua zat. Bisa juga tiga zat kan?"

"Jadi menurut kamu, bisa aja produk itu bernama cinta dua produk atau tiga produk alias cinta segitiga gitu?"

"Betul belum tentu sama wujudnya tapi sama massanya. Massa cinta untuk salah satu atau salah keduanya pasti hasil penjumlahannya tetap sama. Bahkan mungkin dalam reaksi itu bukan hanya cinta sebagai produk tapi bisa kesedihan, kemarahan, pengkhianatan dan kecemburuan. Hehehe."

"Hahaha. Gak percuma ngomong sama si pintar Risa ya."

"Kak Juna juga pintar. Bukannya selalu masuk peringkat sepuluh pararel?"

"Tapi sayang selalu kalah sama Abi. Pengennya kayak kamu jadi peringkat satu pararel."

"Kak, aku sekolah baru satu semester disini. Belum tentu semester genap aku juara lagi."

"Optimis dong."

"Tentu. Kak."

"Eh ... itu angkot kita kan?"

"Mana, oh iya ayuk Kak sebelum gak kebagian tempat duduk."

"Ayuk."

Risa dan Arjuna naik angkot bersama. Sekali lagi sepasang mata elang menatap tak suka dengan mereka. Si mata elang lalu mengendari motornya  dan melaju kencang membelah jalanan. 

*****

Risa tengah mengikuti lirik lagu India kesukaaannnya. Mumpung hari sabtu, saatnya bersantai ria. Soalnya tiap hari minggu dia harus berjualan ke GOR. 

Risa tengah menyalakan musik MP3 lewat HP jadulnya. Lagu yang ia nyanyikan saat ini berjudul 'O Saki Saki' dengan penuh semangat.

"Aduh." Risa mengaduh karena kepalanya terkena sesuatu. Hah pulpen? Astaga Risa lupa menutup jendela kamarnya. Dengan penuh was-was Risa menoleh ke belakang. Risa memaksakan senyum manisnya.

"Balikin pulpen aku!"

Brak. Tetangga 'AC'-nya menutup jendela kamarnya dengan keras. Ingin rasanya Risa langsung melempar pulpen itu balik lewat jendela kamar. Tapi sadar itu tidak sopan. Akhirnya Risa mematikan musik yang diputar. Kemudian melangkah keluar kamar.

"Mau kemana Nduk?"

"Main ke tetangga sebelah Yang?"

"Oh ... hati-hati."

"Eyang, Risa cuma ke sebelah gak main jauh kok."

"Ya tetep hati-hati. Namanya musibah kan kita gak tahu?"

"Iya Eyang. Ya udah Risa ke sebelah ya Eyang?"

"Iya."

Risa akhirnya keluar rumah dan menuju ke rumah tetangga sebelah. Sampai di depan pintu gerbang, Risa terkejut mendapati suasana rumah tetangganya yang ramai.

"Eh ... Risa sini Nduk, kenalan sama keluarga Tante dari Jogja."

"Oh ... i-iya Tante." Dengan canggung Risa menyalami semua keluarga Tante Maira. Kurang lebih ada sekitar sepuluh orang dewasa belum lagi anak kecilnya. 

"Mbak ... ayo ikut Asyila main." Asyila si bungsu berusia tujuh tahun langsung menarik tangan Risa. Mau tak mau Risa malah jadi ikutan main. Fix, kali ini pun Risa tengah menjadi baby sitter lagi.

Risa akhirnya ikut bermain bersama Asyila dan kembarannya Athaya. Juga dengan ketiga anak lain yang merupakan sepupu si kembar.

"Ris, makan dulu Nduk."

Risa menghentikan larinya. Kemudian melirik jam di dinding ternyata hampir waktunya makan siang. 

"Gak usah Tante. Risa pulang aja. Mau makan sama Eyang." Risa berusaha menolak dengan halus.

"Wes makan disini."

Tante Maira langsung menarik Risa duduk di kursi makan dan mengambilkan makanan langsung untuk Risa."

"Risa jadi gak enak Tante," ucap Risa sambil mengulurkan tangan menerima pemberian Tante Maira.

"Udah dimakan, gak usah malu. Kayak sama siapa kamu itu," tegas Tante Maira.

Akhirnya Risa ikutan makan dengan canggung. Namun kecanggungan Risa perlahan menguap entah kemana begitu mendapati keluarga besar Tante Maira yang menyambutnya hangat. Bahkan Risa berkali-kali tertawa mendengar banyolan Yoga sepupu si AC. AC sendiri seperti biasa, pasang muka datar dan dingin.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan  pukul setengah dua, waktunya Risa pulang.

"Ris, bawa ini ya buat Eyang kamu." Maira menyerahkan beberapa jajanan dan lauk untuk Risa. 

"Ya Allah, Tante nggak usah repot-repot."

"Halah, gak repot kok."

Mau tak mau Risa menerima pemberian Tante Maira.

"Makasih Tan, Risa pulang dulu ya."

"Iya."

Saat menuju gerbang dan akan membukanya, suara dingin menghentikan langkah Risa.

"Iya Kak?"

"Mana pulpenku?"

"Hah?" Risa melotot tak percaya.

"Owh ... iya hehehe. Ini Kak."

Risa menyerahkan pulpen milik Abizar. Setelah menerima pulpennya Abizar langsung masuk ke dalam rumah tanpa bicara sepatah katapun.

"Ckckck, dasar AC. Jangan sampai kamu suka cowok macam dia, Ris. Yang ada kamu bakalan makan hati dan dahimu mengerut sana sini," lirih Risa sambil membuka gerbang rumah Abizar. Kemudian menutupnya kembali dan berjalan menuju rumahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status