"Katakan padanya kalau Bundanya sedang sibuk."
" ... "
"Hhhh. Baiklah, aku akan segera pulang."
Gilang memanggil pelayan dan membayar makanan mereka, lalu mengajak Risa segera pulang ke rumah.
"Amira kenapa, Kak?"
"Aku tidak tahu."
Risa tidak berani bertanya lebih banyak karena khawatir Gilang akan marah. Mereka tergesa-gesa masuk ke dalam rumah saat mobil sudah terparkir di halaman.
"Bunda ... kenapa Bunda pergi lagi?" Amira berhambur memeluk Risa yang baru saja menginjakkan kaki di lantai atas.
"Karena dia bukan ibumu, Amira!" Nyonya Adiguna muncul dengan bersidekap dada.
"Ma-maksud Oma apa?" Amira menatap Risa dan Omanya secara bergantian.
"Iy, Oma sudah bilang berkali-kali, kalau Ibumu itu sudah mati, dia sudah mati karena dia yang membunuh anak tertuaku, ibumu itu pembunuh!" Nyonya Adiguna menunjuk-nunjuk wajah Amira sehingga gadis kecil itu ketakutan.
Risa segera memeluk Amira yang ketakutan.
"Cukup, Ma! Mega bukan pembunuh, kalau ada yang disalahkan atas kematian Kak Gading, maka orang itu adalah Mama," Gilang merangkul Amira dan menatap tajam pada ibunya.
"Aku tidak akan pernah membiarkan Mama menyakiti Amira, dan satu lagi. Risa dan Amira adalah orang yang berharga dalam hidupku, jadi aku mohon, hargai mereka." Gilang menggenggam tangan Risa dan membawanya ke dalam kamar Amira.
Gilang mendudukkan Amira di tepian ranjang. Ia mengusap air mata yang mengalir di wajah Amira dengan lembut.
"Ayah … Amira nggak mau tinggal di rumah tanpa Ayah dan Bunda." Amira terisak menatap Gilang dengan sendu.
"Amira mau ikut Ayah dan Bunda, Amira nggak mau di sini, Daddy juga jarang pulang kerumah," ujarnya lagi.
"Daddy? Siapa Daddy?" Risa kembali bertanya di dalam hati.
"Iya, Sayang. Ayah dan Bunda nggak akan ninggalin Amira lagi."
Saat Gilang sedang membujuk Amira untuk tetap tenang, dari lantai bawah terdengar suara orang berdebat.
"Iya, tapi tidak seharusnya Mama memberitahu Amira tentang kematian Kak Mega …."
Risa menajamkan pendengarannya. Dia merasa mengenali suara itu.
"Gio," desis Risa.
"Tetap jaga Amira disini. Jangan pernah keluar kamar apalagi turun ke bawah," ujar Gilang dengan nada tegas.
Gilang melangkah keluar dengan tergesa-gesa. Dari raut wajahnya, tampak ada masalah besar di bawah tangga.
"Bunda … jangan pergi lagi …." ujar Amira memeluk leher Risa dan membenamkan wajahnya di dada perempuan itu.
Ekor mata Risa melihat Bik Asih mengusap air mata dan memalingkan wajah. Kemudian terdengar isak tangis.
"Kenapa Bibik menangis?" Risa mengusap punggung perempuan paruh baya itu.
"Non, tolong sayangi Amira …."
Bik Asih menatap Risa dengan wajah memohon. Lalu membelai rambut panjang Amira.
"Pasti, Bik. Aku pasti akan menyayangi Amira. Aku akan melimpahkan seluruh kasih sayang yang Aku punya kepadanya. Bibik tenang saja." Risa menyahut.
***
Pintu terbuka. Gilang dan Gio masuk ke dalam kamar Amira, lalu menutup dan mengunci pintu kamar. Risa bangun dan menatap wajah dua saudara tersebut yang terlihat sedang kusut.
"Gue pikir, sebaiknya Lo bawa aja Amira dari sini, Kak," ujar Gio membelai rambut Amira dengan lembut.
"Aku juga berpikir begitu," jawab Gilang.
"Lo tau sendiri, kan? Kalau wanita iblis itu kembali kesini, tidak menutup kemungkinan dia juga tega membunuh Amira dengan cara yang halus." ujar Gio yang membuat Risa merinding.
"Bunuh? Amira mau dibunuh? Siapa yang berniat membunuh Amira?" batin Risa. Dia memandang wajah Gilang dan Gio secara bergantian. Mereka saling diam.
"Apa nggak sebaiknya Lo tinggal di rumah yang dibeli Kak Gading, aja?" Gio menatap Gilang dengan serius. Begitupun dengan Gilang, keningnya berkerut.
"Kenapa dari maren gue nggak kepikiran kesana?" Gilang mendekati Gio dan tersenyum.
"Selama ini, kan, Lo membiarkan Amira tinggal di sini karena Lo nggak yakin jika Amira hanya di asuh oleh Bik Asih. Sekarang, apa yang Lo cemasin, ada Kak Risa yang akan menjadi ibu untuk Amira. Iya kan, Kak?" Gio tersenyum pada Risa.
Risa hanya terdiam.
"Lo benar. Ada Risa. Gue yakin, Risa bisa menjadi ibu untuk Amira." Gilang juga tersenyum pada Risa.
"Kamu mau, kan, menjadi Ibu untuk Amira?"
"I-iya Kak," Risa menjawab dengan menganggukkan kepala.
"Oke, kemasi barang-barang Amira dan Bik Asih juga. Aku akan menghubungi Bik Ijum dan suaminya untuk membersihkan rumah tersebut."
"Kita mau kemana, Kak?"
"Pindah dari sini demi keselamatanmu dan Amira."
***
"Gilang, mau kamu bawa kemana Amira dan Gio?" Tuan Adiguna menatap Gilang dengan sorot mata tajam.
Gilang menoleh kearah Papanya. senyum sungging diterbitkannya di wajahnya tampannya. Ada aroma permusuhan di sana.
"Aku hanya ingin menyelamatkan orang-orang yang aku cintai dari pembunuh berdarah dingin." Gilang menggenggam tangan Risa dan mengusap pucuk kepala Amira.
"Apa maksudmu?" Tuan Adiguna menyipit.
"Aku hanya tidak ingin, Amira dan Risa mengalami nasib yang sama seperti Mega," sahut Gilang penuh penegasan.
"Mega?" Risa berdesis
"Siapa Mega? Kak Gilang tidak ingin aku bernasib yang sama seperti Mega." Pertanyaan kembali muncul di benak Risa. Kepalanya dipenuhi tanya sejak saat mendengar pembunuhan di rumah itu.
"Cukup, Gilang! Itu sebuah kecelakaan!" Nyonya Adiguna sangat marah mendengar ucapan Gilang.
Gilang masih menyunggingkan senyumnya. Dia melepas genggaman tangan pada Risa, melangkah mendekati ibunya.
"Aku sudah bicara baik-baik dengan Mama, untuk tidak mengizinkan Allea tinggal di sini, tapi mama tetap ngotot. jadi, biar kami saja yang pergi dari sini," sahut Gilang.
Ada satu nama lagi yang muncul hari ini di telinga Risa.
"Allea? Siapa Allea? Kenapa Kak Gilang sangat mengkhawatirkan kehadiran nama Allea itu di rumah ini? Ya Tuhan, rumah ini benar-benar menyimpan banyak sekali misteri yang tidak bisa aku pecahkan." Risa merasa takut mendengar perkataan Gilang.
"Mama tidak mungkin melarang Allea tinggal di sini."
"Maka dari itu, biarkan kami pergi!" Gilang melangkah keluar rumah. Lelaki itu menggenggam erat tangan Risa dan menggendong Amira.
"Jika kamu keluar dari rumah ini, maka kamu akan Papa hapus dari garis warisan." Tuan Adiguna berteriak. Membuat langkah Gilang terhenti.
Gilang membalikkan badannya dan menatap kedua orang tuanya dengan senyum. "Aku tidak butuh harta Papa, aku sudah memiliki perusahaan sendiri, itu sudah cukup membiayai hidupku dan keluargaku!" ujar Gilang. Lelaki itu mengisyaratkan kepada Gio, dan Bik Asih untuk mengikuti langkahnya.
Gio membawa koper kami dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Gilang meletakkan Amira di samping mobil. Lelaki bermata elang itu segera membantu Gio memasukkan koper-koper ke dalam bagasi mobil. Sedangkan Bik Asih menggendong Amira yang terlihat takut.
Berbagai pernyataan bersarang di dada Risa. Tentang mengapa Amira selalu ketakutan ada omanya, tentang Amira yang menatapnya dengan sendu.
Mereka masuk ke dalam mobil setelah semua koper dikondisikan.
Gilang duduk di kursi kemudi bersama Gio di sebelahnya, Risa dan Bik Asih duduk di kursi tengah dengan Amira ditengah-tengah mereka.
Mobil terus melaju hingga berhenti di depan sebuah rumah yang cukup megah. Halaman rumah tersebut dipenuhi paving block yang diatasnya berjejer tanaman buah kelengkeng yang ditanam di dalam sebuah pot berukuran raksasa.
Dari dalam rumah muncul dua orang laki-laki dan perempuan yang berlari menuju Gilang dan rombongan. Mereka adalah orang yang merawat rumah tersebut agar tetap bersih.
"Selamat datang Tuan Muda Gilang dan Tuan Muda Gio, kami senang kalian mau menempati rumah ini," ujar perempuan paruh baya itu.
Risa menurunkan Amira dari gendongan, dan ingin menyalami Bik Ijum. Namun, tiba-tiba Buk Ijum mundur beberapa langkah, lalu menutup mulutnya.
"Nyo-nyonya Mega?" Bik Ijum menatap Risa dengan mata terbelalak.
***
"Ini, Risa … dia istriku," Gilang mengisyaratkan agar Risa memberi hormat. Wajah Bik Ijum berubah menjadi keruh, dan beberapa bulir bening menetes di pipinya. Risa tidak mengerti mengapa Bik Ijum memanggilnya dengan sebutan Mega. "Mega … aku pernah mendengar nama ini. Tapi aku lupa, dimana itu." Risa bergumam seorang diri. Gilang lalu menggandeng Risa menuju sebuah kamar. Kamar yang tidak kalah mewah dengan kamar di rumah Gilang. "Ini kamar kita," Gilang menatap Risa dan membuka kopernya, lalu memasukkan pakaiannya ke dalam lemari. "Biar aku saja, Kak," ujar Risa seraya menahan tangan Gilang. Namun, Gilang menatap tajam ke arah Risa seakan tidak suka apa yang dilakukan oleh istrinya itu "Harus berapa kali aku katakan. Aku tidak ingin, kamu menyentuh barang-barang milikku." Suara bariton Gilang membuat dada Risa kembali sesak seperti beberapa saat yang lalu. Melihat Gilang yang sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam lemari, Risa memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi dan mencu
"Malam ini Amira mau tidur di pelukan Bunda sampai pagi." Amira memainkan rambut Risa sambil sesekali menoleh ke arah Gilang. Gadis kecil itu bicara dengan nada lirih karena takut ayahnya akan marah. "Ehem, tapi Bunda lelah." Gilang menyahut. "Dulu sebelum tenggelam, Bunda menemani Amira tidur sampai pagi, kok. Bunda juga tidak pernah masuk ke dalam kamar ayah." Amira sedikit bersikeras pada Gilang. "Tidak pernah masuk kamar Kak Gilang?" Risa menatap Gilang yang tengah menengadah kepalanya. "Seperti apa hubungan Kak Gilang dan istrinya sebenarnya?" batin Risa lagi. "Baiklah." Gilang mempersilahkan Risa membawa Amira masuk ke dalam kamar Amira. Amira berbaring di pelukan Risa dan meminta berdongeng seperti kemarin. Gadis kecil itu mendengarkan Risa berdongeng sampai tertidur. "Bik Ijum?" Risa terkejut saat Bik Ijum tiba-tiba masuk ke dalam kamar Amira. Bik Ijum Risa. Dia tersenyum dan berkata. "Terima kasih telah kembali." Risa menatap ke arah Bik Jum. Perempuan itu tampak meny
"Kak." Risa menahan napas saat Gilang semakin merangkulnya ke dalam pelukan dan lelaki itu pun menarik selimut yang tadi sempat terbuka. "Mega ... kenapa kamu ninggalin aku?" Risa tiba-tiba terkejut saat Gilang menangis sambil memeluknya. "Apa kamu nggak tahu kalau aku sangat mencintaimu?" Gilang berbicara sambil memeluk erat tubuh Gilang. "Ternyata ... Kak Gilang mengira aku Mega." Risa beringsut bangkit dari ranjang dan meletakkan guling di pelukan Gilang. Hatinya sakit dan patah karena Gilang ternyata tidak bisa melupakan mantan istrinya yang saat ini Risa tidak tahu di mana keberadaannya. Risa mencoba menerima kenyataan pahit atas pernikahannya, tapi dia berharap lelaki itu mencintainya. Namun ternyata, Risa dinikahi hanya untuk dijadikan ibu bohongan untuk Amira. *** Risa menatap sinar matahari pagi yang menerpa permukaan kolam di depan rumah yang Di dindingnya berdiri sebuah background menyerupai gua. Dia menata bunga bunga cantik yang berada di taman di sudut rumah d
Risa semakin tak mengerti dengan sikap Tante Tika yang bisa-bisanya mengatakan kalau Della bukan anak kandungnya."Apa maksud Tante?" Risa maju dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia ingin menghadiahkan bogem mentah pada perempuan iblis itu."Iya, Dela bukan anakku. Dela adalah anak sahabatku yang meninggal ketika Della masih bayi," ujar Tante Tika membuat Risa dan Della tidak percaya.Tante Tika tersenyum miring. "Aku di beri sahabatku warisan untuk menjaga dan merawat Dela, makanya aku jauh lebih sayang pada Dela yang bukan siapa-siapa dibandingkan kamu, keponakanku sendiri," ujar Tante Tika menuding Risa dengan jarinya.Risa terperangah mendengar perkataan Tante Tika karna dia memang merasakan perbedaan sayang Tante Tika padanya dan Della. Risa bisa memahami karna Della adalah anak kandungnya, sedangkan Risa hanya kemenakan Om Herman.Dela pun terperangah saat mendengar perkataan Tante Tika. Ia menggeleng seakan tidak mempercayai kenyataan tersebut. "Apa?" Gadis itu merosot ke la
"Kita harus segera memakamkan Om Herman." Gilang membujuk Risa dan Della agar berhenti menangis.Setelah jenazah Om Herman dibersihkan oleh petugas rumah sakit, mereka membawa Om Herman pulang ke rumah dengan memakai ambulans rumah sakit. Risa dan Dela ikut bersama ambulans untuk mendampingi Om Herman yang terakhir kalinya. Awalnya, Risa ingin Om Herman dibersihkan di rumah saja dan di kafankan di rumah, tapi Gilang memberi pendapat agar sebaiknya Om Herman dibersihkan oleh pihak rumah sakit agar langsung dimakamkan di pemakaman umum."Kalau kita bawa ke rumah otomatis kita harus membersihkan kan rumah dulu." Gilang menatap Risa dengan lekat. Gilang membantu Risa dan Dela mengurus pemakaman Om Herman. Risa tidak menyangka kalau ternyata Gilang sebegitu peduli padanya dan Della yang telah kehilangan Om Herman. Gilang juga yang sudah membayar semua biaya pemakaman termasuk minta seorang ustadz untuk membantu proses pemakaman tersebut."Kamu tenang saja. Semua biaya sudah aku handle."
Gilang hanya membisu membuat Risa mundur dan memilih untuk menenangkan dirinya sendiri dengan cara yang lain. Dia tidak ingin mempermalukan dirinya dengan mengemis pelukan pada Gilang."Risa ...!" Gilang menahan tangan Risa yang hendak pergi. Detik berikutnya Gilang menarik Risa dalam ke dalam dekapannya. Lelaki itu memeluk Risa dengan erat sambil mengusap punggung dengan lembut."Aku semakin merasa ini adalah tempat yang paling nyaman untukku. Aku merasa kalau pelukan ini benar-benar membuat aku mampu melupakan semua kesedihanku. Bolehkah aku berlama-lama di sini?" Risa menangis tersedu-sedu di pelukan Gilang."Jangan bersedih lagi, kamu harus mengikhlaskan Om Herman agar dia tenang di sisinya." Gilang membingkai wajah Risa dan mengusap air mata yang membanjiri wajah gadis dengan lembut. "Kamu boleh berada di pelukanku selama apa pun yang kamu mau," tambah Gilang lagi seraya mencium pucuk kepala Risa membuat Risa semakin merasa nyaman.Risa tersenyum mendapati perhatian dari Gilang
"Menurutmu bagaimana?" Gilang balik bertanya kepada Risa."Gimana kalau Della tinggal dirumah Kak Gilang aja. Kan ada Gio yang super duper ganteng menjaganya dari orang-orang suruhan Tante Tika." Gio langsung angkat bicara "Aku nggak setuju!" sanggah Gilang."Elah, Kak. Kenapa nggak setuju? Kan biar kami bisa berangkat barengan ke sekolah?" Gio tetap bersikukuh pada pendiriannya."Barengan? Enak di kamu nggak enak di aku!" cicit Gilang."Aku kan ... cuma ....""Della tinggal di apartemenku saja." Gilang terus menatap ke depan tanpa menoleh pada siapa pun."Di apartemen? Tapi, Kak!"Pletakk"Mulut Lo berisik, bisa diam nggak!" Gilang menjitak kening Gio karena pemuda itu terus membantah ucapan kakaknya. "Kalau Della tinggal di apartemen, itu jauh lebih aman karna tidak sembarangan orang yang bisa masuk ke sana dan Della juga berangkat sekolah lebih dekat," tambah Gilang lagi."Aku menurut saja bagaimana baiknya menurut Kakak," sahut Risa. Gadis itu membelai rambut Della dengan lembut
"hah?" Risa terkejut saat Gilang menunjuk bibirnya. "Ssstt," Gilang menempelkan telunjuknya di bibir Risa, lalu kembali menunjuk bibirnya. Risa melihat ke arah Gio yang tidur membelakangi mereka. Gilang kembali menyentuh tangan Risa dan menunjuk bibirnya. "Ya Tuhan? Aku harus mencium bibir Kak Gilang?" Tubuh Risa gemetar karena dia tidak pernah mencium lelaki mana pun sebelumnya. "Ckk." Gilang berdecak kesal hingga akhirnya menutup wajahnya dengan selimut yang diberikan oleh Risa. "Masuk ke dalam kamar!" Perintah lelaki itu pada Risa. Risa merasa ambigu apakah harus masuk ke dalam kamar atau mencium bibir Gilang, tapi kemudian dia menyadari kalau tadi Gilang hanya bercanda. Terbukti lelaki itu menutup wajahnya dengan selimut. *** Sepanjang hari, Risa disibukkan dengan membeli barang-barang dan belanjaan untuk Della selama tinggal di apartemen. Gilang menyewa seorang asisten rumah tangga yang umurnya sebaya dengan Risa untuk menemani Della di sana. "Terima kasih karena Kak