Anggara memutuskan untuk menghampiri mereka. Dia langsung memeluk Amisha dari belakang dan memberikan bunga pada wanita itu. Amisha kaget, tiba-tiba sikap Anggara berubah manis padanya. Kehadiran Dito di sana mungkin menjadi alasannya, pikir Amisha.
"Senang bertemu denganmu, Kak." Anggara menyapa Dito ramah dengan tangan kanannya yang terulur."Aku juga senang bertemu denganmu." Dito menjabat tangan yang Anggara ulurkan.Sementara Lastri masih dalam mode kaget. Entah apa yang sudah terjadi, dia harus menanyakannya pada Amisha nanti.Selama Anggara dan Dito berbincang, Amisha hanya diam. Raut wajahnya tidak terbaca. Sementara Lastri hanya bisa diam dan menunggu sampai kedua pria itu pergi jika ingin bertanya. Dia melirik sahabatnya. Ada yang berbeda dengan penampilan Amisha hari ini. Syal yang melingkar di leher sahabatnya terasa aneh, padahal cuaca cukup panas saat ini.Sekilas Lastri bisa melihat ada tanda merah di leher Amisha. Dia hanyAnggara langsung memeluk Amisha. Dia ketakutan saat tidak mendapati wanita itu di apartemennya. Dia pikir Amisha sudah pergi dan meninggalkannya. Tidak mengapa jika Amisha terus diam asalkan selalu ada di sisinya.Anggara menciumi setiap bagian wajah Amisha. Tidak henti-hentinya dia mengucap syukur, wanita itu baik-baik saja."Jangan pernah pergi dariku, Sayang. Hidupku pasti hancur tanpa dirimu." Anggara memeluk Amisha dengan erat, seakan enggan untuk melepaskannya.Sementara di tempat lain, Raisya tengah marah-marah. Sudah berminggu-minggu wanita itu kesulitan menghubungi Anggara. Dia pernah datang ke kantor pria itu, tetapi security mengusirnya. Sementara apartemen Anggara, dia tidak tahu di mana tempatnya. Anggara tidak pernah sekalipun membawa wanita-wanitanya ke sana. Hanya Amisha, satu-satunya wanita yang Anggara bawa."Kamu ini kenapa, Rai? Dari tadi pagi marah-marah gak jelas!" bentak Dito. Tidak biasanya wanita itu marah-marah, apalagi t
Anggara batuk karena tersedak. Dia kaget dengan penuturan istrinya. Amisha memberikan tisu pada pria itu dan mengingatkannya untuk hati-hati saat minum.Seakan tidak terjadi apa-apa, Amisha mengajak suaminya makan. Anggara hanya bisa mantap sikap tenang wanita di hadapannya. Sikap yang tidak mampu Anggara artikan."Sha, bisa kita bicara?" Anggara menghampiri Amisha yang tengah berdiri di balkon kamar."Bicaralah!" jawab Amisha tanpa mengalihkan pandangannya dari langit malam.Anggara memulainya dengan kata maaf. Dia sampai bersimpuh di depan wanita itu. Anggara berniat mengajak Amisha memulainya dari awal."Izinkan aku untuk tetap bersamamu, Sha!" Anggara terguguk. Dia bersungguh-sungguh meminta maaf dan meminta untuk diberi kesempatan kedua."Bangunlah! Tidak perlu seperti ini." Anggara akan tetap bersimpuh sebelum mendengar wanita itu memaafkan dan mau memberinya kesempatan kedua."Ya. Ok. Aku maafkan kamu. Untuk kesem
Anggara mengingat masa lalunya. Masa di mana dia bertemu dengan seorang wanita bernama Inggit. Menjalin kasih hingga lima tahun lamanya tidak membuat Anggara sampai membawa wanita itu ke penghulu.Perayaan anniversary yang kelima menjadi hari terburuknya. Di mana dia tengah menunggu wanita itu untuk merayakan hari jadi mereka, Inggit malah tidak datang. Padahal, saat itu Anggara juga hendak melamarnya.Ponsel yang sulit dihubungi membuat Anggara cemas. Dia bergegas mencari keberadaan wanita itu. Rumah kost tempat tinggal Inggit kosong, sudah satu minggu katanya dia tidak pulang. Padahal sore tadi Anggara sendiri yang mengantarkannya sampai depan gerbang rumah kost.Dari salah satu teman kost Inggit, Anggara mendapatkan satu alamat. Dia bergegas pergi dan tidak sabar untuk menemui wanita tercintanya.Anggara kini berdiri di depan sebuah rumah berlantai satu dengan halaman yang tidak terlalu luas. Pagar besi tidak terkunci meskipun malam sudah larut
Anggara masih berdiri di ambang pintu. Dia tidak membiarkan tamunya masuk. Pria itu mengepalkan tangannya, wajahnya pun dipenuhi amarah."Siapa yang datang, Mas?" Amisha memutuskan untuk menghampiri suaminya karena Anggara tidak kunjung kembali."Kamu?" ucap Amisha dan tamu Anggara bersamaan."Jadi suami kamu dia? Kamu tahu siapa dia?" Tamu itu terlihat marah juga kesal."Ya. Aku tahu siapa dia. Kenapa? Kak Rai marah? Tidak suka?" Amisha bicara dengan tersenyum mencibir.Tamu Anggara adalah Raisya. Wanita itu nekat datang setelah tahu alamat apartemennya. Dia masih kesal karena pria itu mengabaikannya.Anggara menghalangi Raisya saat wanita itu hendak menampar istrinya. Tidak akan Anggara biarkan seseorang menyakiti wanita itu."Pergilah! Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi!" Anggara menarik tangan Raisya dan menyeretnya sampai keluar."Lepaskan! Aku harus bicara dengan wanita ini. Beraninya dia mencuri milikku!" bentak Raisya."Kamu gak salah ngomong, Kakak? Aku gak mencuri s
Amisha dilarikan ke rumah sakit, kondisinya cukup serius. Ada darah yang keluar dari keningnya. Dia juga tidak sadarkan diri. Beruntung kejadian terjadi tidak jauh dari klinik, sehingga Amisha bisa langsung ditangani dokter klinik."Kondisi pasien baik-baik saja, tapi ada satu hal yang harus saya pastikan lagi. Mudah-mudahan kondisi janin pasien tidak apa-apa." Mendengar penuturan dokter, Dito dan Amisha kaget bukan main.Dito tersenyum, sementara Amisha syok. Dia meraba perutnya yang rata. Sesuatu yang tidak diharapkan malah muncul disaat dia tengah bimbang untuk mengambil keputusan. Kini Amisha tengah hamil."Maksudnya adik saya hamil, Dok?" Dito meminta penjelasan dokter. Dia ingin yakin seyakin-yakinnya."Jadi, kalian belum tahu?" Dokter pun terlihat kaget.Tidak lama setelah Amisha ditangani dokter, dia sadarkan diri. Dokter yang menangani Amisha melakukan serangkaian pemeriksaan demi memastikan pasien tidak mengalami cedera di bagia
Jauh dari keramaian ibukota, kini Amisha berada. Dia memilih mengasingkan diri dan hidup menetap di sana bersama Dito. Meninggalkan semua harta yang mereka miliki dan hidup sederhana. Terhitung sudah tujuh bulan lebih mereka tinggal di sana. Sebuah desa kecil yang terpencil."Sha, minum dulu obatnya! Dari kemarin kamu mengabaikan kandunganmu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan bayi kamu?" Entah sudah yang keberapa kali Dito meminta adiknya minum obat, tetapi wanita itu mengabaikannya terus."Biarkan saja! Bila perlu, biar mati saja bayi ini!" Selalu itu yang Amisha katakan. Kebenciannya pada ayah sang janin membuat dia juga membenci janin dalam rahimnya."Istighfar, Sha! Gak baik kamu terus ngomong gitu. Jangan sampai kamu menyesal nanti." Dito geram dengan sikap adiknya sekarang. Amisha sulit sekali dikendalikan. Beberapa kali wanita itu hampir saja menggugurkan kandunganya, beruntung Dito mengetahuinya. Bahkan jika nanti bayi itu lahir, Dit
Arjuna tergeletak di atas pangkuan pegawai Dito dengan kepala bersimbah darah. Dia terjatuh dan kepalanya membentur batu yang tajam. Meskipun begitu, anak itu masih sadarkan diri. Dia membentangkan tangannya saat melihat Dito datang."Bubun! Bubun!" ucap Arjuna lirih sebelum akhirnya dia jatuh pingsan.Dito bergegas menggendong Arjuna dan membawanya pergi ke rumah bidan. Hanya Bidan Marsel yang bisa memberi pertolongan pertama pada Arjuna. Tidak mungkin dia pergi ke kota yang bisa memakan waktu seharian.Dari ambang pintu, Amisha hanya menatap kepergian kakaknya. Dia tidak berniat untuk ikut. Sedikitpun tidak ada raut sedih di wajahnya. Sungguh hati wanita itu sudah menjadi batu."Kenapa bisa Juna terluka seperti ini, Dit?" Bidan Marsel terlihat khawatir. "Aku gak tahu dan gak sempat tanya. Dia sudah seperti ini saat aku menghampirinya," jawab Dito sembari tangannya yang terus mengusap dahi Arjuna yang basah dengan keringat."Ka
"Ayah! Juna jadi juara kelas lagi!" Arjuna berlari menghampiri Dito. Anak itu kini sudah tumbuh menjadi anak yang tampan dan pintar."Anak Ayah memang pintar. Kapan Ayah harus naik panggung lagi untuk menemani kamu membawa piala?" Dito memeluk Arjuna penuh cinta."Minggu depan, Yah," jawab Arjuna."Mana anaknya Ibu yang pintar? Mau kado apa, Sayang?" Seorang wanita cantik menghampiri dan duduk di samping Dito. Dia adalah Bidan Marsel.Dito mengiyakan perkataan Bidan Marsel. Dia tidak menunda lagi untuk menikahi wanita itu, takut tiba-tiba berubah pikiran. Kini pernikahan mereka sudah sepuluh tahun berjalan. Hanya saja Tuhan belum memberikan mereka keturunan. Marsel sudah berhenti menjadi bidan satu tahun setelah mereka menikah. Dito sengaja mendatangkan dokter dari kota untuk menggantikan istrinya."Juna gak mau kado. Juna mau kasih sayang kalian saja." Arjuna tertunduk. Air matanya mengalir begitu saja. Mendengar keinginan anak