Sementara itu di kantor polisi Ezra yang langsung masuk ke sel tahanan, terus berteriak minta di keluarkan."Diam kamu," bentak Dimas kesal."Gue gak salah, keluarin gue dari sini," teriak Ezra nyolot."Saya sudah punya bukti-bukti tentang kejahatan kamu semua, kamu gak akan bisa ngelak lagi," ucap Dimas dingin.Ezra tak menjawab, ia menatap Dimas dengan penuh amarah sambil mengepalkan tangannya."Selamat mendekam di penjara, saya pastikan kamu akan menerima hukuman berat, apalagi kamu telah melecehkan dan melukai calon menantu saya," ucap Dimas menatap Ezra sengit."Bacot," teriak Ezra tak terima.Dimas hanya melihat sekilas pada Ezra lalu meninggalkan Ezra yang lanjut berteriak agar minta di bebaskan."Saya mau ke klinik tempat korban di rawat," "Tolong kamu awasi dia," tunjuk Dimas ke arah Ezra."Baik pak," jawab bawahan Dimas.Setelah itu ia pergi dari kantor polisi menggunakan mobilnya, menyusul istri dan Doni yang sudah terlebih dahulu pergi ke sana......Pov SintaAku turun d
Beberapa jam telah berlalu, langit pun sudah mulai gelap karena kini sudah pukul 20.00 malam, Laura sudah terbangun sejak setengah jam yang lalu.Meskipun ia teriak-teriak kembali setelah bangun dari tidurnya, tapi untungnya ada Sinta yang menenangkan Laura yang membuat Laura tenang."Laura tenang sayang," ucap Sinta lembut sambil memeluk dan mengelus rambut anak semata wayangnya.Sinta memeluk Laura dengan erat, "Ada bunda di sini kamu gak sendirian," "Tapi bun," isak Laura."Tapi apa sayang,""Sakit, Laura udah gak suci lagi Laura kotor Bun," lirih Laura yang terdengar pilu di telinga yang mendengarnya, Rio mendekat ke arah Laura."Anak ayah, jangan bicara kaya gitu yah,""Gak baik, apapun yang terjadi sama kamu kamu tetap anak ayah dan bunda," ucap Rio sambil melihat ke arah mata Laura yang berbincang air mata."Aku udah membuat kalian malu yah," "Gak! ayah sama bunda gak malu, kamu gak salah kamu gak ngelakuin hal yang salah," jelas Rio sambil ikut memeluk Laura serta Sinta."Ud
Pov BiancaSebentar lagi jam 8 malam, aku harap-harap cemas, menunggu seseorang untuk membantu ku pergi dari sini, yah aku harus pergi dari sini sekarang juga sebelum papa masuk ke dalam kamar ku dan mengantarkan ke Singapura malam ini juga.Tak akan ku biarkan papa menghancurkan semua usaha ku, aku tak ingin pergi kemanapun sebelum dendam ini terbalaskan pada mereka semua yang telah menghancurkan hidup ku selama ini."Cek di mana dia?" Ucap ku kesal sambil melihat ke arah jendela yang tidak tertutup gordeng di kamar ku.Kalau aku bisa kabur sendiri, sudah sejak tadi aku pergi tapi sialnya kaki ini menyusahkan aku saja, benar-benar sialan!TingPonsel ku berbunyi gegas aku mengambil ponsel tersebut yang berada di pangkuan ku."Aku sudah di depan," bisik ku membaca isi chat tersebut.Aku mengetikan sesuatu, lalu mengirimkan padanya.Setelah itu aku mengambil sebuah tas sling bag yang bisa aku pakai, memasukan semua yang aku perlukan seperti uang, kartu atm dan yang lain yang tentu saja
Anita yang mendengar permintaan maaf Laura segera menghampiri Laura yang kini sudah tertidur."Kamu gak salah sayang, gak perlu minta maaf sama bunda," ucap Anita terisak, ia memeluk tubuh Laura, mengecup pipinya berkali-kali."Maaf bun, sepertinya pasien sangat trauma hebat, Pasien harus ke dokter spesialis untuk menghilangkan traumanya,""Iya dok saya tahu,""Setelah ini, saya akan memberikan pasien pada dokter Ardi, untuk menangani pasien," "Saya pamit," ucap Dokter lalu pergi meninggalkan ruang rawat Laura.Anita yang masih memeluk Laura tak mau melepaskan pelukannya, "Sudahlah Nit, biarkan Laura beristirahat," ucap Sinta sambil mengelus bahu Anita lembut."Aku gak kuat lihat, Laura kaya gini Sin," ucap Anita lirih."Aku tahu, aku pun sama gak bisa liat Laura kaya gini, tapi kita harus kuat demi Laura," ucap sinta memberikan nasihat."Kamu gak tahu hancurnya aku kaya gimana," bentak Anita tiba-tiba sambil melihat ke arah Sinta yang terkejut."Dari dia masih kecil , aku jaga dia a
"Sebenarnya kemarin Alex sama Rafa, udah nemuin tempat Ezra tinggal," jelas Alex sambil melihat ke arah Dimas dan Rio secara bergantian."Kenapa kamu gak bilang?" Tanya Dimas kesal."Maafin Alex pah," ucap Alex."Padahal papah belum nemuin tempat tinggal dia di mana, papa hanya nemuin tempat dia nyokap Laura," Kesal Dimas, padahal ia juga menyuruh bawahannya untuk mencari tempat tinggal Ezra di mana tapi mereka tak menemukan keberadaanya."Terus," ucap Rio penasaran dengan lanjutan cerita Alex."Di sana ada adiknya Ezra dan ibunya yang mungkin kurang waras," ucap Alex."Maksud kamu gila?" Tanya Dimas."Iya," "Ternyata Ezra udah niinggalin mereka berdua selama berhari-hari tanpa makan dan minum, jadi kami bawa mereka berdua ke panti jompo yang di urus oleh pamannya Rafa," jelas Alex."Sebenanrnya dari awal Alex gak mau ngelakuin itu tapi untuk jaga-jaga maknanya kami bawa mereka berdua sebagai jaminan supaya Ezra agar mudah di tangkap,""Lagi pula kasian Lala, anak sekecil itu harus n
Sesampainya di parkiran rumah sakit, Agatha dan Rafa turun dari motor milik Agatha, bersamaan dengan itu sebuah motor sport terhenti si sebelah mereka berdua.Agatha dan Rafa refleks menoleh ke arah pemotor tersebut apalagi ia sangat familiar dengan motor itu."Alex," panggil Agatha sambil tersenyum ke arah Alex, yang kini sedang membuka helmnya."Kalian baru sampai?" Tanya Alex, ia turun dari motornya tak lupa menaruh helm di atas jok motor."Iya, kirain gue lo udah dari tadi di sini?" Tanya Rafa heran, pasalnya seingat Rafa sore tadi Alex bilang akan langsung menuju rumah sakit karena khawatir dengan keadaan Laura."Gue abis dari kantor bokap, lo tau Ezra! Dia berhasil kabur," ucap Alex menceritakan hal tersebut pada Rafa dan Agatha."Ezra," beo Agatha.Agatha terdiam, pasalnya ia memang belum tahu siapa pelakunya dari penculikan Laura itu."Ezra siapa?" Tanya Agatha sambil melihat ke arah Rafa dan Alex secara bergantian."Kakak kelas kita," jawab Rafa yang membuat Agatha terkejut b
"Kenapa Ra?" Tanya Alex lembut melihat ke arah Laura sambil tersenyum."Gak," jawab Laura pelan, lalu mengalihkan tatapannya ke arah lain."Kenapa masih di situ?" Tanya Laura heran, sejak tadi Alex hanya diam berdiri di tempatnya sambil terus memperhatikan Laura.Meskipun Laura tak melihat ke arah Alex langsung tapi ia diam-diam melihat dengan ekor matanya."Cuman mau nemenin, kenapa?" Tanya Alex balik."Pergi aja sana, aku mau istirahat," ucap Laura tanpa mau melihat ke arah Alex, lalu merebahkan tubuhnya tak lupa menyelimuti sampai ke atas kepala."Mau tidur Ra?" Tanya Alex sambil mendekat dan kini sudah berdiri di samping kasur."Hmmm," jawab Laura yang belum menyadari keberadaan Alex yang sudah berada di belakang tubuh Laura.Alex diam, memperhatikan Laura tanpa berkedip, bayangaan Laura yang tengah bercinta dengan Ezra membuat Alex kesal, sejak tadi ia mati-matian menahan agar tak emosi tapi sekarang rasanya Alex ingin memeluk tubuh Laura untuk menghilangkan bekas Ezra pada tubuh
Rafa mendekat ke arah Agatha yang masih berdiam diri di depan pintu ruang rawat Laura,"Gue jelasin tapi gak di sini?" Ucap Rafa sambil menggenggam tangan Agatha."Terus di mana?" Tanya Agatha dengan kening berlipat."Di kantin! Gue lapar belum makan sejak tadi," jelas Rafa menarik Agatha agar mulai berjalan bersamanya."Lex Gue ke kantin dulu," pamit Rafa pada Alex.Alex menganggukan kepalanya, melihat hak itu Rafa dan Agatha bergegas pergi ke kantin.Sesampainya di kantin rumah sakit mereka berdua mengambil tempat duduk di pojok yang agak jauh dari keramaian."Jelasin sekarang," Suruh Agatha gak sabaran, padahal ia sendiri baru saja mendaratkan bokongnya di kursi panjang, sementara Rafa setengah berdiri karena ia baru akan duduk."Bokong gue aja belum duduk! Gak sabaran amat sih," Kesal Rafa."Yaudah cepetan duduk," Kesal Agatha."Jadi," tanya Agatha lagi setelah melihat Rafa sudah duduk anteng si sampingnya."Kita pesen makan aja dulu yah," ucap Rafa sambil melihat ke arah sekitar,
"Bunda," panggil Alex saat memasuki rumah Laura yang tampak sepi.Ia melihat ke sana kemari, tapi tak menemukan siapa pun di lantai bawah."Oh, kamu, Lex," sahut Sinta sambil keluar dari kamar."Sepi banget, Bun. Om ke mana?" tanya Alex penasaran."Ayah Laura ada pekerjaan mendadak di luar kota. Mungkin satu atau dua hari baru balik," jelas Sinta. "Kalau Laura, paling dia di kamarnya."Alex terkekeh kecil. "Aku tahu kok dia di kamar, tadi aku lihat dari jendela. Lucu banget, dia kelihatan salah tingkah pas ngintip."Kamu pasti jahilin Laura lagi, ya?" tuduh Sinta sambil melangkah mendekati Alex."Ah, Bunda, enggak kok. Cuma manggil doang," jawab Alex sambil terkekeh kecil, mencoba membela diri."Alex ke sini mau ngasih surat buat Bunda, dari sekolah. Ini panggilan untuk orang tua Laura," ucap Alex sambil menyerahkan surat tersebut kepada Sinta.Sinta menerima surat tersebut dan membacanya sekilas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Alex dengan penuh rasa khawatir. "Ini tentang
Aku masuk ke dalam kamar dengan langkah gontai. Pintu kututup perlahan, tapi rasanya seperti ada beban berat yang mengunci semua energi di tubuhku. Aku duduk di sudut ranjang, memeluk lututku sendiri.Meskipun Ayah dan Bunda tadi memberikan dukungan penuh, aku tahu mereka pasti kecewa. Bagaimana tidak? Anak perempuan mereka yang diharapkan bisa menjadi kebanggaan malah menjadi beban. Aku bahkan tidak bisa bicara dengan pengacara tadi. Aku gagal lagi.Aku menunduk, menatap lantai kosong. Hidupku sudah hancur. Semua yang kubangun, semua yang kucita-citakan, rasanya sirna dalam sekejap. Masalah ini bukan hanya menghancurkan masa depanku, tapi juga mencoreng nama baik keluargaku.Air mata mulai jatuh tanpa bisa kuhentikan. Suara isakan kecil memenuhi keheningan kamar. Aku tahu Ayah dan Bunda mencoba menguatkanku, tapi aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Bagaimana mereka bisa bangga pada anak perempuan seperti aku—yang bahkan tidak punya keberanian untuk menghadapi semuanya?Aku merem
Sementara itu, di rumah Laura, suasana terasa canggung. Seorang pria berjas rapi, pengacara yang dipanggil oleh ayah Laura, duduk di ruang tamu bersama mereka. Ia membawa sebuah tas kerja dan setumpuk dokumen yang diletakkannya di atas meja.“Silakan diminum, Pak, tehnya,” ujar Sinta dengan senyum ramah sambil menyodorkan cangkir teh."Terima kasih, Bu," jawab pengacara itu sopan sebelum menyesap teh hangat tersebut.Namun, berbeda dengan kehangatan Sinta, Laura justru duduk di sudut sofa dengan kepala tertunduk. Jemarinya sibuk memainkan ujung sweater yang ia kenakan, mencerminkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.Ayah Laura, yang duduk di sebelah pengacara itu, berdehem kecil, mencoba mencairkan suasana. “Jadi, Pak Adrian, bagaimana langkah awal yang bisa kita ambil untuk membantu Laura keluar dari masalah ini?”Adrian meletakkan cangkir tehnya, lalu membuka map di hadapannya. “Saya sudah membaca berkas-berkas yang Bapak kirimkan sebelumnya. Situasinya cukup rumit, tapi tida
“Grettha Cindy, ikut saya ke ruang BK,” ujar Pak Burhan tegas, matanya menatap tajam ke arah Grettha dan Cindy. Ia kemudian beralih menatap Alex, ekspresinya sama sekali tak melunak. “Kamu juga, Alex,” tambahnya, nada suaranya semakin dingin.Kerumunan siswa dan siswi di sekitar mereka mulai gelisah. “Bubar! Bukannya belajar malah nonton orang berkelahi,” seru Pak Burhan dengan suara lantang, membuat suasana di lorong sekolah seketika hening. Para siswa yang tadinya berkerumun perlahan membubarkan diri, beberapa masih melirik penasaran ke arah Grettha, Cindy dan Alex sebelum beranjak pergi. ..... Setiba di ruang BK, Grettha, Cindy, dan Alex berjalan masuk dengan langkah berat. Mereka bertiga duduk di kursi berhadapan langsung dengan Pak Burhan, yang duduk dengan posisi tubuh tegak dan ekspresi wajahnya penuh wibawa.Pak Burhan melipat kedua tangannya di atas meja, matanya bergantian menatap ketiganya dengan tajam. Suasana di ruangan itu terasa begitu menegangkan, hanya terdengar sua
POV Alex Setelah kejadian yang menimpa Laura, Alex akhirnya kembali ke sekolah. Ini adalah pertama kalinya ia melangkahkan kaki ke sana lagi setelah sekian lama. Ia sebenarnya enggan, tapi momy terus memaksa, mengingat tengah semester sudah dekat dan ia sudah terlalu banyak membolos. Dengan langkah lesu, ia memasuki gerbang sekolah, perasaan berat menggelayutinya. Alex tahu, kabar tentang apa yang menimpa Laura sudah pasti tersebar luas. Kemarin, salah satu akun I*******m bahkan dengan terang-terangan mengungkapkan identitas Laura—nama lengkapnya, Laura Varista Safa dan di mana ia bersekolah. Entah siapa yang tega menyebarkan berita itu, tapi Alex tidak akan tinggal diam. "Gue akan menemukan pelakunya," pikirnya. Meskipun kabar itu benar, Alex tak tahan membayangkan bagaimana perasaan Laura jika tahu dirinya menjadi bahan gunjingan publik. Sepanjang jalan menuju kelas, bisik-bisik dan tatapan siswa lain menghantam Alex seperti duri yang menyayat. Mereka membicarakan Laura—buruk-buru
Alex turun dari mobilnya, diikuti oleh Rafa dan Agatha. Karena keduanya datang dengan motor, Alex tidak akan mengantar mereka pulang ke rumah masing-masing. Setelah memastikan Rafa dan Agatha sudah pergi, Alex bergegas masuk ke rumahnya." "Kamu sudah pulang, Lex?" tanya Anita yang tampak akan pergi keluar rumah. "Iya. Mau ke mana, Mom?" balas Alex. "Mau ke rumah Laura. Papa juga sudah ada di sana. Ada hal yang mau Papa bicarakan dengan orang tuanya Laura, soal masalah persidangan nanti. Makanya Momy mau ke sana juga, buat nenangin Laura," jelas Anita. "Mom, emang harus, ya? Apa nggak bisa persidangannya tanpa Laura? Momy tahu sendiri kan, kondisi Laura belum pulih sepenuhnya," ujar Alex dengan nada khawatir. "Lex, Momy tahu," Anita menjawab dengan nada lembut tapi tegas. "Tapi Momy juga nggak bisa berbuat apa-apa, termasuk Papa. Ini sudah keputusan hukum. Kamu mau kan, Ezra sama Bianca mendapatkan hukuman yang setimpal?" Alex terdiam, hatinya bergejolak antara rasa kasihan
Di perjalanan menuju Dufan, Laura hanya duduk diam di kursi belakang, mendengarkan candaan Rafa dan Alex yang seperti biasa tak ada habisnya. Sesekali, ia tersenyum kecil saat Agatha memutar lagu-lagu favorit mereka. Namun, senyum itu segera pudar, tergantikan oleh perasaan ragu—apakah ia benar-benar pantas menikmati momen ini?"Lo nggak ikut nyanyi, Ra? Padahal ini lagu kesukaan lo. Meski... suara lo nggak bagus-bagus amat sih," ejek Agatha sambil melirik Laura di kaca spion.Laura mendengus pelan, "Gue lagi nggak mood.""Meskipun suara Laura nggak bagus-bagus amat, tapi dia tetap juara di hati gue," timpal Alex dengan nada menggoda.Rafa tertawa keras. "Aduh, Lex. Jadi mantan aja gombalnya nggak hilang-hilang!"Candaan itu membuat Laura tersenyum kecil lagi, meski ia berusaha menyembunyikannya. Ada kehangatan di antara mereka, sesuatu yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan, walau hanya sesaat.---Setibanya di Dufan, suara ramai langsung menyambut mereka. Anak-anak berlari kegi
"Hallo raf, lo di mana?" tanya Alex pada Rafa di seberang telepon sana."Gue lagi jalan-jalan sama Agatha, kenapa, Lex?" tanya Rafa kembali."Gue perlu bicara sama kalian berdua, tentang Laura," jawab Alex dengan nada serius."Kenapa sama Laura?" tanya Rafa, mulai khawatir."Dia kambuh lagi?" lanjut Rafa, menebak keadaan."Bukan. Laura udah pulang, cuma dia masih sedih. Gue butuh bantuan kalian buat ngehibur dia," jelas Alex.Rafa terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja disampaikan oleh Alex. "Oke, gue dan Agatha bakal ke sana, Lex. Tenang aja, kita bantu. Laura nggak sendiri," jawabnya dengan penuh perhatian.Alex menghela napas panjang. "Makasih, Raf. Gue nggak tahu lagi harus gimana, tapi jangan ke sini sekarang, besok pagi aja, Kalau sekarang Laura udah istirahat, "Rafa mengangguk, meskipun Alex tidak bisa melihatnya. "Oke, besok pagi kita datang. Jangan khawatir, kita pasti bantu. Laura nggak akan sendirian," jawabnya dengan yakin."Makasi, Raf. Gue bener-bener nggak tahu h
Setelah pertemuan yang menguras emosi dengan Bianca, Aruna dan keluarganya akhirnya tiba di rumah. Suasana hening menyelimuti sepanjang perjalanan, dan kini di kediaman mereka, keheningan itu terasa semakin berat.Aruna duduk di sofa, menatap lurus ke depan tanpa fokus, pikirannya melayang-layang. Sejak pembicaraan dengan Bianca, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Rasa sakit dan kebingungan memenuhi hatinya, membuatnya sulit untuk memproses semuanya.Bunda mencoba mendekatinya dengan lembut. "Nak, kamu tidak apa-apa? Kalau kamu butuh cerita, kami di sini," ucapnya dengan nada penuh kasih.Namun, Aruna hanya menggeleng pelan tanpa menoleh. Bibirnya terbuka sedikit, seakan ingin berkata sesuatu, tapi tak ada suara yang keluar.Alex, yang juga berada di sana, menatap Aruna dengan penuh kekhawatiran. Ia merasa bersalah meski tahu ini bukan salahnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi takut malah memperburuk keadaan.Sementara itu, ayah Aruna memecah kesunyian. "Aruna, apa pun yang kamu