Share

9. Unfair

Lonceng yang terpasang di pintu cafe berbunyi saat seseorang mendorong pintu itu hingga terbuka. Detik berikutnya muncul sosok pria yang begitu tinggi dengan setelan jas yang membalut tubuhnya dan berjalan masuk hingga ke dalam.

Kikan merasa seolah waktu berjalan dengan sangat lambat saat kedua matanya menangkap sosok yang begitu tinggi dan rupawan itu. Pria itu, di mana Kikan pernah melihatnya? Benarkah dia manusia dan bukan malaikat maut yang ingin mencabut nyawa nya?

“Kikan?” seru pria itu.

Kening Kikan sedikit berkerut. Rasa-rasanya suara ini pernah ia dengar sebelumnya di suatu tempat. Tapi di mana?

“Akhirnya kita bertemu di tempat yang pantas. Senang melihatmu berada di sini daripada kelab malam.”

Ah benar juga! Kelab malam! Kikan seketika bisa mengingat pertemuan mereka saat pria itu menyinggung soal kelab malam.

Dia ‘kan pria yang sama yang tiba-tiba menyeretnya keluar dari ruangan lalu memarahinya seolah mereka saling kenal. Yup! Pria jangkung nan rupawan yang berdiri di hadapan Kikan sekarang adalah Dewandra, si pria menyebalkan bagi Kikan.

Karena pertemuan mereka malam itu terjadi di tempat yang kurang pencahayaan seperti kelab malam, maka tidak heran jika Kikan tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Kikan jadi menyesal karena sempat terpesona akan ketampanannya beberapa saat yang lalu.

“Selamat datang di You & Me Cafe,” sapa Kikan dengan senyum manisnya. Sama sekali tidak menggubris ucapan Dewandra kepadanya soal kelab malam.

Kikan paham betul aturan mainnya saat ia sedang bekerja. Seberapapun ia merasa sangat jengkel kepada Dewandra, Kikan harus menepis perasaannya itu sebab pelanggan adalah raja. Kikan harus melayani Dewandra sebagai pelanggan cafe tempat ia bekerja dengan senyum manisnya tak peduli sejengkel apapun hatinya—dan jangan lupakan bagian harus selalu ramah kepada pelanggan.

Kikan mengikuti Dewandra yang berjalan menuju meja. Menyerahkan buku menu lalu menunggu pria itu menyebutkan pesanannya. Namun baru beberapa saat pria itu melihat buku menu, ia langsung menutupnya lalu meletakkannya ke atas meja.

“Apa menu paling best seller di sini?” tanya Dewandra. Matanya menatap netra indah milik Kikan yang bewarna kecokelatan dengan penuh kelembutan.

Kikan berdeham pelan. “Anda bisa melihatnya di buku menu, Pak. Di sana tertera menu best seller kami.”

Dewandra tersenyum miring, tatapannya yang penuh kelembutan kini berubah seketika. “Apa memang seperti ini pelayanan di sini? Aku bertanya sebagai pelanggan yang akan—”

“Croffle dengan saus ganache, itu salah satu menu best seller kami.”

“Oh. Kenapa kamu hanya menyebutkan salah satunya saja? Kenapa tidak disebutkan semua menu best seller yang ada?”

“Selain itu adalah menu best seller di sini. Menu itu juga rekomendasi dari saya. Meskipun Anda tidak meminta rekomendasi, tapi sebagai bentuk upaya memberikan pelayanan yang baik maka saya berinisiatif untuk membantu Anda memilih menu paling lezat di sini,” jawab Kikan panjang lebar, dengan senyum manis yang tersemat di bibir tentunya.

Dewandra mengangguk paham. Ia tahu persis bagaimana Kikan, ternyata wanita itu sama sekali tidak berubah meski sekian tahun sudah berlalu. Ya ... walaupun Dewandra masih merasa jengkel sebab wanita itu berlagak seolah tidak mengenali dirinya.

“Oke. Kalau begitu aku akan memesan croffle dengan saus ganache seperti yang kamu rekomendasikan. Bagaimana dengan minuman, apa kamu tidak akan memberi rekomendasi sekalian?”

Tanpa berpikir panjang lagi Kikan langsung memberi rekomendasi minuman kepada Dewandra. Beruntung tadi pagi ia sempatkan untuk membaca isi buku menu, maka dari itu ia bisa memberi rekomendasi dengan percaya diri seperti yang ia lakukan tadi.

“Pesanan Anda sudah saya terima. Silakan menunggu.”

Pandangan Dewandra sama sekali tidak terlepas dari sosok Kikan yang kini menjauh dari mejanya. Rasanya tidak adil, kenapa ia tidak bisa membenci wanita itu terlepas dari apa yang sudah ia lakukan kepadanya dan juga Rosetta? Kikan meninggalkan Dewandra dan juga putri mereka.

Seolah ia dan Rosetta tidak berarti apa-apa bagi wanita itu. Selama perceraian mereka Kikan sama sekali tidak pernah berusaha untuk menemui Rosetta. Dan sekarang, setelah enam tahun berlalu, mereka kembali bertemu dan Kikan bersikap seolah tidak mengenalnya.

Kikan tidak hanya sekadar jahat. Tetapi wanita itu sangat kejam! Begitu tidak berperasaan sampai memperlakukan dirinya seperti orang asing.

Padahal jika diingat kembali, Kikan telah berjanji akan tetap bertahan dan selalu ada di samping Dewandra. Wanita itu berjanji tidak akan menyerah dengan pernikahan mereka. Setiap kali teringat akan hal itu Dewandra selalu mengerang kesakitan. Seolah jantungnya dihunus dengan panah tajam dengan bara api, menyakitkan.

Drrttt...

Dewandra sedikit terkesiap saat merasakan benda pipih di dalam saku celananya bergetar. Didapatinya sebuah panggilan masuk dari sang sekretaris.

“Ada apa?” ucap Dewandra langsung pada intinya saat panggilan mereka berhasil tersambung.

Di seberang telepon, Chiko yang saat ini sedang berdiri di depan pintu lift menjawab, “Saya sudah mendapatkan informasi tentang orang itu, Pak.” Tentu saja informasi yang dimaksud Chiko adalah tentang Kikan.

“Oke, letakkan saja laporan informasinya di atas mejaku. Bagaimana dengan Rosetta, apa kamu sudah mengantar bocah kecil itu ke rumah kakeknya?”

“Sudah, Pak. Saya baru saja kembali dari sana.”

“Aku mungkin akan kembali sedikit terlambat nanti,” cicit Dewandra kemudian segera mengakhiri panggilan secara sepihak.

Setelah berhasil mengakhiri panggilannya bersama Chiko, Dewandra kembali memfokuskan pandangannya kepada Kikan. Sebenarnya sedari tadi pandangan pria itu memang sama sekali tidak teralihkan, hanya saja Dewandra ingin lebih fokus saat memperhatikan mantan istrinya itu.

Aku tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba berubah seperti ini. Apa yang merasukinya? Kalimat itu terngiang di kepalanya.

Sadar atau tidak, semakin hari Rosetta menjadi kian mirip dengan Kikan. Melihat wanita itu tersenyum seperti sekarang, Dewandra seolah melihat Rosetta dalam wujud orang dewasa. Benar-benar sama persis.

Apa dia sudah menikah lagi? Keingintahuan itu tiba-tiba terlintas di benak Dewandra. Dengan wajah cantiknya itu, Dewandra yakin ada begitu banyak pria yang tertarik kepada Kikan.

“Hah, sial! Kenapa aku tiba-tiba merasa kesal?” gerutu pria itu. Dia sendiri yang berpikiran seperti itu, jangan salahkan orang lain jika merasa kesal.

Saat kedua matanya melihat presensi Kikan yang membawa nampan berisi makanan serta minuman berjalan menuju ke arahnya, Dewandra buru-buru mengusir rasa kesal yang tercetak di wajahnya. Seolah ada kekuatan magis yang membuatnya tersihir, rasa kesal yang sebelumnya Dewandra rasakan tiba-tiba sirna.

“Selamat menikmati hidangannya. Jika Anda ingin sesuatu atau menambah pesanan, jangan ragu untuk langsung memanggil saya, Pak,” kata Kikan sebelum beranjak pergi setelah berhasil meletakkan semua pesanan Dewandra di atas meja.

Di saat Kikan hendak membuka langkah, wanita itu tertahan sebab Dewandra tiba-tiba meraih tangannya. Untuk beberapa saat keduanya hanya saling beradu tatap. Bergulat dengan isi pikiran masing-masing yang bertolak belakang.

“Ada apa, Pak?” tanya Kikan seraya berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Dewandra.

“Apa kamu sudah menikah lagi?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status