Jean memandangi istrinya, dia agak ragu untuk mengatakan hal ini. Namun dia memberanikan diri berkata, "Sebenarnya aku..."
"Aku apa Mas?" "Kamu mandi aja dulu. Nanti aku kasih tau," balas Jean sambil tersenyum. Elisha menekuk wajahnya. Suaminya ini senang sekali membuatnya penasaran. "Ya udah, aku mandi bentar ya." Sekitar 15 menit kemudian, Elisha sudah keluar dari kamar mandi dengan gaun tidurnya. Wanita itu tersenyum ke arah Jean yang masih terjaga sembari mengeringkan rambutnya. "Kirain, kamu udah tidur." "Kan aku nungguin kamu," jawab Jean sambil menutup laptopnya dan menaruhnya di atas tempat tidur. "Oh iya, kamu tadi mau ngomong apa Mas?" tanya Elisha pada sang suami. Ia tatap pria yang sudah 8 tahun itu dia nikahi melalui cermin di depannya. Meskipun lelah, wanita cantik itu tidak pernah melewatkan rutinitasnya untuk menggunakan skincare. Jean tersenyum. Ia turun dari ranjang dan menghampiri istrinya. Pria tampan tersebut berdiri di belakang Elisha sambil memijat punggungnya. "Elis, boleh nggak aku— ngelakuin itu?" Demi apapun, Jean merasa sangat sungkan saat meminta jatah pada istrinya. Bukannya apa, dia hanya takut perempuan di depannya ini akan menolaknya seperti yang sudah-sudah. Elisha menatap mata suaminya dari cermin. Melihat wajah sang suami yang tampak ragu ketika meminta itu padanya, membuat ia merasa berdosa. Ia sangat bersalah karena telah membuat suaminya kurang kasih sayang seperti ini. "Aku tau kamu capek, tapi—" Elisha berdiri sebelum sang suami menyelesaikan ucapannya. Ia peluk tubuh pria itu sambil berkata, "Maafin aku ya Mas. Aku kurang perhatian ke kamu. Pasti kamu kesepian banget kan?" Jangan ditanya seperti apa reaksi Jean sekarang ini. Dia sangat tidak menyangka jika Elisha akan memeluknya begini. "Elisha—" "Malam ini, aku milik kamu Mas. Aku akan 'melayani' kamu sampai kamu merasa puas," ucap Elisha dengan pipi merona merah. Jean tak tahan lagi. Miliknya menggembung semakin besar, hanya karena lampu hijau yang istrinya berikan. Ia langsung mencium bibir ranum Elisha tanpa ragu. Merasa aroma segar dari pasta gigi yang baru saja digunakan istrinya. "Mmmphh... Mmmm..." Tanpa melepas ciumannya Jean menuntun sang istri untuk tidur di atas ranjang. Memenjara tubuh ramping Elisha agar tak bisa ke mana-mana. "Mas... Santai aja... Malam masih panjang kok!" ucap Elisha sambil memejamkan mata. Menikmati kecupan serta hisapan yang dilakukan Jean di area lehernya. Memberikan tanda kemerahan di sana sebagai bukti jika mereka saling memiliki. Jean tak peduli. Nafsunya membuat ia lupa diri. Sekian lama tak menyentuh Elisha, lalu sekarang sang istri memberikan kesempatan untuk bercinta membuat Jean sedikit kalap. "Maafin aku sayang, tapi kamu bikin aku bergairah." "Aku tau Mas, aku juga rindu sekali ingin disentuh sama kamu Mas." Jean tersenyum miring. Ia kecup bibir istrinya dengan lembut. Sementara kedua tangannya, mulai menggrilya di area bagian depan tubuh Elisha. Ia memijat lembut gundukan kenyal milik istrinya hingga membuat wajah sang istri makin merona hebat. Dengan perlahan dan mata yang menatap lekat ke arah istrinya, Jean mulai menurunkan gaun tidur yang istrinya kenakan. Sepasang gunung kembar yang masih tertutup bra hitam itu menarik perhatian pria itu. Tanpa ragu, Jean ingin melucuti bra tersebut. Namun belum sempat itu terjadi, ponsel Elisha mendadak berdering. Bunyinya cukup nyaring hingga membuat Elisha terkejut. "Mas, ada telfon." Jean tak menggubris. Ia sibuk memberikan jejak di gundukan kenyal tersebut. "Mas..." "Biarin aja Sha! Nanti juga mati sendiri!" "Tapi itu kayaknya itu telfon dari Bos," ucap Elisha dengan sedikit khawatir. Raut wajahnya yang tampak resah membuat Jean menghentikan aksinya. "Aku cek bentar ya Mas, siapa tau penting," pinta perempuan itu pada suaminya. Jean mendengkus. Mau tak mau ia menyingkir dari atas tubuh istrinya dan mempersilahkan perempuan berambut panjang itu untuk mengambil ponselnya yang terus berdering. "Bentar Mas..." Elisha merapikan bajunya yang sudah berantakan dan meninggalkan Jean yang masih dalam mode bergairah. Meskipun wajah Papa kandung Qila itu sudah terlihat kesal, tapi hal itu sama sekali tak digubris oleh Elisha. Bagi perempuan cantik tersebut, telfon dari Bosnya jauh lebih penting dari apapun. "Shit!" Jean mengumpat kesal. Menatap miliknya yang kini sudah mulai lesu karena Elisha terlalu lama menerima telfon tersebut. "Apa sih yang mereka bicarakan?" ketus pria itu sambil menatap istrinya yang sedang mengobrol di balkon. "Memangnya, seharian ketemu di kantor nggak cukup apa buat bahas kerjaan? Kenapa saat di rumah si Bos masih saja mengganggu Elisha?" Wajar jika Jean merasa kesal. Karena sejak bekerja ia seperti kehilangan momen bersama dengan istrinya. Si Bos benar-benar menguasi Elisha. Dan itu membuatnya amak muak dan jengah. Lima menit, Jean masih bisa sabar. Sepuluh menit. Wajah pria itu kian muram dan tampak kesal. Dua puluh menit berlalu, Jean pun memutuskan untuk mencuci muka sebelum turun ke bawah. Minatnya untuk bercinta dengan Elisha seketika pupus karena istrinya kembali sibuk dengan urusan pekerjaan. * * * Saat turun ke bawah, pria itu langsung berjalan ke pantry. Dia berniat untuk membuat kopi untuk menghilangkan rasa suntuknya. Namun yang membuat ia terkejut, adalah kehadiran Nilam yang ternyata masih belum tidur. Ia memperhatikan si pembantu yang sedang merapikan dapur setelah memindahkan makan malam ke dalam wadah untuk di simpan ke dalam kulkas. "Nilam." Mendengar namanya dipanggil, Nilam pun langsung balik badan. Ia terlihat heran saat mendapati sang majikan berjalan ke arahnya. "Pak Jean belum tidur?" tanya Nilam dengan lembut. Nadanya yang sopan itu membuat siapa saja yang mendengarnya merasa sangat tenang. "Aku yang harusnya nanya gitu ke kamu?" Jean mendekati sang pembantu. Penasaran apa yang membuat wanita itu masih belum juga istirahat dan tidur. "Ini udah jam 11 lewat lho. Kamu nggak capek apa? Kan besok harus bangun pagi?" "Saya nggak bisa tidur Pak. Makanya inisiatif berberes dapur sambil buang-buang bahan makanan ama bumbu yang udah kadaluwarsa," Jelas Nilam. "Apa saya terlalu berisik Pak?" "Enggak! Aku nggak kebangun karena suara kamu kok. Kebetulan aku juga belum tidur. Nilam menganggukkan kepalanya ketika mendengar penjelasan Jean. Sejujurnya dia juga bingung harus menjawab apa. "Aku mau buat kopi." Suara baritone Jean membuat Nilam menatap ke arah tuannya ini. "Mau saya buatin Pak?"Suara baritone Jean membuat Nilam menatap ke arah tuannya ini. "Mau saya buatin Pak?""Kamu nggak capek emangnya?""Enggak kok Pak. Orang cuma sebentar aja kok.""Oke deh. Minta tolong antar ke depan ya. Sekalian mau ngerokok!" titah Jean disertai senyum tipisnya."Baik Pak. Siap."Tanpa basa-basi, gadis berkulit putih ini langsung menyiapkan kopi sesuai dengan apa yang Jean inginkan. Dan tak kurang dari 5 menit, kopi pun siap disajikan."Silahkan di minum Pak kopinya!" Suara lembut Nilam, membuat lamunan Jean buyar. Ia pandangi gadis ayu itu sebelum melemparkan senyum manisnya."Terima kasih ya. Maaf lo, malem-malem gini masih minta tolong dibuatin kopi.""Nggak masalah Pak. Toh ini juga udah tugas saya kan?"Jean menganggukkan kepalanya. Ucapan Nilam ada benarnya. Tapi bukan berarti, dia akan seenaknya memanfaatkan perempuan itu bukan? Karena pasti Nilam juga lelah karena seharian bekerja."Kamu nggak tidur?""Iya Pak ini mau tidur.""Udah ngantuk?"Nilam bingung kenapa ditanya sepe
"MAS!" Nada Elisha ikut meninggi, tak terima mendengar ucapan sarkas dari mulut suaminya."APA?!" hardik Jean balik. "Kamu nggak terima kan aku melakukan itu? Tapi apesnya kamu juga nggak bisa puasin aku?"Elisha membeku. Dia benar-benar disudutkan oleh kata-kata sang suami."Udahlah, aku malas debat sama kamu soal ini. Capek tau nggak? Apalagi yang kita bahas hal yang sama dan berulang. Malah bikin aku tambah muak." Dengan langkah menghentak keras, Jean pergi dari hadapan Elisha. Mengabaikan sang ia istri yang mungkin terluka karena kata-katanya.Sementara perempuan berambut hitam itu hanya bisa menangis dalam diam saat menatap punggung sang suami, yang berjalan menjauh darinya. Sungguh dia merasa serba salah menjadi istri Jean. Apapun yang dia lakukan tak pernah dihargai oleh sang suami. Dan itu karena satu kesalahan yang menurutnya kecil."Mas, kenapa kamu kayak gitu sih? Padahal aku kerja juga buat memenuhi semua kebutuhan rumah ini.
"Mama! Mama liat aku dulu dong! Aku cantik kan?""Iya sayang, apa sih? Mama lagi buru-buru nih. Soalnya Mama harus nyampek kantor lebih cepet," balas Elisha tanpa melihat ke arah anaknya."Tapi Mama bisa liat aku bentar aja kok. Aku pengen denger pendapat Mama soal rambut aku!" pinta Qila tak mau kalah. Bocah kecil itu mana mengerti soal urusan orang dewasa. Yang penting dia happy, itu saja. "Mama!""Wah, iya sayang kunciran kamu bagus sekali. Cantik banget."Qila yang mendengar ucapan Mamanya, bukannya merasa senang, tapi justru jadi kecewa. Bagaimana tidak, Mamanya memberikan pujian demikian tanpa melirik sedikitpun ke arahnya.Jean yang melihat kejadian itu, sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak murka. Bagaimana ia tak kecewa melihat istrinya hanya mementingkan dirinya sendiri. Bahkan untuk memberikan pujian pada anaknya yang tidak makan banyak waktu saja, terasa sulit bagi Elisha."Qila sayang—"Panggilan sang P
"Kamu ikut aku ke sekolah Qila ya!"Nilam reflek menautkan kedua alisnya, saat Jean memintanya demikian. "Kenapa Pak?""Soalnya kamu harus tau di mana lokasi sekolahnya Qila, biar pas nanti aku atau Elisha berhalangan dan nggak bisa jemput Qila, kamu bisa gantiin kami," terang Jean dengan entengnya. Sebenarnya dia juga bingung kenapa bisa punya ide seperti itu. Tapi kalau dipikir-pikir, memberitahu lokasi sekolah Qila pada Nilam, tak buruk juga."Baik, Pak. Tapi saya mau ambil jaket dulu ya. Biar rapian sedikit."Jean memberikan anggukan kecil saat sang pembantu meminta ijin padanya untuk mengambil jaket. Sementara ia sendiri menggandeng tangan Qila dan mengajaknya untuk ke depan.Dan sekitar 5 menit kemudian, ketiganya berangkat ke sekolah Qila bersama-sama menggunakan mobil. Jarak ke sekolah tidaklah jauh sebenarnya. Hanya sekitar 15 menit saja. Jadi tidak butuh waktu lama untuk putri pasangan Jean dan Elisha ini untuk segera tiba di sa
"Nggak cuma panas aja, Nilam. Masalahnya aku kebelet nih." Jean terlihat menggoyangkan pantatnya, dia merasa tidak nyaman karena ingin buang air kecil."Bapak mau pipis?" tanya Nilam dengan polosnya."Iya nih.""Tapi kan kita lagi di mobil.""Nah itu masalahnya, mana mobilnya nggak gerak sama sekali.""Saya punya ide Pak," ucap Nilam dengan semangat.Jean menautkan alisnya. "Ide apa? Kamu nggak ada niatan buat nyuruh aku turun dan pipis di pinggir jalan kan?" tanyanya."Pipisnya masukin ke botol itu aja Pak!" Dengan begitu entengnya, Nilam menunjuk ke arah botol kosong yang tergeletak di pintu mobil bagian belakang.Jean otomatis syok saat mendengar penuturan Nilam, apalagi wajah polos gadis itu ketika mengutarakan idenya, makin membuat ia terperangah. "Yang bener aja kamu?""Tenang aja Pak, saya bakal tutup mata kok. Daripada Bapak nahan pipis, malah bisa jadi penyakit entar," ucap Nilam lagi
Tawa lepas dari para pebisnis itu, kembali memecahkan suasana. Kecuali Elisha yang hanya bisa tersenyum kecil sesekali karena canggung karena hanya dia yang berjenis kelamin perempuan di antara yang lainnya. "Udah-udah. Gimana kalau saya traktir Bapak-bapak makan siang?" ucapan Dikta membuat suasana ramai itu sedikit merendam. "Wah, boleh juga Pak. Kebetulan ini saya juga sudah lapar." "Betul sekali Pak Dikta." "Oke, bapak-bapak turun duluan saja turunnya. Saya mau bicara sebentar dengan Elisha," ujar Dikta lagi. Setelah orang-orang itu pergi, kini tinggal Elisha dan Dikta saja yang ada di sana. Dengan wajah fill senyum Dikta bertanya, "Elisha, kamu ikut sama kita kan?" "Maaf Pak. Kayaknya saya nggak bisa ikut. Soalnya saya mau beresin ini semua. Terus juga, saya udah bawa bekal dari rumah, sayang kalau nggak di makan." "Yakin kamu nggak mau ikut?" "Maaf Pak, saya
"Seandainya uang yang kamu kasih cukup untuk biaya sehari-hari, mana mungkin aku sampai hutang sana sini Mas! Coba pake logika kamu Mas!" amuk Elisha. Dia benar-benar lelah menghadapi sikap keras kepala Jean. Sangat lelah.Jean tak berkutik. Pria itu hanya duduk diam di pinggir ranjang sambil memijat pelipisnya."Tolong lah Mas! Ijinin aku nerima pekerjaan ini!" pinta Elisha lagi. Sampai-sampai, ia berlutut di depan kaki suaminya dan memohon agar Jean mengizinkannya pergi bekerja. "Aku janji Mas, selama bekerja aku nggak akan lupa ama tanggung jawabku sebagai ibu rumah tangga. Sebagai istri yang baik buat kamu, juga sebagai ibu dari Elisha.""Kamu pikir enak apa jadi pegawai kantoran?" Ia menatap ke arah istrinya. Nada bicaranya yang tadi sangat berapi-api, kini terdengar lebih kalem. "Semua pekerjaan nggak ada yang mudah Mas. Nggak ada yang enak kalau dikerjakan sambil terus mengeluh."Jean memandangi istrinya. Kali ini dia sudah kalah
"Aku insecure Sha! Aku ngerasa nggak berguna!""Harusnya kamu nggak perlu ngerasa kayak gitu Mas! Kita ini berumahtangga bukan untuk mencari siapa yang paling hebat, atau siapa yang paling banyak menghasilkan uang!" sentak Elisha dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kita ini dijadikan pasangan untuk saling melengkapi! Untuk saling bekerja sama, Mas. Rumah tangga kita bukan ajang untuk mencari siapa yang terbaik!"Jean melepaskan cengkramannya dan berjalan menjauhi sang istri. "Gampang banget kamu ngomong kayak gitu, karena kamu nggak ngerasain jadi aku yang tiap hari jadi bahan gunjingan warga karena nggak bekerja.""Itu kan bukan salahku Mas! Lagipula, berapa kali aku harus ngomong sama kamu, berhenti mikirin omongan orang Mas! Cuekin aja mereka!""Kamu ini, udah salah malah ngeyel terus.""Emangnya salahku di mana Mas? Aku ini udah berusaha memberikan yang terbaik buat keluarga kita. Kerja dari pagi sampai sore demi memenuhi kebutuhan
Jean melirik sekilas ke arah Nilam. Wajah perempuan itu terlihat serius, bahkan cenderung gelisah. Alisnya berkerut, dan bibirnya sedikit mengatup. "Kenapa? Kamu kelihatan seperti sedang memikirkan sesuatu," tanya Jean, memecah keheningan.Nilam tersentak dari lamunannya, sedikit gugup. "Eh? Gak, Bos. Cuma... saya merasa aneh saja.""Aneh kenapa?" Jean mengangkat alis, penasaran. "Saya gak tahu, Bos. Tapi rasanya seperti pernah mengalami hal yang sama seperti ini sebelumnya," jawab Nilam jujur, meski suaranya terdengar ragu. Jean mengerutkan kening, lalu tersenyum kecil. "Déjà vu, mungkin?""Mungkin," jawab Nilam singkat, menghindari tatapan Jean.Namun, Jean tidak berhenti di situ. "Kalau déjà vu itu biasanya karena ada sesuatu yang mirip dengan kenangan kita. Kamu pernah kerja bareng bosmu sebelumnya di situasi seperti ini?"Nilam menggeleng cepat. "Gak pernah, Bos. Ini pengalaman pertama saya kerja. Hanya saja...""Hanya apa?""Gak tau kenapa saya seperti pernah melakukan ini sa
"Gimana? Daripada bengong di sini ya kan?" "Haaa..." Ia menghela nafas. "Ya sudah Pak." Jean tersenyum. "Ayo masuk!" Dengan gentle Jean membukakan pintu mobilnya untuk Nilam. Ia sempat mendekati Surya yang masih berdiri bengong di posisinya. "Nanti saja aku jelaskan semuanya, Surya!" bisik pria itu sambil memberikan uang untuk supir tersebut. Surya mengangguk ragu. "Oke." Setelah itu Jean menepuk pundak Surya dan pamit dari sana. Meninggalkan Surya yang masih meloading semuanya. "Astaga, yang barusan itu beneran Jean bukan ya? Penampilannya berubah banget. Dan— apa itu tadi? Jean jadi Bosnya Mba Nilam? Plot twist yang gak terduga." Kali ini Surya tidak hanya pusing karena ban mobilnya, tapi juga karena pertemuannya dengan Jean. "Wiii, lumayan dapat sejuta. Kayaknya Jean udah mapan sekarang." Surya menghitung uang yang Jean berikan, mengipas-ngipasnya di depan wajah dan mengecupnya. Happy sekali. Di dalam mobil, suasana terasa canggung terjadi antara Nilam dan Jean. Nilam duduk
Bu Mala menatap putrinya dengan sorot mata penuh cinta. “Mama tahu, Sayang. Tapi Mama mohon, jangan abaikan kekhawatiran Mama. Kalau kamu mau kerja, Mama izinkan. Tapi biar Surya yang antar kamu. Gak ada motor-motoran, ya?” Nilam terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Akhirnya ia mengangguk pelan. “Baiklah, Ma. Aku naik mobil aja. Tapi Mama juga harus janji… Jangan terlalu khawatir lagi, oke?” Bu Mala tersenyum kecil, meski air mata masih membasahi pipinya. “Mama janji…” Surya, yang mendengar percakapan itu, akhirnya menghembuskan napas lega. “Ayo, Mba Nilam. Kita berangkat sekarang,” ujarnya sambil membuka pintu mobil. Nilam mengangguk, lalu melangkah masuk ke dalam mobil. Sebelum menutup pintu, ia menatap ibunya sekali lagi. “Ma, aku sayang sama Mama. Jangan sedih lagi ya…” Bu Mala tersenyum, melambaikan tangan. “Hati-hati di jalan, Sayang…" *** "Sebenarnya Mama itu kenapa sih? Apa-apa selalu berlebihan. Gak pernah percaya sama aku, terus selalu overprotective. Aku kan udah b
"Baiklah, Mama menyerah. Tapi kamu harus janji!" Nilam tersenyum lebar, tahu dirinya telah menang. "Janji apa, Ma?" tanyanya dengan nada penuh antusias."Kamu harus ikuti semua syarat yang Mama tetapkan," jawab Bu Mala dengan tatapan serius. Nilam mengerutkan kening, sedikit curiga. "Syarat apa dulu nih, Ma? Nanti syaratnya berat lagi." Bu Mala mengangkat jari telunjuknya. "Pertama, kamu harus selalu laporan sama Mama tentang pekerjaanmu. Kalau ada hal mencurigakan atau kamu merasa tidak nyaman, langsung cerita ke Mama. Jangan dipendam sendiri!" Nilam mengangguk cepat. "Oke, itu gampang!" "Kedua," lanjut Bu Mala, "kamu harus jaga jarak dengan Bos kamu. Jangan terlalu akrab, apalagi sampai ada urusan pribadi di luar kantor. Fokus aja sama pekerjaan kamu." Nilam tertawa kecil. "Tenang aja, Ma. Aku profesional kok!" "Tunggu dulu—" potong Bu Mala dengan tatapan tajam. "Yang ketiga, kalau sampai ada tanda-tanda kamu terlalu sering dimanfaatkan, entah itu kerjaan yang di luar
Nilam tersenyum menyeringai, memperbaiki posisi duduknya di kursi dapur, dan mulai menceritakan apa yang terjadi hari ini. "Sebenarnya aku keterima jadi sekertaris pribadi Ma."Jawaban Nilam itu membuat Bu Mala melotot kaget. "Sekpri?"Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan lucu. "Keren kan? Baru ngelamar kerja aja udah dapat posisi bagus," ucapnya penuh rasa bangga.Bu Mala mengerutkan keningnya. Bukannya senang atau bangga, namun wanita paruhbaya itu tampak kurang setuju dengan pekerjaan yang Nilam dapatkan. "Tolak aja Sayang!"Nilam melotot tak percaya. "Ditolak? Kenapa Ma?""Mama tau kamu itu kayak gimana. Takutnya kamu bukannya fokus kerja malah godain Bos kamu," terang Bu Mala. 'Kayak kamu sama si Jean dulu,' imbuhnya dalam hati.Nilam langsung berdiri dari kursinya, menatap sang Mama dengan wajah penuh protes. "Kenapa Mama ngomong kayak gitu? Aku kerja buat cari uang, bukan buat yang aneh-aneh!" Bu Mala mengangkat alis, memandang putrinya dengan tatapan tajam. "Kamu
"Omong-omong, Nilam. Aku penasaran sama sesuatu nih.""Soal apa?""Gimana wajah Bos kita? Dia pasti bapak-bapak paruhbaya ya?"Nilam hanya tersenyum kecil mendengar pertanyaan Talita, tapi ia tidak langsung menjawab. Ia sengaja membiarkan temannya menebak-nebak.“Eh, gimana, Nilam?” Talita memandangnya dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. “Dia pasti tipikal bos-bos kebanyakan, kan? Udah agak tua, pakai kacamata, rambut mulai beruban, tapi tetap kelihatan karismatik. Bener nggak?”Nilam terkekeh kecil, lalu menggeleng. “Enggak, dia gak kayak gitu.”“Loh?” Talita memiringkan kepala, semakin penasaran. “Kalau gak kayak gitu, terus kayak gimana? Jangan-jangan dia tipe bos yang galak dan suka marah-marah?”Nilam terdiam sesaat, mencoba merangkai kata-kata. “Dia... gimana ya, Mba? Pokoknya jauh dari bayangan kamu deh. Dia kayaknya sih masih muda, mungkin sekitar 35 tahunan. Gayanya juga santai, tapi kelihatan tegas. Terus...
“Sekretaris pribadi? Maksudmu, sekretarisnya Jean Adrian? Pemilik perusahaan ini?” Nilam mengangguk kecil, mencoba meyakinkan dirinya sendiri meskipun suara Talita membuat semua keraguannya terasa semakin nyata. Talita menatap Nilam dengan campuran rasa kagum. "Kamu keren banget Nilam."Nilam menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke lantai. “Keren apanya?"Talita masih memandangi Nilam dengan wajah kagum. “Keren apanya? Nilam, Kamu sadar gak sih? Dari sekian banyak orang di sini, kamu yang dipilih buat jadi sekretaris pribadi! Itu keren banget, loh!”Nilam menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak tadi terasa kacau. “Tapi aku gak yakin aku pantas buat posisi itu, Mba. Aku gak punya pengalaman apa-apa soal jadi sekretaris. Lagian, kenapa harus aku? Masih banyak orang lain yang lebih cocok padahal. Yang lebih pengalaman maksudnya.” Talita memiringkan kepala, bingung mendengar keraguan Nilam.
Jean menatap Nilam dengan tatapan tajam yang sulit ditebak, lalu melanjutkan kalimatnya dengan nada tegas namun lembut. "Saya ingin kamu menjadi sekretaris pribadi saya."Mata Nilam melebar, wajahnya dipenuhi keterkejutan. "S-sekretaris pribadi, Pak?" ucapnya, setengah gagap. Ia bahkan tidak yakin apakah ia mendengar dengan benar.Jean mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada wajah Nilam yang tampak bingung. "Iya. Sekretaris pribadi. Saya tahu kamu tidak melamar untuk posisi ini, tapi setelah melihat profil kamu dan berbicara langsung denganmu, saya merasa kamu kandidat yang tepat."Nilam menelan ludah, mencoba mencerna situasi ini. "T-tapi Pak, saya tidak punya pengalaman sebagai sekretaris. Saya takut bapak kecewa."Jean menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya berubah menjadi lebih santai. "Tidak perlu khawatir soal pengalaman. Tugas seorang sekretaris pribadi sebenarnya cukup sederhana, Nilam. Kamu hanya perlu membantu saya mengatur jad
“Baik, Nilam. Kalau boleh tahu, apa alasan kamu melamar di perusahaan kami? Apa yang membuat kamu tertarik?”Nilam tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih canggung. “Saya pikir, perusahaan ini menawarkan peluang yang baik untuk berkembang, dan posisinya juga sesuai dengan yang saya cari.” Jean mengamati Nilam dengan cermat. Matanya yang tajam menangkap kegelisahan kecil di wajah gadis itu “Baiklah,” kata Jean, menutup berkas di depannya. “Nilam, apa yang kamu harapkan dari pekerjaan ini? Selain, tentu saja, penghasilan yang kamu sebutkan tadi.”Nilam tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Saya ingin menambah pengalaman dan belajar lebih banyak. Saya percaya, lingkungan kerja yang mendukung seperti perusahaan ini akan memberikan banyak peluang untuk itu.”"Jadi kamu kerja hanya untuk pengalaman saja?""Bukan cuma itu saja sih, Pak.""Lalu?""Saya juga cari penghasil yang lebih baik daripada pekerjaan saya yang sebelu