"Kau akan pergi ke mana? Apa kau merindukanku?" sapa suara bariton itu tiba-tiba.
Lena yang baru saja keluar dari unit apartemennya itu seketika terperanjat dan menatap ke arah sumber suara itu dengan panik. Dan rasa paniknya kian menjadi ketika mendapati Oliver di sana. Oliver pulang.Sial. Maki Lena di dalam hatinya.Pria itu tampak santai menyesap sebatang rokoknya sembari bersandar pada dinding disamping unit apartemen mereka. Dia dengan tenangnya menyunggingkan senyuman manis pada Lena."K-Kau... sejak kapan kau di sana?" ujar Lena balik bertanya dengan sedikit tergagap. Ditatapnya Oliver dengan tatapan tak suka.Oliver mendengus geli lalu mematikan rokoknya. "Sejak kau mengendap-endap keluar seperti seorang maling. Kau akan pergi ke mana, tidakkah kau butuh izinku?""Sejak kapan aku butuh hal remeh temeh seperti itu denganmu? Kau orang asing Oliver. Kau tak berhak tahu tentang apapun yang aku lakukan."Sudut bibir Oliver berkedut mendengar ucapan sinis dari istrinya sendiri. Seperti orang yang naif, Oliver sempat berpikir Lena akan sedikit merindukannya karena tak pulang cukup lama. Akan tetapi, ia terlalu berlebihan dalam berharap pada Lena yang jelas-jelas sangat membencinya."Kau akan pergi menemui Vincent, bukankah begitu?" tebaknya yang langsung tepat sasaran. Terlihat dari bagaimana Lena yang langsung terdiam setelah mendengar hal itu.Melihat reaksi istrinya itu, membuat Oliver kembali mendengus geli dan kemudian beralih membuang sebatang rokok yang baru disesapnya itu langsung ke tempat sampah. Lantas sejurus kemudian, tanpa aba-aba dia mengambil langkah lebar dan dalam sepersekian detik dia menarik tangan Lena untuk kembali masuk ke dalam apartemen."Ayo pulang. Aku sangat merindukanmu," ucapnya ringan seraya terus menggenggam tangan Lena untuk mengajaknya masuk."Kau!" bentak Lena murka seraya berusaha menghentakan tangannya agar bisa terlepas dari genggaman Oliver. "Kau tak bisa bersikap seperti ini padaku!"Lena berusaha kembali bergerak menuju pintu, ketika Oliver sudah lebih dulu berdiri menjulang di depan pintu itu untuk menghalangi jalan."Aku hanya merindukanmu, Aralena, apa itu salah? Tidakkah harusnya aku mendapatkan pelukan hangat darimu karena sudah cukup lama kita tak bertemu?" tanya Oliver masih dengan nada suara yang tenang. Dia menatap Lena dengan tatapan hangatnya yang meneduhkan, sekalipun saat itu Lena terus menatapnya dengan tatapan murka yang dipenuhi kebencian yang besar."Aku ingin menemui Vincent, Oliver bajingan!""Jangan terus menerus berkata kasar seperti itu, Lena. Bibir indahmu ini tak semestinya mengutuk orang lain," tegur Oliver lembut seraya menyentuh bibir Lena dengan jari telunjuknya.Seketika itu pula Lena menepis kasar jemari Oliver dari bibirnya dan kian menatap pria itu dengan murka. "Aku tak pernah sudi mendengarkan ucapanmu, sialan. Aku akan menemui Vincent sendiri!"Oliver diam sejenak. Dia menatap Lena lekat-lekat, lalu kemudian menghela napas berat karena tak secuil pun dia menemukan kelembutan hati Lena untuknya. Yang dia temukan di wajah cantik itu hanyalah kebencian, amarah dan rasa jijik."Apa sehina itu aku dimatamu, Aralena? Aku minta maaf kalau kesalahanku di kamar hotel itu membuatmu jadi sangat membenciku. Aku-""Kau iblis bejat. Aku sangat membencimu. Enyahlah dari hadapanku, aku muak melihat manusia dengan nafsu binatang seperti dirimu. Kuharap aku tak akan pernah menemui manusia seperti dirimu lagi sepanjang hidupku," cerca Lena begitu kejamnya sebelum kemudian berbalik masuk ke dalam kamar dan mengunci dirinya di sana.Sepeninggalnya Lena, Oliver hanya bisa menghela napas berat dan menatap nanar pintu kamarnya yang tertutup cukup kencang. Bahkan dirinya bisa melihat sebesar apa kebencian Lena terhadapnya hanya dengan melihat punggung perempuan itu untuk sepersekian detik saja sebelum benar-benar menghilang dibalik pintu kamar.Tak lama kemudian sayup-sayup terdengar suara tangisan dari dalam sana, membuat Oliver tertegun sejenak sebelum akhirnya mengambil langkah mendekati pintu kamarnya."Bagaimana kalau hari ini aku tak mengizinkamu untuk menemui Vincent?" "Aku akam membencimu seumur hidupku!"Oliver menghela napas berat dan menatap sendu pintu kamarnya itu. Hatinya berdenyut nyeri hanya dengan melihat dan mendengar Lena, perempuan yang dicintainya itu justru membencinya begitu dalam dan bahkan menganggapnya manusia hina. "Rindukan Vincentmu itu sepuasnya. Rindukan dia sebanyak yang kau bisa karena setelah itu, aku tak akan membiarkanmu merindukannya barang sehari pun, Aralena. Kau milikku, aku tak mungkin membiarkan milikku merindukan pria lain," ujar Oliver datar. Berbanding terbalik dengan hatinya yang terus-menerus terasa dicubit ketika mendengar tangisan Lena dari dalam sana.***"Vincent," gumam Lena sedih di sela-sela tidurnya. Dia memimpikan Vincent yang marah padanya lalu meninggalkannya di sebuah ruang gelap yang terasa hampa.Terlalu banyak menangis membuatnya tanpa sadar tertidur lelap, tapi kemudian secara perlahan dia mulai membuka mata ketika merasakan kepalanya yang terasa sangat pening, lebih pening daripada hal biasa yang terjadi ketika bangun tidur setelah menangis.Begitu membuka matanya lebar-lebar, seketika itu pula Lena terkesiap keras karena menyadari kalau dirinya tak berada di dalam kamar."Kenapa aku bisa ada di sini?" ucap Lena panik. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar lalu kian panik karena melihat Oliver yang duduk tepat di seberangnya. "Kau! Kenapa aku aku bisa ada di sini?!"Sementara Oliver justru tetap tenang membaca korannya dan hanya mengangkat bahunya ringan. "Tentu saja kau ada di dalam pesawat ini karena kita akan berpergian ke suatu tempat."Mendengar kata pesawat, membuat Lena kembali tersadar kalau tempatnya berbaring adalah sebuah desain kursi pesawat bisnis, sehingga detik itu pula dia melihat ke jendela untuk sekadar mendapati kenyataan bahwa dirinya benar-benar berada dalam pesawat yang terbang beribu-ribu meter di atas permukaan bumi."Bajingan," umpat Lena seraya mengusap kasar wajahnya sendiri. Dia menatap nanar pemandangan indah diluar jendela sana, lalu beralih mencari ponselnya untuk kembali dibuat putus asa karena lusa adalah tanggal persidangan Vincent berlangsung, sedangkan dirinya terjebak di sini."Kembalilah tidur, Lena. Perjalanan kita masih sangan panjang," ucap Oliver yang masih saja bersikap tenang. Dia bahkan tak sekalipun memperdulikan Lena yang sedari tadi mengumpat dengan ekspresi putus asa. "Aku mau pulang," pintanya.Oliver diam. Dia lebih memilih untuk berpura-pura tak mendengar apapun. Bahkan dia begitu tenang ketika meminum mojito dari gelas di hadapannya."Aku akan pergi ke kelas ekonomi dan membuat keributan di sana agar aku diturunkan di bandara terdekat kalau kau tak menuruti permintaanku," ancamnya. "Aku serius dengan ucapanku."Oliver tersenyum miring mendengar ancaman itu, lalu kemudian dia pun menatap Lena dengan geli. "Duduklah dengan tenang, Aralena. Kita hanya akan pulang ke rumahku, kau tak harus membuat keributan apapun.""Aku tak pernah ingin pulang bersamamu, sialan. Aku benar-benar akan membuat keributan," ujarnya marah. Seketika itu pula Lena berjingkat bangun dan hendak melangkah pergi ketika suara tawa kecil dari Oliver sedikit mengusiknya."Kau ingin membuat kributan di mana, sayang? Tak ada kelas ekonomi dibalik pintu itu. Ini bukan pesawat komersial seperti yang kau pikirkan, Aralena. Lebih baik kau kembali duduk dengan tenang," ucap Oliver akhirnya. Walau sarat akan ejekan yang membuat Lena merasakan kemarahan kian bercokol di hatinya.Dengan segala egonya yang terluka, Lena memilih untuk berbalik dan kembali duduk dengan tenang di kursinya. "Kau tampak manis ketika bersikap tenang seperti itu," puji Oliver yang tetap saja terdengar seperti ejekan bagi Lena."Berisik kau bajingan. Aku muak mendengar suaramu."Satu hal yang mengejutkan Lena ketika dia tiba di bandara dan menuruni tangga untuk keluar dari pesawat jet yang ternyata super mewah ketika dia melihatnya secara langsung dari luar.Lena memilih bungkam dan menyembunyikan segala ekspresi terkejutnya, walaupun segala tanya di kepala terus saja berkecamuk meminta penjelasan tentang 'dari mana Oliver punya akses untuk menaiki pesawat pribadi dengan harga fantastis ini?'"Apa kau baik-baik saja? Apa kau merasakan mual?" tanya Oliver penuh perhatian. Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Lena, tapi detik itu pula Lena menghalaunya dan melayangkan tatapan sinis padanya."Aku baik-baik saja. Jangan coba-coba menyentuhku," ucapnya sinis. Mendengar itu, Oliver pun menarik kembali tangannya dan menyimpannya kembali di samping tubuhnya. Dia tampak cukup tenang untuk seseorang yang sedang merasakan hatinya berubah getir karena berulang-ulang kali mendapatkan penolakan, kata-kata sinis juga kasar dari perempuan yang dicintai dan yang be
"Tempatku pulang? Rumah ini?" Lena tertawa mencemooh Oliver. "Kau pasti sedang berbohong padaku. Kau pembohong besar."Oliver tersenyum simpul, lalu kemudian meminta sopir yang mengemudikan mobil audi itu untuk membawakan koper miliknya ke dalam terlebih dahulu, sebelum akhirnya dia pun kembali menoleh menatap Lena."Ayo masuk. Tidakkah kau ingin melihat-lihat seisi rumah dan menikmati pemandangannya?" ujar Oliver tenag.Dia memilih untuk tak mengindahkan ejekan Lena terhadapnya. Kali ini, Oliver tak mengulurkan tangannya pada Lena. Dia langsung melangkah masuk ke dalam mansion tanpa menunggu Lena terlebih dahulu karena dia tahu betul kalau perempuan itu pasti tak akan sudi berjalan beriringan dengannya.Sepeninggalnya Oliver, Lena hanya melihat punggung pria itu yang menjauh dari pandangannya. Sedangkan dirinya masih terus terpaku di tempatnya untuk kembali mengamati setiap sisi dari bangunan rumah bergaya klasik yang dipadukan dengan gaya arsite
Malam itu, Oliver habiskan dengan melamun menatap lampu tidur yang membuat ruangan kamarnya ini jadi temaram. Sesekali dia bergerak tak nyaman karena harus berbaring di sofa yang bahkan tak bisa menampung tubuhnya. Kakinya hanya bisa menggantung ke lantai karena sofa yang sempit, dan hal itu membuatnya tak bisa tidur.Suara dengkuran halus pun kemudian terdengar memecah keheningan di kamar itu, membuat Oliver menoleh dan tersenyum hangat ketika melihat kalau Lena sudah tertidur lelap di atas ranjangnya."Dia bilang sangat membenciku. Aku rasa hanya dia yang tidur di ruangan yang sama dengan orang yang dibencinya. Benar-benar perempuan aneh," gumam Oliver seraya terkekeh kecil.Cukup lama dia memandang ke arah Lena, sampai ketika dirasa Lena sudah benar-benar terlelap dalam tidurnya, Oliver pun memberanikan dirinya untuk bangun dari pembaringannya dan melangkah menuju ranjangnya. Di sana, dia dengan penuh kehati-hatian, Oliver beringsut naik ke atas ranjang dan berbaring tepat di sampi
"Peluk," pinta Oliver seraya merentangkan tangannya lebar-lebar saat dia masuk ke dalam kamar setelah dia menyelesaikan olahraga paginya.Dengan riang dan gembira, dia berjalan menghampiri Lena yang saat itu sudah tampak segar setelah mandi dan begitu cantik dalam balutan dress vintage berbahan sifon."Tidak sudi. Menyingkir dariku, kau bau keringat!" tolaknya seraya mendorong dada Oliver agar menjauh darinya dengan cara yang cukup kasar."Jika aku selesai mandi dan tak bau keringat, apa aku akan mendapatkan pelukan?" Oliver tak sekalipun merasa jera. Dia tetap riang dan bersikap hangat pada Lena, bahkan tak jarang dia sengaja menggoda perempuan itu sekalipun respon yang selalu didapatkannya adalah hal yang sangat menyakiti hatinya."Hanya dalam mimpimu!" ujar Lena ketus, seraya menedelikan matanya sinis ke arah Oliver, sebelum kemudian membaringkan tubuhnya ke atas ranjang dan kembali memejamkan matanya ubtuk berpura-pura tidur.Dia terlalu muak mengobrol dengan Oliver, tapi juga en
"Aku sudah bebas dari penjara, Lena. Kau ke mana? Aku tak menemukanmu di apartemen milik paman Oliver," suara berat milik Vincent dari seberang telepon sana itu terdengar putus asa.Panggilan telepon dari nomor asing yang hampir Lena tolak tenyata adalah panggilan telepon dari Vincent. Pria itu langsung menghubunginya dan hal itu benar-benar membuat hati Lena terenyuh sampai-sampai dia tak bisa menahan dirinya untuk yang menangis.Di satu sisi dia merasa sangat lega, tapi di sisi lain dia merasa sangat sedih karena kini dia sudah tak bisa bersama Vincent lagi. Lebih dari itu, kinu dia bahkan sudah berada di tempat yang sangat jauh dari jangkauan Vincent.Yang terdengar hanya isak tangis, sehingga Vincent yang berada di seberang telepon sana pun kembali berkata, "Aku merindukanmu, Lena. Maaf karena aku membiarkanmu menikahi paman Oliver hanya demi uang satu juta dolar yang kuinginkan. Tapi, sekarang aku sudah bebas, Lena. Tak bisakah kau kembali padaku?""Aku harap aku bisa," cicit Len
"Kau pembohong," tuduh Lena. Dia semakin menatap Oliver dengan tatapan bencinya. "Kau sengaja mengatakan hal itu untuk mempengaruhiku, kan? Aku tak akan terpengaruh untuk membenci Vincent karena Vincent sudah lebih dulu mengatakan yang sebenarnya padaku kalau kaulah yang menjebaknya. Dia tak pernah menjualku padamu demi uang jutaan dolar. Kaulah yang mengancamnya dengan uang itu."Oliver mengerutkan keningnya mendengar tuduhan itu. "Kau mendengar cerita yamg salah, Aralena. Aku tak pernah mengancam Vincent dan aku tak pernah memenjarakan pria itu.""Pembohong." Lena menggunakan kedua telapak tangannya untuk menutup telinga karena enggan mendengarkan ucapan Oliver."Vincent akan menjualmu pada pria hidung belang yang jadi pelanggan VVIP-Nya. Aku menentang hal itu dan dia memintaku membayar 1 juta dolar sebagai tebusan kalau tak ingin dia menjualmu. Dia tertangkap di pelabuhan saat menyelundupkan para remaja dan narkoba yang akan di jualnya, Aralena. Aku tak pernah menjebaknya, percayala
Setelah kepergian Oliver, tak lama kemudian seorang maid meminta izin masuk kepada Lena untuk membersihkan kepingan-kepingan ponsel yang hanya bisa Lena tatap dengan tatapan nyalang.Ponsel yang dia beli susah payah harus hancur begitu saja hanya karena Oliver tak menyukai dirinya berkomunikasi dengan Vincent."Dasar pria gila," gumam Lena pelan. Sangat pelan sampai terdengar seperti sebuah bisikan hanya karena dirinya tak ingin maid itu mendengan makiannya untuk Oliver."Saya sudah selesai membersihkan pecahan kacanya," ucap maid itu memberitahukan, sebelum kemudian dia pamit undur diri.Tak lama kemudian maid yang lain datang, tapi kali ini dia membawakan sarapan juga sebuah paperbag."Sarapan untuk anda saya taruh di nakas, lalu ini-" maid itu mengulurkan paperbag yang dibawanya kepada Lena. "Tuan Eduardo meminta saya untuk memberikan ini kepada anda, nona Blade."Tanpa memberikan jawaban, Lena sudah lebih dulu melihat isi paper bag itu dan dibuat tertegun karena dia melihat kotak
"Relakan Lena, Oliver. Kau akan terluka lebih dalam kalau kau mempertahankannya di sampingmu," ujar Esme memberikan saran.Mendengar itu, Oliver semakin memasang ekspresi sedih di wajahnya. "Kau tahu betul kalau aku tak bisa melakukan hal itu, kan?""Tapi, Lena juga akan terus berusaha kabur darimu. Pecayalah, Oliver... aku mengatakan hal ini karena aku pernah ada di posisi sebagai Lena. Bukankah kau tahu betul tentang bagaimana yang terjadi pada pernikahanku juga suamiku?"Oliver diam."Lalu bagaimana dengan undangan pesta dari rekan bisnismu itu? Apa kau yakin bisa membawa Lena ke sana?""Dia pasti mau. Aku akan membawanya bagaimana pun caranya."Esme tersenyum miring mendengar kesungguhan pada ucapan Oliver. Dia merasa iba pada Oliver karena dia tahu betul situasi seperti apa yang dihadapi sahabatnya itu ketika menikahi perempuan yang membencinya."Aku juga menikah dengan suamiku tanpa cinta. Kau tahu kan aku memperlakukan suamiku dengan sangat buruk dan tentu itu tak hanya berlaku